My 4D's Seonbae - Episode #27 “Ketika Segalanya Menjadi Rumit, Biarkan Waktu Yang Membantumu.”

04:50

Episode #27 “Ketika Segalanya Menjadi Rumit, Biarkan Waktu Yang Membantumu.”

Luna dan Daniel kembali berlatih bersama untuk proyek mereka. Rasa canggung yang sempat ada karena insiden ‘Daniel hampir mencium Luna’ pun mulai sirna. Daniel senang karena Luna cepat menghafal koreografi yang ia buat untuk mereka. Dan, ia pun lega karena Luna tak lagi canggung di depannya.

“Sudah bagus ya? Kalau begitu sedikit lagi, kita bisa membuat video dance kita?” Luna antusias.
Daniel mengangguk. “Video itu sebenarnya untuk apa?”
“Rahasia.”
“Rahasia? Ya, kamu minta aku bikin koreografi, lalu ngajarin dan nemenin kamu dance. Tapi, semua itu untuk rahasia?”
Luna hanya tersenyum menanggapi aksi protes Daniel.
“Nggak seru ah!” Daniel pura-pura sewot.
“Tunggu sebentar saja. Nanti pasti kamu akan tahu. Jangan lupa bantu doa juga ya.”
“Nggak mau!” Daniel masih berakting sewot.
Luna tersenyum dan menggeleng. Kemudian meneguk air mineral miliknya.
Daniel melirik Luna. Gadis itu mengabaikannya. “Dasar, Kucing!” Umpatnya dengan lirih.
“Aku bisa dengar.”
Daniel tersenyum. Ia menghela napas dan menatap langit malam. Malam ini ia mengajak Luna berlatih di teras rooftop. “Lalu, kita akan syuting di mana?”
“Ada usul?”
“Di keramaian atau privasi seperti di sini?”
“Privasi. Karena ini proyek rahasia. Atau kita datang ke tempatnya langsung?”
“Tempatnya langsung? Ya! Kucing Hitam dari Bulan! Ngomongmu berputar-putar. Aku nggak paham.”
Just keep follow me and praying.
“Ish!”
“Oya, aku ingin memberitahumu soal ini sekarang.”
“Tentang apa?”
“Sabtu nanti, mungkin Jihoon akan ikut saat aku membuat vlog di cafe tempatmu bekerja.”
Senyum di wajah Daniel sirna ketika Luna menyebut nama Jihoon. “Kenapa begitu?” Ia bertanya karena penasaran. “Dia cemburu karena kamu pergi sama aku? Kalian kan cuman pura-pura. Harusnya dia nggak kayak gitu dong ke kamu.”
“Dengarkan aku dulu!” Nada bicara Luna sedikit meninggi hingga membuat Daniel terkejut. “Maaf. Habisnya kamu langsung ngoceh padahal aku belum kasih penjelasan.”
“Kalau Jihoon nggak cemburu, aku yang bakal cemburu liat kamu sama dia kalau dia ikut!” Daniel pun menaikan volume suaranya hingga membuat Luna terkejut dan tertegun menatapnya.
Daniel terkekeh setelah Luna tertegun selama beberapa detik. “Kenapa kamu lucu sekali sih!” Daniel mencubit kedua pipi Luna dengan gemas.
“Nggak lucu ih! Sakit tahu!” Luna mengibaskan kedua tangan Daniel.
“Maaf. Tapi, aku benar-benar cemburu.”
“Serah lu deh!” Luna menggunakan Bahasa Indonesia.
Daniel tersenyum melihat tingkah Luna. “Nggak papa. Biarin aja dia ikut. Toh kita di sana buat kerja. Bukan mesra-mesraan kayak gini. Ya, kan?”
“Dih! Mesra-mesraan!” Luna memang menanggapinya sebagai candaan. Tapi, ada rasa tak karuan yang menyeruak di dadanya ketika Daniel menyebut kata ‘mesra-mesraan’. Mendadak wajahnya terasa panas.
“Jadi, mau syuting di mana?” Ketika menyadari situasi mulai canggung, Daniel pun mengalihkan topik.
“Nanti aku pikirkan.”
Daniel mengangguk dan meneguk air mineral miliknya.
***

Tim perwakilan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun kembali berkumpul di taman setelah jam pelajaran usai. Mereka sepakat untuk tidak menggunakan jasa pelatih tari dan mencari tutorial tari di Youtube seperti saran Luna. Setelah menonton bersama beberapa video Tari Buchaechum di Youtube, mereka sepakat mencontoh Tari Buchaechum dari BKK UI. Selanjutnya, mereka membahas tentang kostum dan tempat untuk latihan.

Jihoon, Joohee, dan Daehwi berjalan bersama. Mereka melihat Luna sedang berkumpul dengan anggota Persatuan Murid Asing.
“Pasti mereka sedang merundingkan sesuatu untuk festival sekolah.” Daehwi yakin dengan dugaannya. “Kita samperin yuk!”
“Eh!” Joohee menahan Daehwi.
“Kenapa?”
“Emang nggak papa? Kalau kita mengganggu gimana?”
“Udah. Nggak papa. Ada Park Jihoon juga. Mereka nggak akan marah.”
“Kok aku?” Jihoon menunjuk hidungnya sendiri.
“Kalau Luna Seonbae butuh bantuan, apa kamu nggak mau bantu?”
“Ya mau sih.”
“Kalau gitu ayo!” Daehwi berjalan memimpin. Mau tak mau Joohee dan Jihoon mengikutinya.

Annyeong haseyo.” Daehwi menyapa ketika sampai di meja tempat Luna dan teman-temannya berkumpul.
Luna dan teman-temannya pun menyambut kedatangan Daehwi dengan ramah.
“Wah, Daehwi dan Joohee. Hey, aku nonton lho video proposal Daehwi untuk Joohee.” Ira menyambut dengan hangat. “Itu keren!” Ia memberikan dua jempolnya untuk Daehwi.
Daehwi tersipu. “Kamsahamnida.” Ia membungkuk saat berterima kasih.
“Park Jihoon datang untuk menjemput Luna? Sayang sekali kami masih harus meminjam Luna darimu.” Dio meminta maaf dengan tulus.
An-anee. Santai saja.” Gantian Jihoon yang tersipu. Ia beralih menatap Luna yang duduk diapit Rania dan Linda. Luna tersenyum padanya. Tapi, Rania sinis dan Linda datar saja.
“Berunding untuk festival sekolah ya?” Daehwi memberanikan diri bertanya.
“Iya nih. Tinggal nyari tempat buat latihan.” Dio membenarkan.
“Latihan? Butuh tempat luas?”
“Iya tentunya. Untuk kami bersembilan. Rooftop Luna nggak akan cukup walau terasnya cukup luas.”
“Jihoon punya tempat yang luas!” Daehwi antusias.
Seperti dikomando, mata semua gadis yang sedang duduk berkumpul itu kompak terfokus pada Jihoon.
Jihoon terkejut. Menatap satu per satu murid asing yang kompak menyerangnya. Tatapannya berhenti pada Luna. “Eung, iya. Aku punya ruang latihan di rumahku. Kalau dibutuhkan, silahkan. Seonbaenim sekalian boleh pakai.”
“Woa! Itu sempurna! Park Jihoon, terima kasih!” Dio berseru penuh semangat. “Bagaimana? Kalian setuju kita latihan di tempat Jihoon? Siapa yang setuju berlatih di tempat Jihoon?” Dio mengangkat tangan.
Esya, Jae, Ira, Sasha, Nathaline mengangkat tangan kanan mereka. Lalu, semua mata beralih menatap Rania, Luna, dan Linda.
“Aku ikut suara terbanyak.” Linda mengangkat tangan kanannya.
Rania yang kini mendapat serangan segera menyikut Luna.
“Oke. Kalau Jihoon nggak keberatan, nggak papa kita berlatih di sana. Terima kasih, Jihoon.” Luna langsung memberi jawaban.
Dio berdecak. “Bilang terima kasihnya yang mesra dong! Kan ke pacar sendiri.”
Jihoon segera tersipu karena Dio menggoda Luna. Sedang Rania berakting seolah akan muntah. Untung tak ada yang menyadari reaksi Rania. Sedang Luna, hanya tersenyum saja menanggapi Dio.
“Trus, kapan kita mulai berlatih? Sabtu besok?” Dio masih antusias.
“Kan udah aku bilang, aku Sabtu nggak bisa.” Luna kembali bicara.
“Aku juga nggak bisa.” Rania menyambung.
“Bagaimana Jihoon?” Dio beralih bertanya pada Jihoon.
“Kok tanya saya?” Jihoon balik bertanya.
“Tempat kamu boleh dipakai hari apa aja?”
“Oh itu. Bebas. Tapi, kalau Sabtu besok, maaf saya tidak bisa.”
“Luna juga nggak bisa. Kalian mau kencan ya?”
Jihoon kembali tersipu.
“Kalau gitu, hari Minggu bagaimana?”
“Silahkan.”
“Yang lain?”
Anggota Persatuan Murid Asing setuju.
“Baiklah. Hari Minggu kami minta izin datang ke rumahmu ya Park Jihoon. Terima kasih karena sudah mau membantu kami.”
Jihoon tersenyum dan mengangguk. Ia lalu beralih menatap Luna. Gadis itu tersenyum padanya.

Hanya tersisa Rania, Luna, dan Linda di taman. Sepuluh menit berlalu, ketiganya saling diam. Luna sibuk dengan naskah drama di tangannya dan Linda dengan ponselnya. Sedang Rania tampak melamun.
“Cing, gue kudu gimana dong Sabtu ntar?” Rania memecah keheningan.
Linda langsung mengangkat kepala dan beralih menatap Rania. Sedang Luna, masih terfokus pada naskah di tangannya.
“Sabtu mulai latihannya, Mbak?” Linda merespon keluhan Rania.
“Linda tahu?” Luna langsung mengalihkan fokusnya dari naskah.
“Dia yang pertama kali jadi tempat sampah yang nampung rasa kesel gue. Lo sih main ngilang aja! Lagian dia di tim kita.”
“Linda emang nggak gampang keceplosan kayak kamu.”
“Kucing sama ikan berantem mulu.” Linda menggoda Luna dan Rania.
“Taemin itu beneran baik orangnya? Kenapa lo nggak mau nemenin gue sih, Cing?”
“Taemin Seonbae baik dan care orangnya. Beruntung kamu dapat patner dua orang baik.”
“Kalau Jihoon?”
Luna menatap Rania yang duduk di sebelah kanannya. “Kok larinya ke Jihoon?”
“Kan hari Minggu besok kita bakalan latihan di rumah monster cute itu.”
“Dia baik kok. Tenang aja. Udah aku jinakin.”
“Percaya. Jurle udah cerita soal itu?”
“Jurle? Cerita apa dia ke kamu?”
“Jurle? Siapa itu, Mbak?” Linda menyela.
“Juragan Lele, si Jaehwan.” Rania menjawab pertanyaan Linda. “Jurle bilang lo berhasil jinakin Jihoon.”
“Dasar biang gosip!”
“Dia baik juga tahu!”
“Dasar ikan sama kucing. Nggak ada akurnya.” Linda merapikan tasnya. “Aku pulang dulu ya!” Ia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Rania dan Luna.
Rania dan Luna sama-sama diam. Hanya terdengar desiran angin yang membuat daun-daun bergesekan di sekitar mereka.
***

Luna mengamati bayangannya di cermin. Karena memprediksikan hari ini ia akan banyak bergerak, Luna mengingkat rambut panjangnya dengan gaya ponytail dan mengepangnya. Ia pun merias wajahnya dengan make up minimalis.

Dandan? Buat siapa sih? Daniel? Ganjen banget lu!
Luna mendengar suaranya sendiri sedang mengomentari bayangannya di cermin. “Tiap mau bikin video kan aku pakek make up tipis-tipis. Biar nggak pucet!” Ia menjawab dirinya sendiri.
Selesai mengoreksi penampilannya, Luna melihat jam di tangan kanannya. Masih kurang tiga puluh menit dari waktu janjian. Ia pun kembali memeriksa perlengkapan yang akan ia bawa. Kemudian, ia memasukkan semuanya ke dalam tas punggung hitam favoritnya.
“Kok aku gugup banget ya? Huft… ini kan bukan yang pertama. Ayo, Luna! Kamu pasti bisa! Kita buat kejutan untuk Indonesia! Semangat!” Luna menyemangati dirinya sendiri.
Terdengar ketukan di pintu depan. Luna bergegas keluar dari kamarnya dan membuka pintu. Jihoon tersenyum manis ketika pintu terbuka.
“Pagi sekali.” Luna membuka pintu lebar-lebar. 
“Aku tahu kamu on time banget orangnya.” Jihoon pun masuk ke dalam rooftop. “Kamu udah sarapan?”
“Mm.” Luna mengangguk. “Duduk dulu.”
Jihoon pun duduk di sofa. Luna kembali ke kamar untuk mengambil tas punggungnya. Ia membawa tas itu ke ruang tamu. Meletakannya di samping Jihoon.
“Aku gugup banget.” Luna pun duduk di samping kiri Jihoon. “Padahal bukan yang pertama.”
“Bikin video bukan yang pertama, tapi kerja paruh waktunya yang pertama. Wajar kalau kamu gugup.” Jihoon memberikan alasan yang logis. “Atau…”
“Mulai lagi?” Luna memotong ucapan Jihoon karena ia yakin Jihoon pasti akan berkomentar jika ia gugup karena Daniel.
Jihoon tersenyum. Kemudian, ia mengamati penampilan Luna. Gadis itu selalu tampil kasual. Yang membuat gadis itu berbeda hari ini adalah adanya riasan tipis yang melukis wajah ayunya. “Kalau ke sekolah jangan pakek riasan kayak gitu.” Jihoon mengomentari riasan di wajah Luna. “Kalau kamu dandan ke sekolah, ntar tambah banyak yang naksir kamu. Nggak dandan aja udah banyak yang naksir. Apalagi dandan. Ntar Kim Jiyoon Seonbae bisa makin menggila ke kamu.”
“Ish! Jangan rusak mood-ku!”

Daniel tiba di rooftop 15 menit setelah Jihoon. Karena pintu rooftop terbuka, ia pun langsung masuk. Di dalam rooftop ia menemukan Luna dan Jihoon sudah duduk menunggunya di sofa. Keduanya menunggu sambil belajar dialog drama yang akan mereka pentaskan saat festival sekolah.
Luna menyambut Daniel dengan ramah. Ia ingin bertanya apa Daniel sudah sarapan. Tapi, ia merasa sungkan pada Jihoon. Saat Luna dibuat sibuk dengan pikirannya, Daniel tiba-tiba mengulurkan bungkusan di tangannya.
“Eh? Apa ini?” Luna menatap tangan kanan Daniel yang terulur.
Jihoon yang masih bertahan duduk di sofa, diam dan menonton.
“Titipan dari omma. Kimchi.” Daniel menggerakkan tangan kanannya.
“Wah, terima kasih.” Luna menerima bungkusan itu dan melirik Jihoon. Ia bisa melihat perubahan ekspresi Jihoon. Tiba-tiba ia merasa menyesal karena mengabulkan permintaan Jihoon untuk ikut dalam misinya hari ini.
Luna membawa kimchi pemberian ibu Daniel dan menyimpannya ke dalam kulkas. Selesai dengan itu, ia bergegas kembali ke ruang tamu. “Kita berangkat sekarang?”
“Oke.” Daniel setuju. Ia pun keluar dari rooftop lebih dulu.
“Yuk!” Luna mengajak Jihoon yang segera bangkit dari duduknya.
“Apa tidak apa-apa bagi Jihoon? Harus jalan kaki dan naik bus?” Daniel saat berjalan menuruni tangga.
“Aku sudah pernah melakukannya. Itu menyenangkan.” Jawab Jihoon yang berada di barisan paling belakang.
Daniel hanya menganggukkan kepala. Menerima kesanggupan Jihoon.

Daniel, Luna, dan Jihoon berjalan bersama menyusuri jalanan komplek tempat tinggal Luna dan Daniel untuk menuju halte terdekat. Luna tidak tahu harus memulai obrolan apa agar perjalanan tidak hening dan canggung seperti itu. Bagaimanapun juga, hari ini berjalan seperti itu—ia pergi bersama Daniel dan Jihoon—adalah keputusannya.
Saat Luna sibuk dengan pikirannya, Daniel bersuara. Ia menjelaskan tentang bagaimana pekerjaan paruh waktu yang biasa ia lakukan. Ia membeberkan aturan-aturan kerja kepada Luna dan Jihoon. Berkat Daniel, suasanana canggung jadi sedikit teratasi. Jihoon pun tak sungkan untuk bertanya pada Daniel perihal peraturan di cafe tempat Daniel bekerja.
Di dalam bus, mereka memilih bangku panjang di belakang agar bisa duduk bersama. Jihoon duduk di dekat jendela, Luna duduk di samping kanannya, dan Daniel duduk di samping kanan Luna. Mereka pun akhirnya sampai di cafe tempat Daniel bekerja paruh waktu.
Beruntung Daniel bisa meminta sif pagi di hari Sabtu. Dengan begitu Luna tetap bisa mencoba kerja paruh waktu dan kemudian pergi bersama Jihoon ke Hongdae. Pemilik dan manajer cafe sengaja menunggu kedatangan Luna. Mereka kaget ketika Luna datang bersama Park Jihoon yang seorang mantan artis cilik. Pemilik cafe sendiri yang memberikan seragam cafe pada Luna dan Jihoon.

“Hari ini aku merasa senang seperti sedang berulang tahun. Orang asing dan mantan artis cilik akan bekerja sehari di cafe milikku. Mimpi apa aku semalam?” Pria necis itu mengungkapkan perasaannya.
“Saya berterima kasih karena Tuan memberi saya kesempatan untuk mencoba bekerja di cafe milik Tuan. Kamsahamanida.” Luna membungkukkan badan.
“Saya pun merasa sangat senang karena diizinkan bergabung. Kamsahamnida.” Jihoon membungkukkan badan, turut berterima kasih.
“Harus kah aku memberi bonus untuk Kang Daniel?” Ujar pemilik cafe. “Dia yang membawa kalian ke sini. Dan, aku yakin omset dan profit cafe akan naik setelah kalian bekerja sehari di sini.”
“Tuan hanya perlu menjaga Kang Daniel dengan baik. Karena, dia memiliki garis nasib yang baik.” Luna mengomentari ocehan pemilik cafe.
“Iya kah? Kau ini bisa meramal?”
“Hanya sedikit.”
“Kalau begitu, ramal aku setelah jam kerjamu usai ya.”
“Tidak. Tidak. Saya hanya bercanda.”
Pemilik cafe tergelak. “Silahkan bersenang-senang.”

Usai membuat video pembuka, bersama Daniel dan karyawan cafe lainnya Luna turut mempersiapkan cafe. Sedang Jihoon memenuhi janjinya, bertugas sebagai juru kamera. Setelah cafe di buka, Luna yang menunggu datangnya pengunjung kembali membuat rekaman. Ia mengungkapkan perasaannya setelah mendapat kesempatan bekerja paruh waktu di cafe di Korea. Ketika ada pengunjung datang, Luna antusias. Tapi, ia tak berani melayani pengunjung. Ia hanya memperhatikan. Ketika ada pengunjung yang datang lagi, Luna tak menolak kesempatan yang diberikan padanya untuk melayani pengunjung.
Luna mudah beradaptasi dan bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Semakin siang cafe semakin ramai, Luna pun semakin sibuk. Jihoon si juru kamera kadang mengikutinya, kadang merekam kegiatan Luna dari kejauhan. Agar tak dikenali, Jihoon mengenakan masker untuk menyembunyikan wajahnya.
Tidak terasa lima jam berlalu. Jam kerja paruh waktu Luna, Daniel, dan Jihoon pun selesai. Pemilik cafe mengundang ketiganya ke kantor. Pria necis itu menyajikan hidangan untuk dinikmati bersama Daniel, Luna, dan Jihoon.

“Park Jihoon, kenapa kau menutupi mukamu dengan masker hampir sepanjang kau bekerja?” Pemilik cafe mengomentari penampilan Jihoon.
“Kalau penggemar Park Jihoon melihatnya di sini, bisa-bisa terjadi kekacauan. Ini akhir pekan, Bos.” Daniel yang memberi jawaban. “Lagi pula, setelah mereka mengunggah foto, saya yakin cafe milik Bos akan makin terkenal.”
“Iya ya? Hahaha. Cara berpikir anak muda memang lebih kreatif.”
“Bagaimanapun, saya sangat berterima kasih untuk hari ini.” Luna kembali mengungkap rasa terima kasihnya.
“Kau lelah?”
“Iya. Sangat. Cafe milik Tuan benar-benar jos gandos!” Luna memberikan dua jempolnya.
“Eh? Apa itu? Jos? Gan-dos?”
“Keren!”
“Oh! Hahaha. Kau ini ada-ada saja. Aku tidak pernah mendengar itu.”
“Itu istilah dari Indonesia.”
“Oh! Hahaha. Ya ampun! Hari ini aku benar-benar senang! Oya, silahkan dimakan. Ini adalah menu andalan cafe kami. Banyak yang menyukainya.”
“Boleh saya foto dulu?” Luna meminta izin.
“Silahkan! Silahkan!” Pemilik cafe tersenyum puas.

Selesai menikmati hidangan, Jihoon menuliskan pesan dan memberikan tanda tangannya untuk cafe. Luna yang diminta melakukan hal yang sama pun kaget. Ia merasa bukan idol tapi diberi kesempatan yang sama seperti Jihoon. Ia pun menulis pesan singkat dalam Bahasa Korea, Inggris, dan Indonesia. Lalu, membubuhkan tanda tangannya. Pemilik cafe memberikan kaos yang dikenakan Luna dan Jihoon sebagai kenang-kenangan. Ia pun memberi bingkisan untuk keduanya.
Daniel, Luna, dan Jihoon bersama-sama meninggalkan cafe. Luna tak hentinya mengungkap kekagetannya atas sikap pemilik cafe yang sangat ramah dan memberinya ruang dengan leluasa.
“Lalu, kamu akan ke mana?” Luna bertanya pada Daniel.
“Mengambil kerja paruh waktu yang lain.”
“Eh? Masih ada lagi?”
“Yap. Akhir pekan waktunya bekerja di sana-sini. Banyak bonus yang bisa didapat.” Daniel tersenyum lebar.
Luna merasa iba. Jika ia bebas bersenang-senang di akhir pekan, Daniel justeru harus bekerja keras.
“Kalian akan langsung pulang?” Gantian Daniel bertanya. Hanya basa-basi. Ia tahu setelah ini Luna akan ke Hongdae bersama Jihoon. Luna sudah menjelaskan semuanya. Karena alasan itu lah ia meminta sif pagi di Sabtu ini.
“Kami akan ke Hongdae. Ada sesuatu yang harus kami lakukan di sana.” Luna menjawab dengan jujur.
Daniel merasakan sesak di dadanya. Hongdae dan akhir pekan. Waktu yang sempurna untuk berkencan bagi sepasang kekasih. Walau tahu Luna dan Jihoon hanya sepasang kekasih palsu, Daniel tetap merasa kesal karena cemburu.
“Baiklah. Selamat bersenang-senang. Kita berpisah di sini.” Daniel pun pamit. Kemudian pergi meninggalkan Luna dan Jihoon.
Luna menatap punggung Daniel yang berjalan menjauhinya. Ingin ia mengajak Daniel untuk pergi bersama. Tapi, ia tak tahu apa yang direncanakan Jihoon di Hongdae. Ia hanya bisa menghela napas panjang sambil terus menatap punggung Daniel yang semakin jauh dari jangkauan pandangnya.
“Kita pergi sekarang?” Jihoon menyela kekhusyukan Luna.
Luna menganggukkan kepala. Lalu, berjalan bersama Jihoon ke arah yang berlawanan dengan Daniel.
***

Hari sudah gelap ketika Jihoon dan Luna sampai di Hongdae. Tangan kanan Jihoon membawa bingkisan miliknya dan milik Luna. Sedang tangan kirinya menuntun tangan kanan Luna yang berjalan di samping kirinya. Jihoon menggenggam erat tangan kanan Luna. Suasana di Hongdae sangat ramai. Jihoon khawatir Luna akan terpisah darinya jika ia tak menuntun dan membawa gadis itu di dekatnya.

Jihoon menuntun Luna menuju sebuah kerumunan. Ia membelah penonton yang berkerumun untuk bisa sampai ke depan. Jihoon tersenyum puas saat sampai di depan kerumunan.
Street dance? Luna membatin. Namun, ia hanya diam dan menonton pertunjukan dance di depan sana.
“Tunggu sebentar lagi.” Jihoon berbicara dekat di telinga Luna.
Luna menoleh ke arah kanan, menatap Jihoon dengan ekspresi tak paham.
“Sebentar lagi.” Jihoon meminta Luna bersabar.
Ini anak mau kasih liat apaan sih? Luna kembali menghadap depan.
Pertunjukan dance selesai. Seorang pemuda maju bertindak bak MC dari acara dance di jalanan itu. Pemuda itu sedikit berbasa-basi lalu memanggil sebuah nama dari grup dancer. Jihoon bertepuk tangan dengan antusias ketika grup dancer yang beranggotakan  tiga orang remaja itu maju. Luna kembali menoleh ke arah kanan. Ia heran melihat antusiasme Jihoon.
Jihoon yang masih bertepuk tangan menyadari bagaimana Luna menatapnya. Ia pun tersenyum. “Mereka salah satu anggota dari komunitas kami.” Ia mulai menjelaskan pada Luna.
“Setahun yang lalu aku bertemu dengan anak-anak jalanan yang punya bakat dance. Tapi, mereka memiliki keterbatasan biaya untuk mengembangkan bakat. Karena itu, bersama mereka aku membentuk komunitas dance jalanan. Kami punya basecamp untuk berkumpul dan berlatih. Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke sana. Tapi, menunggu waktu yang pas saja. Karena malam ini salah satu tim kami tampil di Hongdae, aku mengajakmu ke sini.” Jihoon kembali tersenyum setelah selesai menjabarkan alasannya mengajak Luna ke Hongdae.
Luna tertegun. Ia terkejut, juga kagum. Ia tak menyangka jika Jihoon yang terkenal sebagai monster, ternyata memiliki kepedulian yang sangat tinggi. “Mulia sekali.” Luna memuji sikap Jihoon.
Aniya. Eh, itu! Mereka mulai!” Jihoon masih penuh antusiasme.
Luna tersenyum melihat begitu antusiasnya Jihoon. Ia pun turut menonton pertunjukkan dance jalanan dari tim Jihoon.
Jihoon sempat memperkenalkan Luna pada timnya. Mereka berkumpul dan ngobrol sejenak. Jihoon pun sempat mentraktir timnya. Melihat Luna yang tampak kelelahan, Jihoon pun memilih pamit pergi lebih dulu. Karena Luna tak ingin pergi ke tempat lain, Jihoon pun mengantar Luna pulang. Keduanya kembali naik bus untuk pulang.

Jihoon yang sempat mengajak Luna mampir ke swalayan membongkar belanjaannya ketika sudah duduk di bangku di teras rooftop Luna. Ia memberikan es krim rasa vanila pada Luna. “Kamu suka rasa vanila, kan?” Jihoon mengulurkan tangan kanannya yang memegang es krim.
“Gomawo.” Luna menerima es krim pemberian Jihoon. “Cocok untuk melepas lelah usai seharian berkeliaran. Terima kasih karena hari ini sudah mau susah-susah jadi kameramen.”
“Itu menyenangkan. Terus memantau gadis yang aku sukai. Mengabadikan setiap gerak-geriknya.”
“Kamu terdengar seperti psikopat tahu!”
Jihoon tersenyum manis. “Besok ke rumah jam berapa?”
“Ngapain? Oh! Astaga! Latihan itu ya? Dio bilang jam 10 aja.”
“Oke. Aku jemput ya?”
“Nggak usah. Aku janjian sama Rania dan Linda.”
“Oke.”
“Duh!” Luna mengeluh.
Jihoon memperhatikan Luna. Tangan kanan gadis itu memegang es krim, sedang tangan kirinya sibuk entah mencari apa di dalam tas punggungnya. “Wae?
“Makan es krim bisa belepot gini. Kayak anak kecil aja.” Luna masih sibuk dengan tasnya. “Tisuku mana sih?”
“Ini. Aku punya.”
“Baguslah!” Luna pun menoleh dan menghadap pada Jihoon. “Mana?” Ia meminta tisu pada Jihoon.
Jihoon tersenyum melihat sisa es krim di sudut bibir Luna. Ia pun merunduk dan membersihkan sisa es krim di sudut bibir Luna dengan bibirnya.
Luna terkejut karena Jihoon tiba-tiba menciumnya. Sejenak ia merasa tubuhnya kaku. Ia tak bisa bergerak. Namun, ia merasakan rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya.
Jihoon melepas ciumannya. Kemudian, ia mengelus sudut bibir Luna dengan jempol tangan kanannya. “Nah, sudah bersih.” Ia tersenyum puas.
“Ya! Park Jihoon!” Luna mengerjapkan kedua matanya. Seolah nyawanya yang sempat melayang dari tubuhnya telah kembali.
“Aku hanya memberikan tisu yang aku punya untuk membersihkan sisa es krim di bibirmu.”
“Ya! Park Jihoon! Kau!”
Wae? Mau lagi?” Jihoon tersenyum nakal.
Di dalam dirinya, ada keinginan yang mendorong untuk meninju atau melempar es krim di tangan kanannya ke muka Jihoon. Tapi, Luna hanya bisa diam dan menatap Jihoon dengan rasa entah geram atau gemas.
“Oh! Aku sudah dijemput!” Seolah tak terjadi sesuatu, Jihoon memeriksa ponselnya dengan santai. “Aku pulang ya.” Ia bangkit dari duduknya. Jihoon tersenyum puas menatap Luna yang seolah kehilangan jiwanya. “Apa perlu aku membantumu masuk?”
“Sudah pergi sana!”
“Habiskan es krimnya. Lalu istirahatlah. Bye, Luna!” Jihoon pun berjalan pergi meninggalkan Luna. Ia tak bisa berhenti tersenyum. Ia pun berlari kecil dan menuruni tangga.
Jihoon menghilang di tangga. Luna menatap puncak tangga yang kosong. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu menatap es krim di tangan kanannya. Ia mengangkat tangan kanannya, hendak membuang es krim itu. Tapi, tiba-tiba terdengar suara ibunya menggema, “Jangan suka buang makanan! Nanti kualat!”
Luna mendesah kesal. Ia bangkit dari duduknya dan bergegas masuk ke dalam rooftop. Ia menuju dapur, mengambil gelas, dan memasukan es krim pemberian Jihoon ke dalam gelas. Kemudian, ia memasukan gelas berisi es krim itu ke dalam freezer.
Luna menyentuh sudut kiri bibirnya. Rasa hangat ketika Jihoon menciumnya kembali muncul. Luna menurunkan tangan kanan yang menyentuh sudut bibirnya. Ia bergegas ke kamar mandi dan mencuci muka berulang-ulang.
***

Rania tak menduga jika Minhyun akan menjemput dan mengantarnya seperti ini. Menyesuaikan jadwal Taemin, sore tadi Minhyun menjemput dan membawanya menuju studio tempat Taemin menunggu. Rania berusaha keras membuat dirinya santai. Tapi, tetap saja ia terlihat canggung di depan Minhyun. Saat sampai di studio dan bertemu Taemin, rasa canggungnya semakin menjadi.
Taemin menyambut Rania dengan ramah. Ia pun meminta maaf karena telah membuat Rania terlibat dalam proyek yang merupakan idenya yang kemudian disetujui oleh seluruh anggota OSIS. Ia pun menyanggupi akan membantu Rania. Tak lupa ia menyemangati Rania.
Meski Taemin bersikap ramah, Rania belum bisa mengatasi rasa canggungnya pada Minhyun. Ia yang duduk di samping kiri Minhyun berusaha konsentrasi penuh saat Taemin menjelaskan gerakan dance yang akan dimodifikasi.
Hari pertama latihan dihabiskan untuk membahas gerakan yang akan dimodifikasi. Taemin berjanji akan membuat video tutorial agar bisa pelajari Rania dan Minhyun. Dua jam pertemuan, terasa bagai berjam-jam bagi Rania. Semua karena sikap dingin Minhyun dan rasa canggungnya. Taemin memang banyak membantu untuk membuatnya merasa nyaman. Tapi, Minhyun-lah yang membuatnya tak nyaman.

Rania turun dari boncengan Minhyun. Ia melepas helm yang bertengger di kepalanya dan memberikannya pada Minhyun.
“Terima kasih untuk hari ini.” Rania membungkukkan badan.
“Aku akan menjemput dan mengantarmu selama kita latihan bersama.”
Nee??” Rania merasa salah dengar. “Eung… anu, aku bisa berangkat sendiri kok.”
Minhyun diam dan menatap Rania lurus-lurus.
“Oke. Thank you.” Rania pun menyerah. Ini anak gini banget sih! Apa karena gue sohibnya Kucing?
“Maaf kalau aku membuatmu nggak nyaman.”
Nee??” Lagi-lagi Rania dibuat tertegun. “Nggak kok. Aku hanya belum terbiasa. Mian.”
“Apa perlu kita ajak Jaehwan di latihan berikutnya?”
Nee?? An-aniyo! Nggak usah. Lagian ini kataya kan proyek rahasia. Aku rasa Taemin Seonbae nggak akan setuju.”
“Kamu bisa nyaman sama Jaehwan dan Jinyoung, tapi nggak sama aku. Kenapa?”
Rania tertegun menatap Minhyun. “Itu… karena… karena kamu terlalu pendiam. Aku hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Mian.”
Minhyun tersenyum. Benar-benar tersenyum. Senyum tulus yang baru pertama kali ia tunjukan di depan Rania. “Aku juga minta maaf. Aku pun butuh beradaptasi. Mari kita bekerja sama dengan baik.”
Rania yang sempat tertegun karena senyuman tulus Minhyun pun mengangguk.
“Masuklah.”
“Tidak. Kamu pergi dulu.”
Minhyun menatap Rania sejenak. Lalu, mengangguk dan mengenakan helmnya. Kemudian ia pun menghidupkan kembali motornya dan pergi dari hadapan Rania.
Rania menghela napas panjang. Ia merogoh ponsel dalam tasnya dan segera mencari nomer kontak Luna. “Kenapa Kucing belum baca semua pesanku sih?” Ia menggerutu sembari masuk ke dalam rumah.

Selesai membersihkan diri, Rania kembali mengecek ponselnya. Luna tak kunjung membalas pesannya. Di dalam grup chat yang dibuat Dio pun Luna tak muncul. Padahal bergantian rekan sesama murid asing yang tergabung dalam tim Tari Buchaechum memanggil nama Luna.
“Kucing kenapa ya? Masa iya kerja paruh waktunya belum kelar? Kan cuman lima jam. Apa dia kecapekan?” Rania menghubungi Luna lewat video call. Tapi, sahabatnya itu tak kunjung menerima panggilannya. Rania pun berganti menghubungi Luna dengan panggilan telepon biasa.
Nomer yang sedang Anda tuju sedang tidak aktif atau…
Rania mengakhiri panggilannya. “Kucing! Lo ngapain sih? Gue kan pengen ngobrol sama lo tentang latihan gue hari ini!” Ia menatap kesal layar ponselnya. “Awas lo ya! Besok ketemu gue hajar!” Rania menjatuhkan tubuh lelahnya ke ranjang. Ia pun memejamkan mata. Berusaha untuk tidur.
***
 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews