My 4D’s Seonbae - Episode #28 “Selalu Ada Alasan di Balik Sebuah Tindakan, Walau itu Sebuah Kebohongan.”

04:52


Episode #28 “Selalu Ada Alasan di Balik Sebuah Tindakan, Walau itu Sebuah Kebohongan.”




Luna duduk bersama rekan satu klubnya. Hari ini adalah jadwal untuk menyeleksi calon anggota baru yang sudah mengisi formulir pendaftaran. Klub Teater merupakan salah satu klub besar dan populer di SMA Hak Kun. Karena itu, setiap tahun banyak yang mengirim lamaran untuk bisa menjadi anggota. Luna tak bisa menolak ketika ia diminta bergabung dalam tim penyeleksi. Ketika sampai pada formulir dengan nama Park Jihoon, rekan-rekannya jadi sedikit ribut. Luna bingung. Ada apa dengan nama itu? Kemudian ia mendengar kasak-kusuk rekan-rekannya yang membicarakan tentang Park Jihoon yang seorang mantan artis cilik. Pemuda itu masih aktif di dunia hiburan saat masih SMP. Ketika masuk SMA, pemuda itu mengumumkan bahwa akan vakum sejenak dari dunia hiburan, karena ingin fokus belajar.
Ketika Luna menelaah semua yang ia dengar, murid bernana Park Jihoon maju. Membuat rekan-rekan perempuan yang berada di dalam basecamp untuk turut memantau jalannya seleksi anggota jadi sedikit heboh. Luna mengangkat kepala, menatap pemuda yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Kebetulan ia mendapat tempat duduk paling tengah. Posisi yang membuatnya berhadapan langsung dengan calon anggota.
Luna mengamati pemuda bernama Park Jihoon yang sukses membuat teman-temannya heboh. Pemuda itu memiliki wajah yang tampan sekaligus manis. Tingkahnya yang malu-malu memang menggemaskan. Pantas saja jika teman-teman perempuannya jadi heboh. Namun, baginya sikap Jihoon itu terlalu berlebihan dan terlalu dibuat-buat. Ia tak menanyakan apa pun pada Jihoon saat proses seleksi. Ketika teman-temannya meloloskan Jihoon, ia pun setuju.
Menjadi satu klub dengan orang terkenal membuat Luna sering mendengar obrolan tentang Park Jihoon. Mau tak mau ia selalu mendengar kisah pemuda itu. Karena berada di satu klub yang sama, mereka sering bertemu di basecamp. Kebetulan mereka selalu datang paling awal ketika akan ada pertemuan. Awalnya mereka saling canggung. Jihoon yang berstatus hoobae selalu menyapa Luna lebih dulu. Karena kebiasaan itu, Luna membuka diri. Ia memulai obrolan dan Jihoon menyambutnya dengan ramah. Karena sering ngobrol, mereka menjadi akrab. Obrolan yang kemudian membuat mereka saling berkeluh kesah karena ketenaran masing-masing.

“Jihoon-aa, kau mau mencoba sebuah permainan?” Luna mengutarakan ide di kepalanya.
“Permainan?”
Luna mengangguk.
“Apa itu?”
“Ini sedikit konyol, tapi aku rasa akan efektif bagi kita.”
“Katakan, permainan apa itu?”
Luna ragu, tapi Jihoon tak sabar ingin mendengar permainan yang disebutkan Luna. “Permainan kita pura-pura berpacaran.” Luna mengutarakan idenya dengan cepat.
Jihoon tertegun. Mulutnya ternganga mendengar penjelasan Luna.
Luna melirik reaksi Jihoon. “Aku hanya berpikir jika ada label ‘pacaran’ pada kita, mungkin kita bisa menghindari orang-orang yang membuat kita tidak nyaman. Hati-hati, Luna itu milik Jihoon. Seperti itu. Pun sebaliknya. Tapi, itu hanya ide gila. Jangan ditanggapi serius!” Kali ini Luna benar-benar menatap Jihoon. Pemuda itu tersipu-sipu. Kening Luna berkerut ketika mengamati reaksi Jihoon. Lagi-lagi dia bereaksi berlebihan! Umpatnya dalam hati.
“Menurut Seonbae, apa itu akan berhasil?” Jihoon mengangkat kepala. Tatapannya bertemu dengan Luna. Gadis itu menatapnya dengan datar. Padahal beberapa menit yang lalu gadis itu menjabarkan ide yang bisa membuatnya tersipu seperti ini. Dia ini benar tidak mempunyai rasa sedikitpun padaku? Tersipu pun tidak. Jihoon membatin.
“Entahlah.” Luna menggeleng dan mengalihkan pandangan. “Aku hanya mengungkapkan ide yang muncul di kepalaku.”
“Baiklah! Kalau begitu, ayo kita coba.” Jihoon pun setuju. Membuat Luna kembali menatapnya. “Kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencobanya, kan?” Jihoon tersenyum manis. Baginya tak mengapa jika Luna bersikap dingin padanya. Jika mereka resmi berpura-pura menjadi sepasang kekasih, ia akan punya banyak kesempatan untuk dekat dengan Luna. Pelan-pelan ia akan mengungkapkan rasa sukanya pada Luna.
“Oke.” Luna mengangguk. Kemudian ia melihat jam di tangan kanannya. “Kali ini kamu harus menunjukkan kemampuan aktingmu.”
“Nee?” Jihoon merasa salah dengar.
Luna menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat pada Jihoon. Ia pun merubah posisinya menjadi sedikit menghadap pada Jihoon. “Bisa kau sesuaikan?” Ia memberi intruksi pada Jihoon.
Jihoon mengangguk. Lalu, turut merubah posisi duduknya. Ia pun jadi sedikit menghadap pada Luna.
“Pegang tanganku.”
“Nee?”
Luna diam. Jihoon pun perlahan menggerakan tangannya dan menyentuh tangan Luna. Luna menghela napas, lalu meraih tangan Jihoon dan menata posisi tangan sesuai keinginannya. Jihoon terkejut karena Luna tiba-tiba meraih tangannya.
“Tunggu sebentar lagi.” Luna memberi kode. Ia acuh tak acuh pada reaksi Jihoon ketika ia menyentuh tangan pemuda itu.
Jihoon pun menurut. Ia tetap memegang tangan Luna seperti itu. Ia berusaha tetap tenang walau jantungnya sudah berdetub tak karuan, karena Luna tiba-tiba meraih tangannya.
“Satu… dua… tiga…” Luna menghitung dengan lirih. Pintu basecamp terbuka. Jisung dan Jaehwan masuk bersama beberapa anggota Klub Teater. Jisung terkejut melihat Jihoon memegang tangan Luna. Jaehwan dan yang lain pun sama. Senyum samar terkembang di wajah Luna. Ia pun menarik tangannya dari genggaman Jihoon.
“Astaga! Apa yang kalian lakukan?” Jisung menghampiri Luna dan Jihoon.
“Itu…” Luna pura-pura salah tingkah.
“Kalian, pacaran?” Jaehwan langsung menuduh.
“Eng-nggak!” Luna mengelak.
“Iya pun nggak papa.” Siswi yang masuk bersama Jisung dan Jaehwan menyahut. “Selamat ya!”
Luna tersenyum samar, sedang Jihoon tersipu malu. Melihat reaksi Jihoon, Luna kembali menyeringai samar.

Seonbae!” Jihoon mengejar Luna yang baru keluar dari gerbang sekolah.
Luna menghentikan langkahnya, menunggu Jihoon yang belari kecil ke arahnya.
Jihoon berhenti jarak satu langkah di depan Luna. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah. “Sudah dimulai?”
Luna menganggukkan kepala.
“Seonbae peramal ya?”
Nee?” Luna memiringkan kepala.
Timing dan alasan yang Seonbae ungkap tadi.”
“Hanya memperhatikan kebiasaan orang-orang di sekitar kita.”
“Lalu, tentang alasan?”
“Kita bertemu saat liburan?”
Jihoon menganggukan kepala dengan antusias.
“Itu alasan paling logis. Selain tak sengaja bertemu saat liburan, apa ada alasan yang lebih masuk akal? Aku bahkan tidak tahu kalau kamu artis. Jadi, nggak mungkin kita ketemu saat fanmeet atau sejenisnya.”
Jihoon tersenyum manis. “Baiklah. Mulai hari ini, kita adalah couple.”
Luna membalas senyum dan mengangguk.


Luna yang terbaring menatap langit-langit kamarnya mendesah kasar. Sudah lewat tengah malam, tapi ia masih terjaga. Tidur sejenak, ia bermimpi Park Jihoon. Terjaga pun terus teringat Park Jihoon. Park Jihoon memenuhi pikirannya. Bahkan, bagaimana mereka memulai hubungan palsu itu pun terputar kembali di otaknya. Luna menghela napas panjang. Apa yang terjadi padanya dan Jihoon saat ini semua adalah karena ia yang memulai. Sejenak ia menyesalinya. Andai ia tahu Jihoon menyukainya dan tak memberi kesempatan, pasti Jihoon tidak akan bertindak sedemikian jauh.
Luna menyentuh bibirnya. Ia kembali teringat momen ketika Jihoon menciumnya. Luna segera menggelengkan kepala. Sejenak ia merasa benci pada dirinya sendiri. Benci karena merasa dirinya tak lagi suci. Benci karena membiarkan Jihoon mencuri ciuman pertamanya. Bukankah seharusnya ciuman pertama dilakukan dengan orang yang dicintai? Dalam momen yang romantis. Bukan disosor sembarangan seperti apa yang dilakukan Jihoon.
Luna bangkit dan duduk. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. “Ini karma! Benar ini karma. Tapi, kenapa tubuhku bereaksi seperti itu saat Jihoon menciumku? Rasa hangat itu… Masa iya aku suka dia?”
Luna memiringkan. “Tapi… bukankah tubuh memang akan bereaksi demikian saat dirangsang? Jadi, itu normal reaksi biologis saja kan? Aaaaa!!! Kamu mikir apaan sih!” Luna menjatuhkan tubuhnya. Dan, menutup wajah dengan bantal. Ia berusaha untuk tidur.
***


Pukul delapan pagi Rania dan Linda sudah berada di rooftop Luna. Keduanya sengaja berangkat pagi karena ingin menghabiskan waktu di tempat Luna lebih dulu. Lebih tepatnya, Rania yang ingin sedikit berlama-lama di tempat Luna, dan Linda menurut saja apa kata Rania.

Linda mengamati rooftop Luna dengan kagum. Rumah mungil di atas atap itu sangat rapi. “Rumah Mbak Luna rapi banget ya. Padahal tinggal sendiri.”
“Dia itu super perfeksionis. Misal lo makan kue putri salju, trus gula halusnya jatuh dikit aja. Dia bakal tahu.”
“Masa sih, Mbak? Gitu banget Mbak Luna.” Linda menggeleng heran.
Luna keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Rania dan Linda memperhatikan dari tempat mereka duduk. Luna menoleh ke arah ruang tamu, meja masih kosong di sana.
“Kok Linda nggak diambilin apa-apa sih, Cue?” Luna memprotes Rania yang tak menjamu Linda dengan baik.
“Kan lo tuan rumahnya. Masa gue yang  kudu menjamu.” Rania membela diri. Tapi, ia pun bangkit dari duduknya dan menuju dapur. “Lo mau minum apa Lin? Teh anget? Atau kopi?”
“Nggak usah deh, Mbak. Udah sarapan juga aku tadi. Ntar kalau haus aku minta air putih aja.” Linda menolak.
“Gimana kerja part time lo kemarin, Cing? Sukses? Capek banget apa sampai hape dimatiin?”
“Mbak Luna kerja? Di mana?”
“Iseng aja dia. Penasaran kerja paruh waktu. Trus dibantuin Daniel dan dapet kesempatan kerja paruh waktu di cafe tempat Daniel kerja.”
Luna yang juga berada di dapur menyikut Rania. Ia keberatan karena Rania menceritakan perihal dirinya dan Daniel di depan Linda.
Linda sempat terkejut. Tapi, ia kemudian tersenyum. “Segitunya ya Mbak Luna. Penasaran sampai beneran dicobain kerja part time.”
“Dia emang nggak waras. Makanya heran gue. Kenapa di Korea dia jadi tenar. Disebut 4D. Apaan sih 4D?” Rania membuka kulkas untuk mengambil air putih dingin. Usai mengambil botol air putih, ia menangkap gelas yang ada di dalam freezer. “Cing! Itu kenapa ada gelas kaca dalam freezer? Bahaya kan?”
Jantung Luna seolah terjun bebas ke lantai dapur ketika Rania menyebut gelas kaca dalam freezer. Otaknya langsung memutar kenangan ketika Jihoon menciumnya. “Aw!” Luna memekik karena pisau yang ia gunakan untuk mengiris apel justeru mengiris jari telunjuk tangan kirinya.
“Ya ampun! Mbak Luna!” Linda bergegas bangkit dari duduknya ketika melihat telunjuk tangan kiri Luna berdarah.
“Ada apa?” Rania membalikan badan. Ia melihat Luna sudah berdiri di tempat pencucian piring.
“Tangan Mbak Luna kena pisau. Berdarah.” Linda sudah berada di dapur.
“Ya ampun! Ati-ati dong Cing! Kotak P3K lo di mana?”
“Nggak papa kok.” Luna berusaha tenang. Ia mencuci tangannya yang terluka di bawah guyuran air kran.
“Walau nggak papa, lo tetep butuh plester buat nutup luka itu! Di mana kotak P3K punya lo?” Rania sudah sibuk mencari kotak P3K di sekitaran dapur.
“Di kamar. Di nakas deket ranjang.”
Rania pun masuk ke kamar Luna untuk mencari kotak P3K. Setelah menemukannya, ia bergegas kembali ke dapur. Ia pun membungkus jari telunjuk tangan kiri Luna yang tersayat pisau.
Linda membantu Luna memotong apel. Lalu, bersama Luna dan Rania, ia membawanya ke ruang tamu. Ketiganya duduk di ruang tamu.
“Tumben sih lo ceroboh!” Rania mengomeli Luna. “Mata panda itu, lo begadang lagi? Ada apa sih, Cing? Kalau lo ada masalah kan lo bisa cerita ke gue.”
“Hidup jelaslah selalu ada masalah. But I’m OK. Don't worry. Kurang tidur iya, tapi aku baik aja kok. Makasih ya udah khawatirin aku.” Luna tersenyum manis.
Rania menghela napas dengan kasar. Sedang Linda, melirik Luna dan Rania bergantian dalam diam.
“Gimana latihanmu kemarin, Cue?” Luna menyuapkan sepotong apel ke dalam mulutnya. “Aku kemarin dapat bingkisan dari bosnya Daniel. Ntar kalian aku bagi.”
“Taemin emang baik. Canggung sih gue sama Prince. Gue yang canggung. Tapi, kayaknya Prince juga.” Rania kemudian melirik Linda. “Prince itu Minhyun. Lo tahu kan dia dulu temen SMP Luna? Luna manggil dia Prince. Dia bilang Emperor Hwang, tapi dia manggilnya Prince. Emang cakep kayak pangeran kan tuh anak.”
Linda menganggukkan kepala. Walau ia sebenarnya tak begitu paham dengan penjelasan Rania.
“Udah kubilang mereka baik, kan?” Luna kembali menunjukkan senyum manisnya.
“Lo senyum-senyum gitu, gue malah curiga lo lagi nggak baik, Cing!” Rania tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya tentang Luna.
“Aku ganti baju dulu.” Luna pun bangkit dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar untuk ganti baju.
Hening di ruang tamu. Rania diam, terus menebak-nebak, ada apa dengan Luna. Linda pun tak berani bertanya, walau ia diliputi rasa penasaran.
***


Selama dalam perjalanan menuju rumah Jihoon, Luna lebih banyak diam. Ia sedang berusaha mengurus perasaannya sendiri. Menyiapkan diri untuk bertatap muka dengan Jihoon usai insiden ‘Jihoon membersihkan sisa es krim di pojok bibirnya’ semalam.

“Kan? Dia berubah lagi? Tadi ramah penuh senyum ceria. Sekarang diem seribu bahasa. Kayak gini yang namanya 4D Princess From Country of a Thousand Islands?” Rania mengomentari perubahan sikap Luna saat duduk di dalam bus.
Luna tersadar dari lamunannya. Ia mengamati Rania yang duduk di samping kanannya. Lalu, Linda yang duduk di samping kirinya. Ketiganya memilih duduk di bangku paling belakang. Agar bisa duduk bertiga. Luna menghela napas pelan. Teringat jika kemarin begitu pula ia pergi bersama Jihoon dan Daniel. Ketika Daniel muncul dalam ingatannya, tiba-tiba ia menggigit bibirnya dan merasa bersalah. Luna segera menggelengkan kepala ketika menyadari pikirannya mulai kacau.
Rania yang memperhatikan tingkah Luna mengerjapkan mata. Ia heran melihat tingkah Luna. “Yakin lo baik aja, Cing?”
“Mbak Luna gugup kali. Mau ketemu calon mertua.” Linda mencoba menengahi dengan candaan yang ia pun sadar sangat garing.
“Emang yakin hubungan Kucing sama Park Jihoon bakal langgeng?” Rania beralih menatap Linda.
“Jodoh siapa tahu, Mbak?”
No comment!” Rania kembali menghadap ke depan.
Linda menatap Luna yang diam dengan kepala sedikit tertunduk. Sial banget aku terjebak cek-cok kucing dan ikan ini. Ia membatin, lalu turut menghadap depan.

Ketika sampai di tempat janjian, Dio, Ira, Esya, Jae, Sasha, dan Nathaline sudah berada di lokasi. Tak hanya mereka, Daehwi dan Joohee juga berada di sana.
Noona!” Daehwi melambaikan tangan penuh semangat pada Luna yang berjalan ke arahnya.
“Dewi kenapa ada di situ?” Komentar Rania ketika melihat Daehwi.
“Dewi sapa tho, Mbak?” Tanya Linda.
“Lee Daehwi. Dewi, kan?”
“Ya ampun! Mbak Rania ada-ada aja.” Linda menggelengkan kepala.
“Ngapain dia di situ, Cing?”
“Jihoon minta dia mengantar kita ke rumahnya.” Luna mulai terdengar suaranya.
“Dewi akrab sama Jihoon?”
“Nggak tahu juga. Tapi, Daehwi pernah ke rumah Jihoon. Gitu sih ngakunya.” Luna tiba-tiba teringat Daniel yang mengusulkan untuk numpang mandi di rumah Jihoon ketika ia harus melakukan ritual mandi air campuran tujuh buah jeruk. Ia pun tersenyum karenanya.
Bersama-sama, mereka pun berjalan kaki menuju rumah Jihoon. Daehwi, Joohee, dan Luna berada di barisan paling depan. Rania dan Linda berjalan di belakang ketiganya. Dio, Esya, dan Nathaline menyambung. Ira, Sasha, dan Jae berada di urutan paling belakang.

Ketika sampai di kediaman Jihoon, para gadis dibuat terkagum-kagum. Rumah itu memang tak semegah rumah-rumah dalam drama Korea, tapi bagi mereka rumah Jihoon masuk dalam kategori rumah mewah. Seorang pelayan menyambut kedatangan teman-teman Jihoon. Perempuan itu langsung mengantar mereka ke tempat latihan. Jihoon yang sudah menunggu di ruang latihan pun menyambut. Pemuda itu sedang menggendong anjing kecil berwarna hitam. Melihatnya, Luna pun spontan mundur.
“Oh, maaf! Aku lupa kalau kamu takut anjing.” Jihoon segera meminta maaf pada Luna. Ia memanggil Luna tanpa embel-embel ‘seonbae’ seperti tempo hari ketika mereka hanya berdua. Hal itu membuat teman-teman Luna saling berbisik.
Jihoon tersenyum melihat reaksi teman-teman Luna. “Sebenarnya aku dan Luna seumuran. Kami sepakat kalau di luar sekolah, saling memanggil nama.”
“Wooo…” Dio, Ira, Sasha, Esya, Nathaline, Jae kompak merespon.
“Harusnya pakai panggilan sayang dong!” Dio lanjut menggoda.
“Lucu sekali. Siapa namanya?” Nathaline mengomentari anjing dalam gendongan Jihoon.
“Max. Park Max.” Jihoon memperkenalkan anjing peliharaannya. “Dia masih bayi. Aku baru mengadopsinya. Aku harus membawanya pergi dulu. Pacarku takut anjing.” Jihoon melirik Luna sebelum pergi.
Enam teman Luna kembali berseru melihat tingkah Jihoon. Sedang Luna, jantungnya berdetub cepat ketika Jihoon meliriknya. Wajahnya pun terasa panas. Ini efek takut anjing. Iya, karena anjing itu! Luna meyakinkan dirinya bahwa perubahan detub jantungnya adalah karena ia melihat anjing dalam gendongan Jihoon.
Dio memimpin untuk duduk melingkar di atas lantai. Ia menyalakan laptop yang ia bawa, kemudian memutar video latihan Tari Buchaechum BKK UI yang sudah ia download.
“Wah, seonbaenim sekalian mau menampilkan Tari Buchaechum? Ide brilian!” Daehwi antusias.
“Ini rahasia lho!” Dio menegaskan.
“Beres!” Daehwi menggerakan tangan, melakukan gerakan mengunci bibir.
“Oya, karena kalian orang Korea asli, bisa bantu kami lengkapi perlengkapan nggak?”
“Kostum ya?”
“Iya. Dan, kipasnya.”
“Saya tahu tempat yang menjual perlengkapan tari tradisional.” Joohee buka suara.
“Wah! Bagus sekali. Luna, kamu aja yang belanja keperluan ya? Aku yakin Joohee lebih nyaman sama kamu.” Dio langsung melemparkan tugas belanja pada Luna. Luna pun menganggukkan kepala.
“Nanti aku bantu juga.” Daehwi antusias.
“Ajak Jihoon juga. Belanja sekaligus double date. Seru, kan?” Ira memberi usul. Di saat yang bersamaan, Jihoon masuk ke ruang latihan.
“Benar sekali! Itu sempurna!” Daehwi setuju dengan usul Ira. Joohee yang duduk di samping kirinya tersipu.
“Maaf jika tempatnya tidak nyaman.” Jihoon duduk bersila di samping kanan Daehwi.
Noona butuh belanja keperluan. Joohee tahu tempat buat belanja. Kami akan mengantar Noona. Kau mau ikut?” Daehwi menjelaskan apa yang dilewatkan Jihoon.
“Tentu saja. Apa harus sekarang?” Jihoon langsung setuju.
“Mereka yang sedang dimabuk asmara. Semangat sekali.” Sasha menggelengkan kepala.
“Coba periksa ini Joohee. Apa kira-kira ada yang kurang?” Esya menyerahkan daftar keperluan untuk penampilan Tari Buchaechum kepada Joohee.
Joohee menerima kertas itu dan membacanya. “Saya rasa ini sudah lengkap. Kita bisa bertanya di tokonya nanti.”
“Ya udah. Kalian belanja sekarang aja.” Dio kembali memberi perintah.
“Harus sekarang ya?” Nathaline tidak setuju dengan perintah Dio.
“Apa nggak sebaiknya latihan dulu? Belanja nanti bisa Sabtu depan atau pas pulang sekolah?” Jae mendukung Nathaline.
“Aku setuju sama Jae. Sekarang kita atur posisi dan mulai latihan. Belanja bisa minggu depan.” Ira mendukung usul Jae.
“Oke kalau maunya gitu. Sekarang kita bagi posisinya.” Dio kembali fokus ke laptop. Kedelapan gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun pun mendekatinya. Mereka membantuk ruang sendiri untuk berdiskusi.

Jihoon, Daehwi, dan Joohee tetap di posisi mereka duduk. Memperhatikan murid asing yang duduk berkerumun tak jauh di depan mereka. Daehwi dan Joohee mengobrol tentang senior mereka yang sedang berunding. Sedang Jihoon fokus memperhatikan Luna.
Setelah sepakat dengan posisi masing-masing gadis-gadis anggota tim Tari Buchaechum berdiri. Mereka mulai mengatur posisi masing-masing sebelum mulai latihan. Suara mereka yang lebih sering berbicara dalam Bahasa Inggris pun memenuhi ruang latihan. Jihoon, Daehwi, dan Joohee tetap menjadi penonton setia.
Dengan panduan video di laptop Dio, tim Tari Buchaechum pun mulai berlatih. Mereka memang sudah men-download video itu. Tapi, mereka belum menghafal gerakannya. Karena berlatih bersama malah membuat kacau, Luna mengusulkan untuk berlatih sendiri-sendiri dulu untuk menghafal gerakan tari. Anggota tim pun setuju.
Dio, Esya, dan Jae tetap duduk di sekitar laptop Dio. Ira dan Sasha duduk berdampingan. Ira menyalakan laptopnya lalu menonton video bersama Sasha. Nathaline duduk menyendiri dan fokus pada ponselnya. Rania, Luna, dan Linda duduk tak jauh dari tempat Nathaline duduk. Luna menyalakan laptopnya. Tapi, hanya ia dan Rania yang menonton. Linda fokus pada ponsel di tangannya. Daehwi dan Joohee sibuk membicarakan novel online yang sedang dibaca Joohee. Sedang Jihoon kembali sibuk dengan Max. Entah sejak kapan anjing kecil itu kembali ke dalam ruang latihan dan menemukan Jihoon. Situasi berjalan seperti itu selama dua jam. Pelayan di rumah Jihoon datang. Membawa minuman dan makanan. Jihoon meminta teman-temannya untuk istirahat sambil menikmati minuman dan makanan yang ia sediakan. Semua pun mendekat untuk menikmati jamuan dari Jihoon.

“Park Jihoon, kamu nggak perlu repot nyiapain kayak gini buat kami. Kami dikasih tumpangan tempat latihan aja udah seneng.” Dio merasa sungkan.
“Saya nggak repot kok. Saya malah senang, karena rumah jadi ramai. Dan, saya ada teman.”
“Kamu anak tunggal?” Ira menyahut.
“Tidak. Saya punya satu orang kakak laki-laki.”
“Jangan pakai bahasa formal. Ini kan bukan di sekolah.”
“Kayaknya Jihoon seneng karena ada Luna. Bukan karena kita.” Dio mulai menggoda Jihoon.
“Dio Seonbae gemar sekali menggoda Jihoon ya.” Daehwi mengomentari ulah Dio.
“Hehehe.” Dio meringis.
Jihoon tersenyum. Ia kemudian menatap Luna yang sama sekali tak mengajaknya ngobrol sejak datang. Ia menghela napas pelan. Memperhatikan Luna yang nyaman berdekatan dengan Rania dan Linda.
Oh my! Ini apa??” Pekik Sasha yang fokus pada ponselnya.
“Ada apa sih? Bikin kaget aja!” Ira menegur Sasha.
Sasha mengalihkan pandangan pada Rania, Luna, dan Linda. “Luna, liat ini!” Ia menunjukkan ponselnya pada Luna.
Luna pun menatap ponsel Sasha sejenak, lalu melirik Jihoon yang menatapnya. Kemudian ia kembali menatap ponsel Sasha. Ia menduga pasti heboh soal kemarin. Ia ketahuan kerja paruh waktu bersama Jihoon.
“Ini oppamu yang idol itu yang bikin postingan.”
“Mas Dinar?” Rania lirih.
“Buka Instagram deh. Dia nyebutin kamu dan Rania. Dia menulis, sahabat lama yang dipertemukan kembali. Oppamu menulis dalam bahasa Korea juga lho!”
Rania langsung meraih ponselnya dan mengecek akun Instagram miliknya. Benar yang dikatakan Sasha. Dinar membuat postingan tentang dirinya dan Luna. “Masmu ini, Cing! Masmu yang edan itu!” Rania berbicara dalam bahasa Indonesia sambil menunjukkan ponselnya pada Luna.
Linda meraih ponsel Rania. Ia melihat postingan Dinar yang berupa potongan video penampilan Luna dan Rania saat pertemuan bersama Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun dan Klub Anak Rantau. Potongan video Luna dan Rania yang menyanyikan Whistle -Black Pink secara akustik dengan iringan gitar yang dimainkan Joshua Hong.
“Kita juga ada di sana malam itu.” Dio juga sudah dibuat sibuk dengan ponselnya.
“Iya. Kita semua ada di sana. Menonton penampilan trio Rania, Joshua, dan Luna. Kita juga tahu kalau Luna dan Rania teman baik dari SD karena malam itu Rania langsung memperkenalkan diri secara jelas dan lengkap setelah kita terpilih jadi satu tim. Tapi, ini… ini artinya oppanya Luna membongkar apa yang Luna tutupi selama ini.” Sasha memperjelas maksudnya. “Dan, video perform kalian yang diunggah di Youtube udah dibagikan juga.”
“Mas Dinar!” Rania geram.
Jihoon, Daehwi, dan Joohee kompak menatap Luna dengan ekspresi terkejut. Luna menghela napas panjang. Ia langsung kehilangan mood baiknya karena postingan Dinar.
***


Rania, Luna, dan Linda duduk berjajar di kursi paling belakang bus. Mereka saling diam sejak meninggalkan kediaman Jihoon.

Rania menghela napas dengan kasar. “Lo nggak negur Mas Dinar? Itu orang labilnya ampun ya! Alay banget! Caper sana-sini. Maksudnya apa sih pos video kita?” Ia tak tahan lagi dan meluapkan seluruh unek-uneknya.
“Aku kesel juga. Tapi, kalau aku luapin semua ke Mas Dinar, ntar dia jadi tahu kalau aku di sini bermasalah. Trus, dia ngadu ke Bunda. Dan, you know lah ending-nya bakal kayak gimana.”
Rania kembali menghela napas dengan kasar. “Bener juga sih. Besok kita pasti jadi superstar di sekolah. Parahnya gue jadi victim, lo penjahatnya.”
“Sungguh maha benar cocotnya netizen.” Linda menyahut. Membuat Rania dan Luna kompak menatapnya. Kedua gadis itu pun mengembangkan senyum di wajah lesu mereka.
Welcome to 4D Princess From Country of a Thousand Islands world. Dunia yang penuh drama.” Rania lagi-lagi menghela napas panjang.
“Akhirnya aku tidak sendirian.” Luna meraih tangan kiri Rania dan tangan kanan Linda. Ia menautkan jemarinya pada jemari Rania dan Linda. Luna menyandarkan kepala di pundak Rania. “Kenapa tiba-tiba aku lelah sekali?” Luna pun memejamkan mata.
Rania dan Linda sama-sama terdiam ketika Luna meraih tangan mereka. Rania menggenggam erat tangan Luna. Ia membiarkan Luna bersandar padanya. Sedang Linda, tetap diam, membiarkan Luna menggenggam tangannya.

Suasana hening setelah Luna turun. Rania dan Linda sama-sama terdiam. Bahkan, mereka membiarkan ruang kosong di antara mereka setelah Luna pergi.
“Walau nggak mungkin, aku berharap besok nggak akan terjadi sesuatu yang buruk.” Linda memulai obrolan. “Aku nggak bisa bilang aku nggak kepo. Karena, sebenernya aku kepo Mbak. Kepo kenapa Mbak Luna sampai sembunyiin status sahabatan kalian. Tapi, aku yakin Mbak Luna pasti punya alasan buat itu.”
“Lo pikir lo doang yang kepo? Gue juga kepo. Gue nggak tahu alasan pastinya Luna sampai minta gue sembunyiin status persahabatan kami.” Rania turut meluapkan isi kepalanya.
“Mbak Luna nggak bilang detailnya kenapa?”
“Nggak. Dia bilang, kamu tahu lah Korea. Nggak beda jauh kayak di drama. Bullying itu ada. Terkenal nggak berarti bebas dari bullying. Di Indonesia bullying juga ada kan? Untuk sementara, aku cuman pengen kamu aman. Gitu doang. Gue kan jadi curiga. Jangan-jangan Luna di bully.”
“Iya juga sih. Baik buruk sekarang nggak luput dari bully-an. Baik secara langsung atau di dunia maya.”
“Itu dia. Gue jadi pengen deketin Ha Sungwoon.”
“Buat apa?”
“Selidikin Luna. Gue yakin Sungwoon suka sama Luna. Dia pasti mau bantu gue.”
“Yang terbaik aja deh. Maaf aku nggak tahu harus bersikap gimana sama masalah kalian ini.”
“Nggak papa. Makasih lo udah mau jadi tempat sampah gue. Ngomong sama sesama orang Indonesia di tempat asing, rasanya lebih nyaman.”
Linda tersenyum manis. “Curhat aja kalau mbak mau. Walau aku nggak bisa ngasih solusi, aku bisa jadi pendengar kok.”
“Makasih ya.” Rania membalas senyum. Ia kemudian menghela napas panjang. Dan, suasana pun kembali hening.
***


Luna berjalan dengan melamun. Ia terus memikirkan tentang kemungkinan yang bisa saja terjadi esok di sekolah. Video yang diunggah Dinar ke kanal Youtube pribadinya sudah dibagikan ke komunitas sekolah. Ada yang memuji penampilan Luna, Joshua, dan Rania. Banyak pula yang menghujat, karena isi postingan Dinar di Instagram. Pujian datang untuk kemampuan vokal dan rap Rania, juga untuk vokal Luna dan permainan gitat Joshua. Hampir semua hujatan memojokan Luna yang menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania. Banyak yang berpendapat Luna takut kalah saingan dengan Rania.
Luna menghela napas panjang dan tertunduk semakin dalam. Kemudian, ia merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ia meraih ponsel itu, namun batal memeriksanya. Ia teringat pesan Jihoon sebelum ia pergi.

Setelah Dio, Esya, Jae, Nathaline, Ira, dan Sasha pergi, Jihoon meminta waktu agar bisa bicara empat mata dengan Luna. Jihoon pun meminta izin pada Rania dan Linda. Setelah keduanya mengizinkan, Jihoon membawa Luna pergi. Sedang Rania dan Linda, menunggu di ruang tamu ditemani Daehwi dan Joohee.
Jihoon membawa Luna naik ke lantai dua. Luna terkejut ketika Jihoon membawanya ke kamar. Tapi ia berpendapat, Jihoon memilih kamar karena hanya tempat itulah yang paling aman untuk berbicara empat mata. Luna yakin Jihoon pasti akan membahas tentang insiden video yang diunggah Dinar.
“Besok pasti akan sangat heboh di sekolah.” Jihoon langsung mengutarakan isi kepalanya setelah mempersilahkan Luna duduk.
Luna yang duduk di kursi di dekat meja belajar menganggukan kepala.
“Aku tahu alasanmu menyembunyikan hubungan persahabatan kalian. Tapi, di sini kamu pasti akan dinilai salah oleh sebagian besar teman kita. Bahkan, para pemujamu pun bisa berbalik menghujatmu dalam situasi ini.”
Lagi-lagi Luna hanya menganggukkan kepala.
“Bagaimanapun juga, aku akan mempertahankanmu di sisiku. Kita harus lebih berhati-hati. Dia pasti mencari celah untuk menyerangmu. Karena ini adalah kesempatan emas untuk menjatuhkanmu.”
“Gomawo. Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku.”
Jihoon yang duduk di tepi ranjang pun bangkit, berjalan mendekati Luna. Ia merengkuh Luna ke dalam pelukannya. “Jangan terlalu terbebani. Walau semua itu mengerikan, kita pasti bisa melewatinya. Em?”
Luna tak menolak dekapan Jihoon. Ia membiarkan pemuda itu memeluknya. Luna memejamkan mata. Sejenak, ia merasa aman.
“Tolong jangan bermain ponsel sambil berjalan seperti tempo hari. Itu berbahaya. Bukan hanya bisa membuat fokusmu terganggu, tapi bagaimana jika ketika kau sedang fokus pada ponselmu, tiba-tiba ada yang menyambar ponselmu dan membawanya kabur? Ada banyak rahasia kan di dalamnya? Jadi, tolong untuk lebih berhati-hati.”
Luna yang berada dalam dekapan Jihoon menganggukan kepala. Jihoon menghela napas panjang dan mengelus kepala Luna.

Lagi-lagi Luna menghela napas. Ia menyimpan kembali ponselnya. Aroma parfum Jihoon tiba-tiba terendus hidungnya. Ia pun tersenyum dan menggeleng pelan ketika menaiki tangga untuk mencapai rooftop-nya. Kembali mencium aroma parfum Jihoon membuatnya kembali merasakan hangatnya pelukan Jihoon yang membuatnya aman. Luna merasakan panas di wajahnya.
Ketika sampai di ujung tangga teratas, Luna terkejut. Ia menemukan Daniel sedang duduk di bangku di teras rooftop-nya. Saat ia muncul, Daniel bangkit dari duduknya dan tersenyum menyambutnya. Luna berjalan mendekati dan berhenti jarak satu langkah di depan Daniel.
“Sudah lama di sini?” Karena terlalu lama diam, suara Luna pun sedikit serak.
Daniel terkejut mendengar suara Luna yang sedikit serak. “Karena video itu, aku khawatir dan langsung menunggumu di sini. Aku ingin bertemu denganmu. Aku khawatir kamu merasa tak baik karena video itu.”
Mendengar Daniel mengutarakan rasa khawatirnya, dada Luna terasa sesak. Kedua matanya pun memanas. Ia pun segera menundukkan kepala. Berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. Tapi, ia tak bisa. Air mata itu terasa hangat ketika meluncur menuruni pipinya.
Daniel menurunkan kepalanya, berusaha melihat Luna yang tertunduk di hadapannya. Karena gadis itu bergeming, Daniel pun meraih tubuh Luna dan memeluknya. “Tidak apa-apa, menangislah. Semua akan baik-baik saja.” Daniel mengelus-elus punggung Luna yang terisak dalam pelukannya.
***

Kompres air dingin, kompres teh celup, kompres irisan timun, sampai kompres sendok sudah Luna lalukan demi mengurangi sembab di matanya. Kemarin ia meluapkan tangisnya dalam pelukan Daniel, namun itu tak cukup. Ketika ia sendirian, air matanya kembali tumpah. Sialnya, ia ketiduran setelah menangis tersedu. Ketika terbangun, kedua matanya pun sembab. Susah payah Luna berusaha menghilangkan sembab itu. Namun, semua usaha yang ia lakukan hanya bisa mengurangi sembab di kedua matanya.
Luna mendesah keras saat mengamati bayangannya di dalam cermin. Mata panda yang sembab itu membuat wajahnya tampak mengerikan. Tidak ada pilihan lain. Ia harus mengaplikasikan make up untuk membuat wajahnya tampak segar, sekaligus untuk menyamarkan sisa tangisan semalam.
Sebenarnya Luna sempet berpikir untuk membolos. Tapi, itu akan memperburuk situasi yang harus ia hadapi. Ia pun meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa dirinya adalah gadis yang tangguh, yang mampu menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Luna kembali menatap bayangannya di dalam cermin. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri. Kemudian berbalik, mengambil tas punggungnya yang tergeletak di atas kasur. Luna siap menghadapi apa pun itu yang akan terjadi hari ini.
Saat Luna membuka pintu, Daniel menyambutnya dengan sebuah senyuman. Luna tersenyum samar. Kehadiran Daniel memberinya kekuatan tersendiri.
“Tidurmu nyenyak?” Tanya Daniel yang berjalan menuruni tangga di belakang Luna.
“Tidak. Aku terjaga hampir sepanjang malam. Aku rasa ini tahun terberatku sejak tinggal di Korea.”
“Tidak mencoba menghubungi oppamu?”
“Itu bukan ide bagus.”
“Biarkan oppa menjagamu.” Daniel menyebut dirinya sebagai oppa.
Luna tersenyum mendengarnya.
“Tapi, Daniel Oppa tidak bisa melindungi Luna sebaik Jihoon Oppa. Mian.”
“Ngomong gitu lagi, aku akan memukulmu!”
“Pukul saja jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”
“Tukang gombal mulai!”
“Kan kita emang gombal couple!”
Daniel dan Luna tertawa bersama. Langkah mereka terhenti ketika sebuah mobil mendekat. Mobil yang tak asing bagi keduanya. Mobil yang biasa mengantar dan menjemput Jihoon ke sekolah. Setelah mobil itu berhenti, Jihoon keluar dan berjalan mendekati Luna.
“Tumben mampir?” Luna menyambut Jihoon.
Jihoon hanya terfokus pada Luna. Ia sama sekali tak melirik Daniel yang berdiri di samping Luna. “Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ini hari Senin, bus pasti sangat padat. Ayo, berangkat bersamaku.”
“Tapi, Daniel?”
Jihoon beralih menatap Daniel. Dengan ekspresi datar Jihoon berkata, “Kita berangkat bersama. Bukankah sebelumnya kita pernah berada di satu mobil yang sama?”
“Aku naik bus saja.” Daniel menolak.
“Mulai sekarang, kita harus terlihat baik bersama!”
Daniel menatap Jihoon dalam diam. Luna pun memberikan reaksi yang sama.
“Jika tujuan kita sama, untuk melindungi Luna. Sebaiknya kau ikuti apa yang aku katakan. Situasinya sedang tak baik. Aku harap kau bisa bekerja sama.”

Seperti sebelumnya, Daniel duduk di kursi depan menemani sopir. Sedang Luna dan Jihoon duduk di kursi belakang. Tidak ada percakapan sama sekali sejak mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Perjalanan menuju sekolah pagi itu sangat hening.
Jihoon bersikap dingin dan datar. Hal itu membuat Luna tak nyaman. Tapi, ia pun tak ingin bermanis-manis di depan Jihoon. Bukan karena ada Daniel bersamanya. Tapi, ia benar-benar merasa lelah di hari yang masih pagi. Ia sibuk dengan ponselnya. Grup squad Moon Kingdom sudah ramai sepagi ini. Sungwoon dan Woojin berjanji akan menunggu Luna di gerbang. Mereka siap mengawal Luna agar aman seharian di sekolah. Luna mendesah pelan. Ia merasa telah merepotkan banyak orang.
Mendengar Luna mendesah gelisah, Jihoon pun menoleh. Luna mengembangkan senyum terbaik di wajah lesunya. Ia tak ingin Jihoon—dan juga Daniel—khawatir. Ia meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan berjalan baik-baik saja. Seperti keinginannya.
Ketika mobil Jihoon berhenti di depan gerbang sekolah, Luna melihat tak hanya Sungwoon dan Woojin yang ada di gerbang sekolah. Tapi, Jisung dan Seongwoo juga berada di sana. Melihat begitu perhatiannya teman-teman satu kelompoknya itu, Luna merasa haru, senang, juga sedih. Karena keegoisannya, ia telah merepotkan banyak orang. Ia pun turun dari mobil Jihoon. Dari jarak yang lumayan dekat itu, ia bisa melihat reaksi terkejut keempat temannya.
Jihoon berdiri di sebelah kanan Luna. Daniel kecewa dibuatnya.
“Walau hubungan kami hanya pura-pura, di mata publik aku lah pacar Luna. Jadi, biarkan aku memainkan peranku dengan baik.” Jihoon memperingatkan Daniel.
Daniel hanya menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia paham.
Luna tak mendebat. Ia berjalan mendahului dua adik kelasnya yang sejak bertemu pagi tadi sudah membuatnya kelelahan karena rasa tak nyaman.
Jihoon tak keberatan. Ia pun berjalan menyusul Luna. Sedang, Daniel menyunggingkan sebuah senyuman melihat bagaimana Luna bersikap. Ia pun turut berjalan di belakang Jihoon.
Saat sampai di gerbang, Luna berhenti sejenak untuk mengajak keempat temannya masuk ke dalam sekolah. Setelah mengucapkan ajakan itu, ia kembali berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Ia pun tak menundukkan kepala ketika mulai memasuki sekolah. Mengabaikan banyak pasang mata yang mulai menatapnya ketika ia memasuki area sekolah.
***


Seperti yang sudah ia prediksikan sebelumnya, di sekolah heboh karena postingan Dinar yang membongkar status persahabatannya dengan Rania. Tapi, Luna berusaha mengabaikannya. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat perlakuan seperti itu. Walau ia tak banyak bicara, squad Moon Kingdom tetap memberinya dukungan. Ketika Luna meminta waktu untuk sendiri, walau tampak keberatan, Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin pun memberinya ruang. Ia juga merasa lega karena Rania memberi kabar jika Minhyun, Jinyoung, dan Jaehwan menyambut baik fakta tentang persahabatan mereka.
Luna keluar dari salah satu bilik toilet. Ia menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Saat ia mencuci tangan, Daerin keluar dari salah satu bilik toilet dan berdiri mencuci tangan di wastafel yang berada tepat di samping kirinya. Walau bersikap acuh tak acuh, Luna bisa merasakan jika Daerin memperhatikannya.

“Nggak nyangka ketemu bintang hari ini di toilet.” Daerin menyindir Luna.
“Kebetulan sekali ya.” Luna membalas dengan tenang.
“Menyembunyikan sahabat sendiri. Kenapa? Takut kesaingan? Tadinya aku berpikir kenapa murid asal Indonesia itu gabung Klub Vokal. Sekarang aku tahu, karena dia memang berbakat. Bahkan, ia bisa menyanyikan bagian rap Lisa dan Jennie dengan baik.”
“Kok aku merasa yang takut kesaingan itu kamu ya? Secara Cue gabung Klub Vokal dan dia berbakat. Dia juga lumayan manis. Jadi, Cue bukan ancaman buatku. Tapi, buatmu.”
“Ya! Mezzaluna!”
“Nadamu meninggi, aku benar ya?”
Daerin berdecak. “Aku nggak takut kesaingan Rania!”
“Tapi, takut kesaingan Linda.”
Daerin mendelik. “Ya, Mezzaluna! Stop ikut campur urusanku!”
“Bagaimana foto yang aku kirim tempo hari? Jisung dan Linda tampak baik bersama, kan?”
Daerin diam dan menatap geram Luna.
Luna menghela napas. Ia mematikan keran dan mengeringkan tangannya. Lalu, ia berdiri menghadap pada Daerin. “Harusnya kau menyerah saja, Kang Daerin. Untuk apa mengejar Jisung yang sama sekali tak menginginkanmu.”
“Tahu apa kau tentang kami?”
“Mmm… mungkin lebih dari yang kamu tahu.”
Daerin semakin geram.
“Jangan buang-buang waktumu untuknya.”
“Aku tidak membuang waktuku!”
“Ya terserah kamu. Padahal ada yang perhatian dengan tulus padamu, tapi malah kau abaikan.”
“Siapa yang lebih perhatian padaku kecuali Jisung?”
Luna mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Bukankah kau yang lebih tahu tentang hal itu?” Ia menatap Daerin sejenak. “Terima kasih sudah menyapaku.”
“Luna-ya!”
Luna yang hendak keluar dari toilet menghentikan langkahnya ketika Daerin memanggil namanya.
“Ini baru permulaan. Kau bisa mendapatkan yang lebih parah dari ini.”
Luna yang berhenti tepat di samping kiri Daerin terdiam. Lalu, ia menganggukkan kepala. “Terima kasih atas perhatiannya.” Luna melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Daerin sendirian di toilet.
***

Rania merasa lega karena Jinyoung dan Jaehwan justeru menyambut baik fakta tentang persahabatannya dengan Luna. Tapi, ia menjadi makin canggung pada Minhyun. Sekarang Prince-nya Luna itu tahu dia adalah sahabat Luna sejak SD. Ia yakin Minhyun pun pasti merasa terganggu. Walau Minhyun mengatakan bukan masalah jika ia adalah sahabat Luna sejak SD. Tapi, Rania yakin Minhyun sangat terganggu akan fakta itu.
Hari Senin yang membuat Rania benar tak nyaman. Tatapan murid-murid dan kasak-kusuk mereka yang mengomentari persahabatannya dengan Luna benar-benar membuatnya muak. Tapi, tidak ada tempat untuk menghindar. Ia yakin Luna pasti lebih menderita darinya. Karena Luna mendapat banyak komentar kebencian.
Rania yang berjalan sendirian melihat Luna keluar dari toilet. Sebenarnya tujuannya juga toilet. Melihat Luna keluar dari sana, ia ingin mengejar. Tapi, sepertinya Luna buru-buru. Rania mengurungkan niatnya. Ketika Rania hendak masuk ke toilet, Daerin tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.
“Ya ampun! Aku bertemu bintang kedua hari ini di toilet. Mimpi apa aku semalam!” Daerin melirik Rania lalu berjalan pergi.
Rania tercenung di depan pintu masuk toilet. Daerin dari toilet... itu artinya tadi Daerin ketemu sama Kucing di toilet. Ia memiringkan kepala. Kucing buru-buru gitu. Astaga! Apa mungkin pelaku bullying itu Daerin?? Rania terkejut karena kesimpulannya sendiri.

Rania meminta waktu untuk bertemu Sungwoon. Sungwoon mengiyakan. Setelah jam sekolah usai, mereka pun bertemu. Tanpa basa-basi, Rania mengutarakan unek-uneknya. Ia bertanya tentang perkembangan penyelidikan yang dilakukan Sungwoon, juga tentang apa yang Sungwoon ketahui tentang Luna selama satu tahun mereka menjadi teman seangkatan.
“Kamu curiga Luna mengalami bullying?” Sungwoon terkejut mendengar kesimpulan sementara Rania.
Rania mengangguk yakin. “Kucing berubah drastis. Aku yakin ada pemicunya. Apalagi dia tipe orang tertutup.”
“Memang pernah ada rumor tentang itu. Setelah adanya rumor dia menolak Taemin Seonbae. Tapi, Luna tampak baik-baik aja. Apa ada orang yang kamu curigai?”
“Ada. Tapi, hanya kesimpulan sementara. Karena kamu sedang menyelidiki kasus Luna, aku ingin membagi kecurigaanku denganmu. Aku yakin kamu orang yang bisa dipercaya dan diandalkan.”
Sungwoon tersipu mendengar pujian Rania. “Aku akan membantu semampuku.”
“Gomawo.”
“Siapa yang kamu curigai?”
“Mungkin ini terlalu dini, tapi aku memiliki keyakinan dan alasan. Aku rasa itu Kim Jiyoon Seonbaenim dan mungkin juga Kang Daerin.”
Mwo??” Mulut Sungwoon membulat. Terkejut mendengar kecurigaan Rania.
“Hanya dugaan sementara. Tapi, bisa kah aku minta tolong padamu untuk lebih fokus pada mereka berdua? Aku pun akan menggali informasi semampuku.”
“Kim Jiyoon Seonbaenim…” Sungwoon mengangguk-anggukan kepala.
Rania menatap Sungwoon dengan penuh harap. Dari semua teman Luna, pada pemuda itu lah ia menetapkan pilihan untuk membagi keresahan dan meminta bantuan.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews