My 4D's Seonbae - Episode #25 “Biarkan Tuhan Yang Menulis Kisah Kita.”

05:19

Episode #25 “Biarkan Tuhan Yang Menulis Kisah Kita.”


Woojin dan Minhyun masih berada di peternakan milik ayah Jaehwan setelah  Luna, Rania, Jinyoung, dan Lucy pergi. Luna dan Rania pamit pulang lebih dulu, karena harus ikut pertemuan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun yang diadakan bersamaan dengan pertemuan rutin Klub Anak Rantau. Demi membuat kesempatan untuk Jinyoung pulang bersama Lucy, Woojin sengaja berpura-pura sakit perut. Dan, Minhyun berjanji akan mengantar Woojin ke dokter. Woojin merasa puas karena hari ini rencananya berjalan lancar berkat bantuan Minhyun dan Jaehwan.
“Gomawo. Tanpa kalian, rencanaku nggak akan berjalan lancar.” Woojin tersenyum puas. “Terima kasih sekali padamu, Minhyun. Demi aku, kamu rela ngasih ikan ke Luna. Padahal kamu sama Luna kan lagi perang dingin.”
“Aku malah merasa lega itu Luna. Dia pasti paham situasi ini kan?” Minhyun tersenyum kikuk. Suara Rania dan Luna yang sedang mengobrol diam-diam di dapur, kembali mengiang di telinganya. Hal itu membuatnya tak nyaman.
“Aku sengaja milih Rania biar Minhyun milih Luna. Hehehe. Aku ngarepnya perang dingin itu usai.” Jaehwan menatap Minhyun dengan canggung.
“Kamu nggak pengen gitu baikan sama Luna?” Woojin memberi dukungan pada harapan Jaehwan dengan bertanya langsung pada Minhyun.
Minhyun bergeming. Jaehwan dan Woojin menatapnya dalam diam. Menunggu respon darinya.
“Kira-kira Persatuan Murid Asing akan membuat pertunjukan apa ya?” Jaehwan segera mengalihkan topik. “Setiap tahun mereka memberi kejutan dengan penampilan unik. Tahun ini Luna bakal jadi pemeran utama wanita dalam pertunjukkan kami lho! Dia kalah voting, jadi, mau nggak mau dia jadi orang depan layar. Bukan orang belakang layar.”
“Kalian akan menampilkan pertunjukan apa?” Woojin memberi respon.
“Rahasia dong!”
“Pasti pemeran utamanya prianya Park Jihoon.”
“Iya lah. Kan dia ikon. Padahal aku mencalonkan diri. Tapi, semua memilih Jihoon.”
“Kamu? Mencalonkan diri?” Woojin tersenyum geli.
“Tapi, aku dapat peran penting juga kok!”
“Jadi, apa?”
“Ibu peri.”
Woojin tergelak mendengar pernyataan Jaehwan. Sedang Minhyun tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Udah ah! Aku mau pulang!” Woojin berdiri dan menyangklet tasnya.
“Aku antar.” Minhyun turut bangkit dari duduknya.
“Oke.” Woojin setuju.
“Woojin, update ke aku ya, kalau Jinyoung cerita tentang Lucy.” Jaehwan memberi kode.
“Males!” Woojin melengos dan pergi bersama Minhyun.
***

Tidak ada obrolan sama sekali sejak Jinyoung dan Lucy meninggalkan peternakan ikan milik ayah Jaehwan. Mereka berjalan berdampingan, masuk ke dalam bus yang sama, dan duduk berdampingan. Namun, tidak ada obrolan sama sekali. Hingga bus berjalan cukup lama, hanya ada keheningan di antara Jinyoung dan Lucy.
Ponsel Jinyoung berdenting. Perhatiannya pun teralih. Ia membaca pesan yang dikirimkan Woojin. Jinyoung mengerjapkan kedua matanya usai membaca pesan dari Woojin. Ia kemudian melirik Lucy yang juga terfokus pada ponselnya. Ia melihat ponsel Lucy, gadis itu sedang membaca sebuah novel online.
“Eung, Lucy.” Jinyoung bersuara untuk menarik perhatian Lucy.
Lucy pun mengangkat kepala dan menoleh ke arah kanan. “Iya, Seonbae?” Ia merespon panggilan Jinyoung yang setengah menggumam.
“Gomawo. Karena, telah mau datang untuk reuni hari ini.” Jinyoung mengucapkannya dengan cepat. Seolah ia sedang mengikuti tes lisan dan mengucapkan kalimat yang baru dihapalkannya. Nada suaranya pun datar.
“Saya merasa senang karena di undang dalam reuni itu. Tolong sampaikan terima kasih saya pada Kim Jaehwan Seonbae.” Lucy pun kurang lebih sama ketika membalas ucapan terima kasih Jinyoung.
Jinyoung menganggukkan kepala. Sebagai tanda bahwa ia sanggup untuk menyampaikan ucapan terima kasih Lucy untuk Jaehwan. Setelah itu, kembali hening. Dan, ponsel Jinyoung kembali berdenting. Pesan dari Woojin datang lagi. Jinyoung pun kembali meliirik Lucy.
“Soal waktu itu,” Jinyoung kembali bersuara, “aku minta maaf. Kita semua jadi terlibat masalah.”
“Saya yang seharusnya minta maaf. Karena tiba-tiba pingsan saat Seonbae muncul. Saya lah sumber kekacauan itu.”
Hening selama beberapa detik. Pandangan Jinyoung tak terarah mengamati entah apa itu yang ada di arah depan. Sedang Lucy, menundukkan kepala dan tangannya sibuk mengelus-elus ponselnya.
“Tapi, karena itu semua kita jadi saling mengenal. Lalu, bisa berteman.” Jinyoung lagi-lagi memulai obrolan.
Lucy menganggukkan kepala. Tanda setuju.
“Tapi, aku penasaran akan satu hal. Boleh aku bertanya padamu?” Jinyoung menoleh dan menatap Lucy yang tertunduk.
Lucy bergeming. Namun, beberapa detik kemudian ia mengangguk.
Jinyoung tersenyum samar. “Sebelumnya maaf. Hanya saja, aku nggak habis pikir. Gimana kamu bisa berpikiran aku melukai Luna? Saat kamu melihat kami sebelum jam pelajaran olah raga.” Akhirnya ia bisa bertanya langsung pada Lucy tentang kecurigaan Luna yang benar adanya menjadikan salah paham antara Lucy dan Jinyoung. Lucy menceritakan itu semua pada Hami dan Luna. Dan, Luna membaginya pada Jinyoung.
Lucy menggigit bibirnya. Ia meremas ponsel yang ia pegang dengan kedua tangan. “Itu… karena… image dark yang melekat pada Seonbae. Saya melihat lengan Luna Seonbae berdarah dan Jinyoung Seonbae memegang cutter. Saya terlalu dangkal dalam menyimpulkan. Ketika kembali bertemu dengan Seonbae, kondisi fisik saya sedang lemah. Lalu, saya pingsan.” Dengan hati-hati, Lucy mulai memberi penjelasan.
“Tangan Luna Seonbae yang berdarah dan cutter di tangan Seonbae terus menganggu pikiran saya. Di tengah kondisi fisik yang sedang lemah itu, dan bertemu Seonbae kembali. Saya panik. Lalu, saya pingsan. Maaf.” Lucy menundukkan kepala dalam-dalam.
Jinyoung yang sudah kembali menatap ke depan tersenyum getir. Ia lalu menghela napas. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kamu begitu takutnya padaku. Maaf jika sekarang kamu merasa nggak nyaman karena harus pulang berdua saja denganku. Aku akan mengantarmu sampai pemberhentian terakhirmu saja.”
Lucy menganggukkan kepala. Lalu, kembali hening.
“Seonbae tahu tentang itu dari siapa?” Lucy kembali bersuara setelah diam selama beberapa detik.
“Luna menjelaskan padaku dan Woojin. Sebelum kita bertemu di café.”
“Pasti Luna Seonbae tak ingin menyisakan kesalahpahaman.”
“Mm.” Jinyoung mengangguk. “Luna bekerja sangat keras untuk itu.”
Selanjutnya tak ada lagi obrolan antara Jinyoung dan Lucy. Ketika bus berhenti di halte pemberhentian terakhir untuk Lucy, gadis itu berpamitan dan melarang Jinyoung turun untuk mengantarnya. Ia meminta Jinyoung tetap di tempatnya dan melanjutkan perjalanan. Jinyoung tak protes. Ia menuruti permintaan Lucy untuk tetap duduk dan melanjutkan perjalanan.
***

Luna dan Daniel selesai meminggirkan meja dan sofa di ruang tamu rooftop tempat Luna tinggal. Khawatir akan menarik perhatian kalau berlatih di teras, mereka berdua akhirnya sepakat untuk mulai berlatih dance di ruang tamu rooftop yang menurut Daniel cukup untuk mereka gunakan sebagai tempat latihan.
“Kenapa niat banget mau bikin video dance?” Daniel sedang memandu Luna untuk melakukan pemanasan.
“Mewujudkan ide di kelapa?” Luna memberi jawaban yang mengambang.
Daniel tersenyum. “Apa semua ide di kepalamu itu harus diwujudkan?”
“Iya. Selagi bisa, kenapa nggak?”
Daniel yang masih tersenyum menggelengkan kepala.
“Gerakannya nggak susah kan?”
“Nggak. Kamu kan munculnya setelah si cewek nyanyi, kan?”
“Iya.”
“Jadi, kita langsung latihan untuk bagian itu saja ya.”
“Oke!”
Daniel pun mulai mengajarkan gerakan dance yang ia buat pada Luna. Dengan sabar dan telaten Daniel membimbing Luna. Ia merasa senang karena Luna cepat tanggap ketika diajari menari. Walau awalnya sering membuat kesalahan, selama dua jam berlatih, Luna mulai menguasi gerakan dance yang diajarkan Daniel.
Lapar usai berlatih dance, Luna pun memasak mie instan produk Indonesia untuk Daniel. Luna senang melihat Daniel memakan mie instan buatannya dengan lahap. Daniel memuji mie instan produk Indonesia enak.
“Lain kali, coba masak masakan Indonesia. Untukku.” Pinta Daniel yang baru selesai dengan makanannya. “Masak di rumahku saja. Biar omma juga bisa merasakan makanan orang Indonesia.”
“Berani bayar berapa untuk chef asli Indonesia ini?” Luna bersedekap dan membanggakan diri.
Daniel meletakkan tangan kanan di dadanya, lalu berkata, “Kubayar dengan cinta,” sambil membuat love sign dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Ia pun mengerlingkan mata kanannya pada Luna.
“Cinta nggak bisa dirupain uang tahu!” Luna pura-pura tak tergoda oleh rayuan gombal Daniel. Tapi, wajahnya memerah.
“Kamu kan udah punya banyak uang. Buat apa nyari uang terus? Kamu tuh butuh cinta. Jadi, aku bawa cinta buat kamu.” Daniel terus melancarkan gombalannya.
“Aku punya banyak cinta. Lalu, cinta seperti apa yang kamu bawa untukku?”
“Aku bisa menjadi cinta seperti yang kamu mau.” Daniel menatap Luna yang hanya berjarak 60 cm saja darinya dengan teduh.
Luna terdiam dan membalas tatapan teduh Daniel. Detub jantungnya tiba-tiba meningkat. Wajahnya pun memanas. “Kalau aku ingin kamu cuci peralatan makannya, kamu mau?” Ia pun memberi jawaban.
Daniel tersenyum lebar. “Oke!” Ia pun merapikan peralatan makan, lalu bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju dapur. Ia mulai bersiap mencuci peralatan makan.
Luna yang terus memperhatikan menghela napas setelah Daniel menghilang dari hadapannya. Untuk mengalihkan perhatian dan menetralisir detub jantungnya, ia meraih ponselnya. Tapi, ia justeru menonton video dance yang dibuat Daniel setengah jam yang lalu. Tak menolaknya, ia pun tetap menonton video yang dibuat khusus untuk membantunya berlatih gerakan dance saat Daniel tak bersamanya.
“Aaa!!! Tolong aku!!! Aduh…” Daniel yang sedang mencuci peralatan makan tiba-tiba heboh hingga menyita perhatian Luna yang sedang fokus menonton video dalam ponselnya.
Luna menoleh, memperhatikan Daniel sambil memiringkan kepala. Pemuda itu bergerak-gerak panik dan meracau seolah ada sesuatu sedang merayapi tubuhnya. “Wae?” Luna bertanya dengan santai. Ekspresinya sama sekali tak berubah ketika melihat kepanikan Daniel.
“Sepertinya ngengat itu masuk ke dalam bajuku!” Daniel masih bergerak-gerak gusar. “Tolong aku! Aku bisa mati! Aaa…” ia terus meracau.
Mendengar kata ngengat, Luna pun bergegas bangkit dari duduknya dan menghampiri Daniel yang masih bergerak gusar memutar-mutar tubuhnya. “Masuk ke mana?” Luna berputar-putar mengikuti gerakan Daniel.
“Tadi melayang di atas kepalaku, aku berusaha mengusirnya. Tapi, tiba-tiba hilang. Bagaimana kalau dia masuk ke dalam bajuku? Aku bisa mati!”
“Jangan mati di sini! Aku nggak mau jadi tersangka! Berhenti bergerak! Biar aku cari ngengatnya!”
“Aku takut dia menempel di tubuhku! Sungguh aku bisa mati!”
“Kubilang jangan mati di sini! Diam! Kalau kamu gerak terus, gimana aku bisa nyari ngengatnya?”
Keributan terjadi di dapur. Daniel tak berhenti bergerak dan terus meracau karena ketakutan. Sedang Luna berusaha menghentikan gerakan pemuda itu demi menemukan ngengat yang di duga masuk ke dalam bajunya.
“Ya! Kang Daniel! Tenanglah! Berhenti bergerak! Biar aku cari ngengatnya! Atau, buka bajumu!” Luna berusaha menghentikan gerakan dan meredam kepanikan Daniel.
“Apa?? Buka baju??”
“Kamu bilang ngengatnya masuk ke baju, kan? Jadi, buka aja biar dia keluar!”
“Bagaimana bisa aku membuka baju di depanmu?”
“Kalau gitu diam! Biar aku bisa nyari ngengatnya di mana! Ya! Kang Daniel!” Luna berhenti mengikuti gerakan Daniel. Napasnya sampai terengah-engah karena berusaha menghentikan gerakan Daniel yang memiliki tubuh lebih besar darinya. Ia memperhatikan Daniel yang masih bergerak-gerak demi melepaskan diri dari ngengat.
Melihat Daniel yang terus bergerak seperti itu, Luna tersenyum geli. Ini anak takut malah ngedance. Ia bergumam dalam hati. “Ya, Kang Daniel, kamu bisa diem nggak? Kang Daniel!”
Daniel mengabaikan seruan Luna dan masih terus bergerak. Luna menghela napas, ia mendekati Daniel dan memeluk erat pemuda itu. Daniel terkejut ketika Luna tiba-tiba memeluknya. Gerakan tubuh Daniel pun melambat, dan akhirnya benar-benar berhenti.
“Semuanya baik-baik saja. Tenanglah.” Luna mengelus punggung Daniel.
Daniel terdiam dalam pelukan Luna. Detub jantungnya yang bertalu-talu karena panik, perlahan mulai mereda. Kedua tangannya bergerak pelan, ia pun membalas pelukan Luna, dan menyandarkan kepalanya di bahu Luna. Perlahan ia merasa aman.
Daniel dan Luna berpelukan selama beberapa detik. Setelah yakin Daniel telah tenang, Luna pun melepas pelukannya. Ia menatap Daniel yang berada begitu dekat di depannya. Daniel pun balas menatapnya.
“Orang hobi dance gitu ya? Kalau takut nge-dance juga?” Luna menggoda Daniel.
“Ngengat itu benar-benar mengerikan.” Daniel membela diri.
“Dan, dia ada di atas sana.” Luna menuding langit-langit dapur. “Bukan di dalam bajumu.”
Daniel ikut menatap langit-langit dan tersenyum lega. Ia menurunkan kepala untuk kembali menatap Luna. “Maafkan aku.”
Luna hanya tersenyum menanggapinya.
“Dan, terima kasih.” Daniel menatap detail wajah Luna yang berada begitu dekat di depannya. “Kenapa kamu tadi memintaku membuka baju?” Ia membalas olokan Luna.
“Wah, ternyata Mezzaluna yang terkenal ini…” Daniel tak melanjutkan ucapannya karena Luna hanya diam menatapnya. Tak merespon olokannya. Daniel menelan ludah. Tatapannya turun pada bibir pink Luna yang terkatup rapat. Kepala Daniel perlahan bergerak turun. Mendekati bibir pink Luna.
Luna tahu ia tak seharusnya berdiri diam seperti itu karena ia menyadari apa yang akan dilakukan Daniel. Tapi, tubuhnya seolah terpaku di tempatnya berdiri. Detub jantungnya pun tiba-tiba meningkat.
Daniel semakin dekat dengan Luna. Ia tak menolak keinginannya untuk mencium Luna. Ketika ia semakin dekat dengan bibir Luna, ponsel Luna tiba-tiba bergetar.
Luna seolah tersadar dari pengaruh sihir Daniel ketika mendengar suara getar ponselnya. Ia pun bergerak mundur. Lalu, berjalan menuju ponsel yang ia letakan di atas meja. Meninggalkan Daniel.
Daniel menundukkan kepala dan tersenyum. Menyadari jika ia hampir saja mencium Luna. “Maafkan aku. Aku terbawa suasana. Aku akan lanjut mencuci.” Ia pun berjalan menuju tempat cuci piring.
Luna meraih ponselnya. Ada sebuah panggilan video. Dan, nama Jihoon yang muncul di layar membuat jantungnya seolah lepas dari tempatnya.
***

Luna berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Momen ketika Daniel hampir menciumnya kembali muncul dalam ingatannya. Luna merasakan panas di wajahnya.
Kenapa kamu kayak gini sih? Itu salah! Liat kan tadi Jihoon langsung menelponmu! Walau alasannya tentang peran yang akan kalian mainkan, itu hanya alasan! Dia tahu kamu selingkuh!
Selingkuh? Hey! Aku dan Jihoon kan hanya pura-pura! Hubungan kami palsu!
Walau pura-pura, status kalian tetaplah sepasang kekasih di mata publik. Tetap saja kalau ketahuan kamu yang salah! Kamu selingkuhin Jihoon!
Luna kembali diam usai melakukan percakapan dengan dirinya sendiri. Ia masih menatap langit-langit kamarnya. Ekspresinya berubah menjadi sedikit masam.
Aku nggak bermaksud selingkuhin Jihoon.
Dia udah jujur ke kamu tentang perasaannya. Itu artinya dia negasin kalau dia ingin serius dalam hubungan pura-pura kalian. Dia menunggu persetujuanmu untuk merubah status fake menjadi real. Lagian kamu ganjen banget! Main peluk aja. Kan Daniel baper jadinya. Hampir nyosor, nyium kamu!
Trus, aku kudu ottoke?
Nah, atimu sukanya sama siapa?
Nggak tahu. Dua-duanya bikin jantungku deg-degan nggak karuan.
Terang aja dua-duanya cakep! Biarin Tuhan yang atur endingnya? Ini semua kan kamu yang mulai! Kamu dong yang harus tanggung jawab!
Luna menghela napas panjang. Seolah ada beban berat yang menimpa dadanya.
Tuhan, aku harus bagaimana sekarang?


Momen Daniel hampir menciumnya sukses membuat Luna terjaga hampir semalaman. Ia tidur hanya dua jam saja. Ketika bertemu Daniel untuk berangkat sekolah bersama, ia merasa canggung. Daniel pun menunjukkan reaksi yang sama; canggung. Perjalanan menuju sekolah pun didominasi keheningan.
Saat sampai di halte di dekat sekolah, Luna turun lebih dulu dan berjalan cepat meninggalkan Daniel. Di gerbang, Sungwoon yang sudah menunggunya segera menyambut. Pemuda itu segera melaporkan hasil penyelidikannya sembari menemani Luna berjalan menuju kelas.
Seharian di sekolah tak membuat mood Luna membaik. Ia tak bisa berkonsentrasi penuh saat mengikuti pelajaran dan saat berkumpul bersama tujuh gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun usai jam sekolah berakhir.
Luna, Rania, dan Linda bersama enam gadis lainnya terpilih untuk mewakili Persatuan Murid Asing untuk menampilkan tarian tradisional Korea Tari Buchaechum atau Tari Kipas khas Korea. Rania belum datang bergabung walau delapan gadis lainnya sudah berkumpul. Ketika para gadis sibuk berdiskusi, Luna hanya diam. Ia sibuk memainkan ponselnya. Linda yang duduk berhadapannya dengannya terus memperhatikan.
“Mbak, Mbak Rania mana?” Linda akhirnya memulai obrolan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
“Tau. Katanya masih ada perlu.”
“Mbak Luna kenapa? Kayaknya bad mood gitu?”
Luna menatap Linda. Ia teringat tentang Linda yang menyukai Daniel. Dadanya kembali terasa sesak karena dihujam oleh rasa bersalah. “Semalem nggak bisa bobok. Jadi ngaruh ke mood.
“Izin pulang dulu aja Mbak. Buruan istirahat.”
“Nyampek rumah belum tentu juga bisa ngaso.”
“Iya juga sih.”
“Luna!” Dio, gadis asal Venezuela itu menegur Luna. “Bagaimana ini? Tariannya?”
“Iya, Luna. Apa perlu kita menyewa pelatih?” Esya, gadis asal Malaysia menyambung pertanyaan Dio.
“Rania kok belum datang?” Nathaline, gadis asal Amerika menyambung.
“Kalau harus menyewa pelatih, harus segera kita jadwalkan.” Jae, gadis asal Kanada itu turut bersuara.
“Iya. Karena kita harus membagi waktu juga kan? Karena ada yang tergabung dengan tim ekskul.” Ira, gadis asal Rusia ikut urun pendapat.
“Tarian itu sulit lho!” Sasha yang juga berasal dari Amerika tak mau kalah bersuara.
Linda hanya diam menatap para gadis yang tiba-tiba menyerang Luna. Kemudian ia beralih menatap Luna.
“Cari aja di Youtube kan ada. Ngapain pakek sewa jasa pelatih?” Luna dengan santainya.
“Oh iya ya. Kan ada Youtube.” Dio baru menyadari adanya solusi sejuta umat itu.
“Sebentar.” Luna sibuk dengan ponselnya. “Bagaimana kalau ini?” Luna memberikan ponselnya pada Dio. “Itu video latihan Tari Buchaechum dari BKK UI. Gerakannya lumayan mudah. Kita bisa menirukannya. Atau, kalian bisa cari video yang lain. Yang mana yang disetujui kita pakai. Nanti, kita sertakan sumber yang kita pakai agar kita tidak dituduh plagiat.”
“Solusi mudah dan cepat!” Nathaline berbinar saat menatap Luna.
“Atau, kalau mau sewa pelatih nggak papa juga sih. Minta tolong buatkan gerakan yang mudah untuk kita. Siapa yang bersedia mencari pelatih?” Luna menatap satu per satu gadis yang sebelumnya menegurnya.
“Pilihan lain adalah menonton video Tari Buchaechum di Youtube dan menggabungkan atau memodifikasi sendiri gerakannya.” Luna menambahkan usulannya.
Semua diam dan menatap Luna. Membuat gadis itu risih.
“Ide Luna bagus juga.” Dio mengembalikan ponsel Luna. “Orang tidak akan menanyakan prosesnya. Mereka hanya akan melihat hasilnya.”
“Bagaimana bagusnya saja.” Esya pasrah.
“Trus, kapan kita mulai kumpul dan memodifikasi gerakan?” Sasha menyambung.
“Yang pasti jangan sekarang. Aku hanya ingin tidur.” Luna mengeluh.
“Terlihat jelas dari mata pandamu. Memangnya kamu semalaman nggak tidur? Ya udah, pulang sana. Di sini biar kami yang urus.” Ira menyarankan Luna untuk pulang.
“Boleh aku pulang sekarang?”
“Daripada kamu pingsan di sini.”
I love you, Ira. Kalau gitu, tolong jaga adikku ya.”
Keenam gadis menatap Luna dengan ekspresi yang mengisyaratkan pertanyaan, “Adik?”
“Linda.” Luna menuding Linda.
“Memangnya kamu pikir kami ini mafia apa?” Sasha mengolok dan Luna hanya tersenyum menanggapinya.
“Istirahatlah yang cukup Luna.” Nathaline melambaikan tangan saat Luna bangkit dari duduknya.
“Terima kasih semuanya. I love you all. Aku pergi.” Luna menepuk pundak Linda, lalu pergi.
Linda menatap Luna yang berjalan semakin menjauh. Ia menghela napas dan kembali menaruh perhatian kepada rekan-rekannya.
Dio, Ira, Sasha, dan Esya adalah murid kelas XI. Sedang Nathaline dan Jae teman seangkatan Linda. Karena mereka semua murid asing, mereka menanggalkan gelar seonbae dan hoobae saat berkumpul seperti ini.


Luna berjalan sambil memeriksa ponselnya. Sebelumnya ia memang ingin lekas pulang untuk tidur. Tapi, di tengah diskusi ia menerima pesan dari Daniel. Daniel mengatakan akan menunggunya di halte untuk pulang bersama. Walau pagi tadi suasananya sangat canggung, sepertinya Daniel tak terganggu oleh hal itu. Dan, Luna yang seharusnya menghindari pemuda itu, justeru ingin lekas pergi untuk menemuinya. Ia merasa tak enak jika Daniel harus lama menunggunya.
“Sudah selesai diskusinya?” Tubuh Luna menabrak seseorang bersamaan dengan terdengarnya suara itu. Luna mendongakkan kepala. Jihoon tersenyum manis padanya.
“Jalan sambil bermain ponsel itu bahaya.” Jihoon mengingatkan tentang kebiasaan buruk Luna.
“Kamu sengaja menghalangi jalanku kan? Hingga aku menabrakmu.”
Kening Jihoon berkerut. Ia pun menurunkan kepalanya untuk melihat Luna lebih dekat. Spontan Luna mundur satu langkah. Jihoon pun kembali menegakkan badannya.
“Aku antar. Sepertinya kamu lelah sekali.” Jihoon menawarkan diri untuk mengantar Luna.
“Nggak usah. Daniel udah nunggu di halte.” Luna menolak dengan alasan yang sebenarnya.
Ekspresi Jihoon berubah. Luna pun menyadari perubahan itu.
“Jangan mikir aneh-aneh! Itu rutinitas kami. Dan, kamu sudah tahu.”
“Tapi, Bogi udah nggak ada. Masih jadi rutinitas?”
Luna diam sejenak. Ia paham jika Jihoon tidak akan begitu saja melepasnya. “Teman satu komplek nggak boleh ya punya rutinitas berangkat dan pulang sekolah bareng?”
“Boleh aja. Tapi, sejauh mana hubungan teman itu hingga rela menunggu padahal sudah tahu teman satu kompleknya sedang ada janjian diskusi yang panjang waktunya nggak bisa ditentukan?”
Mendengar ungkapan Jihoon, jantung Luna seolah terjun bebas. Copot dari tempatnya. Ia diam untuk memikirkan jawaban yang tepat. Pilihannya hanya berkata jujur atau membuat sebuah kebohongan.
“Aku cemburu!”
Luna tertegun menatap Jihoon selama beberapa detik. Ia kemudian mengerjapkan kedua matanya.
“Tapi, aku yakin Seonbae punya satu alasan untuk semua ini.”
Dada Luna tiba-tiba sesak. Ia benci Jihoon yang memperlakukannya seperti itu.
“Pergilah. Lain kali saja kita pulang bareng.”
“Jihoon-aa…” Luna ragu-ragu.
“Mm?” Jihoon menunggu Luna melanjutkan bicara.
“Aku hanya ingin membantu Daniel. Maafkan aku jika itu mengganggumu.”
“Lebih berhati-hati aja. Seperti yang aku bilang sebelumnya, itu bisa merugikan Seonbae.”
Luna diam dan menatap Jihoon.
“Tapi, apa pun keadaannya, aku akan tetap berada di sisi Seonbae. Membela Seonbae.”
Luna merasakan sesak di dadanya semakin menjadi. Kedua matanya pun mulai terasa panas. “Walau aku salah? Kamu akan tetap membelaku?”
“Salah atau benar itu relatif, kan? Tergantung siapa yang menilai. Benar menurutku belum tentu benar menurut mereka. Aku akan membela Seonbae, menurut cara pandangku.”
Setiap kalimat yang diucapkan Jihoon bak pisau yang menyayat hati Luna. Ia merasa sakit. Karena kalimat-kalimat itu membuat rasa bersalahnya semakin menjadi. “Mianhae, Jihoon-aa.”
Setelah mengucap kata maaf itu, Luna berjalan dengan langkah lebar-lebar. Meninggalkan Jihoon yang masih berdiri menatapnya.

Ketika keluar dari gerbang sekolah, Luna berhenti dan mengehela napas panjang. Seolah ia baru mendapatkan napasnya kembali setelah sempat menghilang entah ke mana. Ia pun kembali berjalan dengan langkah lebih pelan. Menuju halte tempat Daniel menunggunya. Dari kejauhan, ia bisa melihat Daniel yang sedang duduk menunggunya di halte. Gejolak di dalam dada Luna kembali muncul. Rasa bersalah yang benar-benar membuatnya tak nyaman. Ia kembali menghela napas dan menambah kecepatan langkahnya.
***

Rania tiba di tempat para gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun yang terpilih menjadi tim Tari Buchaechum berkumpul.
“Hi, semuanya! Maaf aku telat!” Dengan riang Rania menyapa lalu duduk di hadapan Linda. Tempat Luna sebelumnya duduk.
“Ke mana aja kamu?” Dio yang pertama memberi respon.
“Ada urusan sebentar.” Rania tersenyum canggung.
“Luna pulang duluan. Dia hampir pingsan karena ngantuk.” Sasha memberi tahu tentang Luna sebelum Rania bertanya.
“Yang bener??” Rania kaget mendengarnya.
“Kayaknya dia capek banget gitu. Jadi, aku suruh pulang aja. Daripada pingsan di sini.” Ira menyahut.
“Dia pulang sama siapa?” Rania panik. “Kalau pingsan di jalan gimana?”
“Dia kan ada Park Jihoon. Palingan pulang sama Jihoon.” Jawab Sasha santai.
Rania beralih menatap Linda. “Kenapa Kucing malah pergi di saat gue ada masalah besar sih?” Ia menggerutu dalam Bahasa Indonesia.
“Masalah besar apa, Mbak?” Linda penasaran.
Rania menggigit bibirnya. Ragu untuk bercerita pada Linda.
“Kalau butuh banget sama Mbak Luna, izin aja buat nyusul Mbak Luna.”
“Udahan ya. Kita bubar.” Dio menutup diskusi. “Aku udah buat grup khusus untuk kita. Nanti kita bisa rundingan di situ. Semua udah aku masukin grup kok.”
Dio, Esya, Ira, Sasha, Jae, dan Nathaline pergi. Meninggalkan Rania dan Linda.
“Mbak Rania nggak pulang?” Linda selesai merapikan barang-barangnya.
“Duh, gimana ya Lin?” Rania mengeluh.
“Emang kenapa sih Mbak? Kalau Mbak Rania nggak cerita kan aku jadi bingung harus jawab apa.”
“Gue tadi dipanggil ke kantor OSIS gitu.”
“Trus??” Kedua mata Linda kemudian terbelalak. “Oh my! Mbak Rania murid asing yang namanya muncul setelah di undi??”
Rania mengangguk. Ekspresinya memberengut. Ada kepanikan tergambar jelas di wajah ayunya.
“Maaf ya Mbak. Tapi, sial banget sih kamu Mbak. Itu kayak gimana konsepnya? Nama Mbak keluar gitu trus buat apa?”
“Sial banget ini namanya! Di sana gue ketemu yang namanya Lee Taemin itu. Dia cengengesan kayak nggak berdosa banget udah bikin permainan geblek macem gitu!”
Linda menatap Rania dengan ekspresi kaget bercampur bengong. Ia tak menduga jika Rania bisa begitu frontal ketika berkomentar dengan emosi.
“Proyek itu ide konyol dia. Dan, dari kesemua nama murid asing, dia nggak nyangka nama gue yang jatoh. Gue yang seorang Indonesia. Trus tahu gue yang seorang Indonesia, dia komentar, kenapa bukan Luna ya? Kalau Luna pasti seru! Geblek banget dia itu ya?”
“Mbak Rania kopelan sama Lee Taemin Seonbae gitu? Dan, dia nyesel nggak dapet Mbak Luna?”
“Nggak.”
“Trus?”
Rania mendesah dengan kasar. “Gue dapet kopel Minhyun. Ya, dari semua nama anggota OSIS cowok, nama Minhyun yang jatoh. Sial banget kan gue? Loe tahu kan gimana cerita Minhyun dan Luna di sekolah ini?”
Mulut Linda membulat. Ia benar-benar terkejut mendengar 'kesialan' yang menimpa Rania. Linda mengerjapkan kedua matanya dan mengatupkan mulutnya. “Tapi, di sekolah ini kan nggak semuanya tahu kalau Mbak Rania sama Mbak Luna sohiban.”
Squad-nya Luna tahu. Jisung, Sungwoon, Seongwoo, Woojin. Mereka tahu! Nggak bisa bayangin gimana hebohnya mereka ntar saat tahu gue jadi kopel sama Minhyun. Gue tadi udah protes nolak, tapi… yah… loe tau lah. Pengen gue sleding aja itu Taemin!”
“Sabar, Mbak. Sabar. Tapi, udah pasti emang bakalan heboh. Walau mereka nggak tahu Mbak Rania dan Mbak Luna sohiban, tapi fakta kalian sama-sama orang Indonesia udah cukup bikin heboh.”
“Itu dia. Sial banget sih gue! Ngeri banget ngebayangin itu cocotnya netijen sekolah kalau infonya resmi dirilis!”
Linda diam. Tak tahu harus memberi komentar apa. “Semoga aja nggak ada info yang dirilis.” Akhirnya kalimat itulah yang terucap dari bibir Linda.
“Aamiin.” Rania masih kesal. “Trus, loe tahu nggak kita disuruh perform apa?”
Linda menggeleng.
“Jelas lah nggak tahu! Gue kan belum cerita.”
Linda meringis menanggapi ocehan Rania.
Trouble Maker.”
What??” Linda kembali dibuat ternganga karena pengakuan Rania. “Troub-trouble Maker HyunA Hyunseung?!”
Rania mengangguk.
“Ini bencana! Itu dance kan seksi banget!” Linda menangkup pipinya dengan kedua tangannya.
“Bencana banget! Dan gue basic nggak bisa dance!”
“Tapi, di Youtube banyak tutorial kan?”
“Trus, kami latihan di mana? Kapan? Sedang gue juga tergabung tim tari sama kalian.”
“Latihan bisa di tempat Mbak Luna? Tapi, apa Minhyun Seonbae mau?”
“Itu dia masalahnya! Gue mau minta bantuan Kucing. Tapi, Minhyun musuhan sama Kucing. Susah kan gue!”
“Ini kebetulannya kok unik banget ya?”
“Unik gimana?”
“Mbak Rania sohibnya Mbak Luna, Minhyun Seonbae mantan sohibnya Mbak Luna. Jangan-jangan Tuhan mau Mbak Rania jadi jembatan buat Mbak Luna sama Minhyun Seonbae?”
“Gue mah ogah! Mereka udah pada gede tapi tingkah masih kayak anak SD. Pakek acara diem-dieman segala!”
“Tapi, kejadiannya pas banget lho Mbak! Kenapa pas Mbak Rania udah di sini coba?”
“Tuhan memang Maha Guyon. Setuju deh gue sama Sujiwo Tejo.”
Linda tersenyum. “Toh udah takdirnya kayak gini Mbak. Jadi, ya Mbak Rania kudu jalanin.”
Rania mendesah kasar. “Kucing yang makan nangka, kenapa gue harus kena getahnya juga sih?”
“Sabar, Mbak. Ini ujian.” Linda tersenyum menatap Rania.
***

Hanya tersisa lima pemuda di dalam ruang OSIS. Minhyun, satu teman seangkatannya dan tiga orang seniornya. Wajah tampan Minhyun masih menunjukkan ekspresi kesal.
Minhyun tak memiliki firasat apa-apa sebelum ia menerima kenyataan mengejutkan saat datang ke pertemuan OSIS siang ini. Ia memang menerima kabar jika nama anggota OSIS dan murid asing sudah diundi. Ia tahu pertemuan hari ini adalah untuk membahas hasil undian itu. Tapi, ia sama sekali tak menduga jika nama anggota OSIS yang keluar dari undian adalah namanya. Yang lebih membuatnya terkejut adalah nama murid asing yang akan menjadi pasangannya untuk penampilan khusus saat festival sekolah nanti.
Nama Rania yang keluar dari hasil undian. Hal itu membuat Minhyun terkejut untuk kedua kalinya. Sebagai sesama gadis asal Indonesia, tentu saja munculnya nama Rania dihubung-hubungkan dengan Luna oleh anggota OSIS yang lain. Rania yang sempat dipanggil ke ruang OSIS pun sama terkejutnya dengannya. Bahkan, ia sempat menafsirkan jika gadis itu marah karena namanya keluar dalam undian untuk jadi pasangannya.
Minhyun yakin Rania juga merasakan apa yang seperti ia rasakan. Kesal, namun tak bisa melawan suara terbanyak yang setuju mereka menjadi perwakilan untuk penampilan khusus saat festival sekolah nanti. Ia tahu jika Rania adalah sahabat masa kecil Luna. Dan, ia menduga Rania pasti juga tahu tentangnya dan Luna. Rania pun pasti merasa tak enak hati. Seperti apa yang ia rasakan sekarang. Kenyataan yang sukses mengobrak-abrik mood baiknya.

“Minhyun masih kesal ya?” Kim Jonghyun (JR) memecah keheningan. “Walau bukan Luna, tetap saja heboh ya?” Ia tersenyum tulus.
Minhyun menghela napas. Tersenyum kecil dan mengangguk.
“Ide ketua kita ini memang gila.” Kang Dong Ho merangkul Taemin yang duduk di atas meja. “Tapi, aku curiga. Jangan-jangan ini hanya akal-akalannya saja agar dia bisa jadi pasangan sama Luna. Sialnya, nama Minhyun dan Rania yang keluar.”
“Iya ya. Kan gosipnya Taemin Seonbae suka sama Luna, tapi Luna nolak.” Choi Minki mendukung dugaan Dong Ho.
“Kalau aku mau, aku bakalan ajak Luna langsung. Nggak usah pakek jebakan kayak gini.’ Taemin menyanggah.
“Woo!!!” Dong Ho menggoyang lengannya yang merangkul Taemin.
“Gosip itu masih aja dibicarakan ya? Padahal aku nggak pernah lho nembak Luna. Dan, Luna juga nggak pernah nolak aku.”
“Nggak tahu tuh asal muasalnya dari mana itu gosip.” Dong Ho menggeleng. “Luna sempat di bully kan gara-gara rumor itu?”
Minhyun mengangkat kepala dan menatap tajam pada Dongho.
“Tapi tentang Luna di bully, katanya itu juga hanya rumor sih.” Dongho meralat pernyataannya.
“Harapanku, semoga semua anggota OSIS benar-benar bisa tutup mulut tentang penampilan rahasia ini. Seperti yang diminta Minhyun di depan forum tadi.” Minki mengucap harapannya dengan tulus.
“Itu nggak mungkin. Informasi udah disebarin ke Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun. Mereka pasti penasaran pada siapa murid asing yang terpilih.” Dong Ho menyanggah harapan Minki.
“Iya juga ya? Trus, kita akan membuat pengumuman resmi?” Minki menatap pada Taemin.
“Iya. Prosedurnya memang begitu, kan?” Taemin mengalihkan tatapan pada Minhyun usai menjawab pertanyaan Minki. “Maafkan aku, Minhyun. Kita harus berjalan sesuai prosedur.”
“Tapi, bukan berarti prosedur itu tidak bisa diubah kan?” Jonghyun kembali bersuara. Semua menaruh perhatian padanya. “Kita memang telah menyampaikan informasi itu pada Persatuan Murid Asing, tapi kita tidak pernah menyatakan bahwa kita akan merilis informasi resmi tentang proyek itu kan?”
Semua masih menatap Jonghyun dalam diam.
“Maksudnya begini, kita memang telah  mendapatkan hasil dari undian. Tapi, kita tidak pernah menyatakan akan membagikan hasil undian kepada publik kan? Karena ini penampilan khusus dan baru pertama kali, kita bisa membuat permainan seperti yang diminta Minhyun di depan forum tadi. Tetap merahasiakan nama yang keluar dalam undian. Jika ada anggota yang gagal menutup mulut, itu berarti kita apes.”
“Aku setuju dengan Jonghyun Seonbae. Biar begitu saja!” Minki mendukung Jonghyun.
Taemin diam dan berpikir. “Baiknya begitu ya? Baiklah. Aku setuju pada suara terbanyak.”
“Kebetulan Minhyun dan Rania sekelas ya. Jadi, nggak akan ada yang curiga kalau mereka seriang bersama.” Dong Ho tersenyum tulus pada Minhyun.
“Seonbae, apa lagunya tidak bisa di ubah?” Minhyun yang sebelumnya hanya diam pun buka suara.
“Kenapa dengan lagu itu?” Taemin balik bertanya.
“Bukannya terlalu seksi ya?” Minki ikut mengutarakan isi kepalanya.
“Bisa dimodifikasi kan? Nggak melulu harus sama dengan koreografi aslinya.” Taemin kukuh.
“Minhyun bukan anggota Klub Dance lho!” Minki pun kukuh.
“Kalau gitu, minta aja bantuan anggota Klub Dance.”
“Itu Seonbae kan?”
Taemin diam sejenak. Lalu tersenyum. “Iya. Maaf aku lupa. Baiklah. Nanti aku bantu. Kapan kalian mau mulai latihan?”
“Aku… aku belum ngobrol sama Rania.” Minhyun dengan hati-hati.
“Ya udah. Ajak ngobrol dia sana! Tadi tampaknya dia syok juga. Hibur dia dan ajak kerjasama ya. Fighting!” Taemin menyemangati.

Minhyun yang berjalan sendirian menghentikan langkahnya. Ia menemukan Rania yang sedang duduk bersama seorang gadis di taman. Keduanya tampak serius entah membicarakan apa. Setelah memperhatikan dua gadis itu, ia mengamati sekitar. Ia mencari keberadaan Luna. Tapi, ia tidak menemukan gadis itu. Minhyun kembali mengamati Rania. Ia menghela napas dan kembali melangkahkan kakinya.
***

Luna bersyukur karena hari ini Daniel tak bisa latihan bersama dan tak mengantarnya sampai teras rooftop. Saat sampai di teras, ia menemukan Sungwoon dan Woojin sudah duduk manis di bangku yang berada di teras rooftop. Luna tidak menyukai kunjungan tanpa pemberitahuan seperti itu. Tapi, tidak mungkin ia mengusir kedua teman sekelasnya itu. Ia pun mempersilahkan Sungwoon dan Woojin masuk. Lalu, menjamu mereka dengan makanan seadanya.
Sungwoon berdalih ingin melaporkan hasil penyelidikannya. Ketika Luna menyanggah dengan alasan pagi tadi Sungwoon sudah melaporkannya. Pemuda itu membela diri dengan mengatakan, Luna tak menyimak penjelasannya dengan baik pagi tadi.
Luna menggerutu dalam hati setelah mendengar alasan Sungwoon. Mood-nya memang sedang buruk hari ini. Jadi, tidak mungkin ia menaruh fokus penuh pada hal yang tak menarik perhatiaannya.
Sedang Woojin mengutarakan alasannya berkunjung adalah untuk melaporkan kejadian di peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan selepas Luna pergi. Alasan konyol lainnya yang membuat Luna semakin memberengut karena kesal.
“Serius! Aku hanya ingin tidur. Jadi, daripada kalian membuang waktuku lebih banyak lagi, kalian pulang aja deh.” Yakin sudah cukup pantas untuk mengusir kedua tamunya setelah menjamu mereka dengan sederhana, Luna pun berkata jujur jika kedatangan Sungwoon dan Woojin menganggunya.
“Masalah penyelidikan kan dari awal aku bilang udah stop aja. Tapi, kamu masih ngeyel maju. Kalau buat dirimu sendiri, kenapa kamu selalu melapor ke aku?” Luna lurus menatap Sungwoon.
“Kan biar kamu tahu aja.” Sungwoon jadi serba salah.
“Soal Jinyoung dan Lucy, tugasku udah kelar. Aku nggak mau ikut campur lagi!” Luna beralih menatap Woojin.
“Kamu lagi PMS ya? Ketus banget!” Woojin masih saja menanggapi kekesalan Luna dengan candaan.
“Gue cuman pengen tidur!” Luna menjawab dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sungwoon dan Woojin tertegun menatapnya.
Luna mendesah kasar. “Mood-ku lagi buruk banget. Sorry. Aku nggak bermaksud…” ia menatap Sungwoon lalu Woojin. Kemudian kembali mendesah. “Aku hanya lelah.” Keluhnya.
Sungwoon dan Woojin saling memandang dalam diam. Lalu, kompak kembali menatap Luna. Ketika Sungwoon akan bicara, ponsel Luna yang tergeletak di meja bergetar.
Luna menatap layar ponselnya. Terlihat tulisan Cue muncul di layar ponsel yang sedang menyala-nyala. Luna pun segera menerima panggilan video itu.
“Cing!!! Gue ketiban sial! Tolongin gue plis! Gue kudu apa? Gue kudu gimana?” Ketika panggilan tersambung, Rania langsung mengoceh. Wajahnya memenuhi layar ponsel Luna.
“Ketiban sial gimana, Cue? Kamu di mana sekarang?” Luna mendadak panik.
Mendengar kata 'Cue', Sungwoon dan Woojin paham jika Luna mendapat video call dari Rania. Dan, Luna yang mendadak panik membuat keduanya ikut merasa khawatir. Walau tak mengerti dengan apa yang dikatakan Luna, keduanya paham jika Rania sedang dalam kondisi tak baik.
“Gue udah di rumah!”
Luna mengerutkan keningnya dan menghela napas. “Trus, ketiban sial apaan?”
Rania diam sejenak, lalu menghela napas dengan kasar. “Loe yang makan nangkanya, gue yang kena pulutnya.”
“Ngomongmu muter-muter. Aku nggak ngerti. To the point aja napa? Ada yang ngebully kamu?”
Rania terdiam lagi. Lalu, menghela napas panjang. “Gue berasa kayak kena kutuk.”
“Kalau kamu terus ngomong muter-muter gini, aku mati—”
“Jangan!”
Luna kembali menghela napas. “Ngomong yang bener. Ada apa?”
“Gue merasa sial banget, Cing. Apa karena gue nggak ngucap doa yang sama kayak Linda kemarin ya?”
Kening Luna berkerut. Walau ia meminta Rania berterus terang, gadis itu masih saja berputar-putar.
“Makanya gue ketiban sial kayak gini. Bantuin gue dong Cing.”
Luna menelaah setiap perkataan Rania. Ketika ia yakin telah menemukan jawaban dari teka-teki yang dibuat Rania, ia pun kembali menatap layar dan berkata, “Namamu keluar saat undian?”
Rania tak tampak terkejut ketika Luna menebak jawaban dari teka-teki yang ia buat. “Loe emang cerdas, Cing.”
Luna terkejut mendengar jawaban pasrah Rania. “Sial banget sih emang.”
“Sialan, lu! Hibur gue napa?”
“Kemarin kamu antusias banget. Aku pikir kamu tertarik. Jadi, kamu tadi nggak ikut diskusi karena alasan itu?”
Sungwoon dan Woojin tetap menyimak walau mereka tak mengerti apa yang sedang di obrolkan Luna dan Rania melalui video call.
“Gue dateng. Tapi, Dio langsung bubarin diskusi. Gue dipanggil ke kantor OSIS tadi. Gue tahu pasti itu ada hubungannya sama proyek yang dibilang Mark kemarin. Oke lah fine nama gue yang keluar saat undian.”
“Nah, trus sialnya di mana? Kamu fine aja gitu.”
“Dengerin gue cerita dulu, Kucing Buluk!”
Luna menyeringai, melihat reaksi Rania.
“Gue pikir nggak apa lah. Tapi, setelah gue tahu nama anggota OSIS yang nongol barengan nama gue, baru deh gue merasa gue sial banget.”
“Nama Taemin Seonbae yang nongol?”
Sungwoon dan Woojin kompak mengerutkan kening ketika mendengar nama Taemin disebut Luna.
“Lebih parah dari itu!”
“Trus? Siap—” Luna tak melanjutkan ucapannya. Melihat kepanikan Rania, ia paham tentang siapakah nama anggota OSIS yang keluar bersama nama Rania. “Cue, nama itu… Prince?” Ia bertanya dengan hati-hati.
“Iya. Nama Hwang Minhyun keluar barengan sama nama gue! Sial banget kan gue, Cing!”
Sungwoon dan Woojin kompak menatap Luna ketika mendengar Rania menyebut nama Hwang Minhyun. Melihat wajah Luna yang berubah pucat, keduanya yakin jika hal buruk telah terjadi. Entah pada Rania atau Minhyun. Bahkan, mungkin saja keduanya.
***

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews