My 4D's Seonbae - Episode #26 “Selalu Ada Jalan Untuk Setiap Kesalahpahaman.”

05:03


Episode #26 “Selalu Ada Jalan Untuk Setiap Kesalahpahaman.”



“Trus, gue kudu gimana? Ntar kalau gue ketemu Prince gimana?” Rania menghentikan langkahnya usai mengoceh sambil mondar-mandir di depan Luna yang berdiri menyandarkan punggung pada dinding. “Cing! Jangan diem aja dong!”
“Aku lega itu Prince. Dia bakalan jaga kamu dengan baik.” Luna terdengar santai.
Kemarin, setelah Rania memberitahunya tentang terpilihnya Rania menjadi perwakilan special show bersama Minhyun, ia memang sempat syok. Sesaat ia merasa blank, tidak bisa berpikir. Ia bahkan langsung mengusir Sungwoon dan Woojin yang sedang berada di rooftop-nya. Luna benar-benar ingin sendiri. Malam harinya ia pun sempat terjaga. Namun, memikirkan itu semua, akhirnya Luna bisa menerima dan memaklumi kenyataan itu. Ia lega, karena Rania pasti aman bersama Minhyun.
“Ya, tapi kan, nggak enak Cing!”
Prince nggak tahu kalau kamu sahabatku. Ya, dia emang tahu aku punya geng di Indonesia. Tapi, nggak sampek detail kok.”
Rania menghela napas panjang. “Temenin gue latihan ya? Trus, baiknya apa gue mundur buat tim kita? Persatuan Murid Asing.”
“Kalau merasa nggak mampu, ya nggak papa sih.”
“Nggak deh. Waktu latihannya kan bisa di atur. Temenin gue ya? Ya? Please…” Rania memohon.
“Bukannya aku nggak mau. Tapi, Prince nggak bakalan nyaman kalau ada aku. Liat gimana pas di tambak Jurle?”
“Iya juga sih.” Bahu Rania melorot. “Mangilnya Jurle juga.” Sedetik kemudian ia menggoda Luna.
“Emang udah ada jadwal latihan?”
“Udah. Semalem Prince japri. Dia dapat nomerku dari Jurle. Prince bilang, Sabtu nanti kita ketemu. Sama Taemin Seonbae juga. Katanya, Taemin Seonbae mau bantuin modifikasi gerakan dance biar nggak terlalu seksi. Mampus dah gue! Dua-duanya cowok yang pernah bermasalah sama lo!”
Luna menyunggingkan senyum. “Dua-duanya baik kok.”
“Woo! Lihat apa yang ada di sini!” Senior kelas XII bertubuh besar yang sebelumnya mengganggu Rania tiba-tiba muncul bersama dua rekannya yang memiliki postur tubuh hampir sama dengannya.
Ekspresi Luna berubah karena terkejut. Tubuhnya yang sebelumnya rileks pun mendadak tegang. Ia menegakkan punggungnya yang sebelumnya bersandar pada tembok.
Rania mundur dan berdiri di samping kiri Luna. Ia masih bisa mengenali wajah senior yang mengganggunya di hari pertama ia sekolah. “Cing, senior ini yang waktu itu lo ancam lo rekam perbuatan dia kan? Pas dia usilin aku.” Rania berbisik.
Luna mengangguk. Sikapnya berubah kaku. Rania menyadari perubahan ekspresi Luna, karena ia menoleh ke arah kanan usai berbisik.
“Ekspresi lo gitu banget, Cing?” Rania heran. Ia kemudian beralih menatap tiga senior yang kini hanya berjarak satu langkah di depannya.
Rania menatap tag nama senior-senior itu. Kim Jiyoon, ia membaca dalam hati tag nama murid yang berada paling tengah. Jang Ki Bang, ia berlanjut ke senior yang berada di sebelah kanan Jiyoon. Bang Yoon Ho, ia beralih pada senior yang berada di sebelah kiri Jiyoon. Kemudian, ia kembali menoleh ke kanan demi menatap Luna. Sahabatnya itu terlihat was-was.
Kucing kenapa gitu banget sih? Dia takut? Sama senior-senior itu? Tapi, waktu itu kenapa beda banget? Pas dia dateng sama Woojin dan ngancem senior-senior itu dengan video di ponselnya? Rania sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya.
“Ya! Kamu! Anak pindahan dari Indonesia! Sampai kapan kamu akan pakai celana olah raga itu?” Kim Jiyoon menggerakkan kepalanya, menuding celana olah raga yang dikenakan Rania. Kedua tangannya ia simpan rapi di kedua saku celananya. Demi terkesan angkuh di depan junior-juniornya yang berasal dari Indonesia itu.
“Kau bicara soal peraturan, tapi coba lihat! Bagaimana dengan dirimu sendiri?” Jiyoon menambahkan.
“Pihak sekolah memberimu kelonggaran bukan berarti kamu bisa seenaknnya. Butuh berapa lama lagi untuk beradaptasi?” Bang Yoon Ho menyambung.
“Dua puluh satu hari. Butuh waktu dua puluh satu hari untuk menanamkan kebiasaan baru dan mematahkan kebiasaan lama.” Luna menjawab pertanyaan Yoon Ho.
Rania kembali menoleh dan menatap Luna. Ekspresi sahabatnya itu berubah lagi. Gadis itu kembali terlihat dingin dan angkuh. Hampir sama seperti ketika ia tiba-tiba muncul bersama Woojin. Rania dibuat bingung melihatnya.
Ji Yoon menyunggingkan senyum saat menatap Luna. “Kamu berubah banyak, Mezzaluna. Apa itu karena aku?”
Luna menatap lurus Ji Yoon. Rania masih memperhatikan Luna. Ia yang mengenal Luna cukup lama paham jika ada kebencian dalam sorot mata Luna. Bukan, tapi kemarahan. Atau, gabungan dari keduanya. Hal itu membuat Rania merasa tak nyaman.
Luna menyeringai. “Saya berubah karena diri saya menginginkan perubahan itu. Bukan karena orang lain.”
Senyum kembali tersungging di bibir Ji Yoon. “Begitu ya? Aku akui, kamu memang lebih tangguh sekarang. Itu membuatku bangga. Aku percaya diri, kau berubah, pasti karena aku.”
Ini raja kingkong pede amat sih! Rania menggerutu dalam hati.
“Terima kasih telah mengingatkan kami tentang peraturan sekolah. Setelah dua puluh satu hari, atau kurang dari itu. Saya jamin, Rania pasti bisa berpenampilan layaknya siswi lain di SMA Hak Kun ini.” Luna membungkuk demi menunjukkan rasa hormat pada senior-seniornya. Ia meraih tangan kanan Rania, menggenggamnya erat, dan menuntun gadis itu pergi dari hadapan Ji Yoon dan gengnya.
Ji Yoon mencibir melihat bagaimana Luna bertingkah di depannya.

“Cing! Lo kenapa sih? Bermasalah sama Raja Kingkong tadi?” Rania menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Luna. Ia menghentikan langkahnya.
Luna turut berhenti. “Maaf. Aku buat tanganmu sakit?”
“Bukan itu masalahnya! Tapi, Raja Kingkong itu! Dia tahu tentang kita?”
“Entahlah. Tapi, kamu hindari aja dia. Aku tahu kamu bisa bela diri. Tapi, ngandalin kemampuan fisik aja nggak ada gunanya. Jadi, hindari aja dia.”
“Apa dia bakalan jahatin gue juga? Karena gue orang Indonesia juga? Dari hari pertama gue masuk lho!” Rania berkacak pinggang. Ia kesal. Tapi, kemudian ia menurunkan kedua tanggannya dan menatap Luna. “Jangan-jangan… itu alasanmu menyembunyikan identitasku?”
“Aku ke kelas!” Luna meninggalkan Rania.
“Dasar, Kucing Buluk!” Rania meneriaki Luna. Tapi, sahabatnya itu tetap mengabaikannya.
***

Luna berkumpul bersama squad Moon Kingdom saat istirahat. Karena kemarin Sungwoon dan Woojin ada bersamanya, Jisung dan Seongwoo pun segera tahu jika Rania dan Minhyun sedang ada masalah. Tapi, tentang masalah apa, Sungwoon dan Woojin tidak memahaminya, karena Luna menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang ngobrol bersama Rania. Usai video call, Luna uring-uringan dan malah mengusir keduanya dari rooftop. Merasa ada yang tak beres, Sungwoon dan Woojin membagi cerita pada Jisung dan Seongwoo.
Sejak mendedikasikan diri sebagai squad Moon Kingdom, empat teman sekelas Luna itu sepakat untuk tidak hanya menjadi teman satu kelompok bagi Luna. Tapi, juga sebagai teman yang bisa diandalkan dan jadi sandaran bagi Luna. Karenanya, mereka terus mengikuti Luna demi mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi pada Rania dan Minhyun.

“Kalian norak banget tahu!” Luna kesal karena Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin terus mengikutinya. “Kalian peduli apa kepo sih?!”
“Bukan begitu, Luna. Kami khawatir terjadi sesuatu pada Rania dan Minhyun. Atau, padamu, Rania, dan Minhyun.” Jisung berusaha meredam emosi Luna.
“Bener banget apa kata Jisung. Apa Minhyun tahu kalau Rania sahabat kamu trus dia berbuat sesuatu yang nggak baik pada Rania?” Sungwoon menyambung.
“Hari Minggu lalu kita berkumpul di tempat Jaehwan. Aku jadi mikir, apa Minhyun tahu tentang kalian dan marah. Rania kan gampang keceplosan. Dari dia kita jadi tahu kalau kalian sahabat sejak kecil.” Woojin ikut mengutarakan pendapatnya. Sedang Seongwoo yang berada di samping kanannya menganggukkan kepala sebagai tanda ia setuju dengan pendapat Woojin.
Ekspresi Luna berubah usai mendengar penjelasan Woojin. Dalam hati, ia membenarkan analisis Woojin. “Kamu liat sesuatu yang aneh?” Nada bicaranya pun melunak. “Maksudku, perubahan ekspresi atau sikap Minhyun mungkin? Atau, ada momen yang memungkinkan kami ketahuan?”
Woojin bergumam tak jelas, sambil berpikir keras. Mengingat momen saat berada di peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan. “Kayaknya nggak ada. Bukannya Minhyun lebih banyak sama kamu?”
“Nggak. Udah kubilang dia liat aku kayak liat setan! Makanya menghindar jauh-jauh!”
“Kalau aku nggak akan menghindar. Apalagi setannya cantik kayak kamu.” Sungwoon menyela. Wajahnya berseri saat menatap Luna.
Jisung dan Seongwoo kompak menyerang Sungwoon setelah pemuda itu menyelipkan candaan di tengah keseriusan obrolan Luna dan Woojin. Luna yang memperhatikan hal itu tersenyum samar.
“Jisung sama Seongwoo kompak ya! Sayang banget belakangan aku liat kalian agak saling canggung. Ada apa sih? Salah paham antar teman kan bisa diluruskan.” Luna mengomentari kekompakan Jisung dan Seongwoo saat menyerang Sungwoon.
Jisung dan Seongwoo saling melirik. Lalu, sama-sama tersenyum canggung.
“Aku ingat!” Woojin berseru. “Saat kamu ke kamar mandi, Rania ke dapur. Lalu, kalian nggak balik-balik ke gazebo. Di saat kalian nggak balik-balik itu, Minhyun minta izin menggunakan kamar mandi. Untuk ke kamar mandi kan melewati dapur. Apa di dapur kalian melakukan sesuatu?” Woojin menatap lurus pada Luna.
“Sesuatu apaan!” Sungwoon memukul lengan kanan Woojin.
“Ya, sesuatu yang bisa bikin Minhyun tahu kalau Luna sama Rania adalah teman. Emang sesuatu apaan?!” Woojin kesal karena Sungwoon terus menanggapi dengan candaan.
Luna masih ingat dengan baik apa yang terjadi di dapur. Ia menjawab semua pertanyaan Rania tentang Prince yang tak lain adalah Minhyun. Ia merasa aman karena mereka menggunakan Bahasa Indonesia ketika mengobrol. Pupil kedua mata Luna membesar ketika ia teringat Rania menggunakan Bahasa Korea ketika memperkenalkan dan membanggakan dirinya sebagai sahabat Luna si Kucing Bulan.
Bahu Luna merosot. Ia menghela napas dengan keras hingga menyita perhatian keempat teman laki-lakinya. “Mampus aku!” Luna menutup muka dengan kedua tangannya. Ia mengeluh menggunakan Bahasa Indonesia.
“Luna, kamu baik-baik saja?”
“Kamu kenapa? Luna?”
“Luna?”
“Apa perlu kita ke UKS?”
Sungwoon, Jisung, Woojin, dan Seongwoo secara berurutan bertanya pada Luna.
“Emang ngapain ke UKS?” Woojin bertanya pada Seongwoo.
“Istirahat. Mungkin semalam Luna kurang tidur. Jadi, sekarang kondisinya kurang baik.” Seongwoo menjelaskan kenapa ia memberi usul agar Luna dibawa ke UKS.
“Ya udah! Aku ke UKS aja!” Luna bangkit dari duduknya. “Di sana kan ada aroma terapi yang dipasang. Siapa tahu aku dapat pencerahan.” Ia mengiyakan usul Seongwoo. “Tapi, aku nggak mau ditemenin Jisung atau Seongwoo. Mereka harus ngobrol.”
Jisung dan Seongwoo saling memandang. Lalu, pasrah menerima penolakan Luna.
“Lalu… kamu mau ditemenin siapa?” Sungwoon berharap Luna memilihnya.
“Park Woojin.” Luna langsung menentukan pilihan.
“Yah… aku juga ditolak!” Sungwoon mengerucutkan bibirnya. Sedang Woojin bangkit dari duduknya dengan tersenyum lebar, penuh kemenangan.
“Sungwoon tolong awasi Cue aja ya. Bantu dia.” Luna menitipkan Rania pada Sungwoon.
“Tanpa kamu minta, aku pasti menjaga dia.” Sungwoon tersenyum manis.
“Gomawo. Aku pergi.” Luna pun pergi ke UKS bersama Woojin.
“Aku pergi juga!” Sungwoon bangkit dari duduknya. Ia memperhatikan Jisung dan Seongwoo. “Bukan hanya Luna, aku juga menunggu kalian baikan lagi.”
“Kami nggak berantem kok!” Jisung membantah.
Sungwoon tersenyum. Menepuk bahu Jisung, lalu beralih ke Seongwoo. Ia pun pergi meninggalkan Jisung dan Seongwoo di taman.
***

Hening setelah Luna, Woojin, dan Sungwoon pergi. Jisung dan Seongwoo sama-sama diam. Canggung satu sama lain.
“Itu…” Jisung dan Seongwoo bicara disaat yang bersamaan. Keduanya kompak tersenyum kikuk kemudian.
“Kamu saja. Silahkan duluan ngomong.” Seongwoo mempersilahkan Jisung bicara lebih dulu.
“Aku minta maaf kalau selama ini keberadaanku membuatmu nggak nyaman. Soal kamu dan Daerin, dari dulu aku tahu kalau kamu suka Daerin. Itu alasan kenapa aku sering menghindari Daerin. Membiarkan dia sama kamu.” Jisung langsung mengutarakan isi hatinya.
Seongwoo terbengong menatap Jisung. Ia tak menyangka Jisung tahu jika ia menyukai Daerin.
“Eksrpesinya nggak usah kayak gitu lah! Kita ini sama-sama lelaki. Dan, aku udah ngenal kamu sejak SMP. Awalnya aku pikir mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, makin ke sini aku makin yakin kalau kamu suka Daerin. Benar ya?”
Seongwoo tercenung sejenak, lalu tersipu malu.
“Aigo… jadi benar ya.” Jisung tersenyum menggoda.
“Tapi, Daerin suka kamu.”
Jisung menghela napas panjang. “Bagiku, Daerin seperti adikku sendiri. Aku tidak bisa menyukainya lebih dari itu. Itu kenapa aku sering menghindari Daerin. Dia nggak boleh memupuk rasa sukanya padaku. Karena, aku nggak akan bisa bales rasa itu.”
Seongwoo terdiam. Sejenak ia merasa kasihan pada Daerin. Apa yang dialami Daerin, seperti apa yang ia alami. Ia menyukai Daerin, tapi Daerin tak menyukainya. Sama halnya dengan Daerin menyukai Jisung, tapi Jisung tak menyukai Daerin.
“Tapi, Daerin tidak menyukai aku.” Seongwoo mengeluh.
“Kalau dia nggak suka sama kamu, dia nggak bakalan mau berteman sama kamu.”
“Itu karena aku temanmu.”
“Nggak. Daerin hanya belum melihat ketulusanmu. Karena dia dibutakan oleh rasa sukanya padaku. Bukan, tapi rasa kesalnya padaku. Dia kesal karena aku sering mengacuhkannya. Apa yang kamu lakukan sudah benar. Selalu ada untuknya, menemaninya. Aku berterima kasih untuk itu. Yang perlu kamu lakukan hanya mengakui perasaanmu padanya.”
“Mengakui perasaanku padanya?”
“Iya. Cewek itu ada yang peka ada yang nggak. Jadi, walau kamu kasih perhatian, dia nggak akan paham kalau perhatian yang kamu beri adalah wujud dari rasa sukamu padanya. Aku pikir Daerin tipe gadis seperti itu. Karena ia cenderung minta diperhatikan, hingga jarang memperhatikan apa yang ada di sekitarnya. Jadi, kamu harus ngomong langsung ke dia kalau kamu suka dia.”
Seongwoo ternganga menatap Jisung. “Ngom-ngomong langsung?” Ia terbata.
Jisung menganggukkan kepala.
“Kalau dia nggak suka aku, trus nolak aku gimana?”
“Itu resiko! Setidaknya kamu udah berani untuk ungkapin rasa sukamu padanya. Itu sikap ksatria. Masalah diterima atau ditolak, serahkan pada takdir. Daripada terus menunggu dia tahu tentang apa yang kamu rasa, lebih baik berkata jujur untuk mencari tahu apa yang ia rasakan padamu. Mendapat kepastian akan membuat bebanmu berkurang.”
Seongwoo diam. Merenungi saran Jisung.
“Kamu punya banyak kesempatan. Kamu hanya butuh sedikit keberanian. Sedikit saja!”
Seongwoo menghela napas dan tersenyum optimis. “Baiklah. Akan aku coba. Jisung-a, gomawo.”
Hwaiting!
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu nggak bisa suka Daerin lebih dari rasa kakak kepada adik?”
“Mm… entahlah. Luna bilang benih cinta bisa ditanam di hati kita, kan? Kupikir-pikir sejauh aku berteman dengan Daerin, aku tidak bisa menumbuhkan rasa sukaku untuknya. Padahal aku bisa merasakan dia menyukaiku lebih dari seorang teman. Hatiku malah tertarik pada gadis lain.”
“Cinta itu memang kurang ajar. Seenaknya saja tumbuh di hati kita tanpa kita bisa memilih cinta itu untuk siapa.”
“Itu lah uniknya cinta.”
“Lalu, bagaimana dengan gadis yang membuat hatimu tertarik?”
“Aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya.”
Jeongmal, jeongmal, jinjja, real, daebak, heol, wanjeon! Kamu keren, Yoon Jisung!” Seongwoo memberikan dua jempolnya untuk Jisung.
“Di sini murid perempuan lebih sedikit dari murid laki-laki. Bisa jadi satu gadis ditaksir lima laki-laki. Perbandingannya begitu kan? Kalau kita tidak bertindak cepat, bisa keduluan yang lain.”
“Kamu bisa aja!”
Jisung merangkul Seongwoo. “Ong Seongwoo, hwaiting!”
Jisung dan Seongwoo tertawa bersama.

Sungwoon, Luna, dan Woojin mengamati dari kejauhan. Ketiganya tersenyum melihat Jisung dan Seongwoo kembali akur.
“Bagaimana bisa ide dadakan itu muncul di otakmu, Luna? Kupikir tadi kamu benar-benar pergi ke UKS. Ternyata sembunyi di sini.” Sungwoon tersenyum dan menggeleng heran.
“Kupikir tadi juga beneran ngajakin aku ke UKS.” Woojin pun merasa tertipu oleh Luna.
Luna menghela napas. Merasa lega melihat Jisung dan Seongwoo bisa membicarakan kesalahpahaman mereka.
Tiba-tiba ada keributan yang menyita perhatian Sungwoon, Luna, dan Woojin. Ketiganya kompak menoleh ke arah sumber keributan berasal. Mereka menemukan Minhyun dan Jaehwan dibantu satu siswa menggendong siswa.
“Itu… Jinyoung kan?” Woojin mengenali siswa yang yang digendong Jaehwan, Minhyun, dan seorang siswa.
“Jinyoung pingsan?” Sungwoon tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di belakang Jaehwan dan Minhyun, Rania berjalan tergopoh-gopoh.
“Cue?” Melihat Rania mengikuti Jaehwan dan Minhyun, Luna pun bergegas menyusul rombongan yang bergerak cepat menuju ruang UKS itu.
Sungwoon dan Woojin pun bergerak menyusul Luna.
***

Jinyoung dibaringkan di salah satu ranjang di ruang UKS. Kebetulan Hami dan Lucy yang berjaga hari itu. Jaehwan, Minhyun, dan Rania minggir. Memberi ruang Hami dan Lucy untuk memberi pertolongan pada Jinyoung. Siswa yang membantu Jaehwan dan Minhyun pamit pergi. Di saat bersamaan, Luna, Sungwoon, dan Woojin sampai di ruang UKS.

“Apa yang terjadi?” Luna langsung menghampiri ranjang tempat Jinyoung dibaringkan.
“Dia pingsan setelah dilempar bola basket sama Raja Kingkong!” Rania menjawab menggunakan Bahasa Indonesia.
Luna terkejut mendengar kata 'Raja Kingkong'. Jinyoung pingsan karena Jiyoon Seonbae?  Ia membatin.
“Lucy! Ayo bantuin! Kenapa kamu malah bengong gitu?”
Suara Hami membuyarkan lamunan Luna. Pandangan Luna beralih pada Lucy yang berdiri di dekat ranjang sebelah kanan dan tampak bingung, tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Jinyoung.
Rania menghela napas dan mendekat. Hami sibuk melepas sepatu dan kaos kaki yang dikenakan Jinyoung. Rania membantu dengan melonggarkan dasi yang dikenakan Jinyoung. Tanpa ragu, Rania melonggarkan ikat pinggang dan mengeluarkan kemeja Jinyoung.
Sungwoon, Woojin, Jaehwan, dan Minhyun kompak dibuat terkejut melihat bagaimana Rania memperlakukan Jinyoung yang sedang pingsan.
“Kami pernah ikut Pramuka saat SD. Kami diajari bagaimana memberi pertolongan pertama pada korban pingsan. Memang seperti itu metodenya.” Luna memberi penjelasan agar empat pemuda itu tidak salah paham.
Sungwoon, Woojin, Jaehwan, dan Minhyun pun tersadar kembali dari keterkejutan. Karena syok, Jaehwan dan Minhyun tak menyadari jika Luna mengungkap pengalamannya saat masih SD bersama Rania. Begitu juga Hami dan Lucy.
Selesai melonggarkan ikat pinggang dan kemeja Jinyoung, Rania kembali ke leher Jinyoung. Ia membuka dua kancing teratas dari kemeja Jinyoung. “Alkohol 70% nya mana?” Ia meminta pada Lucy yang berdiri mematung tak jauh darinya.
“Se-sebentar!” Lucy baru sadar jika ia belum menyiapkan peralatan.
Hami mengambil bantal untuk menyangga kedua kaki Jinyoung agar posisinya lebih tinggi dari kepala. Melihat hal itu, Rania memegang kepala Jinyoung dengan hati-hati dan mengambil bantal yang menyangga kepala Jinyoung. Ia kembali meletakkan kepala Jinyoung dengan pelan. Ia menambahkan bantal itu untuk menyangga kaki Jinyoung.
“Jinyoung dilempar bola di kepalanya?” Hami menatap Rania.
“Tepat di wajahnya.” Jaehwan memberi jawaban.
“Hami, coba periksa ada luka apa nggak!” Luna memberi perintah.
“Nee??” Hami terkejut menerima perintah itu.
Rania pun mendekati wajah Jinyoung dan memegangnya dengan hati-hati untuk memulai pemeriksaan. “Ada sedikit memar di kening, hidung, dan bibir. Astaga! Bibirnya terluka!”
Lucy sampai di saat Rania berseru bibir Jinyoung terluka. Ia pun buru-buru membawa peralatan mendekat pada Rania.
Luna melihat tangan Lucy sudah terbungkus handskun. “Cue, minggir. Biar Lucy yang rawat Jinyoung!” Luna meminta Rania minggir. Ia menggunakan Bahasa Indonesia.
Rania menegakkan badannya. “Masih inget aja lo sama rencana Pakujin!” Ia membalas Luna sembari bergerak mundur demi memberi ruang untuk Lucy.
Lucy merasa canggung. Tapi, Hami yang berdiri di seberang hanya diam menatapnya. Lucy pun mengambil kapas yang sudah ia beri alkohol 70% dan mendekatkannya pada hidung Jinyoung.
“Kalau di Indonesia udah dibalur sama minyak kayu putih itu leher, perut, dan hidung. Biar cepet sadar.” Rania berdiri di samping kanan Jaehwan.
“Kamu belajar dari mana cara nolongin korban kayak tadi itu?” Jaehwan penasaran.
“Waktu SD, aku ikut pramuka. Jadi diajarin cara nolongin korban pingsan.”
Sungwoon dan Woojin kompak tersenyum mendengar penjelasan Rania. Jaehwan benar tak menyadari penjelasan Luna sebelumnya.
“Kita beri ruang biar Jinyoung lekas sadar. Lucy, kamu jaga Jinyoung sampai sadar ya!” Hami memberi perintah.
“Nee??” Lucy terkejut mendengarnya. Tapi, semua hanya diam menatapnya. “Nee.” Ia pun tak bisa menolak perintah para senior.
“Kata Rania ada memar di kening dan hidung. Bibir Jinyoung juga terluka. Jadi, nantai kalau dia sadar, kamu tanya apa ada keluhan dibagian memar. Lalu, rawat luka di bibirnya.”
“Nn-nee.”
“Ayo, kita keluar!” Hami mengajak teman-temannya untuk keluar.
Lucy menatap senior-seniornya yang berjalan mengikuti Hami. Meninggalkannya berdua saja dengan Jinyoung yang pingsan. Lucy kembali menatap Jinyoung yang masih terbaring tak sadarkan diri. Lekaslah sadar, Seonbaenim. Jebal. Lucy memanjatkan doa dalam hati.

Saat berkumpul di ruang jaga UKS, Rania dan Jaehwan bergantian memberi penjelasan kronologi penyerangan Jinyoung yang dilakukan oleh Jiyoon. Menurut keduanya, mereka—Jinyoung, Rania, Jaehwan, dan Minhyun—sudah berada di pinggir lapangan basket sebelum Jiyoon dan gengnya datang. Mereka duduk di tribun di pinggir lapangan untuk menonton permainan basket siswa kelas XI. Setelah datang ke lapangan basket, Jiyoon dan gengnya minta bagian untuk turut bermain di lapangan.

Karena datangnya Jiyoon dan gengnya, permainan di lapangan basket menjadi tak seru lagi. Jaehwan pun mengusulkan untuk pindah ke kantin saja untuk makan siang. Saat mereka bangkit dari duduknya, bola itu melayang ke arah Rania. Mendengar teriakan awas dari penonton lain, Jinyoung menoleh. Nahasnya, ia tepat berada di depan Rania hingga bola basket itu menghantam wajahnya.

Jinyoung sempat jatuh terduduk saat bola basket yang dilempar Jiyoon menghantam wajahnya. Tapi, pemuda itu mengatakan ia baik-baik saja dan sempat kembali berdiri. Saat kembali berdiri itulah Jinyoung oleng lalu jatuh pingsan.

Luna mengepalkan kedua tangannya saat mendengar Rania dan Jaehwan memberi penjelasan secara bergantian.
“Jadi, tujuan serangannya adalah Rania?” Sungwoon berkomentar setelah mendengar penjelasan Rania dan Jaehwan.
“Sepertinya begitu.” Jaehwan sangsi.
“Di hari pertama Rania masuk, Jiyoon Seonbae sudah membuat masalah dengan Rania. Kami sempat merekamnya. Iya, kan Luna?” Woojin ikut berkomentar. Semua menatap Luna, tapi gadis itu melamun. Tak memberi respon.
“Luna?” Hami menggoyang lengan Luna yang duduk di samping kanannya.
Luna tersadar dari lamunannya. “Maaf.” Ia segera meminta maaf saat menyadari semua mata tertuju padanya. Tatapannya bertemu pandang dengan Rania yang menatapnya penuh selidik.
“Kalian makan saja. Di sini serahkan padaku. Nanti kalau ada apa-apa aku kabari.” Hami meminta teman-temannya untuk makan siang.
Jaehwan, Rania, dan Minhyun bangkit dari duduknya dan pergi lebih dulu.
“Kamu mau di sini atau mau ke kantin juga?” Sungwoon bertanya pada Luna.
“Kita ke kantin.” Luna bangkit dari duduknya.
“Luna, nanti tolong bawakan makanan untuk Bae Jinyoung ya. Minuman manis dan makanan yang bisa dia makan saat dia sadar.” Hami meminta bantuan Luna.
“Aku yang akan membawanya untuk Jinyoung. Dia pasti lebih nyaman denganku.” Woojin menyanggupi.
“Oke.”
“Oya, Song Hami. Terima kasih untuk semua bantuanmu ya. Hingga detik ini.” Woojin mengucapkan terima kasihnya yang tertunda.
Hami tersenyum dan mengangguk. “Aku ikut ke kantin juga deh. Nanti biar bisa gantian sama Lucy.” Ia pun memutuskan untuk pergi bersama Luna.
***

Hening. Lucy tak mendengar obrolan itu lagi. Para senior sudah pergi ke kantin. Meninggalkan dirinya dan Jinyoung yang masih tak sadarkan diri. Lucy menghela napas, lalu kembali menatap Jinyoung. Pemuda itu terlihat seperti sedang tertidur pulas.

Lucy menggerakkan tangan kanannya. Membuat kapas yang dilumuri alkohol 70% itu lebih dekat pada hidung Jinyoung. Ia menoleh ke arah kiri, menatap jam dinding. Hampir sepuluh menit berlalu, Jinyoung belum juga sadar.

Lucy meletakkan tangan kirinya yang bebas di atas dada Jinyoung. Detub jantung pemuda itu berjalan normal. Lucy menghela napas lega dan menarik kembali tangannya dari dada Jinyoung. Ia kembali memperhatikan wajah Jinyoung.

Lucy memperhatikan detail wajah mungil Jinyoung. Mendadak ia merasa iba. Pemuda itu tidak hanya tampan, tapi juga baik. Sayang image buruk sudah melekat padanya. Walau Luna dan teman-temannya sudah membuktikan bahwa Jinyoung tak bersalah, masih banyak pihak yang membenci seniornya itu. Lucy yakin jika peristiwa yang menimpa Jinyoung hari ini adalah karena masalah itu juga.

Lucy mengerjapkan kedua matanya. Ia tersenyum melihat Jinyoung mulai sadar. Ia menunggu dengan sabar. Kepala Jinyoung bergerak ke kanan dan ke kiri. Lalu, perlahan pemuda itu mulai membuka matanya.

Jinyoung membuka mata sepenuhnya. Ia hendak bangun, tapi Lucy mencegahnya.
“Jangan! Jangan terburu-buru untuk bangun. Seonbae merasa pusing?” Lucy membungkukkan badan saat bertanya pada Jinyoung.
Jinyoung menganggukkan kepala.
“Kalau begitu tetap rebahan saja. Apa Seonbae mual?”
Jinyoung menggeleng pelan. “Kepalaku pusing. Wajahku terasa sakit.” Ia mengeluh dengan suara hampir tak terdengar.
Lucy mendekatkan telinga demi mendengar keluhan Jinyoung. “Saya menyesal harus mengatakan ini. Tapi, terdapat sedikit memar di kening dan hidung Seonbae. Bibir Seonbae juga terluka. Boleh saya merawat luka di bibir Seonbae?”
Jinyoung hanya mengangguk sebagai balasan.
Lucy membersihkan luka di bibir Jinyoung menggunakan kapas yang dibasahi dengan air steril. Dengan hati-hati ia membersihkan luka itu.
Jinyoung memejamkan kedua matanya. Bukan menghindari kontak mata dengan Lucy. Tapi, karena ia masih merasakan sakit di kepala dan wajahnya.
Lucy selesai membersihkan luka di bibir Jinyoung. “Saya akan memberi obat untuk luka Seonbae. Ini akan sedikit terasa sakit.”
Jinyoung yang masih memejamkan mata mengangguk.
“Permisi.”
Ketika Lucy menempelkan kapas pada luka di bibir Jinyoung, tubuh Jinyoung berjingkat kaget. Luka itu terasa perih saat kapas yang dilumuri obat menyentuhnya.
Lucy mengobati luka di bibir Jinyoung dengan pelan dan hati-hati. Sesekali ia meniup luka itu agar Jinyoung tak terlalu merasa kesakitan. Selesai mengobati luka di bibir Jinyoung, Lucy merapikan peralatannya dan membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, Lucy kembali dengan membawa sebotol air mineral. “Seonbae masih pusing?” Ia kembali membungkukkan tubuhnya dan bertanya dengan lembut.
Jinyoung membuka mata. Ia menemukan Lucy begitu dekat di hadapannya. Ia tak bisa menghindari kontak mata dengan Lucy. Tiba-tiba ia merasakan panas di wajahnya. “Sud-sudah tidak terlalu.” Jinyoung terbata dan mengalihkan pandangan.
Lucy menegakkan tubuhnya. “Kalau masih pusing, sebaiknya tidak memakai bantal dulu.”
Jinyoung baru menyadari jika ia terbaring tanpa bantal yang menyangga kepalanya. Ia baru menyadari jika kakinya lah yang justeru menggunakan dua bantal sebagai penyangga. Ia pun baru menyadari jika sabuknya telah terlepas, kemejanya berantakan. Wajahnya kembali merasa panas.
“Maaf, itu adalah metode yang harus kami lakukan untuk memberi pertolongan pada Seonbae.” Menyadari bagaimana reaksi dan arah pandangan Jinyoung, Lucy pun segera memberi penjelasan. “Setelah Seonbae tidak merasa pusing, saya akan mengambil bantal di kaki Seonbae dan memberi bantal untuk kepala Seonbae.”
Jinyoung menoleh ke arah kanan. Menghindari kontak mata dengan Lucy. Ia merasa malu.
“Kalau Seonbae merasa haus, saya bisa membantu Seonbae untuk minum.”
Hami kembali bersama Woojin. Mereka berdua lega melihat Jinyoung sudah sadar.
“Lihat! Lucy merawatmu dengan baik.” Woojin memuji Lucy. “Terima kasih, Lucy.” Tak lupa ia berterima kasih.
“Sudah menjadi tugas saya.” Lucy tersenyum.
Woojin terkesima melihat senyum Lucy untuk pertama kalinya. “Lucy kalau senyum cantik ya!” Lagi-lagi ia memuji. “Banyak-banyaklah tersenyum Lucy. Agar Jinyoung cepat membaik. Hehehe.”
Jinyoung mendelik pada Woojin. Sedang Lucy segera menundukkan kepala, tersipu karena pujian Woojin.
“Kamu makan dulu ke kantin sana!” Hami memberi perintah.
“Nee.” Lucy patuh. Ia pun pamit dan pergi ke kantin.
“Masih pusing?” Hami mengambil alih tempat Lucy.
“Udah nggak.” Jinyoung terlihat lebih santai.
“Oke. Kalau gitu kita ambil bantalnya ya.” Hami mengambil bantal yang menyangga kaki Jinyoung. “Kamu mau tetap berbaring apa duduk?”
“Duduk saja. Aku haus.”
“Biar aku bantu!” Woojin mendekati Jinyoung.
“Aku bisa sendiri.” Jinyoung pun duduk dengan perlahan.
“Dia boleh makan dan minum. Pelan-pelan saja ya. Aku ada di ruang jaga.” Hami pamit dan pergi meninggalkan Jinyoung dan Woojin.
Woojin duduk di tepi ranjang usai memberikan sebotol air mineral yang disediakan Lucy. “Aku bawa makanan untukmu.”
“Gomawo.”
“Lucy, cantik dan baik ya. Dia merawatmu, menungguimu sampai sadar.”
“Semua dia yang melakukan?”
Woojin mengangguk.
“Termasuk…” Jinyoung tak melanjutkan ucapannya. Tapi, tatapannya tertuju pada seragamnya yang berantakan.
“Kamu mikir apa? Dia kendorin sabuk dan kemejamu demi memberi pertolongan pertama padamu. Dasar otak mesum!”
“Aku nggak mikir gitu!” Jinyoung membela diri.
Woojin terkekeh menanggapinya.
***

Rania tak bisa berhenti memikirkan tentang Luna dan si Raja Kingkong Kim Jiyoon. Ekspresi ketakutan Luna pagi tadi saat Jiyoon menghampiri mereka. Keterkejutan Luna saat mendengar bahwa Jiyoon-lah yang melempar bola pada Jinyoung. Luna yang melamun usai mendengar penjelasannya tentang kronologi pingsannya Jinyoung. Rania terus bertanya-tanya. Ada hubungan apa antara Luna dan Jiyoon.
“Jinyoung udah sadar. Kamu nggak perlu muram gitu. Lagian, itu kecelakaan. Bukan salahmu. Jinyoung menjadi korban bukan karena sengaja ingin melindungimu. Tapi, karena kebetulan saja dia posisinya di depanmu dan bola itu mengarah entah benar padanya atau padamu.” Jaehwan yang menghampiri meja Rania saat pergantian jam pelajaran tiba-tiba mengoceh.
“Aku lega Jinyoung udah sadar. Tapi, bukan itu yang aku pikirkan sekarang.”
“Lalu, apa?”
“Boleh aku nanya sesuatu?”
“Tentang?”
“Luna.”
Minhyun yang menyimak obrolan Jaehwan dan Rania terkejut ketika Rania menyebut nama Luna. Walau tak membalikkan badan untuk menghadap pada Rania, Minhyun menyimak obrolan di belakangnya sejak Jaehwan berbicara pada Rania.
“Mm, boleh. Kalau aku tahu, aku jawab.” Jaehwan mengizinkan.
“Luna pernah ada masalah sama Kim Jiyoong Seonbaenim?” Rania langsung mengutarakan apa yang menganggu pikirannya.
Jaehwan diam, berpikir sejenak. Mengingat-ingat apa pernah mendengar sesuatu tentang Kim Jiyoon dan Luna. “Nggak ada deh kayaknya.”
“Yakin?”
Jaehwan menganggukkan kepala. “Kenapa emang?”
“Nggak papa sih.”
Rania yang tahu perihal surat ancaman yang diterima Luna merasa semua itu ada hubungannya dengan Kim Jiyoon sekarang. Setidaknya setelah peristiwa tadi pagi dan saat istirahat. Sebelumnya ia tak punya pikiran jika bola itu di arahkan padanya. Tapi, setelah mengobrol di ruang jaga UKS, ia baru menyadari jika hal itu sangat masuk akal. Jiyoon sengaja melempar bola padanya dan sialnya Jinyoung yang terkena sasaran karena posisinya tiba-tiba berada di depan Rania.
Masa iya dia tahu kalau gue sohibnya Kucing? Karena itu dia berusaha melukai gue dari pertama gue masuk sekolah ini. Tapi, demi apa? Raja Kingkong itu punya masalah apa sama Kucing? Rania terdiam. Semua teka-teki itu memenuhi pikirannya.
“Nanti kami ngumpul untuk mulai baca naskah. Aku coba korek informasi ya.” Jaehwan menyanggupi untuk membantu Rania.
“Kamu yakin Luna mau ngomong sama kamu?”
“Nggak ada salahnya dicoba kan? Siapa tahu dia mau ngomong.”
“Nggak yakin deh.”
“Iya juga sih. Hehehe.”
Dasar Jurle geblek!
“Minhyun mungkin tahu?” Jaehwan tiba-tiba menarik Minhyun dalam obrolan.
Rania menatap punggung Minhyun. Mendadak ia merasa gugup. Jurle ini geblek apa geblek sih? Udah tahu Prince perang dingin sama Kucing. Malah ditanya! Rania menggigit bibirnya.
“Setelah rumor Luna menolak Taemin Seonbae, sempat ada rumor tentang Luna dibully. Tapi, rumor itu menghilang begitu saja.” Di luar dugaan Jaehwan dan Rania, Minhyun buka suara tentang dugaan adanya hubungan antara Kim Jiyoon dan Luna.
Walau jawaban Minhyun tak pasti, melihat reaksi Luna pagi tadi, untuk sementara Rania menyimpulkan jika rumor bullying itu benar dengan Luna sebagai korban dan Kim Jiyoon adalah pelakunya.
Rania kembali menatap punggung Minhyun. Pantesan kalian pernah jadi sohib. Kalian punya banyak kesamaan sih! Ia pun tersenyum.
“Jadi, menurutmu rumor bullying itu ada hubungannya sama Kim Jiyoon Seonbaenim?” Jaehwan kembali bertanya pada Minhyun.
“Menurutmu?” Minhyun tak memberi jawaban dan balik bertanya pada Jaehwan.
“Dia emang berpotensi buat lakuin itu sih. Kayak di hari pertama Rania masuk. Wah, kalau benar pernah ada kasus bullying pada Luna yang dilakukan Kim Jiyoon Seonbae pada Luna, bisa jadi gawat kalau Park Jihoon tahu.”
“Kenapa begitu?” Rania penasaran. “Kenapa Park Jihoon dijuluki monster cute? Ada hubungannya sama itu?”
“Yang aku dengar, dia pernah menghajar senior-seniornya sampai babak belur saat SMP. Karena senior itu mengganggunya dan membawa nama orang tua Jihoon dalam olokan mereka.”
“Pantas aja Jihoon marah. Kalau aku di posisi dia, aku juga pasti marah dan menghajar senior-seniorku!” Rania mendukung tindakan Jihoon.
“Sebagai mantan artis cilik yang sering dipuji cute. Tentu saja apa yang dia lakukan berkebalikan dengan image cute-nya. Itu kenapa julukan monster cute mulai tersebar untuknya.”
“Trus, gara-gara insiden itu dia pensiun jadi artis cilik?”
“Nggak. Saat SMP dia masih aktif di variety show dan musikal. Waktu insiden itu mencuat ke publik, fans justeru mendukung tindakan Jihoon. Bukan hanya fans yang mendukungnya.”
“Trus, kalau tahu Kim Jiyoon Seobaenim bully Luna, dia bakalan belain Luna? Yakin Jihoon sesayang itu sama Luna?”
Kening Minhyun berkerut mendengar pertanyaan Rania.
“Sebelum kamu masuk, ada satu kejadian yang membuat kebanyakan dari pendukung Jiluna—”
“Apa itu Jiluna?” Rania memotong penjelasan Jaehwan.
“Jihoon dan Luna.”
“Oh. Lucu juga disingkat jadi Jiluna.”
“Biasalah! Kerjaan fans mereka. Nah, kejadiannya pendukung Jihoon yang nggak suka Jihoon jalan sama Luna terlibat cek-cok sama pendukung Luna. Jihoon ada di tengah-tengah mereka. Insiden itu sampai bikin Jihoon terluka. Kata saksi yang ada di tempat kejadian, Jihoon udah hampir meledak. Tapi, Luna tiba-tiba datang dan berhasil meredam emosi Jihoon.”
Anjir! Kucing macem jadi pawangnya monster cute Park Jihoon. Rania tersenyum samar.
“Mereka yakin kalau Jihoon sayang banget sama Luna. Makanya dia nurut dan mau pergi ninggalin TKP sama Luna. Bayangin aja kalau dia tahu orang yang dia sayangi dilukai. Udah pasti dia bisa ngamuk dan jadi monster beneran.”
“Wuik! Ngeri juga ya.”
“Tapi, kalau emang beneran Luna dibully sama Kim Jiyoon Seonbae, aku berharap Jihoon tahu dan beneran menghajar Kim Jiyoon Seonbae. Biar kapok dia. Dia itu demen bikin rusuh.”
Rania menghela napas panjang. Ia menghubungkan dugaan-dugaannya dengan informasi yang diberikan Jaehwan. Untuk sementara ia menyimpulkan bahwa hubungan antara Luna dan Kim Jiyoon adalah tentang korban dan pelaku bullying. Ia pun merasa geram pada Kim Jiyoon hanya karena kesimpulan sementara itu.
***

Luna berada di basecamp Klub Teater bersama Jisung. Hanya ada mereka berdua di sana. Luna sedang memberi contoh pada Jisung tentang bagaimana memerankan karakter nenek pendongeng yang ia inginkan. Ia memberi contoh bagaimana nenek itu berjalan dan berbicara.

Jisung duduk di atas kursi. Memperhatikan Luna yang sedang berakting menjadi seorang nenek di hadapannya. Gadis itu berbicara dengan suara bak nenek-nenek sambil sesekali melihat naskah yang berada di tangan kanannya. Jisung tersenyum melihat totalitas Luna.

Jihoon masuk ke dalam basecamp. Dengan langkah lebar-lebar ia berjalan mendekati Luna. Ketika ia sampai di dekat Luna, ia langsung memeluk gadis itu.

Luna terkejut karena Jihoon tiba-tiba memeluknya. Ia berusaha lepas, tapi Jihoon memeluknya semakin erat. Luna pun pasrah. Logika memberikan jawaban bahwa itu hanyalah akting yang dilakukan Jihoon untuk memberinya kejutan di depan Jisung. Karena Jisung menambahkan adegan Penebang Kayu memeluk erat Peri di akhir cerita.

Jisung mengatupkan bibirnya yang sempat ternganga ketika melihat Jihoon tiba-tiba memeluk Luna. “Ya, Park Jihoon. Aktingmu sempurna. Tapi, apa kamu akan memeluk Luna seperti itu sampai yang lain datang?”
Jihoon melepas pelukannya dan menatap Luna. Ia tersenyum. “Aku lega melihat Seonbae baik-baik saja.”
“Eh? Emang aku kenapa?” Luna bingung.
“Insiden di lapangan basket. Aku sangat khawatir setelah mendengarnya.”
“Insiden Bae Jinyoung ya? Kenapa kamu khawatir?” Jisung menyela. “Omo!” Ia menutup mulutnya dengan tangan. Karena teringat surat ancaman yang diterima Luna. “Apakah…”
“Sudah! Sebentar lagi yang lain datang! Jangan membicarakannya di sini!” Luna menarik diri dari hadapan Jihoon. Ia kemudian duduk di kursi kosong di sebelah Jisung dan meneguk air mineral miliknya. Mengetahui Jihoon sangat mengkhawatirkannya, mendadak ia merasa sedikit limbung. Ia duduk untuk membuat dirinya kembali stabil.

Luna dan Jihoon berjalan berdampingan untuk pulang usai berkumpul untuk pembacaan naskah di basecamp Klub Teater.
“Kang Daniel tidak menunggu?” Jihoon memecah keheningan.
“Kenapa kamu bertanya begitu setelah tadi sempat khawatir sampai memelukku?” Luna pura-pura kesal.
“Kalaupun dia menunggu, aku nggak papa kok kita pulang bertiga. Naik bus atau naik mobilku lagi.”
“Puas-puasin deh ngeledeknya.”
Jihoon menyenggol lengan kanan Luna dan bertingkah cute.
“Dih!” Luna mencibir.
“Aku senang kamu baik-baik aja. Aku benar-benar khawatir saat mendengar Kim Jiyoon Seonbae menyerang Bae Jinyoung Seonbae. Bae Jinyoung Seonbae adalah orang yang dengan susah payah kamu bela. Kim Jiyoon pasti kesal karenanya dan baru punya kesempatan tadi untuk menyerang.”
“Apa yang kamu takutkan? Kim Jiyoon Seonbae akan menyerangku seperti itu?”
“Kalau dia sampai melakukan hal itu, dia pasti mati di tanganku!”
“Ya! Park Jihoon!”
Jihoon tersenyum. “Aku serius.”
“Trus, kalau kamu bunuh dia dan kamu di penjara, siapa yang bakal lindungin aku?”
“Tentu saja aku!”
Luna menghentikan langkahnya setelah keluar dari gerbang sekolah.
Jihoon pun ikut berhenti. “Apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan Mezzaluna di sisiku. Melindunginya semampu yang aku bisa. Sampai titik darah penghabisan.”
“Kamu pikir kita sedang perang apa?”
Jihoon tersenyum melihatnya. “Oya, hari Sabtu nanti apa kamu ada acara?”
“Wae?”
“Temani aku ke Hongdae. Ada yang penting yang ingin aku tunjukkan padamu di sana.”
“Hongdae? Hal penting apa? Bukan seperti Daehwi dan Joohee kan?”
“Kalau iya kenapa?”
Kening Luna berkerut.
Jihoon tersenyum lebar. “Nggak kok. Tapi, beneran hal penting yang pengen aku tunjukkan ke kamu. Aku butuh dukungan. Semoga saja kamu bisa. Aku berharap kamu bisa.”
Luna diam sejenak. Ia berpikir harus menerima atau menolak ajakan Jihoon.
“Sabtu malam, aku hanya butuh waktumu dua jam saja.”
“Begini, hari Sabtu besok aku mau mencoba kerja paruh waktu di cafe tempat Daniel bekerja.”
Ekspresi Jihoon berubah. Keningnya berkerut.
“Aku penasaran pada bagaimana rasanya kerja paruh waktu dan baru kali ini punya keberanian untuk mencobanya. Dan, bersyukur aku mendapat kesempatan di cafe tempat Daniel berkerja paruh waktu.”
Jihoon tak suka melihat antusiasme yang ditunjukkan Luna. Baginya itu ambigu. Entah Luna antusias karena akhirnya bisa mencoba bekerja paruh waktu. Atau Luna antusias karena akhirnya bisa mencoba bekerja paruh waktu bersama Daniel.
“Untuk vlog-mu ya? Kalau gitu, aku temani. Aku bisa jadi kameramen yang baik untukmu.” Jihoon tersenyum manis.
Luna tertegun mendengar permintaan Jihoon. Ia bingung harus memberi jawaban apa.
***
 


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews