My 4D's Seonbae - Episode #25 “Biarkan Tuhan Yang Menulis Kisah Kita.”
05:19
Episode #25 “Biarkan Tuhan Yang Menulis Kisah Kita.”
Woojin
dan Minhyun masih berada di peternakan milik ayah Jaehwan setelah Luna,
Rania, Jinyoung, dan Lucy pergi. Luna dan Rania pamit pulang lebih dulu, karena
harus ikut pertemuan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun yang diadakan bersamaan
dengan pertemuan rutin Klub Anak Rantau. Demi membuat kesempatan untuk Jinyoung
pulang bersama Lucy, Woojin sengaja berpura-pura sakit perut. Dan, Minhyun
berjanji akan mengantar Woojin ke dokter. Woojin merasa puas karena hari ini
rencananya berjalan lancar berkat bantuan Minhyun dan Jaehwan.
“Gomawo.
Tanpa kalian, rencanaku nggak akan berjalan lancar.” Woojin tersenyum puas. “Terima
kasih sekali padamu, Minhyun. Demi aku, kamu rela ngasih ikan ke Luna. Padahal
kamu sama Luna kan lagi perang dingin.”
“Aku
malah merasa lega itu Luna. Dia pasti paham situasi ini kan?” Minhyun tersenyum
kikuk. Suara Rania dan Luna yang sedang mengobrol diam-diam di dapur, kembali
mengiang di telinganya. Hal itu membuatnya tak nyaman.
“Aku
sengaja milih Rania biar Minhyun milih Luna. Hehehe. Aku ngarepnya perang
dingin itu usai.” Jaehwan menatap Minhyun dengan canggung.
“Kamu
nggak pengen gitu baikan sama Luna?” Woojin memberi dukungan pada harapan
Jaehwan dengan bertanya langsung pada Minhyun.
Minhyun
bergeming. Jaehwan dan Woojin menatapnya dalam diam. Menunggu respon darinya.
“Kira-kira
Persatuan Murid Asing akan membuat pertunjukan apa ya?” Jaehwan segera
mengalihkan topik. “Setiap tahun mereka memberi kejutan dengan penampilan unik.
Tahun ini Luna bakal jadi pemeran utama wanita dalam pertunjukkan kami lho! Dia
kalah voting, jadi, mau nggak mau dia jadi orang depan layar. Bukan orang
belakang layar.”
“Kalian
akan menampilkan pertunjukan apa?” Woojin memberi respon.
“Rahasia
dong!”
“Pasti
pemeran utamanya prianya Park Jihoon.”
“Iya
lah. Kan dia ikon. Padahal aku mencalonkan diri. Tapi, semua memilih Jihoon.”
“Kamu?
Mencalonkan diri?” Woojin tersenyum geli.
“Tapi,
aku dapat peran penting juga kok!”
“Jadi,
apa?”
“Ibu
peri.”
Woojin
tergelak mendengar pernyataan Jaehwan. Sedang Minhyun tersenyum dan
menggelengkan kepala.
“Udah
ah! Aku mau pulang!” Woojin berdiri dan menyangklet tasnya.
“Aku
antar.” Minhyun turut bangkit dari duduknya.
“Oke.”
Woojin setuju.
“Woojin,
update ke aku ya, kalau Jinyoung
cerita tentang Lucy.” Jaehwan memberi kode.
“Males!”
Woojin melengos dan pergi bersama Minhyun.
***
Tidak
ada obrolan sama sekali sejak Jinyoung dan Lucy meninggalkan peternakan ikan
milik ayah Jaehwan. Mereka berjalan berdampingan, masuk ke dalam bus yang sama,
dan duduk berdampingan. Namun, tidak ada obrolan sama sekali. Hingga bus
berjalan cukup lama, hanya ada keheningan di antara Jinyoung dan Lucy.
Ponsel
Jinyoung berdenting. Perhatiannya pun teralih. Ia membaca pesan yang dikirimkan
Woojin. Jinyoung mengerjapkan kedua matanya usai membaca pesan dari Woojin. Ia
kemudian melirik Lucy yang juga terfokus pada ponselnya. Ia melihat ponsel
Lucy, gadis itu sedang membaca sebuah novel online.
“Eung,
Lucy.” Jinyoung bersuara untuk menarik perhatian Lucy.
Lucy
pun mengangkat kepala dan menoleh ke arah kanan. “Iya, Seonbae?” Ia merespon
panggilan Jinyoung yang setengah menggumam.
“Gomawo.
Karena, telah mau datang untuk reuni hari ini.” Jinyoung mengucapkannya dengan
cepat. Seolah ia sedang mengikuti tes lisan dan mengucapkan kalimat yang baru
dihapalkannya. Nada suaranya pun datar.
“Saya
merasa senang karena di undang dalam reuni itu. Tolong sampaikan terima kasih saya
pada Kim Jaehwan Seonbae.” Lucy pun kurang lebih sama ketika membalas ucapan
terima kasih Jinyoung.
Jinyoung
menganggukkan kepala. Sebagai tanda bahwa ia sanggup untuk menyampaikan ucapan
terima kasih Lucy untuk Jaehwan. Setelah itu, kembali hening. Dan, ponsel
Jinyoung kembali berdenting. Pesan dari Woojin datang lagi. Jinyoung pun
kembali meliirik Lucy.
“Soal
waktu itu,” Jinyoung kembali bersuara, “aku minta maaf. Kita semua jadi
terlibat masalah.”
“Saya
yang seharusnya minta maaf. Karena tiba-tiba pingsan saat Seonbae muncul. Saya
lah sumber kekacauan itu.”
Hening
selama beberapa detik. Pandangan Jinyoung tak terarah mengamati entah apa itu
yang ada di arah depan. Sedang Lucy, menundukkan kepala dan tangannya sibuk
mengelus-elus ponselnya.
“Tapi,
karena itu semua kita jadi saling mengenal. Lalu, bisa berteman.” Jinyoung
lagi-lagi memulai obrolan.
Lucy
menganggukkan kepala. Tanda setuju.
“Tapi,
aku penasaran akan satu hal. Boleh aku bertanya padamu?” Jinyoung menoleh dan
menatap Lucy yang tertunduk.
Lucy
bergeming. Namun, beberapa detik kemudian ia mengangguk.
Jinyoung
tersenyum samar. “Sebelumnya maaf. Hanya saja, aku nggak habis pikir. Gimana
kamu bisa berpikiran aku melukai Luna? Saat kamu melihat kami sebelum jam
pelajaran olah raga.” Akhirnya ia bisa bertanya langsung pada Lucy tentang
kecurigaan Luna yang benar adanya menjadikan salah paham antara Lucy dan
Jinyoung. Lucy menceritakan itu semua pada Hami dan Luna. Dan, Luna membaginya
pada Jinyoung.
Lucy
menggigit bibirnya. Ia meremas ponsel yang ia pegang dengan kedua tangan. “Itu…
karena… image dark yang melekat pada
Seonbae. Saya melihat lengan Luna Seonbae berdarah dan Jinyoung Seonbae
memegang cutter. Saya terlalu dangkal
dalam menyimpulkan. Ketika kembali bertemu dengan Seonbae, kondisi fisik saya
sedang lemah. Lalu, saya pingsan.” Dengan hati-hati, Lucy mulai memberi penjelasan.
“Tangan
Luna Seonbae yang berdarah dan cutter
di tangan Seonbae terus menganggu pikiran saya. Di tengah kondisi fisik yang
sedang lemah itu, dan bertemu Seonbae kembali. Saya panik. Lalu, saya pingsan.
Maaf.” Lucy menundukkan kepala dalam-dalam.
Jinyoung
yang sudah kembali menatap ke depan tersenyum getir. Ia lalu menghela napas. “Maafkan
aku. Aku tidak tahu kalau kamu begitu takutnya padaku. Maaf jika sekarang kamu
merasa nggak nyaman karena harus pulang berdua saja denganku. Aku akan
mengantarmu sampai pemberhentian terakhirmu saja.”
Lucy
menganggukkan kepala. Lalu, kembali hening.
“Seonbae
tahu tentang itu dari siapa?” Lucy kembali bersuara setelah diam selama
beberapa detik.
“Luna
menjelaskan padaku dan Woojin. Sebelum kita bertemu di café.”
“Pasti
Luna Seonbae tak ingin menyisakan kesalahpahaman.”
“Mm.”
Jinyoung mengangguk. “Luna bekerja sangat keras untuk itu.”
Selanjutnya
tak ada lagi obrolan antara Jinyoung dan Lucy. Ketika bus berhenti di halte
pemberhentian terakhir untuk Lucy, gadis itu berpamitan dan melarang Jinyoung
turun untuk mengantarnya. Ia meminta Jinyoung tetap di tempatnya dan
melanjutkan perjalanan. Jinyoung tak protes. Ia menuruti permintaan Lucy untuk
tetap duduk dan melanjutkan perjalanan.
***
Luna
dan Daniel selesai meminggirkan meja dan sofa di ruang tamu rooftop tempat Luna tinggal. Khawatir
akan menarik perhatian kalau berlatih di teras, mereka berdua akhirnya sepakat
untuk mulai berlatih dance di ruang
tamu rooftop yang menurut Daniel
cukup untuk mereka gunakan sebagai tempat latihan.
“Kenapa
niat banget mau bikin video dance?” Daniel
sedang memandu Luna untuk melakukan pemanasan.
“Mewujudkan
ide di kelapa?” Luna memberi jawaban yang mengambang.
Daniel
tersenyum. “Apa semua ide di kepalamu itu harus diwujudkan?”
“Iya.
Selagi bisa, kenapa nggak?”
Daniel
yang masih tersenyum menggelengkan kepala.
“Gerakannya
nggak susah kan?”
“Nggak.
Kamu kan munculnya setelah si cewek nyanyi, kan?”
“Iya.”
“Jadi,
kita langsung latihan untuk bagian itu saja ya.”
“Oke!”
Daniel
pun mulai mengajarkan gerakan dance
yang ia buat pada Luna. Dengan sabar dan telaten Daniel membimbing Luna. Ia
merasa senang karena Luna cepat tanggap ketika diajari menari. Walau awalnya
sering membuat kesalahan, selama dua jam berlatih, Luna mulai menguasi gerakan
dance yang diajarkan Daniel.
Lapar
usai berlatih dance, Luna pun memasak
mie instan produk Indonesia untuk Daniel. Luna senang melihat Daniel memakan
mie instan buatannya dengan lahap. Daniel memuji mie instan produk Indonesia
enak.
“Lain
kali, coba masak masakan Indonesia. Untukku.” Pinta Daniel yang baru selesai
dengan makanannya. “Masak di rumahku saja. Biar omma juga bisa merasakan
makanan orang Indonesia.”
“Berani
bayar berapa untuk chef asli Indonesia ini?” Luna bersedekap dan membanggakan
diri.
Daniel
meletakkan tangan kanan di dadanya, lalu berkata, “Kubayar dengan cinta,” sambil
membuat love sign dengan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Ia pun mengerlingkan mata kanannya pada
Luna.
“Cinta
nggak bisa dirupain uang tahu!” Luna pura-pura tak tergoda oleh rayuan gombal
Daniel. Tapi, wajahnya memerah.
“Kamu
kan udah punya banyak uang. Buat apa nyari uang terus? Kamu tuh butuh cinta. Jadi,
aku bawa cinta buat kamu.” Daniel terus melancarkan gombalannya.
“Aku
punya banyak cinta. Lalu, cinta seperti apa yang kamu bawa untukku?”
“Aku
bisa menjadi cinta seperti yang kamu mau.” Daniel menatap Luna yang hanya
berjarak 60 cm saja darinya dengan teduh.
Luna
terdiam dan membalas tatapan teduh Daniel. Detub jantungnya tiba-tiba meningkat.
Wajahnya pun memanas. “Kalau aku ingin kamu cuci peralatan makannya, kamu mau?”
Ia pun memberi jawaban.
Daniel
tersenyum lebar. “Oke!” Ia pun merapikan peralatan makan, lalu bangkit dari
duduknya, dan berjalan menuju dapur. Ia mulai bersiap mencuci peralatan makan.
Luna
yang terus memperhatikan menghela napas setelah Daniel menghilang dari
hadapannya. Untuk mengalihkan perhatian dan menetralisir detub jantungnya, ia
meraih ponselnya. Tapi, ia justeru menonton video dance yang dibuat Daniel setengah jam yang lalu. Tak menolaknya, ia
pun tetap menonton video yang dibuat khusus untuk membantunya berlatih gerakan dance saat Daniel tak bersamanya.
“Aaa!!!
Tolong aku!!! Aduh…” Daniel yang sedang mencuci peralatan makan tiba-tiba heboh
hingga menyita perhatian Luna yang sedang fokus menonton video dalam ponselnya.
Luna
menoleh, memperhatikan Daniel sambil memiringkan kepala. Pemuda itu
bergerak-gerak panik dan meracau seolah ada sesuatu sedang merayapi tubuhnya.
“Wae?” Luna bertanya dengan santai. Ekspresinya sama sekali tak berubah ketika melihat
kepanikan Daniel.
“Sepertinya
ngengat itu masuk ke dalam bajuku!” Daniel masih bergerak-gerak gusar. “Tolong
aku! Aku bisa mati! Aaa…” ia terus meracau.
Mendengar
kata ngengat, Luna pun bergegas bangkit dari duduknya dan menghampiri Daniel
yang masih bergerak gusar memutar-mutar tubuhnya. “Masuk ke mana?” Luna
berputar-putar mengikuti gerakan Daniel.
“Tadi
melayang di atas kepalaku, aku berusaha mengusirnya. Tapi, tiba-tiba hilang.
Bagaimana kalau dia masuk ke dalam bajuku? Aku bisa mati!”
“Jangan
mati di sini! Aku nggak mau jadi tersangka! Berhenti bergerak! Biar aku cari
ngengatnya!”
“Aku
takut dia menempel di tubuhku! Sungguh aku bisa mati!”
“Kubilang
jangan mati di sini! Diam! Kalau kamu gerak terus, gimana aku bisa nyari
ngengatnya?”
Keributan
terjadi di dapur. Daniel tak berhenti bergerak dan terus meracau karena
ketakutan. Sedang Luna berusaha menghentikan gerakan pemuda itu demi menemukan
ngengat yang di duga masuk ke dalam bajunya.
“Ya!
Kang Daniel! Tenanglah! Berhenti bergerak! Biar aku cari ngengatnya! Atau, buka
bajumu!” Luna berusaha menghentikan gerakan dan meredam kepanikan Daniel.
“Apa??
Buka baju??”
“Kamu
bilang ngengatnya masuk ke baju, kan? Jadi, buka aja biar dia keluar!”
“Bagaimana
bisa aku membuka baju di depanmu?”
“Kalau
gitu diam! Biar aku bisa nyari ngengatnya di mana! Ya! Kang Daniel!” Luna
berhenti mengikuti gerakan Daniel. Napasnya sampai terengah-engah karena
berusaha menghentikan gerakan Daniel yang memiliki tubuh lebih besar darinya.
Ia memperhatikan Daniel yang masih bergerak-gerak demi melepaskan diri dari
ngengat.
Melihat
Daniel yang terus bergerak seperti itu, Luna tersenyum geli. Ini anak takut malah ngedance. Ia
bergumam dalam hati. “Ya, Kang Daniel, kamu bisa diem nggak? Kang Daniel!”
Daniel
mengabaikan seruan Luna dan masih terus bergerak. Luna menghela napas, ia
mendekati Daniel dan memeluk erat pemuda itu. Daniel terkejut ketika Luna
tiba-tiba memeluknya. Gerakan tubuh Daniel pun melambat, dan akhirnya
benar-benar berhenti.
“Semuanya
baik-baik saja. Tenanglah.” Luna mengelus punggung Daniel.
Daniel
terdiam dalam pelukan Luna. Detub jantungnya yang bertalu-talu karena panik,
perlahan mulai mereda. Kedua tangannya bergerak pelan, ia pun membalas pelukan
Luna, dan menyandarkan kepalanya di bahu Luna. Perlahan ia merasa aman.
Daniel
dan Luna berpelukan selama beberapa detik. Setelah yakin Daniel telah tenang,
Luna pun melepas pelukannya. Ia menatap Daniel yang berada begitu dekat di
depannya. Daniel pun balas menatapnya.
“Orang
hobi dance gitu ya? Kalau takut nge-dance juga?” Luna menggoda Daniel.
“Ngengat
itu benar-benar mengerikan.” Daniel membela diri.
“Dan,
dia ada di atas sana.” Luna menuding langit-langit dapur. “Bukan di dalam
bajumu.”
Daniel
ikut menatap langit-langit dan tersenyum lega. Ia menurunkan kepala untuk kembali
menatap Luna. “Maafkan aku.”
Luna
hanya tersenyum menanggapinya.
“Dan,
terima kasih.” Daniel menatap detail wajah Luna yang berada begitu dekat di
depannya. “Kenapa kamu tadi memintaku membuka baju?” Ia membalas olokan Luna.
“Wah,
ternyata Mezzaluna yang terkenal ini…” Daniel tak melanjutkan ucapannya karena
Luna hanya diam menatapnya. Tak merespon olokannya. Daniel menelan ludah.
Tatapannya turun pada bibir pink Luna yang terkatup rapat. Kepala Daniel
perlahan bergerak turun. Mendekati bibir pink Luna.
Luna
tahu ia tak seharusnya berdiri diam seperti itu karena ia menyadari apa yang
akan dilakukan Daniel. Tapi, tubuhnya seolah terpaku di tempatnya berdiri.
Detub jantungnya pun tiba-tiba meningkat.
Daniel
semakin dekat dengan Luna. Ia tak menolak keinginannya untuk mencium Luna.
Ketika ia semakin dekat dengan bibir Luna, ponsel Luna tiba-tiba bergetar.
Luna
seolah tersadar dari pengaruh sihir Daniel ketika mendengar suara getar
ponselnya. Ia pun bergerak mundur. Lalu, berjalan menuju ponsel yang ia letakan
di atas meja. Meninggalkan Daniel.
Daniel
menundukkan kepala dan tersenyum. Menyadari jika ia hampir saja mencium Luna. “Maafkan
aku. Aku terbawa suasana. Aku akan lanjut mencuci.” Ia pun berjalan menuju
tempat cuci piring.
Luna
meraih ponselnya. Ada sebuah panggilan video. Dan, nama Jihoon yang muncul di
layar membuat jantungnya seolah lepas dari tempatnya.
***
Luna
berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Momen ketika Daniel hampir
menciumnya kembali muncul dalam ingatannya. Luna merasakan panas di wajahnya.
Kenapa kamu kayak gini sih? Itu salah! Liat kan tadi Jihoon
langsung menelponmu! Walau alasannya tentang peran yang akan kalian mainkan,
itu hanya alasan! Dia tahu kamu selingkuh!
Selingkuh? Hey! Aku dan Jihoon kan hanya pura-pura! Hubungan
kami palsu!
Walau pura-pura, status kalian tetaplah sepasang kekasih di
mata publik. Tetap saja kalau ketahuan kamu yang salah! Kamu selingkuhin
Jihoon!
Luna
kembali diam usai melakukan percakapan dengan dirinya sendiri. Ia masih menatap
langit-langit kamarnya. Ekspresinya berubah menjadi sedikit masam.
Aku
nggak bermaksud selingkuhin Jihoon.
Dia udah jujur ke kamu tentang perasaannya. Itu artinya dia
negasin kalau dia ingin serius dalam hubungan pura-pura kalian. Dia menunggu
persetujuanmu untuk merubah status fake menjadi real. Lagian kamu ganjen
banget! Main peluk aja. Kan Daniel baper jadinya. Hampir nyosor, nyium kamu!
Trus, aku kudu ottoke?
Nah, atimu sukanya sama siapa?
Nggak tahu. Dua-duanya bikin jantungku deg-degan nggak
karuan.
Terang aja dua-duanya cakep! Biarin Tuhan yang atur
endingnya? Ini semua kan kamu yang mulai! Kamu dong yang harus tanggung jawab!
Luna
menghela napas panjang. Seolah ada beban berat yang menimpa dadanya.
Tuhan, aku harus bagaimana sekarang?
Momen
Daniel hampir menciumnya sukses membuat Luna terjaga hampir semalaman. Ia tidur
hanya dua jam saja. Ketika bertemu Daniel untuk berangkat sekolah bersama, ia
merasa canggung. Daniel pun menunjukkan reaksi yang sama; canggung. Perjalanan
menuju sekolah pun didominasi keheningan.
Saat
sampai di halte di dekat sekolah, Luna turun lebih dulu dan berjalan cepat
meninggalkan Daniel. Di gerbang, Sungwoon yang sudah menunggunya segera
menyambut. Pemuda itu segera melaporkan hasil penyelidikannya sembari menemani
Luna berjalan menuju kelas.
Seharian
di sekolah tak membuat mood Luna
membaik. Ia tak bisa berkonsentrasi penuh saat mengikuti pelajaran dan saat
berkumpul bersama tujuh gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun usai
jam sekolah berakhir.
Luna,
Rania, dan Linda bersama enam gadis lainnya terpilih untuk mewakili Persatuan
Murid Asing untuk menampilkan tarian tradisional Korea Tari Buchaechum atau Tari Kipas khas Korea.
Rania belum datang bergabung walau delapan gadis lainnya sudah berkumpul. Ketika
para gadis sibuk berdiskusi, Luna hanya diam. Ia sibuk memainkan ponselnya.
Linda yang duduk berhadapannya dengannya terus memperhatikan.
“Mbak,
Mbak Rania mana?” Linda akhirnya memulai obrolan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia.
“Tau.
Katanya masih ada perlu.”
“Mbak
Luna kenapa? Kayaknya bad mood gitu?”
Luna
menatap Linda. Ia teringat tentang Linda yang menyukai Daniel. Dadanya kembali
terasa sesak karena dihujam oleh rasa bersalah. “Semalem nggak bisa bobok. Jadi
ngaruh ke mood.”
“Izin
pulang dulu aja Mbak. Buruan istirahat.”
“Nyampek
rumah belum tentu juga bisa ngaso.”
“Iya
juga sih.”
“Luna!”
Dio, gadis asal Venezuela itu menegur Luna. “Bagaimana ini? Tariannya?”
“Iya,
Luna. Apa perlu kita menyewa pelatih?” Esya, gadis asal Malaysia menyambung
pertanyaan Dio.
“Rania
kok belum datang?” Nathaline, gadis asal Amerika menyambung.
“Kalau
harus menyewa pelatih, harus segera kita jadwalkan.” Jae, gadis asal Kanada itu
turut bersuara.
“Iya.
Karena kita harus membagi waktu juga kan? Karena ada yang tergabung dengan tim
ekskul.” Ira, gadis asal Rusia ikut urun pendapat.
“Tarian
itu sulit lho!” Sasha yang juga berasal dari Amerika tak mau kalah bersuara.
Linda
hanya diam menatap para gadis yang tiba-tiba menyerang Luna. Kemudian ia
beralih menatap Luna.
“Cari
aja di Youtube kan ada. Ngapain pakek
sewa jasa pelatih?” Luna dengan santainya.
“Oh
iya ya. Kan ada Youtube.” Dio baru
menyadari adanya solusi sejuta umat itu.
“Sebentar.”
Luna sibuk dengan ponselnya. “Bagaimana kalau ini?” Luna memberikan ponselnya
pada Dio. “Itu video latihan Tari Buchaechum
dari BKK UI. Gerakannya lumayan mudah. Kita bisa menirukannya. Atau, kalian
bisa cari video yang lain. Yang mana yang disetujui kita pakai. Nanti, kita
sertakan sumber yang kita pakai agar kita tidak dituduh plagiat.”
“Solusi
mudah dan cepat!” Nathaline berbinar saat menatap Luna.
“Atau,
kalau mau sewa pelatih nggak papa juga sih. Minta tolong buatkan gerakan yang
mudah untuk kita. Siapa yang bersedia mencari pelatih?” Luna menatap satu per
satu gadis yang sebelumnya menegurnya.
“Pilihan
lain adalah menonton video Tari Buchaechum
di Youtube dan menggabungkan atau memodifikasi
sendiri gerakannya.” Luna menambahkan usulannya.
Semua
diam dan menatap Luna. Membuat gadis itu risih.
“Ide
Luna bagus juga.” Dio mengembalikan ponsel Luna. “Orang tidak akan menanyakan
prosesnya. Mereka hanya akan melihat hasilnya.”
“Bagaimana
bagusnya saja.” Esya pasrah.
“Trus,
kapan kita mulai kumpul dan memodifikasi gerakan?” Sasha menyambung.
“Yang
pasti jangan sekarang. Aku hanya ingin tidur.” Luna mengeluh.
“Terlihat
jelas dari mata pandamu. Memangnya kamu semalaman nggak tidur? Ya udah, pulang
sana. Di sini biar kami yang urus.” Ira menyarankan Luna untuk pulang.
“Boleh
aku pulang sekarang?”
“Daripada
kamu pingsan di sini.”
“I love you, Ira. Kalau gitu, tolong jaga
adikku ya.”
Keenam
gadis menatap Luna dengan ekspresi yang mengisyaratkan pertanyaan, “Adik?”
“Linda.”
Luna menuding Linda.
“Memangnya
kamu pikir kami ini mafia apa?” Sasha mengolok dan Luna hanya tersenyum
menanggapinya.
“Istirahatlah
yang cukup Luna.” Nathaline melambaikan tangan saat Luna bangkit dari duduknya.
“Terima
kasih semuanya. I love you all. Aku
pergi.” Luna menepuk pundak Linda, lalu pergi.
Linda
menatap Luna yang berjalan semakin menjauh. Ia menghela napas dan kembali
menaruh perhatian kepada rekan-rekannya.
Dio,
Ira, Sasha, dan Esya adalah murid kelas XI. Sedang Nathaline dan Jae teman
seangkatan Linda. Karena mereka semua murid asing, mereka menanggalkan gelar
seonbae dan hoobae saat berkumpul seperti ini.
Luna
berjalan sambil memeriksa ponselnya. Sebelumnya ia memang ingin lekas pulang
untuk tidur. Tapi, di tengah diskusi ia menerima pesan dari Daniel. Daniel
mengatakan akan menunggunya di halte untuk pulang bersama. Walau pagi tadi
suasananya sangat canggung, sepertinya Daniel tak terganggu oleh hal itu. Dan,
Luna yang seharusnya menghindari pemuda itu, justeru ingin lekas pergi untuk
menemuinya. Ia merasa tak enak jika Daniel harus lama menunggunya.
“Sudah
selesai diskusinya?” Tubuh Luna menabrak seseorang bersamaan dengan
terdengarnya suara itu. Luna mendongakkan kepala. Jihoon tersenyum manis
padanya.
“Jalan
sambil bermain ponsel itu bahaya.” Jihoon mengingatkan tentang kebiasaan buruk
Luna.
“Kamu
sengaja menghalangi jalanku kan? Hingga aku menabrakmu.”
Kening
Jihoon berkerut. Ia pun menurunkan kepalanya untuk melihat Luna lebih dekat.
Spontan Luna mundur satu langkah. Jihoon pun kembali menegakkan badannya.
“Aku
antar. Sepertinya kamu lelah sekali.” Jihoon menawarkan diri untuk mengantar
Luna.
“Nggak
usah. Daniel udah nunggu di halte.” Luna menolak dengan alasan yang sebenarnya.
Ekspresi
Jihoon berubah. Luna pun menyadari perubahan itu.
“Jangan
mikir aneh-aneh! Itu rutinitas kami. Dan, kamu sudah tahu.”
“Tapi,
Bogi udah nggak ada. Masih jadi rutinitas?”
Luna
diam sejenak. Ia paham jika Jihoon tidak akan begitu saja melepasnya. “Teman
satu komplek nggak boleh ya punya rutinitas berangkat dan pulang sekolah
bareng?”
“Boleh
aja. Tapi, sejauh mana hubungan teman itu hingga rela menunggu padahal sudah
tahu teman satu kompleknya sedang ada janjian diskusi yang panjang waktunya nggak
bisa ditentukan?”
Mendengar
ungkapan Jihoon, jantung Luna seolah terjun bebas. Copot dari tempatnya. Ia
diam untuk memikirkan jawaban yang tepat. Pilihannya hanya berkata jujur atau
membuat sebuah kebohongan.
“Aku
cemburu!”
Luna
tertegun menatap Jihoon selama beberapa detik. Ia kemudian mengerjapkan kedua
matanya.
“Tapi,
aku yakin Seonbae punya satu alasan untuk semua ini.”
Dada
Luna tiba-tiba sesak. Ia benci Jihoon yang memperlakukannya seperti itu.
“Pergilah.
Lain kali saja kita pulang bareng.”
“Jihoon-aa…”
Luna ragu-ragu.
“Mm?”
Jihoon menunggu Luna melanjutkan bicara.
“Aku
hanya ingin membantu Daniel. Maafkan aku jika itu mengganggumu.”
“Lebih
berhati-hati aja. Seperti yang aku bilang sebelumnya, itu bisa merugikan
Seonbae.”
Luna
diam dan menatap Jihoon.
“Tapi,
apa pun keadaannya, aku akan tetap berada di sisi Seonbae. Membela Seonbae.”
Luna
merasakan sesak di dadanya semakin menjadi. Kedua matanya pun mulai terasa
panas. “Walau aku salah? Kamu akan tetap membelaku?”
“Salah
atau benar itu relatif, kan? Tergantung siapa yang menilai. Benar menurutku
belum tentu benar menurut mereka. Aku akan membela Seonbae, menurut cara
pandangku.”
Setiap
kalimat yang diucapkan Jihoon bak pisau yang menyayat hati Luna. Ia merasa
sakit. Karena kalimat-kalimat itu membuat rasa bersalahnya semakin menjadi.
“Mianhae, Jihoon-aa.”
Setelah
mengucap kata maaf itu, Luna berjalan dengan langkah lebar-lebar. Meninggalkan
Jihoon yang masih berdiri menatapnya.
Ketika
keluar dari gerbang sekolah, Luna berhenti dan mengehela napas panjang. Seolah
ia baru mendapatkan napasnya kembali setelah sempat menghilang entah ke mana.
Ia pun kembali berjalan dengan langkah lebih pelan. Menuju halte tempat Daniel
menunggunya. Dari kejauhan, ia bisa melihat Daniel yang sedang duduk
menunggunya di halte. Gejolak di dalam dada Luna kembali muncul. Rasa bersalah
yang benar-benar membuatnya tak nyaman. Ia kembali menghela napas dan menambah
kecepatan langkahnya.
***
Rania
tiba di tempat para gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun yang
terpilih menjadi tim Tari Buchaechum
berkumpul.
“Hi,
semuanya! Maaf aku telat!” Dengan riang Rania menyapa lalu duduk di hadapan
Linda. Tempat Luna sebelumnya duduk.
“Ke
mana aja kamu?” Dio yang pertama memberi respon.
“Ada
urusan sebentar.” Rania tersenyum canggung.
“Luna
pulang duluan. Dia hampir pingsan karena ngantuk.” Sasha memberi tahu tentang
Luna sebelum Rania bertanya.
“Yang
bener??” Rania kaget mendengarnya.
“Kayaknya
dia capek banget gitu. Jadi, aku suruh pulang aja. Daripada pingsan di sini.”
Ira menyahut.
“Dia
pulang sama siapa?” Rania panik. “Kalau pingsan di jalan gimana?”
“Dia
kan ada Park Jihoon. Palingan pulang sama Jihoon.” Jawab Sasha santai.
Rania
beralih menatap Linda. “Kenapa Kucing malah pergi di saat gue ada masalah besar
sih?” Ia menggerutu dalam Bahasa Indonesia.
“Masalah
besar apa, Mbak?” Linda penasaran.
Rania
menggigit bibirnya. Ragu untuk bercerita pada Linda.
“Kalau
butuh banget sama Mbak Luna, izin aja buat nyusul Mbak Luna.”
“Udahan
ya. Kita bubar.” Dio menutup diskusi. “Aku udah buat grup khusus untuk kita.
Nanti kita bisa rundingan di situ. Semua udah aku masukin grup kok.”
Dio,
Esya, Ira, Sasha, Jae, dan Nathaline pergi. Meninggalkan Rania dan Linda.
“Mbak
Rania nggak pulang?” Linda selesai merapikan barang-barangnya.
“Duh,
gimana ya Lin?” Rania mengeluh.
“Emang
kenapa sih Mbak? Kalau Mbak Rania nggak cerita kan aku jadi bingung harus jawab
apa.”
“Gue
tadi dipanggil ke kantor OSIS gitu.”
“Trus??”
Kedua mata Linda kemudian terbelalak. “Oh
my! Mbak Rania murid asing yang namanya muncul setelah di undi??”
Rania
mengangguk. Ekspresinya memberengut. Ada kepanikan tergambar jelas di wajah
ayunya.
“Maaf
ya Mbak. Tapi, sial banget sih kamu Mbak. Itu kayak gimana konsepnya? Nama Mbak
keluar gitu trus buat apa?”
“Sial
banget ini namanya! Di sana gue ketemu yang namanya Lee Taemin itu. Dia
cengengesan kayak nggak berdosa banget udah bikin permainan geblek macem gitu!”
Linda
menatap Rania dengan ekspresi kaget bercampur bengong. Ia tak menduga jika
Rania bisa begitu frontal ketika berkomentar dengan emosi.
“Proyek
itu ide konyol dia. Dan, dari kesemua nama murid asing, dia nggak nyangka nama
gue yang jatoh. Gue yang seorang Indonesia. Trus tahu gue yang seorang
Indonesia, dia komentar, kenapa bukan Luna ya? Kalau Luna pasti seru! Geblek
banget dia itu ya?”
“Mbak
Rania kopelan sama Lee Taemin Seonbae gitu? Dan, dia nyesel nggak dapet Mbak
Luna?”
“Nggak.”
“Trus?”
Rania
mendesah dengan kasar. “Gue dapet kopel Minhyun. Ya, dari semua nama anggota
OSIS cowok, nama Minhyun yang jatoh. Sial banget kan gue? Loe tahu kan gimana
cerita Minhyun dan Luna di sekolah ini?”
Mulut
Linda membulat. Ia benar-benar terkejut mendengar 'kesialan' yang menimpa
Rania. Linda mengerjapkan kedua matanya dan mengatupkan mulutnya. “Tapi, di
sekolah ini kan nggak semuanya tahu kalau Mbak Rania sama Mbak Luna sohiban.”
“Squad-nya Luna tahu. Jisung, Sungwoon,
Seongwoo, Woojin. Mereka tahu! Nggak bisa bayangin gimana hebohnya mereka ntar
saat tahu gue jadi kopel sama Minhyun. Gue tadi udah protes nolak, tapi… yah…
loe tau lah. Pengen gue sleding aja itu Taemin!”
“Sabar,
Mbak. Sabar. Tapi, udah pasti emang bakalan heboh. Walau mereka nggak tahu Mbak
Rania dan Mbak Luna sohiban, tapi fakta kalian sama-sama orang Indonesia udah
cukup bikin heboh.”
“Itu
dia. Sial banget sih gue! Ngeri banget ngebayangin itu cocotnya netijen sekolah
kalau infonya resmi dirilis!”
Linda
diam. Tak tahu harus memberi komentar apa. “Semoga aja nggak ada info yang
dirilis.” Akhirnya kalimat itulah yang terucap dari bibir Linda.
“Aamiin.”
Rania masih kesal. “Trus, loe tahu nggak kita disuruh perform apa?”
Linda
menggeleng.
“Jelas
lah nggak tahu! Gue kan belum cerita.”
Linda
meringis menanggapi ocehan Rania.
“Trouble Maker.”
“What??” Linda kembali dibuat ternganga
karena pengakuan Rania. “Troub-trouble
Maker HyunA Hyunseung?!”
Rania
mengangguk.
“Ini
bencana! Itu dance kan seksi banget!”
Linda menangkup pipinya dengan kedua tangannya.
“Bencana
banget! Dan gue basic nggak bisa dance!”
“Tapi,
di Youtube banyak tutorial kan?”
“Trus,
kami latihan di mana? Kapan? Sedang gue juga tergabung tim tari sama kalian.”
“Latihan
bisa di tempat Mbak Luna? Tapi, apa Minhyun Seonbae mau?”
“Itu
dia masalahnya! Gue mau minta bantuan Kucing. Tapi, Minhyun musuhan sama
Kucing. Susah kan gue!”
“Ini
kebetulannya kok unik banget ya?”
“Unik
gimana?”
“Mbak
Rania sohibnya Mbak Luna, Minhyun Seonbae mantan sohibnya Mbak Luna.
Jangan-jangan Tuhan mau Mbak Rania jadi jembatan buat Mbak Luna sama Minhyun
Seonbae?”
“Gue
mah ogah! Mereka udah pada gede tapi tingkah masih kayak anak SD. Pakek acara
diem-dieman segala!”
“Tapi,
kejadiannya pas banget lho Mbak! Kenapa pas Mbak Rania udah di sini coba?”
“Tuhan
memang Maha Guyon. Setuju deh gue sama Sujiwo Tejo.”
Linda
tersenyum. “Toh udah takdirnya kayak gini Mbak. Jadi, ya Mbak Rania kudu
jalanin.”
Rania
mendesah kasar. “Kucing yang makan nangka, kenapa gue harus kena getahnya juga
sih?”
“Sabar,
Mbak. Ini ujian.” Linda tersenyum menatap Rania.
***
Hanya
tersisa lima pemuda di dalam ruang OSIS. Minhyun, satu teman seangkatannya dan
tiga orang seniornya. Wajah tampan Minhyun masih menunjukkan ekspresi kesal.
Minhyun
tak memiliki firasat apa-apa sebelum ia menerima kenyataan mengejutkan saat
datang ke pertemuan OSIS siang ini. Ia memang menerima kabar jika nama anggota
OSIS dan murid asing sudah diundi. Ia tahu pertemuan hari ini adalah untuk
membahas hasil undian itu. Tapi, ia sama sekali tak menduga jika nama anggota
OSIS yang keluar dari undian adalah namanya. Yang lebih membuatnya terkejut
adalah nama murid asing yang akan menjadi pasangannya untuk penampilan khusus
saat festival sekolah nanti.
Nama
Rania yang keluar dari hasil undian. Hal itu membuat Minhyun terkejut untuk
kedua kalinya. Sebagai sesama gadis asal Indonesia, tentu saja munculnya nama
Rania dihubung-hubungkan dengan Luna oleh anggota OSIS yang lain. Rania yang
sempat dipanggil ke ruang OSIS pun sama terkejutnya dengannya. Bahkan, ia
sempat menafsirkan jika gadis itu marah karena namanya keluar dalam undian
untuk jadi pasangannya.
Minhyun
yakin Rania juga merasakan apa yang seperti ia rasakan. Kesal, namun tak bisa
melawan suara terbanyak yang setuju mereka menjadi perwakilan untuk penampilan
khusus saat festival sekolah nanti. Ia tahu jika Rania adalah sahabat masa
kecil Luna. Dan, ia menduga Rania pasti juga tahu tentangnya dan Luna. Rania
pun pasti merasa tak enak hati. Seperti apa yang ia rasakan sekarang. Kenyataan
yang sukses mengobrak-abrik mood
baiknya.
“Minhyun
masih kesal ya?” Kim Jonghyun (JR) memecah keheningan. “Walau bukan Luna, tetap
saja heboh ya?” Ia tersenyum tulus.
Minhyun
menghela napas. Tersenyum kecil dan mengangguk.
“Ide
ketua kita ini memang gila.” Kang Dong Ho merangkul Taemin yang duduk di atas
meja. “Tapi, aku curiga. Jangan-jangan ini hanya akal-akalannya saja agar dia
bisa jadi pasangan sama Luna. Sialnya, nama Minhyun dan Rania yang keluar.”
“Iya
ya. Kan gosipnya Taemin Seonbae suka sama Luna, tapi Luna nolak.” Choi Minki
mendukung dugaan Dong Ho.
“Kalau
aku mau, aku bakalan ajak Luna langsung. Nggak usah pakek jebakan kayak gini.’
Taemin menyanggah.
“Woo!!!”
Dong Ho menggoyang lengannya yang merangkul Taemin.
“Gosip
itu masih aja dibicarakan ya? Padahal aku nggak pernah lho nembak Luna. Dan, Luna
juga nggak pernah nolak aku.”
“Nggak
tahu tuh asal muasalnya dari mana itu gosip.” Dong Ho menggeleng. “Luna sempat
di bully kan gara-gara rumor itu?”
Minhyun
mengangkat kepala dan menatap tajam pada Dongho.
“Tapi
tentang Luna di bully, katanya itu juga hanya rumor sih.” Dongho meralat
pernyataannya.
“Harapanku,
semoga semua anggota OSIS benar-benar bisa tutup mulut tentang penampilan
rahasia ini. Seperti yang diminta Minhyun di depan forum tadi.” Minki mengucap
harapannya dengan tulus.
“Itu
nggak mungkin. Informasi udah disebarin ke Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun.
Mereka pasti penasaran pada siapa murid asing yang terpilih.” Dong Ho
menyanggah harapan Minki.
“Iya
juga ya? Trus, kita akan membuat pengumuman resmi?” Minki menatap pada Taemin.
“Iya.
Prosedurnya memang begitu, kan?” Taemin mengalihkan tatapan pada Minhyun usai
menjawab pertanyaan Minki. “Maafkan aku, Minhyun. Kita harus berjalan sesuai
prosedur.”
“Tapi,
bukan berarti prosedur itu tidak bisa diubah kan?” Jonghyun kembali bersuara.
Semua menaruh perhatian padanya. “Kita memang telah menyampaikan informasi itu
pada Persatuan Murid Asing, tapi kita tidak pernah menyatakan bahwa kita akan
merilis informasi resmi tentang proyek itu kan?”
Semua
masih menatap Jonghyun dalam diam.
“Maksudnya
begini, kita memang telah mendapatkan hasil dari undian. Tapi, kita tidak
pernah menyatakan akan membagikan hasil undian kepada publik kan? Karena ini
penampilan khusus dan baru pertama kali, kita bisa membuat permainan seperti
yang diminta Minhyun di depan forum tadi. Tetap merahasiakan nama yang keluar
dalam undian. Jika ada anggota yang gagal menutup mulut, itu berarti kita
apes.”
“Aku
setuju dengan Jonghyun Seonbae. Biar begitu saja!” Minki mendukung Jonghyun.
Taemin
diam dan berpikir. “Baiknya begitu ya? Baiklah. Aku setuju pada suara
terbanyak.”
“Kebetulan
Minhyun dan Rania sekelas ya. Jadi, nggak akan ada yang curiga kalau mereka
seriang bersama.” Dong Ho tersenyum tulus pada Minhyun.
“Seonbae,
apa lagunya tidak bisa di ubah?” Minhyun yang sebelumnya hanya diam pun buka
suara.
“Kenapa
dengan lagu itu?” Taemin balik bertanya.
“Bukannya
terlalu seksi ya?” Minki ikut mengutarakan isi kepalanya.
“Bisa
dimodifikasi kan? Nggak melulu harus sama dengan koreografi aslinya.” Taemin
kukuh.
“Minhyun
bukan anggota Klub Dance lho!” Minki pun kukuh.
“Kalau
gitu, minta aja bantuan anggota Klub Dance.”
“Itu
Seonbae kan?”
Taemin
diam sejenak. Lalu tersenyum. “Iya. Maaf aku lupa. Baiklah. Nanti aku bantu. Kapan
kalian mau mulai latihan?”
“Aku…
aku belum ngobrol sama Rania.” Minhyun dengan hati-hati.
“Ya
udah. Ajak ngobrol dia sana! Tadi tampaknya dia syok juga. Hibur dia dan ajak kerjasama
ya. Fighting!” Taemin menyemangati.
Minhyun
yang berjalan sendirian menghentikan langkahnya. Ia menemukan Rania yang sedang
duduk bersama seorang gadis di taman. Keduanya tampak serius entah membicarakan
apa. Setelah memperhatikan dua gadis itu, ia mengamati sekitar. Ia mencari
keberadaan Luna. Tapi, ia tidak menemukan gadis itu. Minhyun kembali mengamati
Rania. Ia menghela napas dan kembali melangkahkan kakinya.
***
Luna
bersyukur karena hari ini Daniel tak bisa latihan bersama dan tak mengantarnya
sampai teras rooftop. Saat sampai di
teras, ia menemukan Sungwoon dan Woojin sudah duduk manis di bangku yang berada
di teras rooftop. Luna tidak menyukai
kunjungan tanpa pemberitahuan seperti itu. Tapi, tidak mungkin ia mengusir
kedua teman sekelasnya itu. Ia pun mempersilahkan Sungwoon dan Woojin masuk.
Lalu, menjamu mereka dengan makanan seadanya.
Sungwoon
berdalih ingin melaporkan hasil penyelidikannya. Ketika Luna menyanggah dengan
alasan pagi tadi Sungwoon sudah melaporkannya. Pemuda itu membela diri dengan
mengatakan, Luna tak menyimak penjelasannya dengan baik pagi tadi.
Luna
menggerutu dalam hati setelah mendengar alasan Sungwoon. Mood-nya memang sedang buruk hari ini. Jadi, tidak mungkin ia
menaruh fokus penuh pada hal yang tak menarik perhatiaannya.
Sedang
Woojin mengutarakan alasannya berkunjung adalah untuk melaporkan kejadian di
peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan selepas Luna pergi. Alasan konyol
lainnya yang membuat Luna semakin memberengut karena kesal.
“Serius!
Aku hanya ingin tidur. Jadi, daripada kalian membuang waktuku lebih banyak
lagi, kalian pulang aja deh.” Yakin sudah cukup pantas untuk mengusir kedua
tamunya setelah menjamu mereka dengan sederhana, Luna pun berkata jujur jika
kedatangan Sungwoon dan Woojin menganggunya.
“Masalah
penyelidikan kan dari awal aku bilang udah stop
aja. Tapi, kamu masih ngeyel maju. Kalau buat dirimu sendiri, kenapa kamu
selalu melapor ke aku?” Luna lurus menatap Sungwoon.
“Kan
biar kamu tahu aja.” Sungwoon jadi serba salah.
“Soal
Jinyoung dan Lucy, tugasku udah kelar. Aku nggak mau ikut campur lagi!” Luna
beralih menatap Woojin.
“Kamu
lagi PMS ya? Ketus banget!” Woojin masih saja menanggapi kekesalan Luna dengan
candaan.
“Gue
cuman pengen tidur!” Luna menjawab dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Sungwoon dan Woojin tertegun menatapnya.
Luna
mendesah kasar. “Mood-ku lagi buruk
banget. Sorry. Aku nggak bermaksud…”
ia menatap Sungwoon lalu Woojin. Kemudian kembali mendesah. “Aku hanya lelah.”
Keluhnya.
Sungwoon
dan Woojin saling memandang dalam diam. Lalu, kompak kembali menatap Luna.
Ketika Sungwoon akan bicara, ponsel Luna yang tergeletak di meja bergetar.
Luna
menatap layar ponselnya. Terlihat tulisan Cue muncul di layar ponsel yang
sedang menyala-nyala. Luna pun segera menerima panggilan video itu.
“Cing!!!
Gue ketiban sial! Tolongin gue plis! Gue kudu apa? Gue kudu gimana?” Ketika
panggilan tersambung, Rania langsung mengoceh. Wajahnya memenuhi layar ponsel
Luna.
“Ketiban
sial gimana, Cue? Kamu di mana sekarang?” Luna mendadak panik.
Mendengar
kata 'Cue', Sungwoon dan Woojin paham jika Luna mendapat video call dari Rania. Dan, Luna yang mendadak panik membuat
keduanya ikut merasa khawatir. Walau tak mengerti dengan apa yang dikatakan
Luna, keduanya paham jika Rania sedang dalam kondisi tak baik.
“Gue
udah di rumah!”
Luna
mengerutkan keningnya dan menghela napas. “Trus, ketiban sial apaan?”
Rania
diam sejenak, lalu menghela napas dengan kasar. “Loe yang makan nangkanya, gue
yang kena pulutnya.”
“Ngomongmu
muter-muter. Aku nggak ngerti. To the point
aja napa? Ada yang ngebully kamu?”
Rania
terdiam lagi. Lalu, menghela napas panjang. “Gue berasa kayak kena kutuk.”
“Kalau
kamu terus ngomong muter-muter gini, aku mati—”
“Jangan!”
Luna
kembali menghela napas. “Ngomong yang bener. Ada apa?”
“Gue
merasa sial banget, Cing. Apa karena gue nggak ngucap doa yang sama kayak Linda
kemarin ya?”
Kening
Luna berkerut. Walau ia meminta Rania berterus terang, gadis itu masih saja
berputar-putar.
“Makanya
gue ketiban sial kayak gini. Bantuin gue dong Cing.”
Luna
menelaah setiap perkataan Rania. Ketika ia yakin telah menemukan jawaban dari
teka-teki yang dibuat Rania, ia pun kembali menatap layar dan berkata, “Namamu
keluar saat undian?”
Rania
tak tampak terkejut ketika Luna menebak jawaban dari teka-teki yang ia buat.
“Loe emang cerdas, Cing.”
Luna
terkejut mendengar jawaban pasrah Rania. “Sial banget sih emang.”
“Sialan,
lu! Hibur gue napa?”
“Kemarin
kamu antusias banget. Aku pikir kamu tertarik. Jadi, kamu tadi nggak ikut
diskusi karena alasan itu?”
Sungwoon
dan Woojin tetap menyimak walau mereka tak mengerti apa yang sedang di obrolkan
Luna dan Rania melalui video call.
“Gue
dateng. Tapi, Dio langsung bubarin diskusi. Gue dipanggil ke kantor OSIS tadi.
Gue tahu pasti itu ada hubungannya sama proyek yang dibilang Mark kemarin. Oke
lah fine nama gue yang keluar saat
undian.”
“Nah,
trus sialnya di mana? Kamu fine aja
gitu.”
“Dengerin
gue cerita dulu, Kucing Buluk!”
Luna
menyeringai, melihat reaksi Rania.
“Gue
pikir nggak apa lah. Tapi, setelah gue tahu nama anggota OSIS yang nongol
barengan nama gue, baru deh gue merasa gue sial banget.”
“Nama
Taemin Seonbae yang nongol?”
Sungwoon
dan Woojin kompak mengerutkan kening ketika mendengar nama Taemin disebut Luna.
“Lebih
parah dari itu!”
“Trus?
Siap—” Luna tak melanjutkan ucapannya. Melihat kepanikan Rania, ia paham
tentang siapakah nama anggota OSIS yang keluar bersama nama Rania. “Cue, nama
itu… Prince?” Ia bertanya dengan hati-hati.
“Iya.
Nama Hwang Minhyun keluar barengan sama nama gue! Sial banget kan gue, Cing!”
Sungwoon
dan Woojin kompak menatap Luna ketika mendengar Rania menyebut nama Hwang
Minhyun. Melihat wajah Luna yang berubah pucat, keduanya yakin jika hal buruk
telah terjadi. Entah pada Rania atau Minhyun. Bahkan, mungkin saja keduanya.
***
0 comments