My 4D’s Seonbae - Episode #38 “Kutangkap Kau!”
05:40
Episode #38 “Kutangkap Kau!”
Kedua mata sipit Jihoon terbelalak,
terkejut ketika memasuki rooftop
Luna. Ada seorang pemuda tidur di sofa.
“Itu oppa-ku. Kemarin dia datang.” Luna melenggang ke dapur usai membuka
pintu untuk Jihoon. “Duduk di karpet nggak papa, kan?”
Jihoon buru-buru menyusul Luna ke
dapur. “Kenapa kamu nggak bilang?” Ia melirihkan suaranya.
“Kamu sendiri nggak bilang kalau mau
ke sini pagi-pagi. Nggak usah ngomomg lirih. Dia kalau lagi tidur, ada bom
jatuh pun nggak akan bangun.”
“Aku denger!” Dinar tiba-tiba duduk.
Kedua matanya masih terpejam. Sedang tangan kanannya sibuk menggaruk-garuk
dadanya.
Luna dan Jihoon kompak menatap Dinar
dari dapur. Ketika Dinar membuka mata dan menatap ke arah dapur, Jihoon
terkejut dan segera menyapa.
“Annyeong
hasimnikka.” Jihoon membungkuk sopan.
Dinar menyipitkan mata. “Kamu ini…
Oh, Park Jihoon ya?” Ia mengangguk-anggukan kepala. “Pagi sekali ke sini?
Selalu begitu ya? Adikku merepotkanmu dengan memintamu menjemputnya? Jangan
mau! Kamu kan pacarnya! Bukan kacungnya!” Dinar mengoceh dengan kondisinya yang
masih setengah sadar.
Mendengar kalimat Kamu kan pacarnya! membuat Jihoon
merasakan panas di wajahnya. Luna mengerutkan kening melihat wajah Jihoon yang
memerah.
“Luna tidak pernah meminta saya
untuk menjemput. Kalau boleh jujur, belakangan ini saya baru rajin berkunjung
kemari. Sebelumnya tidak pernah.” Jihoon menjelaskan dengan sopan.
“Kamu nggak memanggil Luna dengan
sebutan seonbae? Dia kan kakak
kelasmu.” Dinar mengoreksi bagaimana Jihoon memanggil Luna.
“Sebenarnya kami seumuran. Jika di
luar sekolah, kami sepakat untuk tidak menggunakan gelar senior-junior.”
“Oh gitu. Oh iya ya! Kalau dari awal
sekolah di Korea, Luna pasti masih kelas satu.” Dinar kembali diam. Mengamati
Jihoon dari atas ke bawah.
“Seleramu lumayan juga. Kamu suka
cowok cantik rupanya. Karena statusnya adalah adik kelasmu, kesannya kamu ini
suka berondong ya. Tapi, kamu emang ada bakat pedopil, kan? Waktu kamu masih
SD, Cue bersemangat ketika menceritakan tentangmu yang kesengsem sama adik
kelas yang baru kelas satu. Kamu bilang adik kelasmu itu tampan dan imut.
Padahal, waktu itu kamu sudah kelas enam.” Dinar mengoceh menggunakan Bahasa
Indonesia. Ia kemudian cekikian sendiri mengingat kisah yang diceritakan Rania.
Jihoon kebingungan. Ia tak paham
semua yang dikatakan Dinar. Ia pun mendekati Luna dan bertanya, “Oppa-mu ngomong apa?” dengan suara
lirih.
“Mengolokku.” Luna segera
membalikkan badannya. Kembali sibuk dengan pekerjaannya di dapur. Sebelum
berangkat sekolah, setidaknya ia harus membuat sarapan untuk Dinar.
“Kamu masak apa lagi?” Merasa
diabaikan, Dinar kembali menggunakan Bahasa Korea.
“Omelet.”
“Telur dadar lagi?”
“Ini omelet! Bukan telur dadar!”
Dinar terkekeh.
“Sini aku bantu aduk.” Jihoon
meminta mangkuk di tangan Luna.
“Nanti seragammu kotor.”
“Nggak. Kan hanya mengaduk telurnya.
Bukan menggorengnya.”
Luna akhirnya menyerahkan mangkok di
tangannya pada Jihoon. Kemudian ia sibuk menyiapkan sayuran.
“Begini, kan?” Jihoon bertanya
apakah cara ia mengaduk telur sudah benar. “Kamu tadi keren sekali waktu
mengaduknya. Bisa begitu cepat gitu. Bagaimana? Aku hanya bisa begini.”
“Nggak papa.”
Dinar masih duduk di sofa.
Memperhatikan Luna yang sibuk membuat sarapan dibantu Jihoon. Ia pun tersenyum.
Kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi yang letaknya di
dekat dapur.
“Jihoon-aa, kamu pernah makan
masakan Luna?” Dinar bertanya sebelum masuk ke kamar mandi.
“Hanya mie instan asal Indonesia.” Jihoon
memiringkan kepala. Ia memang belum pernah makan masakan Luna.
“Kalau begitu, suruh dia membuat
telur dadar untukmu juga. Dia pandai memasaknya.”
“Ini omelet! Bukan telur dadar!” Luna
kembali protes.
Dinar tersenyum pada Jihoon, lalu
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Jihoon membalas senyum pada sosok
Dinar yang sudah menghilang. Kemudian ia mendekati Luna, berdiri sangat dekat
hingga lengannya saling bersentuhan dengan lengan Luna. “Dengar apa kata oppa-mu, kan?”
“Bukannya kamu udah sarapan?”
“Karena ke sini pagi-pagi, aku tidak
sempat sarapan.”
“Hmm, baiklah! Sebagai bayaran
mengaduk telur itu.”
“Asik!” Jihoon antusias.
“Jangan terlalu keras mengaduknya!”
“Oh! Oke!” Jihoon memperlambat gerak
tangannya.
Luna dan Jihoon sama-sama terdiam.
Di dapur hanya terdengar suara dari adukan telur yang dibuat oleh tangan
Jihoon, dan suara pisau yang menyentuh telenan yang ditimbulkan dari aktivitas
Luna memotong sayur.
“Awal hari yang menyenangkan. Aku
memasak sarapan denganmu di dapur. Romansa remaja SMA bisa begini juga ya? Aku
merasa beruntung karena pacarku seorang gadis yang mandiri. Kalau tidak, momen
seperti ini hanya bisa di dapatkan saat kita telah dewasa dan tinggal bersama,
kan?”
“Auw!” Luna memekik. Jari
telunjuknya teriris saat Jihoon menyelesaikan kalimatnya.
“Eh?” Melihat tangan Luna berdarah,
Jihoon segera meletakkan mangkok dan meraih tangan Luna. Namun, secepat kilat
Luna menarik tangannya dan membasuhnya di bawah guyuran air kran.
Jihoon melongo. “Harusnya kan tokoh
utama laki-laki menghisap jari tokoh utama wanita.” Ujarnya lirih.
“Sejak kapan kamu jadi nggak waras
gitu?” Luna mengolok.
“Sejak bertemu denganmu.”
Luna mencibir sembari mematikan
kran. Kemudian ia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil plester dalam kotak
obat.
“Kamu lupa kalau ada aku di sini?” Dinar
keluar dari kamar mandi.
Jihoon tersenyum malu-malu, lalu
meraih mangkok dan kembali mengaduk telur.
Sarapan telah siap. Roti bakar dan
omelet tersaji di meja ruang tamu. Dinar, Luna, dan Jihoon duduk mengitari
meja. Dinar memimpin doa, lalu mereka sarapan bersama. Di tengah sarapan, Dinar
dan Jihoon berbagi pengalaman berkecimpung di dunia hiburan. Dinar membagi
pengalamannya berkarir di Indonesia hingga iseng ikut trainee di salah satu agensi kenamaan Korea saat ia tinggal di
Korea. Jihoon pun membagi pengalamannya selama berkarir hingga memutuskan vakum
demi menikmati masa remaja yang normal. Walau baru pertama kali bertemu,
keduanya langsung akrab. Hal itu karena sikap Dinar yang mudah bergaul.
Dinar mengantar Luna dan Jihoon ke
teras. “Padahal pagi ini aku pengen nganter kamu ke sekolah.” Ujarnya
menggunakan Bahasa Indonesia. “Tapi, ntar Cue tahu. Jadi nggak seru.”
“Emang mas punya rencana apa?”
“Salah sendiri semalam tidur cepat.
Eh? Itu siapa?” Dinar menuding ujung tangga teratas.
Luna yang posisinya membelakangi
ujung tangga pun menoleh. Jihoon yang berdiri di samping kanannya turut
menoleh.
“Itu yang namanya Daniel.” Jawab
Luna.
Dinar mengamati pemuda yang berjalan
mendekat dengan senyum menghiasi wajahnya. “Ini dong keren! Laki banget!” Ia
memuji Daniel.
Luna tersenyum samar mendengarnya.
“Annyeong
hasimnikka.” Daniel membungkuk di depan Dinar. Menyapa pemuda itu dengan
ramah.
“Cing, dia tahu gue?” Tiba-tiba
Dinar menggunakan bahasa seperti yang sering digunakan Rania.
“Tahu lah.” Jawab Luna lirih.
Jihoon diam memperhatikan. Di dalam
dirinya, muncul rasa tak suka karena Daniel tiba-tiba muncul.
“Oh, temannya Luna ya?” Dinar
menyapa Daniel. “Kalau dia Park Jihoon, kamu pasti Kang Daniel.”
“Nee,
Hyungnim.” Daniel sedikit membungkukan badan.
“Aku tahu dari kehebohan itu. Lalu,
menonton video yang diunggah adikku. Maaf ya. Adikku sangat merepotkan kalian.”
“Animnida.”
Daniel dan Jihoon secara bersamaan. Keduanya saling memandang karena terkejut
dengan kebetulan itu. Begitu juga Luna dan Dinar. Sama-sama dibuat terkejut
dengan momen itu.
“Bagaimanapun terima kasih karena
kalian sudah menjaga adikku dengan cara kalian masing-masing. Hati-hati di
jalan. Ngomong-ngomong, kalian akan berangkat sekolah sama-sama? Naik bus?”
“Iya.” Luna yang menjawab.
“Baiklah. Hati-hati di jalan. Aku ingin
ikut, tapi Luna melarangku.”
Luna mengerutkan kening mendengar
ungkapan Dinar.
“Lagi pula ada kalian. Jadi, aku
bisa tenang.” Dinar tersenyum manis. Ia kemudian beralih menatap Luna. “Ntar
aku kirim pesan ke kamu. Baca saat kamu luang ya.” Ia berpesan dengan
menggunakan Bahasa Indonesia.
Luna penasaran, tapi ia pun
mengangguk. Lalu, ia berangkat ke sekolah bersama Daniel dan Jihoon.
***
Hampir tidak ada obrolan sepanjang
perjalanan menuju ke sekolah. Sebenarnya Luna ingin bertanya pada Daniel
tentang Daerin. Tapi, ada Jihoon. Walau penasaran, ia pun menahan diri.
Jihoon sebenarnya merasa terganggu
ketika Daniel tiba-tiba muncul. Tapi, ia tak bisa mengantisipasi kejadian itu.
Karena, sebelum ia rajin menjemput Luna, Daniel lebih dulu menjadi rekan
pulang-pergi Luna ke sekolah. Satu hal yang ia sesali karena ia membiarkannya
terjadi. Lebih tepatnya, ia terlambat tahu tentang hal itu. Andai saja ia lebih
memperhatikan Luna sejak pertama setuju menjadi kekasih palsu Luna, pasti
kesempatan itu tidak akan ada untuk Luna dan Daniel menjadi dekat. Andai saja
Luna lebih terbuka padanya. Tapi, kemandirian itu lebih sering membuat Luna
bungkam.
Walau harapannya adalah mendapat
kesempatan untuk bisa tetap dekat dengan Luna, Daniel hanya tak merubah
kebiasaan yang ia lakukan seperti sebelum semua menjadi rumit seperti saat ini.
Ia memang telah menyatakan perasaannya pada Luna. Tapi, ia tak mau terlalu
berharap. Luna sangat sulit ditebak. Ia tidak tahu apakah gadis itu juga
memiliki rasa yang sama dengannya. Ia bersyukur karena Luna tak berubah walau
berulang kali ia mengungkap perasaannya pada gadis itu. Karena itu, ia pun tak
ingin berubah sikap dan perhatian pada Luna.
Tahu-tahu bus berhenti di halte
dekat sekolah. Daniel turun lebih dulu, disusul Luna, lalu Jihoon. Masih dalam
diam, ketiganya berjalan menuju sekolah. Luna merasakan ponselnya bergetar lagi
dan lagi, ia pun segera memeriksanya. Pesan membanjir dari Dinar. Membaca
pesan-pesan itu membuat langkahnya memelan.
“Kenapa?” Tanya Jihoon yang sudah
berhenti jarak dua langkah di depan Luna. Daniel yang berada satu langkah di
depannya turut menghentikan langkah.
“Anee.”
Luna menggeleng dan tersenyum canggung.
“Apa terjadi sesuatu?” Jihoon tak
puas dengan jawaban Luna.
“Nggak kok.” Luna menyimpan
ponselnya kembali. Demi meredam rasa curiga Jihoon dan Daniel. Ia pun
mempercepat langkah, mendahului Jihoon dan Daniel. Membuat dua pemuda itu
menatapnya dengan ekspresi bingung.
Sesampainya di kelas, Luna langsung
duduk di bangkunya dan buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia membaca ulang semua
pesan yang dikirim Dinar dengan pelan. Selesai membaca, ia menatap keluar
jendela. Tatapannya menerawang, sedang pikirannya sibuk mencerna keseluruhan
isi pesan Dinar. Otaknya terstimulasi usai membaca pesan-pesan yang dikirim
Dinar. Ia pun dipenuhi rasa antusias. Tapi, ia berusaha keras untuk menahan
diri.
Dengan adanya antusiasme yang
meledak-ledak di dalam dirinya, Luna tidak bisa konsentrasi penuh saat
mengikuti pelajaran. Konsentrasinya terbagi, antara memperhatikan guru yang
sedang mengajar di depan kelas dan menyusun ide-ide yang bermunculan di otaknya
yang pagi ini sangat aktif. Saat terdengar dering bel tanda istirahat, Luna
merasa senang. Ia tak merapikan peralatannya, tapi begitu guru keluar dan
meninggalkan kelas, ia langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri meja
Sungwoon.
“Ikut denganku sekarang!” Pinta Luna
sembari meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja Sungwoon. Karena
terlalu antusias, hal itu terdengar seperti gebrakan.
“Mwo??”
Sungwoon yang mendapat serangan secara tiba-tiba pun terkejut.
Jisung, Woojin, dan Seongwoo yang
posisinya berdekatan dari meja Luna dan Sungwoon pun turut terkejut. Mereka
dibuat heran dengan tindakan Luna yang tak biasa itu.
Sungwoon yang mendongakkan kepala
demi menatap Luna tiba-tiba merasakan panas di wajahnya. Ia pun tersipu. Namun,
buru-buru ia mengendalikan dirinya dan berkata, “Ke mana? Ada situasi genting
kah?”
Luna mengangguk mantab. Jisung,
Seongwoo, dan Woojin masih menyimak dalam diam. “Ayo cepat!” Luna menarik
tangan kiri Sungwoon. Memaksa pemuda itu untuk berdiri.
Sungwoon tak bisa mengelak. Ia pun
bangkit dari duduknya, membiarkan Luna menuntunnya. Lebih tepatnya, menyeretnya
pergi keluar kelas.
Jisung dan Seongwoo kompak melongo
melihat kejadian itu. Sedang Woojin berujar, “Ada apa sebenarnya?” Sambil
menatap Jisung dan Seongwoo secara bergantian.
Luna berjalan mondar-mandir di depan
Sungwoon yang duduk di bangku yang berada di depan basecamp Klub Teater. “Bagaimana? Bisa tidak?” Luna menghentikan
langkahnya dan menoleh ke arah kiri dan menatap Sungwoon.
“Mendadak sekali? Apa aku bisa?” Sungwoon
sangsi.
“Pasti bisa!” Luna kini menghadap
sepenuhnya pada Sungwoon.
Sungwoon mengangkat kepala.
Mendongak demi menatap Luna. “Kalau begini kau terlihat mengerikan. “
“Aku tidak punya waktu lagi. Aku
pikir, ini kesempatan terbaik. Aku butuh bantuanmu.”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa
membujuknya?”
“Setidaknya buat dia mengaku!”
Sungwoon terkejut karena Luna
setengah berteriak.
Luna yang menyadari reaksi Sungwoon
pun berdehem. “Maaf. Tapi, aku benar-benar butuh bantuanmu. Jika kita bergerak
sekarang, aku yakin masih terkejar.”
Sungwoon menatap Luna dalam diam
selama beberapa detik. “Baiklah. Akan aku coba.”
Seringaian lebar muncul di wajah ayu
Luna. “Terima kasih. Kalau begitu, tunggu apa lagi? Bergerak lah sekarang! Aku
akan mengatur sisanya.”
Melihat ekspresi itu, Sungwoon
merasa ngeri. Ia pun bangkit dari duduknya, lalu berkata, “Akan kukabari kamu
secepatnya.”
“Oke. Terima kasih, Ha Sungwoon.”
Wajah Luna kembali melunak. Ia pun tersenyum tulus.
Sungwoon mengangguk dan buru-buru
pergi.
Luna duduk di tempat Sungwoon
sebelumnya duduk. Ia menghela napas dan menyeringai. Kemudian, ia meraih
ponselnya dan mengetik pesan pada Dinar.
Dengan langkah ringan Luna berjalan
menuju kantin. Ia menghabiskan hampir seluruh jam istirahatnya di depan basecamp Klub Teater yang terkunci. Ia
telah menentukan pilihan. Hal itu membuatnya semakin antusias. Jika tak
meleset, pulang sekolah nanti semua yang ia atur akan di jalankan. Ia berharap
Tuhan akan berpihak padanya. Ia tak merasa ragu sedikitpun pada orang-orang
yang ada di pihaknya. Tapi, ia merasa ragu pada satu hal. Ia berharap satu hal
itu bisa ia genggam demi mewujudkan rencananya hari ini.
Ketika sampai di kantin, Luna
melihat Hyuri sedang makan siang bersama Myungsoo dan Taemin. Luna berjalan
dengan langkah sedang ketika memasuki kantin. Usai mencuci tangan, ia pun
mengambil menu untuk makan siang. Suasana di kantin boleh dibilang sepi. Karena
hanya tersisa beberapa murid saja di sana. Luna membawa nampan berisi menu
makan siangnya. Ia menatap Hyuri, tapi gadis itu tak melihatnya karena terlalu
asik mengobrol dengan Myungsoo dan Taemin. Seringaian samar kembali terukir di
wajah Luna. Ia pun berjalan mendekati meja Hyuri.
“Maaf, apa boleh saya bergabung?” Luna
menyapa dengan sopan saat sampai di meja Hyuri.
“Eh! Luna!” Hyuri tersenyum lebar.
“Duduk aja.”
Luna pun duduk di samping kanan
Hyuri. Berhadapan dengan Taemin yang duduk di seberang meja. Ia tersenyum manis
pada Taemin yang menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Tumben sendirian?” Myungsoo yang
duduk di samping Taemin menyapa Luna.
“Hari ini saya terlalu banyak
menyendiri. Dan, sepertinya teman-teman yang belakangan akrab dengan saya tidak
merasa khawatir. Jadi, beginilah. Terima kasih sudah diizinkan bergabung.” Luna
menundukkan kepala.
Taemin memperhatikan Luna dalam
diam. Walau ia berusaha rileks, ia yakin Luna telah menyadari rasa was-was yang
berusaha ia sembunyikan.
“Soal surat ancaman itu, benar ya?” Tanya
Hyuri tanpa basa-basi.
Kedua mata Taemin melebar ketika
mendengarnya. Jantungnya pun seolah copot dari tempatnya.
“Bukannya saya sudah pernah
membahasnya, ya? Atau Hami pernah cerita?” Luna balik bertanya.
“Masa sih? Sepertinya belum. Itu,
bagaimana?” Hyuri penasaran. “Kalian sudah menemukan pelakunya? Wah, pasti
sangat sulit ya. Sampai harus memeriksa CCTV.”
“Iya. Sebenarnya saya tidak terlalu
terganggu, tapi Ha Sungwoon merasa hal itu harus diusut hingga tuntas. Saya
sudah melarangnya. Tapi, tidak bisa dan sampai di sini.”
“Tentu saja harus diusut hingga
tuntas! Surat ancaman itu masalah yang serius. Korban bisa jadi trauma, kan?
Tidak baik untuk kesehatan mental.” Hyuri mendukung tindakan Sungwoon. “Tapi,
syukur ya Luna baik-baik saja. Kalau aku, pasti sudah takut untuk ke sekolah.”
“Sebenarnya saya pun begitu. Tapi,
saya merasa beruntung punya teman-teman yang sangat baik yang selalu siap
membantu saya.” Luna tersenyum manis.
Taemin menelan sisa makanan dalam
mulutnya dengan susah payah. Suara ramah itu, senyuman itu, semua tingkah Luna
bak racun yang melumpuhkannya secara perlahan. Ketika ia sedang memperhatikan
Luna dengan seksama, gadis itu tiba-tiba menatapnya. Membuat detak jantungnya
berhenti selama beberapa detik. Ia pun mengembangkan senyum. Berusaha sealami
mungkin. Ia yakin jika yang terpampang di wajahnya kini adalah senyum tak tulus
yang jelas dipaksakan.
Luna menyadari perubahan sikap
Taemin. Senyum kaku itu, tapi ia memilih diam daripada menegur. Ia pun membalas
senyum terpaksa di wajah Taemin dengan sebuah senyuman tulus.
***
Hari dengan jumlah jam yang sama di
sekolah, namun terasa begitu lama bagi Luna. Setelah jam istirahat selesai, ia
sempat ingin pergi ke ruang UKS saja. Membolos dengan alasan kurang enak badan.
Tapi, tindakannya itu akan mengundang perhatian. Walau tidak bisa
berkonsentrasi penuh saat mengikuti pelajaran, ia tetap duduk di bangkunya.
Berusaha fokus pada penjelasan guru
pengajar, namun sia-sia. Jantungnya terus berdetub dengan ritme tak karuan. Ia
gusar. Tangannya yang memegang pulpen membuat coretan-coretan abstrak di atas
lembar kosong pada buku di hadapannya. Luna berusaha keras mengendalikan
dirinya sendiri yang terlalu antusias. Bukan! Lebih tepatnya terlalu cemas.
Luna melirik Sungwoon. Pemuda itu
fokus mendengar penjelasan guru. Bagaimana
ya? Apa dia berhasil? Kalau tidak bagaimana? Membuat orang mengaku tidak lah
mudah. Bagaimana kalau gagal?
Tangan Luna kembali bergerak-gerak
dengan kasar membuat coretan di bukunya setelah ia mengalihkan pandangan dari
Sungwoon. Lalu, nanti bagaimana? Semua
sudah, kan? Iya, sudah. Apa mereka orang-orang yang tepat? Tepat! Pasti tepat!
Aku tidak salah dalam memilih! Aku yakin itu. Tapi, bagaimana dengan tempatnya?
Apa Mas Dinar menyiapkannya dengan baik? Lalu, kirim sekarang ya? Pesannya.
Bagaimana kalau tidak dibaca? Iya, kirim sekarang!
Luna meletakkan pulpen. Kedua
tangannya bergerak ke bawah meja. Ia berganti sibuk dengan ponselnya. Mengetik
sambil sesekali melirik ke depan demi memeriksa perhatian guru. Jika ketahuan,
ponselnya bisa di sita. Karena itu, ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Ia
kembali menaruh perhatian pada ponselnya. Memeriksa kalimat yang ia ketik.
Setelah yakin kalimat itu benar, ia pun mengirim pesan itu.
Luna menghela napas setelah pesan
terkirim. Ia menyimpan ponselnya. Kedua tangannya ia tautkan dan ia letakkan di
atas meja. Tatapannya menatap lurus ke depan kelas. Seringaian samar terkembang
di wajah Luna yang mendadak berubah tenang.
Selesai. Sekarang, aku serahkan pada-Mu. Tolong bekerja
samalah denganku. Tolong... Luna mengucap doa
dalam hati.
***
Bel tanda jam pelajaran terakhir
usai berdering, Luna langsung merapikan barang-barangnya. Ia bangkit dari
duduknya, dengan semangat menyangklet tas punggungnya. Jisung, Woojin, dan
Seongwoo kembali dibuat heran ketika melihat tingkah Luna. Biasanya gadis itu
akan keluar kelas paling akhir, tapi hari ini ia jadi murid pertama yang
bangkit dari duduknya.
“Kamu buru-buru ya?” Suara Jisung
berhasil menahan Luna yang sudah hendak meninggalkan bangkunya.
“Iya. Oppa-ku yang kedua ada di sini. Jadi, aku mau lekas pulang.” Luna
tersenyum lebar.
“Wah, yang idol itu ya? Ada di tempatmu?” Jisung berseri-seri.
“Tentu saja! Mau di mana lagi?”
“Tapi, kita kan ada latihan?”
“Aku izin untuk hari ini saja.”
“Bagaimana dengan Jihoon?”
“Ada banyak hal yang bisa ia lakukan
tanpa aku. Maksudku, soal latihan. Jadi, jangan terlalu khawatir.”
“Kalau dia nanyain kamu gimana?”
“Bilang aja oppa-ku menjemputku dan aku pergi bersamanya.”
“Gitu ya? Baiklah.” Jisung
mengangguk setuju.
Sungwoon bangkit dari duduknya,
menyangklet tas punggung, dan berjalan keluar kelas tanpa berkata apa-apa pada
teman satu gengnya. Luna menatap punggung Sungwoon dengan ekspresi khawatir.
Seungwoo menyadari perubahan ekspresi
Luna. Ia pun bertanya, “Kalian baik-baik saja? Saat istirahat tadi, kau
tiba-tiba menyeretnya. Setelah kembali, Sungwoon lebih banyak diam. Semuanya
baik-baik aja, kan?”
“Aku sedikit merepotkannya. Aku rasa
dia terbebani. Aku sangat menyesal, tapi hanya dia yang bisa melakukannya.”
“Wah, tentang apa itu?” Jisung
penasaran.
“Rekaman CCTV.”
“Oh.” Jisung mengangguk dan diam.
“Kita pergi sekarang?” Woojin sudah
berdiri di samping kanan Luna.
“Eh? Kalian mau pergi bersama?” Jisung
menuding Woojin, lalu Luna.
“Oppa-ku
ingin bertemu denganku di suatu tempat. Woojin yang tahu tempat itu. Jadi, aku
memintanya mengantarku.” Luna menjawab.
“Kamu aneh banget hari ini.” Seongwoo
langsung mengutarakan kecurigaannya.
“Karena oppa-ku datang secara tiba-tiba. Semua jadi sedikit kacau.”
Jisung bergumam. “Semangat ya.
Sepertinya mengurus oppa-mu itu
merepotkan sekali.”
“Gomawo.
Sangat. Dia pembuat onar. Sudah ya, aku pergi!” Luna tersenyum lebar lalu pergi
bersama Woojin.
“Kamu nyadar nggak sih kalau
tingkahnya aneh hari ini?” Seongwoo bertanya pada Jisung.
“Iya. Biasanya dia tenang dan pendiam.
Tapi, hari ini sepertinya dia gusar. Lalu, kenapa dia pergi bersama Woojin?” Ponsel
Jisung bergetar. Ia pun segera memeriksanya. Sebuah pesan dari Jaehwan. Ia pun
membuka pesan itu.
“Wah! Jaehwan juga izin tidak datang
ke pertemuan klub hari ini. Apa ini hanya kebetulan?” Jisung mengangkat kepala
dan menatap Seongwoo.
Seongwoo mengangkat kedua bahunya,
tanda tidak tahu.
***
Seongwoo pergi menyusul Daerin ke
kelasnya. Tapi, gadis itu sudah tidak ada di sana. Seongwoo heran, tak biasanya
Daerin keluar kelas di awal. Setiap ia menjemput, Daerin selalu masih berada di
dalam kelas. Walau bukan menjadi murid terakhir yang meninggalkan kelas, Daerin
tak pernah meninggalkan kelas di awal sepanjang ia menjemputnya.
Karena tak menemukan Daerin,
Seongwoo pun mengubah tujuannya menuju basecamp
Klub Fotografi. Selama berjalan menuju basecamp,
ia berpikir tentang Daerin yang sudah tidak ada di kelasnya. Lalu, ia teringat
pada sikap aneh Luna seharian ini. Mengingat fakta tentang Daerin dan Luna yang
seorang teman rahasia, Seongwoo pun menghubungkan keganjilan yang dilakukan dua
gadis itu pada hari ini.
Luna hampir selalu menjadi murid
yang paling akhir meninggalkan kelas. Daerin hampir tidak pernah meninggalkan
kelas di awal. Tapi, hari ini kedua gadis itu terkesan sama-sama bergegas
meninggalkan kelas. Seongwoo menelengkan kepala saat tiba pada pemikiran itu.
Di tengah perjalanan, ia bertemu
dengan Jaehwan yang berjalan bersama Rania. Keduanya berjalan cepat, sepertinya
sedang terburu-buru. Tapi, yang menjadi perhatian Seongwoo adalah ekspresi
Jaehwan dan Rania. Keduanya sama-sama terlihat serius, atau mungkin panik.
“Ada apa sih sebenarnya?” Seongwoo bertanya
pada dirinya sendiri. “Ini hanya kebetulan atau memang mereka sedang
merencanakan sesuatu?” Ia pun membuka pintu basecamp
dan menemukan Minhyun sedang duduk di sofa.
“Eh, kebetulan ada kamu.” Sapa
Seongwoo membuat Minhyun yang sedang fokus dengan kamera di tangannya
mengangkat kepala dan menatapnya.
“Kenapa? Kau mencariku?” Tanya
Minhyun yang sudah menaruh perhatian pada Seongwoo yang berdiri di dekat pintu
yang sudah di tutup.
“Boleh tanya sesuatu nggak?” Seongwoo
duduk di dekat Minhyun.
“Apa?”
“Anu… itu, apa hari ini Rania
bersikap aneh?”
Kening Minhyun berkerut mendengar
pertanyaan Seongwoo.
“Bukan apa-apa, mungkin saja kau
tahu Kalian kan sekelas. Atau, kamu tidak sengaja memperhatikan. Kudengar
belakangan kau mulai akrab dengannya.”
“Apa terjadi sesuatu?”
“Apa? Oh! Nggak! Belum sih! Eh? Aku
juga nggak tahu.” Seongwoo nyengir.
“Luna ya?”
Seongwoo tercenung sejenak, lalu ia
pun mengangguk. “Daerin juga. Mungkin saja Rania juga.”
“Daerin?”
Seongwoo mengangguk. “Mereka
berhubungan. Sepertinya begitu.” Ia tersenyum canggung.
Minhyun diam, mengingat kejadian di
kelas seharian ini. Ia memang jadi lebih memperhatikan Rania belakangan ini.
Karena misi duet itu, ia sengaja membuat dirinya akrab dengan Rania agar tidak
canggung dan bisa tampil alami saat pertunjukan nanti. Karena alasan itu
terkadang, secara diam-diam ia jadi memperhatikan Rania. Tapi, menurut
pengamatannya, seharian ini Rania bersikap wajar.
“Dia bersikap wajar saja.” Suara
Minhyun terdengar ragu. “Iya. Sikapnya wajar saja.” Ia mengulang dengan nada
suara lebih meyakinkan.
“Barusan, waktu jalan ke sini, aku
liat dia. Jalan sama Jaehwan. Mereka kayaknya buru-buru, dan ekspresi mereka,
sepertinya panik?” Seongwoo sangsi dengan pernyataannya sendiri.
“Mereka memang janjian pulang
bareng. Saat pergantian jam pelajaran Jaehwan ngajak Rania pulang bareng. Rania
menyanggupi, tapi sepertinya mereka jadi pulang bareng ya.”
“Gitu ya?” Seongwoo menyerah.
“Kamu khawatir pada Daerin? Tapi,
dia tidak ada hubungannya dengan Rania dan Luna, kan?”
Seongwoo mengangkat wajah, tercenung
menatap Minhyun. Benar yang dikatakan Minhyun, dalam pandangan awam, Daerin
memang tidak memiliki hubungan dengan Luna dan Rania. Jadi, walau ia akan
mengatakan bahwa ketiga gadis itu sama-sama berusaha segera keluar dari
sekolah, Minhyun pun tidak akan percaya. Lagi pula, Minhyun tidak akan
repot-repot mencari tahu tentang Luna dan Rania. Rekan satu klubnya itu sudah
tahunan mendiamkan Luna, dan Rania adalah teman Luna. Jadi, tidak ada alasan
bagi Minhyun untuk merasa khawatir walau entah karena alasan apa pemuda itu
tiba-tiba dekat dengan Rania.
Seongwoo menghela napas pelan.
Menyerah pada keadaan. Di dalam hati, ia memanjatkan doa. Berharap semua akan
baik-baik saja.
***
Kim Jiyoon, Jang Ki Bang, dan Bang
Yoon Ho sampai di lapangan basket yang sudah tidak digunakan lagi itu.
Tempatnya rusuh dan tak terawat. Banyak barang rongsokan menumpuk di sana-sini.
Dulunya lapangan basket dan gedung serbaguna yang berdiri di sebelahnya itu
adalah tempat tongkrongan sebagian besar remaja SMA termasuk murid SMA Hak Kun.
Karena letaknya yang tak jauh dari SMA Hak Kun. 25 menit berjalan kaki dengan
langkah cepat sudah bisa mencapai tempat itu. Tapi, sejak tanah tempat
berdirinya gedung dan lapangan basket outdoor
itu jadi sengketa, tempat itu ditinggalkan. Mereka yang biasa berkumpul di
sana kesal karena adanya preman-preman yang mengusir dan tak jarang menarget
mereka. Akhirnya tempat itu benar-benar di tinggalkan.
Takut-takut, Jang Ki Bang dan Bang
Yoon Ho mengikuti Kim Ji Yoon berjalan menuju bagian tengah lapangan basket.
“Ya! Apa benar ini tempatnya?” Tanya
Bang Yoon Ho pada Kim Ji Yoon.
“Benar! Dalam pesan itu ditulis, di
sini lah tempatnya.” Ji Yoon membenarkan.
“Apa sih yang begitu menarik
perhatianmu hingga kamu menuruti isi pesan itu? Bagaimana kalau ini jebakan?” Jang
Ki Bang mengutarakan isi kepalanya.
“Untuk apa menjebak kita?” Ji Yoon
balik bertanya.
“Sebenarnya, apa isi pesan itu?
Sampai-sampai kamu bersemangat datang ke sini.” Yoon Ho penasaran.
“Mezzaluna mengajakkku bertemu di
sini.” Ji Yoon menjawab dengan jujur. Saat jam pelajaran terakhir, ia merasakan
ponsel yang ia simpan di sakunya bergetar. Kedua matanya terbelalak ketika
melihat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Luna. Gadis yang
selama ini mengabaikannya itu, tiba-tiba mengiriminya pesan.
Maaf sekali karena mengirim pesan ini secara tiba-tiba. Tapi, ini
sangat mendesak. Bisa kah kita bertemu? Saat pulang sekolah nanti. Di gedung
sengketa dekat sekolah, saya akan menunggu Seonbae
di sana. Ini sangat mendesak. Saya harap Seonbae
tidak mengabaikan pesan saya.
“Bodoh!” Yoon Ho memaki Ji Yoon. “Jika
itu dari Luna, kenapa kau tidak mengabaikannya saja?! Malah membawa kami ke
sini! Sebaiknya kita pergi saja! Oh astaga!” Yoon Ho terkejut saat berbalik.
Luna sudah berdiri di jalan masuk yang sebelumnya ia lewati untuk sampai ke
lapangan basket outdoor tempat
dirinya sekarang berada bersama Ji Yoon dan Ki Bang.
Berada di tempat yang berantakan dan
terabaikan, lalu munculnya seorang gadis yang secara tiba-tiba seperti itu
membuat suasana seolah dalam film horor. Luna yang rambut panjangnya—dengan
ujung rambut ikal—terurai, berdiri dalam posisi santai namun misterius karena
seutas senyum yang terkembang di wajahnya. Mengamatinya, Yoon He bergidik ngeri
hingga mundur selangkah.
“Benar kan itu Luna.” Berbanding
terbalik dengan Yoon He, Ji Yoon malah tersenyum puas.
“Kamu ini bodoh ya? Justru karena
itu Luna, seharusnya kita menghindarinya! Bodoh!” Yoon He kembali memaki Ji
Yoon.
“Halo!” Luna menyapa dengan
menggunakan pelafalan dalam Bahasa Indonesia. “Terima kasih sudah bersedia
datang.” Ia melanjutkan dengan menggunakan Bahasa Korea kemudian membungkuk
sopan. Dengan tangan yang bertautan di depan tubuhnya, sikapnya sangat sopan.
Sikap Luna membuat Yoon He semakin
muak. Hingga ia berteriak, “Maumu apa?! Membawa kami ke tempat seperti ini?!”
“Yoon He-ya, kamu bisa tenang nggak sih?
Luna, maafkan temanku ya.” Ji Yoon meminta maaf.
Luna memberikan tatapan dingin, lalu
menyeringai.
“Kenapa kau ingin bertemu dengan
kami di sini?” Ji Yoon bertanya.
“Kami? Jadi, bukan hanya kau?” Yoon
He menoleh, menatap Ji Yoon yang menjulang tinggi di samping kanannya. Yoon He
semakin tidak bisa menutupi kepanikannya.
“Tenang dulu!” Ji Yoon menenangkan
Yoon He. “Aku yang sengja mengajak kalian.” Ia kembali menatap Luna usai
menoleh pada Yoon He. “Mezzaluna, katakan! Untuk apa kau mengatur pertemuan
ini?”
Masih dengan wajah datar yang
dihiasi sedikit senyum—lebih tepatnya seringaian, Luna tetap tenang di
tempatnya. “Penyelesaian.” Jawabnya singkat.
“Penyelesaian untuk apa? Kita kan
tidak ada masalah.” Ji Yoon mengangkat kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri,
lalu tersenyum mencibir.
“Begitu ya? Kalau be—” belum selesai
Luna bicara, ia merasakan sesuatu menabrak lengan kanannya. Matanya berkedip
ketika melihat Daerin melangkah terburu-buru mendekati Ji Yoon, lalu tanpa ia
duga, secara tiba-tiba menghadiahi Ji Yoon dengan satu pukulan.
Tinju dari tangan kanan Daerin
mendarat tepat di hidung Ji Yoon. Ji Yoon pun terhuyung ke belakang. Yoon He
dan Ki Bang dibuat ternganga oleh aksi Daerin.
“Wah!” Lirih terdengar suara decak
kagum seorang gadis dari arah belakang Luna. Rania sudah berada di sana. Jarak
satu langkah di belakang Luna.
Jaehwan yang berdiri di samping
kanan Rania pun dibuat ternganga oleh tindakan Daerin. Sedang Sungwoon yang
berdiri di samping kiri Rania tersenyum tipis. Woojin yang berdiri di samping
kiri Sungwoon pun menunjukkan ekspresi yang kurang lebih sama dengan Sungwoon.
“Ya! Kenapa kau memukulku!” Ji Yoon
yang berhasil menguasai keseimbangan dirinya berteriak pada Daerin. Tangan
kanannya memegangi hidungnya. Ketika ia turunkan, ia lega tak melihat darah menempel
di telapak tangan kanannya. Syukurlah hidungnya tak patah.
Yoon He dan Ki Bang kompak mengambil
satu langkah menjauh dari Daerin yang terlihat menggoyang-goyangkan tangan
kanan yang usai ia gunakan untuk meninju Ji Yoon.
Sial! Ternyata sakit!
Daerin mengumpat dalam hati. Ia masih menggerak-gerakan tangan kanannya. Terasa
sakit di pangkal jari-jari tangan kanannya. Ternyata wajah Ji Yoon cukup keras,
dan ia tak pernah memperhitungkannya. Ia hanya ingin meninju pemuda itu dan ia
tak menolak keinginannya.
“Ini penganiayaan! Aku bisa
melaporkanmu!” Ji Yoon mengancam Daerin.
Setelah sakit di tangannya mereda,
Daerin menegakkan posisinya. “Begitu ya? Bagus lah! Aku pun akan
memperkarakanmu karena kasus penganiayaan pada Kang Daniel dan Park Jihoon!” Ia
tak gentar.
“Apa?” Pekik Yoon He.
“Eh? Kapan?” Ki Bang Justru
penasaran.
“Ya! Kau main pukul?” Yoon He memaki
Ji Yoon.
“Sepertinya bukan hanya itu.” Luna
yang sebelumnya berada pada jarak lima langkah dari Ji Yoon berjalan maju. Ia
berhenti di samping kanan Daerin. “Kalau tindakan rasis pada Rania tidak
terlalu berperngaruh ya?” Ia menoleh demi menatap Daerin, seolah meminta
persetujuan. “Mungkin bisa dengan surat ancaman itu. Tindakan yang membahayakan
orang lain. Aku bisa menuntutnya dengan alasan itu, kan?”
“Tentu saja!” Daerin membenarkan. “Asal
ada bukti dan saksi, itu bisa dilaporkan.”
“Berkomentar rasis juga termasuk
tindakan merugikan orang lain, kan? Hmm, sepertinya itu bisa dijadikan
tambahan. Korban sudah ada di sini. Aku dan Rania. Lalu, saksi pun sudah ada di
sini. Kim Jaehwan, Park Woojin, dan Ha Sungwoon. Jadi, sudah cukup ya? Semua
yang terlibat bisa dijerat secara hukum, kan?”
“Eh! Aku tidak ikut-ikut lho!” Ki
Bang spontan membantah.
“Aku juga!” Yoon He ikut-ikutan
membantah.
“Jang Ki Bang Seonbaenim sepertinya memang murni tidak terlibat,” Luna menatap
Jang Ki Bang sejenak, lalu ia beralih pada Bang Yoon He dan berkata, “Tapi, apa
iya Bang Yoon He Seonbaenim tidak
terlibat? Hmm… kita bisa melihat dari bukti-bukti yang sudah terkumpul.”
“Ini jebakan!” Pekik Yoon He makin
panik.
“Aku tidak melakukan penganiyaan pada
Kang Daniel dan Park Jihoon!” Kim Ji Yoon setengah berteriak ketika membantah
tuduhan Luna. Napasnya terengah-engah. Ia menatap Luna yang tetap terlihat
tenang dengan tatapan penuh kebencian.
“Tidak ya? Tapi, saya menangkap
pelakunya lho!”
“Pelaku? Pelaku apa?”
“Tentu saja pelaku pengeroyokan Kang
Daniel dan Park Jihoon. Dan, saya sudah menyimpannya.”
Mendengar kata menyimpannya sembari memperhatikan bagaimana Luna bersikap, Ji Yoon
bergidik ngeri. Ia merasa berhadapan dengan psikopat yang siap mengeksekusinya.
“Sudah kukatakan aku tidak melakukan penganiayaan pada Kang Daniel dan Park
Jihoon!” Ia terus membantah.
“Tap—” ketika Luna hendak kembali
berbicara, Yoon He tiba-tiba berteriak.
“Kalau kamu memang melakukannya,
katakan saja! Kita sudah terjebak!” Yoon He terlihat frustasi. “Baiklah! Aku
mengaku! Foto-foto di cafe itu adalah
ulahku! Aku tidak sengaja berada di sana saat kau tiba-tiba muncul menjadi
pelayan cafe. Pasti seru jika aku membuat
keributan yang akan memojokkanmu. Kim Ji Yoon setuju! Dia bilang, Itu akan
menjadi kejutan!
“Lalu, tentang surat ancaman. Aku
akui aku juga terlibat. Aku yang mencari informasi tentang kelasmu yang akan
digunakan untuk kegiatan di hari Sabtu. Dan, kebetulan Lee Taeyong ada dalam
daftar siswa yang akan ikut kegiatan itu. Karena kami pernah memergoki ia
hendak membolos, kami menggunakannya untuk mengancamnya agar dia mau menaruh
surat-surat iseng itu di lokermu.
“Itu semua hanya untuk main-main.
Tapi, tentang pengeroyokan Kang Daniel dan Park Jihoon, aku sama sekali tidak
tahu. Aku sudah mengakui semuanya. Jadi, tolong jangan bawa masalah ini ke
polisi. Jebal…” Yoon He memohon.
“Untuk main-main?” Daerin mendelik
ketika menatap Yoon He. “Hal membahayakan seperti itu kau sebut main-main?!” Sama
seperti ketika berbicara kepada Ji Yoon, ia tak lagi menggunakan bahasa
kesopanan junior kepada senior.
“Itu bisa berdampak buruk pada
psikologi Luna! Itu termasuk kejahatan psikis yang tidak bisa dimaafkan! Aku
tidak bisa menganggap ini hanya sebuah tindakan iseng yang bisa dimaafkan
begitu saja!” Daerin sudah di puncak emosinya.
“Aku tidak terlibat! Sungguh!” Jang
Ki Bang yang ketakutan terus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
“Mengaku dengan mudah. Jadi kurang
seru ya.” Luna bergumam, kemudian menyeringai.
Ji Yoon yang memperhatikan Luna
kembali dibuat bergidik. “Sudah jelas, kan? Yang kami lakukan hanya semua yang
disebutkan Yoon He. Kami tidak tahu menahu tentang penganiayaan yang dialami
Kang Daniel dan Park Jihoon. Aku akui aku melontarkan komentar rasis pada
Rania.
“Aku akui aku lah pemilik ide surat
ancaman setelah postingan tentang Lee Daehwi dan Han Joohee viral. Aku akui,
aku lah yang mendukung Bang Yoon He untuk mengunggah fotomu dan Daniel. Tapi,
aku sama sekali tidak tahu tentang pengeroyokan Kang Daniel dan Park Jihoon.
Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu.”
Daerin menghela napas usai mendengar
pengakuan Kim Ji Yoon. Sedang Luna, masih menatap pemuda itu dengan datar.
“Tapi, tanpa bukti kuat kalian tidak
akan bisa berbuat apa-apa. Polisi tidak akan mudah percaya pada laporan anak
SMA seperti kalian.” Ji Yoon masih berusaha bersikap sombong di depan Luna.
“Bukti ya? Masih ingat saat meneror
Rania? Saya ada videonya. Park Woojin yang merekamnya. Iya, kan Park Woojin?” Luna
bertanya tanpa menoleh.
“Iya. Saya yang merekamnya.” Woojin
membenarkan.
“Saya masih menyimpannya. Lalu,
tentang foto di cafe. Setelah
memeriksa CCTV di cafe, saya
menemukan ada Bang Yoon He Seonbaenim
di sana. Bahkan, ketika beraksi untuk mengambil foto kami secara diam-diam.
Rania adalah saksi ketika saya dan Park Jihoon memeriksa CCTV di cafe. Oh, saya hampir lupa. Rania adalah
korban dari komentar rasis yang Kim Ji Yoon Seonbaenim
lalukan. Jadi, lengkap sudah ya.
“Oh belum! Untuk kasus surat
ancaman. Selama ini Ha Sungwoon bekerja keras untuk menyelidikinya. Saya
beruntung karena mendapatkan video pengakuan Lee Taeyong. Tapi, demi
memastikannya, Ha Sungwoon hari ini sengaja menemui Lee Taeyong. Hasilnya, Ha
Sungwoon memperoleh rekaman suara Lee Taeyong yang mengakui perbuatannya.
“Lee Taeyong mengaku dirinya lah
yang menaruh surat-surat ancaman itu di loker Mezzaluna. Rekaman suara itu
memperkuat video rekaman pengakuan Lee Taeyong yang saya dapatkan karena sebuah
keberuntungan. Lee Taeyong juga ada dalam rekaman CCTV yang disimpan Ha
Sungwoon. Lalu, untuk kasus pengeroyokan Kang Dan—”
“Sudah kukatakan aku tak tahu
tentang kasus itu!” Kim Ji Yoon memotong penjelasan Luna.
Luna tetap tenang. Ia masih berdiri
seperti sebelumnya. “Apa perlu kami putarkan semua bukti?” Ia melanjutkan
penjelasannya. “Kim Jaehwan adalah saksi ketika Kim Ji Yoon Seonbaenim berkata rasis kepada Rania.
Posisi saya dan Rania adalah korban. Lengkap sudah ya? Kalau begini sudah bisa
diajukan laporannya, kan Kang Daerin?”
“Bisa. Drama ini bisa dibawa ke
ranah hukum.” Daerin tanpa keraguan.
“Ji Yoon-aa! Kita tidak bisa
mengelak! Kau masih mau membusungkan dada di depan mereka?” Yoon He makin
panik. “Sudah. Akui saja dan minta maaf.”
“Sebenarnya, saya bisa saja
membongkar semua ini di sekolah. Tapi, saya masih memiliki niat untuk
menyelesaikannya secara baik-baik dengan seonbaenim
sekalian. Murid lain tidak perlu tahu. Menurut saya, agar kebencian kepada Kim
Ji Yoon Seonbae dan gengnya tidak
semakin bertambah.
“Tapi, kalau tidak mau, sedikit saja
rekaman yang diunggah ke komunitas sekolah, sepertinya cukup untuk membuat
kehebohan. Yang mana ya? Oh! Kasus surat ancaman saja? Tim Tata Tertib Sekolah
sudah memberi perhatian, kan?
“Jadi, bisa dimulai dari sana. Lalu,
dilanjutkan dengan pengakuan ketua gerombolan yang menganiaya Kang Daniel dan
Park Jihoon. Semalam saya mendengar pengakuannya yang seperti ini, Saya menyerang Kang Daniel atas perintah—”
“Sudah! Cukup! Maumu apa?” Kim Ji
Yoon akhirnya menyerah.
Seringaian samar terkembang di wajah
Luna. “Sekedar informasi, Ayah Kang Daerin adalah seorang hakim. Kalau mau
melaporkan tindakan Daerin, harus dipikir ulang ya. Jangan sampai jadi senjata
makan tuan atau bumerang buat diri
sendiri. Semua ini, yang kita bicarakan pada hari ini sudah direkam. Pengakuan
Bang Yoon He Seonbaenim dan Kim Ji
Yoon Seonbaenim sudah tersimpan. Sekarang,
keputusan ada di tangan seonbaenim
sekalian. Mau mengikuti penyelesaian dengan cara saya. Atau, masih kukuh pada
pendirian seonbaenim.”
Suasana berubah hening sejenak. Yang
terdengar hanya hembusan angin di sekitar mereka.
Kim Ji Yoon menurunkan tangannya
yang berkacak pinggang. Ia menghela napas dengan kasar. “Aku menyerah padamu.
Sekarang, terserah bagaimana kamu.”
Luna tersenyum lebar. “Terima kasih
atas kerjasamanya.” Ia membungkuk hinggal 90° di depan Kim Ji Yoon.
***
0 comments