My 4D's Seonbae - Episode #26 “Selalu Ada Jalan Untuk Setiap Kesalahpahaman.”
05:03
Episode #26 “Selalu Ada Jalan Untuk Setiap Kesalahpahaman.”
“Trus,
gue kudu gimana? Ntar kalau gue ketemu Prince
gimana?” Rania menghentikan langkahnya usai mengoceh sambil mondar-mandir di
depan Luna yang berdiri menyandarkan punggung pada dinding. “Cing! Jangan diem
aja dong!”
“Aku
lega itu Prince. Dia bakalan jaga
kamu dengan baik.” Luna terdengar santai.
Kemarin,
setelah Rania memberitahunya tentang terpilihnya Rania menjadi perwakilan special show bersama Minhyun, ia memang
sempat syok. Sesaat ia merasa blank,
tidak bisa berpikir. Ia bahkan langsung mengusir Sungwoon dan Woojin yang
sedang berada di rooftop-nya. Luna
benar-benar ingin sendiri. Malam harinya ia pun sempat terjaga. Namun,
memikirkan itu semua, akhirnya Luna bisa menerima dan memaklumi kenyataan itu.
Ia lega, karena Rania pasti aman bersama Minhyun.
“Ya,
tapi kan, nggak enak Cing!”
“Prince nggak tahu kalau kamu sahabatku.
Ya, dia emang tahu aku punya geng di Indonesia. Tapi, nggak sampek detail kok.”
Rania
menghela napas panjang. “Temenin gue latihan ya? Trus, baiknya apa gue mundur
buat tim kita? Persatuan Murid Asing.”
“Kalau
merasa nggak mampu, ya nggak papa sih.”
“Nggak
deh. Waktu latihannya kan bisa di atur. Temenin gue ya? Ya? Please…” Rania memohon.
“Bukannya
aku nggak mau. Tapi, Prince nggak
bakalan nyaman kalau ada aku. Liat gimana pas di tambak Jurle?”
“Iya
juga sih.” Bahu Rania melorot. “Mangilnya Jurle juga.” Sedetik kemudian ia
menggoda Luna.
“Emang
udah ada jadwal latihan?”
“Udah.
Semalem Prince japri. Dia dapat
nomerku dari Jurle. Prince bilang,
Sabtu nanti kita ketemu. Sama Taemin Seonbae juga. Katanya, Taemin Seonbae mau
bantuin modifikasi gerakan dance biar
nggak terlalu seksi. Mampus dah gue! Dua-duanya cowok yang pernah bermasalah
sama lo!”
Luna
menyunggingkan senyum. “Dua-duanya baik kok.”
“Woo!
Lihat apa yang ada di sini!” Senior kelas XII bertubuh besar yang sebelumnya
mengganggu Rania tiba-tiba muncul bersama dua rekannya yang memiliki postur
tubuh hampir sama dengannya.
Ekspresi
Luna berubah karena terkejut. Tubuhnya yang sebelumnya rileks pun mendadak
tegang. Ia menegakkan punggungnya yang sebelumnya bersandar pada tembok.
Rania
mundur dan berdiri di samping kiri Luna. Ia masih bisa mengenali wajah senior
yang mengganggunya di hari pertama ia sekolah. “Cing, senior ini yang waktu itu
lo ancam lo rekam perbuatan dia kan? Pas dia usilin aku.” Rania berbisik.
Luna
mengangguk. Sikapnya berubah kaku. Rania menyadari perubahan ekspresi Luna,
karena ia menoleh ke arah kanan usai berbisik.
“Ekspresi
lo gitu banget, Cing?” Rania heran. Ia kemudian beralih menatap tiga senior
yang kini hanya berjarak satu langkah di depannya.
Rania
menatap tag nama senior-senior itu. Kim
Jiyoon, ia membaca dalam hati tag nama murid yang berada paling tengah. Jang Ki Bang, ia berlanjut ke senior
yang berada di sebelah kanan Jiyoon. Bang
Yoon Ho, ia beralih pada senior yang berada di sebelah kiri Jiyoon.
Kemudian, ia kembali menoleh ke kanan demi menatap Luna. Sahabatnya itu
terlihat was-was.
Kucing kenapa gitu banget sih? Dia takut? Sama senior-senior
itu? Tapi, waktu itu kenapa beda banget? Pas dia dateng sama Woojin dan ngancem
senior-senior itu dengan video di ponselnya?
Rania sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya.
“Ya!
Kamu! Anak pindahan dari Indonesia! Sampai kapan kamu akan pakai celana olah
raga itu?” Kim Jiyoon menggerakkan kepalanya, menuding celana olah raga yang
dikenakan Rania. Kedua tangannya ia simpan rapi di kedua saku celananya. Demi
terkesan angkuh di depan junior-juniornya yang berasal dari Indonesia itu.
“Kau
bicara soal peraturan, tapi coba lihat! Bagaimana dengan dirimu sendiri?” Jiyoon
menambahkan.
“Pihak
sekolah memberimu kelonggaran bukan berarti kamu bisa seenaknnya. Butuh berapa
lama lagi untuk beradaptasi?” Bang Yoon Ho menyambung.
“Dua
puluh satu hari. Butuh waktu dua puluh satu hari untuk menanamkan kebiasaan
baru dan mematahkan kebiasaan lama.” Luna menjawab pertanyaan Yoon Ho.
Rania
kembali menoleh dan menatap Luna. Ekspresi sahabatnya itu berubah lagi. Gadis
itu kembali terlihat dingin dan angkuh. Hampir sama seperti ketika ia tiba-tiba
muncul bersama Woojin. Rania dibuat bingung melihatnya.
Ji
Yoon menyunggingkan senyum saat menatap Luna. “Kamu berubah banyak, Mezzaluna.
Apa itu karena aku?”
Luna
menatap lurus Ji Yoon. Rania masih memperhatikan Luna. Ia yang mengenal Luna
cukup lama paham jika ada kebencian dalam sorot mata Luna. Bukan, tapi
kemarahan. Atau, gabungan dari keduanya. Hal itu membuat Rania merasa tak
nyaman.
Luna
menyeringai. “Saya berubah karena diri saya menginginkan perubahan itu. Bukan
karena orang lain.”
Senyum
kembali tersungging di bibir Ji Yoon. “Begitu ya? Aku akui, kamu memang lebih
tangguh sekarang. Itu membuatku bangga. Aku percaya diri, kau berubah, pasti
karena aku.”
Ini raja kingkong pede amat sih! Rania menggerutu dalam hati.
“Terima
kasih telah mengingatkan kami tentang peraturan sekolah. Setelah dua puluh satu
hari, atau kurang dari itu. Saya jamin, Rania pasti bisa berpenampilan layaknya
siswi lain di SMA Hak Kun ini.” Luna membungkuk demi menunjukkan rasa hormat pada
senior-seniornya. Ia meraih tangan kanan Rania, menggenggamnya erat, dan
menuntun gadis itu pergi dari hadapan Ji Yoon dan gengnya.
Ji
Yoon mencibir melihat bagaimana Luna bertingkah di depannya.
“Cing!
Lo kenapa sih? Bermasalah sama Raja Kingkong tadi?” Rania menarik tangannya
hingga terlepas dari genggaman Luna. Ia menghentikan langkahnya.
Luna
turut berhenti. “Maaf. Aku buat tanganmu sakit?”
“Bukan
itu masalahnya! Tapi, Raja Kingkong itu! Dia tahu tentang kita?”
“Entahlah.
Tapi, kamu hindari aja dia. Aku tahu kamu bisa bela diri. Tapi, ngandalin
kemampuan fisik aja nggak ada gunanya. Jadi, hindari aja dia.”
“Apa
dia bakalan jahatin gue juga? Karena gue orang Indonesia juga? Dari hari
pertama gue masuk lho!” Rania berkacak pinggang. Ia kesal. Tapi, kemudian ia
menurunkan kedua tanggannya dan menatap Luna. “Jangan-jangan… itu alasanmu
menyembunyikan identitasku?”
“Aku
ke kelas!” Luna meninggalkan Rania.
“Dasar,
Kucing Buluk!” Rania meneriaki Luna. Tapi, sahabatnya itu tetap mengabaikannya.
***
Luna
berkumpul bersama squad Moon Kingdom
saat istirahat. Karena kemarin Sungwoon dan Woojin ada bersamanya, Jisung dan
Seongwoo pun segera tahu jika Rania dan Minhyun sedang ada masalah. Tapi,
tentang masalah apa, Sungwoon dan Woojin tidak memahaminya, karena Luna
menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang ngobrol bersama Rania. Usai video call, Luna uring-uringan dan malah
mengusir keduanya dari rooftop.
Merasa ada yang tak beres, Sungwoon dan Woojin membagi cerita pada Jisung dan
Seongwoo.
Sejak
mendedikasikan diri sebagai squad Moon
Kingdom, empat teman sekelas Luna itu sepakat untuk tidak hanya menjadi
teman satu kelompok bagi Luna. Tapi, juga sebagai teman yang bisa diandalkan
dan jadi sandaran bagi Luna. Karenanya, mereka terus mengikuti Luna demi
mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi pada Rania dan Minhyun.
“Kalian
norak banget tahu!” Luna kesal karena Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin
terus mengikutinya. “Kalian peduli apa kepo sih?!”
“Bukan
begitu, Luna. Kami khawatir terjadi sesuatu pada Rania dan Minhyun. Atau,
padamu, Rania, dan Minhyun.” Jisung berusaha meredam emosi Luna.
“Bener
banget apa kata Jisung. Apa Minhyun tahu kalau Rania sahabat kamu trus dia
berbuat sesuatu yang nggak baik pada Rania?” Sungwoon menyambung.
“Hari
Minggu lalu kita berkumpul di tempat Jaehwan. Aku jadi mikir, apa Minhyun tahu
tentang kalian dan marah. Rania kan gampang keceplosan. Dari dia kita jadi tahu
kalau kalian sahabat sejak kecil.” Woojin ikut mengutarakan pendapatnya. Sedang
Seongwoo yang berada di samping kanannya menganggukkan kepala sebagai tanda ia
setuju dengan pendapat Woojin.
Ekspresi
Luna berubah usai mendengar penjelasan Woojin. Dalam hati, ia membenarkan
analisis Woojin. “Kamu liat sesuatu yang aneh?” Nada bicaranya pun melunak. “Maksudku,
perubahan ekspresi atau sikap Minhyun mungkin? Atau, ada momen yang
memungkinkan kami ketahuan?”
Woojin
bergumam tak jelas, sambil berpikir keras. Mengingat momen saat berada di
peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan. “Kayaknya nggak ada. Bukannya Minhyun
lebih banyak sama kamu?”
“Nggak.
Udah kubilang dia liat aku kayak liat setan! Makanya menghindar jauh-jauh!”
“Kalau
aku nggak akan menghindar. Apalagi setannya cantik kayak kamu.” Sungwoon
menyela. Wajahnya berseri saat menatap Luna.
Jisung
dan Seongwoo kompak menyerang Sungwoon setelah pemuda itu menyelipkan candaan
di tengah keseriusan obrolan Luna dan Woojin. Luna yang memperhatikan hal itu
tersenyum samar.
“Jisung
sama Seongwoo kompak ya! Sayang banget belakangan aku liat kalian agak saling
canggung. Ada apa sih? Salah paham antar teman kan bisa diluruskan.” Luna
mengomentari kekompakan Jisung dan Seongwoo saat menyerang Sungwoon.
Jisung
dan Seongwoo saling melirik. Lalu, sama-sama tersenyum canggung.
“Aku
ingat!” Woojin berseru. “Saat kamu ke kamar mandi, Rania ke dapur. Lalu, kalian
nggak balik-balik ke gazebo. Di saat kalian nggak balik-balik itu, Minhyun
minta izin menggunakan kamar mandi. Untuk ke kamar mandi kan melewati dapur.
Apa di dapur kalian melakukan sesuatu?” Woojin menatap lurus pada Luna.
“Sesuatu
apaan!” Sungwoon memukul lengan kanan Woojin.
“Ya,
sesuatu yang bisa bikin Minhyun tahu kalau Luna sama Rania adalah teman. Emang
sesuatu apaan?!” Woojin kesal karena Sungwoon terus menanggapi dengan candaan.
Luna
masih ingat dengan baik apa yang terjadi di dapur. Ia menjawab semua pertanyaan
Rania tentang Prince yang tak lain
adalah Minhyun. Ia merasa aman karena mereka menggunakan Bahasa Indonesia
ketika mengobrol. Pupil kedua mata Luna membesar ketika ia teringat Rania
menggunakan Bahasa Korea ketika memperkenalkan dan membanggakan dirinya sebagai
sahabat Luna si Kucing Bulan.
Bahu
Luna merosot. Ia menghela napas dengan keras hingga menyita perhatian keempat
teman laki-lakinya. “Mampus aku!” Luna menutup muka dengan kedua tangannya. Ia
mengeluh menggunakan Bahasa Indonesia.
“Luna,
kamu baik-baik saja?”
“Kamu
kenapa? Luna?”
“Luna?”
“Apa
perlu kita ke UKS?”
Sungwoon,
Jisung, Woojin, dan Seongwoo secara berurutan bertanya pada Luna.
“Emang
ngapain ke UKS?” Woojin bertanya pada Seongwoo.
“Istirahat.
Mungkin semalam Luna kurang tidur. Jadi, sekarang kondisinya kurang baik.” Seongwoo
menjelaskan kenapa ia memberi usul agar Luna dibawa ke UKS.
“Ya
udah! Aku ke UKS aja!” Luna bangkit dari duduknya. “Di sana kan ada aroma
terapi yang dipasang. Siapa tahu aku dapat pencerahan.” Ia mengiyakan usul
Seongwoo. “Tapi, aku nggak mau ditemenin Jisung atau Seongwoo. Mereka harus
ngobrol.”
Jisung
dan Seongwoo saling memandang. Lalu, pasrah menerima penolakan Luna.
“Lalu…
kamu mau ditemenin siapa?” Sungwoon berharap Luna memilihnya.
“Park
Woojin.” Luna langsung menentukan pilihan.
“Yah…
aku juga ditolak!” Sungwoon mengerucutkan bibirnya. Sedang Woojin bangkit dari
duduknya dengan tersenyum lebar, penuh kemenangan.
“Sungwoon
tolong awasi Cue aja ya. Bantu dia.” Luna menitipkan Rania pada Sungwoon.
“Tanpa
kamu minta, aku pasti menjaga dia.” Sungwoon tersenyum manis.
“Gomawo.
Aku pergi.” Luna pun pergi ke UKS bersama Woojin.
“Aku
pergi juga!” Sungwoon bangkit dari duduknya. Ia memperhatikan Jisung dan
Seongwoo. “Bukan hanya Luna, aku juga menunggu kalian baikan lagi.”
“Kami
nggak berantem kok!” Jisung membantah.
Sungwoon
tersenyum. Menepuk bahu Jisung, lalu beralih ke Seongwoo. Ia pun pergi
meninggalkan Jisung dan Seongwoo di taman.
***
Hening
setelah Luna, Woojin, dan Sungwoon pergi. Jisung dan Seongwoo sama-sama diam.
Canggung satu sama lain.
“Itu…”
Jisung dan Seongwoo bicara disaat yang bersamaan. Keduanya kompak tersenyum
kikuk kemudian.
“Kamu
saja. Silahkan duluan ngomong.” Seongwoo mempersilahkan Jisung bicara lebih
dulu.
“Aku
minta maaf kalau selama ini keberadaanku membuatmu nggak nyaman. Soal kamu dan
Daerin, dari dulu aku tahu kalau kamu suka Daerin. Itu alasan kenapa aku sering
menghindari Daerin. Membiarkan dia sama kamu.” Jisung langsung mengutarakan isi
hatinya.
Seongwoo
terbengong menatap Jisung. Ia tak menyangka Jisung tahu jika ia menyukai
Daerin.
“Eksrpesinya
nggak usah kayak gitu lah! Kita ini sama-sama lelaki. Dan, aku udah ngenal kamu
sejak SMP. Awalnya aku pikir mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, makin ke sini
aku makin yakin kalau kamu suka Daerin. Benar ya?”
Seongwoo
tercenung sejenak, lalu tersipu malu.
“Aigo…
jadi benar ya.” Jisung tersenyum menggoda.
“Tapi,
Daerin suka kamu.”
Jisung
menghela napas panjang. “Bagiku, Daerin seperti adikku sendiri. Aku tidak bisa
menyukainya lebih dari itu. Itu kenapa aku sering menghindari Daerin. Dia nggak
boleh memupuk rasa sukanya padaku. Karena, aku nggak akan bisa bales rasa itu.”
Seongwoo
terdiam. Sejenak ia merasa kasihan pada Daerin. Apa yang dialami Daerin,
seperti apa yang ia alami. Ia menyukai Daerin, tapi Daerin tak menyukainya.
Sama halnya dengan Daerin menyukai Jisung, tapi Jisung tak menyukai Daerin.
“Tapi,
Daerin tidak menyukai aku.” Seongwoo mengeluh.
“Kalau
dia nggak suka sama kamu, dia nggak bakalan mau berteman sama kamu.”
“Itu
karena aku temanmu.”
“Nggak.
Daerin hanya belum melihat ketulusanmu. Karena dia dibutakan oleh rasa sukanya
padaku. Bukan, tapi rasa kesalnya padaku. Dia kesal karena aku sering
mengacuhkannya. Apa yang kamu lakukan sudah benar. Selalu ada untuknya,
menemaninya. Aku berterima kasih untuk itu. Yang perlu kamu lakukan hanya
mengakui perasaanmu padanya.”
“Mengakui
perasaanku padanya?”
“Iya.
Cewek itu ada yang peka ada yang nggak. Jadi, walau kamu kasih perhatian, dia
nggak akan paham kalau perhatian yang kamu beri adalah wujud dari rasa sukamu
padanya. Aku pikir Daerin tipe gadis seperti itu. Karena ia cenderung minta
diperhatikan, hingga jarang memperhatikan apa yang ada di sekitarnya. Jadi,
kamu harus ngomong langsung ke dia kalau kamu suka dia.”
Seongwoo
ternganga menatap Jisung. “Ngom-ngomong langsung?” Ia terbata.
Jisung
menganggukkan kepala.
“Kalau
dia nggak suka aku, trus nolak aku gimana?”
“Itu
resiko! Setidaknya kamu udah berani untuk ungkapin rasa sukamu padanya. Itu
sikap ksatria. Masalah diterima atau ditolak, serahkan pada takdir. Daripada
terus menunggu dia tahu tentang apa yang kamu rasa, lebih baik berkata jujur
untuk mencari tahu apa yang ia rasakan padamu. Mendapat kepastian akan membuat
bebanmu berkurang.”
Seongwoo
diam. Merenungi saran Jisung.
“Kamu
punya banyak kesempatan. Kamu hanya butuh sedikit keberanian. Sedikit saja!”
Seongwoo
menghela napas dan tersenyum optimis. “Baiklah. Akan aku coba. Jisung-a,
gomawo.”
“Hwaiting!”
“Kalau
boleh tahu, kenapa kamu nggak bisa suka Daerin lebih dari rasa kakak kepada
adik?”
“Mm…
entahlah. Luna bilang benih cinta bisa ditanam di hati kita, kan? Kupikir-pikir
sejauh aku berteman dengan Daerin, aku tidak bisa menumbuhkan rasa sukaku
untuknya. Padahal aku bisa merasakan dia menyukaiku lebih dari seorang teman.
Hatiku malah tertarik pada gadis lain.”
“Cinta
itu memang kurang ajar. Seenaknya saja tumbuh di hati kita tanpa kita bisa
memilih cinta itu untuk siapa.”
“Itu
lah uniknya cinta.”
“Lalu,
bagaimana dengan gadis yang membuat hatimu tertarik?”
“Aku
sudah mengungkapkan perasaanku padanya.”
“Jeongmal, jeongmal, jinjja, real, daebak,
heol, wanjeon! Kamu keren, Yoon Jisung!” Seongwoo memberikan dua jempolnya
untuk Jisung.
“Di
sini murid perempuan lebih sedikit dari murid laki-laki. Bisa jadi satu gadis
ditaksir lima laki-laki. Perbandingannya begitu kan? Kalau kita tidak bertindak
cepat, bisa keduluan yang lain.”
“Kamu
bisa aja!”
Jisung
merangkul Seongwoo. “Ong Seongwoo, hwaiting!”
Jisung
dan Seongwoo tertawa bersama.
Sungwoon,
Luna, dan Woojin mengamati dari kejauhan. Ketiganya tersenyum melihat Jisung
dan Seongwoo kembali akur.
“Bagaimana
bisa ide dadakan itu muncul di otakmu, Luna? Kupikir tadi kamu benar-benar
pergi ke UKS. Ternyata sembunyi di sini.” Sungwoon tersenyum dan menggeleng heran.
“Kupikir
tadi juga beneran ngajakin aku ke UKS.” Woojin pun merasa tertipu oleh Luna.
Luna
menghela napas. Merasa lega melihat Jisung dan Seongwoo bisa membicarakan
kesalahpahaman mereka.
Tiba-tiba
ada keributan yang menyita perhatian Sungwoon, Luna, dan Woojin. Ketiganya
kompak menoleh ke arah sumber keributan berasal. Mereka menemukan Minhyun dan
Jaehwan dibantu satu siswa menggendong siswa.
“Itu…
Jinyoung kan?” Woojin mengenali siswa yang yang digendong Jaehwan, Minhyun, dan
seorang siswa.
“Jinyoung
pingsan?” Sungwoon tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di
belakang Jaehwan dan Minhyun, Rania berjalan tergopoh-gopoh.
“Cue?”
Melihat Rania mengikuti Jaehwan dan Minhyun, Luna pun bergegas menyusul
rombongan yang bergerak cepat menuju ruang UKS itu.
Sungwoon
dan Woojin pun bergerak menyusul Luna.
***
Jinyoung
dibaringkan di salah satu ranjang di ruang UKS. Kebetulan Hami dan Lucy yang
berjaga hari itu. Jaehwan, Minhyun, dan Rania minggir. Memberi ruang Hami dan
Lucy untuk memberi pertolongan pada Jinyoung. Siswa yang membantu Jaehwan dan
Minhyun pamit pergi. Di saat bersamaan, Luna, Sungwoon, dan Woojin sampai di
ruang UKS.
“Apa
yang terjadi?” Luna langsung menghampiri ranjang tempat Jinyoung dibaringkan.
“Dia
pingsan setelah dilempar bola basket sama Raja Kingkong!” Rania menjawab
menggunakan Bahasa Indonesia.
Luna
terkejut mendengar kata 'Raja Kingkong'. Jinyoung
pingsan karena Jiyoon Seonbae? Ia
membatin.
“Lucy!
Ayo bantuin! Kenapa kamu malah bengong gitu?”
Suara
Hami membuyarkan lamunan Luna. Pandangan Luna beralih pada Lucy yang berdiri di
dekat ranjang sebelah kanan dan tampak bingung, tak tahu harus berbuat apa
untuk menolong Jinyoung.
Rania
menghela napas dan mendekat. Hami sibuk melepas sepatu dan kaos kaki yang
dikenakan Jinyoung. Rania membantu dengan melonggarkan dasi yang dikenakan
Jinyoung. Tanpa ragu, Rania melonggarkan ikat pinggang dan mengeluarkan kemeja
Jinyoung.
Sungwoon,
Woojin, Jaehwan, dan Minhyun kompak dibuat terkejut melihat bagaimana Rania
memperlakukan Jinyoung yang sedang pingsan.
“Kami
pernah ikut Pramuka saat SD. Kami diajari bagaimana memberi pertolongan pertama
pada korban pingsan. Memang seperti itu metodenya.” Luna memberi penjelasan
agar empat pemuda itu tidak salah paham.
Sungwoon,
Woojin, Jaehwan, dan Minhyun pun tersadar kembali dari keterkejutan. Karena
syok, Jaehwan dan Minhyun tak menyadari jika Luna mengungkap pengalamannya saat
masih SD bersama Rania. Begitu juga Hami dan Lucy.
Selesai
melonggarkan ikat pinggang dan kemeja Jinyoung, Rania kembali ke leher Jinyoung.
Ia membuka dua kancing teratas dari kemeja Jinyoung. “Alkohol 70% nya mana?” Ia
meminta pada Lucy yang berdiri mematung tak jauh darinya.
“Se-sebentar!”
Lucy baru sadar jika ia belum menyiapkan peralatan.
Hami
mengambil bantal untuk menyangga kedua kaki Jinyoung agar posisinya lebih
tinggi dari kepala. Melihat hal itu, Rania memegang kepala Jinyoung dengan
hati-hati dan mengambil bantal yang menyangga kepala Jinyoung. Ia kembali
meletakkan kepala Jinyoung dengan pelan. Ia menambahkan bantal itu untuk menyangga
kaki Jinyoung.
“Jinyoung
dilempar bola di kepalanya?” Hami menatap Rania.
“Tepat
di wajahnya.” Jaehwan memberi jawaban.
“Hami,
coba periksa ada luka apa nggak!” Luna memberi perintah.
“Nee??”
Hami terkejut menerima perintah itu.
Rania
pun mendekati wajah Jinyoung dan memegangnya dengan hati-hati untuk memulai
pemeriksaan. “Ada sedikit memar di kening, hidung, dan bibir. Astaga! Bibirnya
terluka!”
Lucy
sampai di saat Rania berseru bibir Jinyoung terluka. Ia pun buru-buru membawa
peralatan mendekat pada Rania.
Luna
melihat tangan Lucy sudah terbungkus handskun.
“Cue, minggir. Biar Lucy yang rawat Jinyoung!” Luna meminta Rania minggir. Ia
menggunakan Bahasa Indonesia.
Rania
menegakkan badannya. “Masih inget aja lo sama rencana Pakujin!” Ia membalas
Luna sembari bergerak mundur demi memberi ruang untuk Lucy.
Lucy
merasa canggung. Tapi, Hami yang berdiri di seberang hanya diam menatapnya.
Lucy pun mengambil kapas yang sudah ia beri alkohol 70% dan mendekatkannya pada
hidung Jinyoung.
“Kalau
di Indonesia udah dibalur sama minyak kayu putih itu leher, perut, dan hidung.
Biar cepet sadar.” Rania berdiri di samping kanan Jaehwan.
“Kamu
belajar dari mana cara nolongin korban kayak tadi itu?” Jaehwan penasaran.
“Waktu
SD, aku ikut pramuka. Jadi diajarin cara nolongin korban pingsan.”
Sungwoon
dan Woojin kompak tersenyum mendengar penjelasan Rania. Jaehwan benar tak
menyadari penjelasan Luna sebelumnya.
“Kita
beri ruang biar Jinyoung lekas sadar. Lucy, kamu jaga Jinyoung sampai sadar
ya!” Hami memberi perintah.
“Nee??”
Lucy terkejut mendengarnya. Tapi, semua hanya diam menatapnya. “Nee.” Ia pun
tak bisa menolak perintah para senior.
“Kata
Rania ada memar di kening dan hidung. Bibir Jinyoung juga terluka. Jadi, nantai
kalau dia sadar, kamu tanya apa ada keluhan dibagian memar. Lalu, rawat luka di
bibirnya.”
“Nn-nee.”
“Ayo,
kita keluar!” Hami mengajak teman-temannya untuk keluar.
Lucy
menatap senior-seniornya yang berjalan mengikuti Hami. Meninggalkannya berdua
saja dengan Jinyoung yang pingsan. Lucy kembali menatap Jinyoung yang masih
terbaring tak sadarkan diri. Lekaslah
sadar, Seonbaenim. Jebal. Lucy memanjatkan doa dalam hati.
Saat
berkumpul di ruang jaga UKS, Rania dan Jaehwan bergantian memberi penjelasan
kronologi penyerangan Jinyoung yang dilakukan oleh Jiyoon. Menurut keduanya,
mereka—Jinyoung, Rania, Jaehwan, dan Minhyun—sudah berada di pinggir lapangan
basket sebelum Jiyoon dan gengnya datang. Mereka duduk di tribun di pinggir
lapangan untuk menonton permainan basket siswa kelas XI. Setelah datang ke
lapangan basket, Jiyoon dan gengnya minta bagian untuk turut bermain di
lapangan.
Karena
datangnya Jiyoon dan gengnya, permainan di lapangan basket menjadi tak seru
lagi. Jaehwan pun mengusulkan untuk pindah ke kantin saja untuk makan siang.
Saat mereka bangkit dari duduknya, bola itu melayang ke arah Rania. Mendengar
teriakan awas dari penonton lain, Jinyoung menoleh. Nahasnya, ia tepat berada
di depan Rania hingga bola basket itu menghantam wajahnya.
Jinyoung
sempat jatuh terduduk saat bola basket yang dilempar Jiyoon menghantam
wajahnya. Tapi, pemuda itu mengatakan ia baik-baik saja dan sempat kembali
berdiri. Saat kembali berdiri itulah Jinyoung oleng lalu jatuh pingsan.
Luna
mengepalkan kedua tangannya saat mendengar Rania dan Jaehwan memberi penjelasan
secara bergantian.
“Jadi,
tujuan serangannya adalah Rania?” Sungwoon berkomentar setelah mendengar
penjelasan Rania dan Jaehwan.
“Sepertinya
begitu.” Jaehwan sangsi.
“Di
hari pertama Rania masuk, Jiyoon Seonbae sudah membuat masalah dengan Rania.
Kami sempat merekamnya. Iya, kan Luna?” Woojin ikut berkomentar. Semua menatap
Luna, tapi gadis itu melamun. Tak memberi respon.
“Luna?”
Hami menggoyang lengan Luna yang duduk di samping kanannya.
Luna
tersadar dari lamunannya. “Maaf.” Ia segera meminta maaf saat menyadari semua
mata tertuju padanya. Tatapannya bertemu pandang dengan Rania yang menatapnya
penuh selidik.
“Kalian
makan saja. Di sini serahkan padaku. Nanti kalau ada apa-apa aku kabari.” Hami
meminta teman-temannya untuk makan siang.
Jaehwan,
Rania, dan Minhyun bangkit dari duduknya dan pergi lebih dulu.
“Kamu
mau di sini atau mau ke kantin juga?” Sungwoon bertanya pada Luna.
“Kita
ke kantin.” Luna bangkit dari duduknya.
“Luna,
nanti tolong bawakan makanan untuk Bae Jinyoung ya. Minuman manis dan makanan
yang bisa dia makan saat dia sadar.” Hami meminta bantuan Luna.
“Aku
yang akan membawanya untuk Jinyoung. Dia pasti lebih nyaman denganku.” Woojin
menyanggupi.
“Oke.”
“Oya,
Song Hami. Terima kasih untuk semua bantuanmu ya. Hingga detik ini.” Woojin
mengucapkan terima kasihnya yang tertunda.
Hami
tersenyum dan mengangguk. “Aku ikut ke kantin juga deh. Nanti biar bisa gantian
sama Lucy.” Ia pun memutuskan untuk pergi bersama Luna.
***
Hening.
Lucy tak mendengar obrolan itu lagi. Para senior sudah pergi ke kantin.
Meninggalkan dirinya dan Jinyoung yang masih tak sadarkan diri. Lucy menghela
napas, lalu kembali menatap Jinyoung. Pemuda itu terlihat seperti sedang
tertidur pulas.
Lucy
menggerakkan tangan kanannya. Membuat kapas yang dilumuri alkohol 70% itu lebih
dekat pada hidung Jinyoung. Ia menoleh ke arah kiri, menatap jam dinding.
Hampir sepuluh menit berlalu, Jinyoung belum juga sadar.
Lucy
meletakkan tangan kirinya yang bebas di atas dada Jinyoung. Detub jantung
pemuda itu berjalan normal. Lucy menghela napas lega dan menarik kembali
tangannya dari dada Jinyoung. Ia kembali memperhatikan wajah Jinyoung.
Lucy
memperhatikan detail wajah mungil Jinyoung. Mendadak ia merasa iba. Pemuda itu
tidak hanya tampan, tapi juga baik. Sayang image
buruk sudah melekat padanya. Walau Luna dan teman-temannya sudah membuktikan
bahwa Jinyoung tak bersalah, masih banyak pihak yang membenci seniornya itu.
Lucy yakin jika peristiwa yang menimpa Jinyoung hari ini adalah karena masalah
itu juga.
Lucy
mengerjapkan kedua matanya. Ia tersenyum melihat Jinyoung mulai sadar. Ia
menunggu dengan sabar. Kepala Jinyoung bergerak ke kanan dan ke kiri. Lalu,
perlahan pemuda itu mulai membuka matanya.
Jinyoung
membuka mata sepenuhnya. Ia hendak bangun, tapi Lucy mencegahnya.
“Jangan!
Jangan terburu-buru untuk bangun. Seonbae merasa pusing?” Lucy membungkukkan
badan saat bertanya pada Jinyoung.
Jinyoung
menganggukkan kepala.
“Kalau
begitu tetap rebahan saja. Apa Seonbae mual?”
Jinyoung
menggeleng pelan. “Kepalaku pusing. Wajahku terasa sakit.” Ia mengeluh dengan
suara hampir tak terdengar.
Lucy
mendekatkan telinga demi mendengar keluhan Jinyoung. “Saya menyesal harus
mengatakan ini. Tapi, terdapat sedikit memar di kening dan hidung Seonbae.
Bibir Seonbae juga terluka. Boleh saya merawat luka di bibir Seonbae?”
Jinyoung
hanya mengangguk sebagai balasan.
Lucy
membersihkan luka di bibir Jinyoung menggunakan kapas yang dibasahi dengan air
steril. Dengan hati-hati ia membersihkan luka itu.
Jinyoung
memejamkan kedua matanya. Bukan menghindari kontak mata dengan Lucy. Tapi,
karena ia masih merasakan sakit di kepala dan wajahnya.
Lucy
selesai membersihkan luka di bibir Jinyoung. “Saya akan memberi obat untuk luka
Seonbae. Ini akan sedikit terasa sakit.”
Jinyoung
yang masih memejamkan mata mengangguk.
“Permisi.”
Ketika
Lucy menempelkan kapas pada luka di bibir Jinyoung, tubuh Jinyoung berjingkat
kaget. Luka itu terasa perih saat kapas yang dilumuri obat menyentuhnya.
Lucy
mengobati luka di bibir Jinyoung dengan pelan dan hati-hati. Sesekali ia meniup
luka itu agar Jinyoung tak terlalu merasa kesakitan. Selesai mengobati luka di
bibir Jinyoung, Lucy merapikan peralatannya dan membawanya pergi.
Beberapa
saat kemudian, Lucy kembali dengan membawa sebotol air mineral. “Seonbae masih
pusing?” Ia kembali membungkukkan tubuhnya dan bertanya dengan lembut.
Jinyoung
membuka mata. Ia menemukan Lucy begitu dekat di hadapannya. Ia tak bisa
menghindari kontak mata dengan Lucy. Tiba-tiba ia merasakan panas di wajahnya.
“Sud-sudah tidak terlalu.” Jinyoung terbata dan mengalihkan pandangan.
Lucy
menegakkan tubuhnya. “Kalau masih pusing, sebaiknya tidak memakai bantal dulu.”
Jinyoung
baru menyadari jika ia terbaring tanpa bantal yang menyangga kepalanya. Ia baru
menyadari jika kakinya lah yang justeru menggunakan dua bantal sebagai
penyangga. Ia pun baru menyadari jika sabuknya telah terlepas, kemejanya
berantakan. Wajahnya kembali merasa panas.
“Maaf,
itu adalah metode yang harus kami lakukan untuk memberi pertolongan pada
Seonbae.” Menyadari bagaimana reaksi dan arah pandangan Jinyoung, Lucy pun
segera memberi penjelasan. “Setelah Seonbae tidak merasa pusing, saya akan
mengambil bantal di kaki Seonbae dan memberi bantal untuk kepala Seonbae.”
Jinyoung
menoleh ke arah kanan. Menghindari kontak mata dengan Lucy. Ia merasa malu.
“Kalau
Seonbae merasa haus, saya bisa membantu Seonbae untuk minum.”
Hami
kembali bersama Woojin. Mereka berdua lega melihat Jinyoung sudah sadar.
“Lihat!
Lucy merawatmu dengan baik.” Woojin memuji Lucy. “Terima kasih, Lucy.” Tak lupa
ia berterima kasih.
“Sudah
menjadi tugas saya.” Lucy tersenyum.
Woojin
terkesima melihat senyum Lucy untuk pertama kalinya. “Lucy kalau senyum cantik
ya!” Lagi-lagi ia memuji. “Banyak-banyaklah tersenyum Lucy. Agar Jinyoung cepat
membaik. Hehehe.”
Jinyoung
mendelik pada Woojin. Sedang Lucy segera menundukkan kepala, tersipu karena
pujian Woojin.
“Kamu
makan dulu ke kantin sana!” Hami memberi perintah.
“Nee.”
Lucy patuh. Ia pun pamit dan pergi ke kantin.
“Masih
pusing?” Hami mengambil alih tempat Lucy.
“Udah
nggak.” Jinyoung terlihat lebih santai.
“Oke.
Kalau gitu kita ambil bantalnya ya.” Hami mengambil bantal yang menyangga kaki
Jinyoung. “Kamu mau tetap berbaring apa duduk?”
“Duduk
saja. Aku haus.”
“Biar
aku bantu!” Woojin mendekati Jinyoung.
“Aku
bisa sendiri.” Jinyoung pun duduk dengan perlahan.
“Dia
boleh makan dan minum. Pelan-pelan saja ya. Aku ada di ruang jaga.” Hami pamit
dan pergi meninggalkan Jinyoung dan Woojin.
Woojin
duduk di tepi ranjang usai memberikan sebotol air mineral yang disediakan Lucy.
“Aku bawa makanan untukmu.”
“Gomawo.”
“Lucy,
cantik dan baik ya. Dia merawatmu, menungguimu sampai sadar.”
“Semua
dia yang melakukan?”
Woojin
mengangguk.
“Termasuk…”
Jinyoung tak melanjutkan ucapannya. Tapi, tatapannya tertuju pada seragamnya
yang berantakan.
“Kamu
mikir apa? Dia kendorin sabuk dan kemejamu demi memberi pertolongan pertama
padamu. Dasar otak mesum!”
“Aku
nggak mikir gitu!” Jinyoung membela diri.
Woojin
terkekeh menanggapinya.
***
Rania
tak bisa berhenti memikirkan tentang Luna dan si Raja Kingkong Kim Jiyoon.
Ekspresi ketakutan Luna pagi tadi saat Jiyoon menghampiri mereka. Keterkejutan
Luna saat mendengar bahwa Jiyoon-lah yang melempar bola pada Jinyoung. Luna
yang melamun usai mendengar penjelasannya tentang kronologi pingsannya
Jinyoung. Rania terus bertanya-tanya. Ada hubungan apa antara Luna dan Jiyoon.
“Jinyoung
udah sadar. Kamu nggak perlu muram gitu. Lagian, itu kecelakaan. Bukan salahmu.
Jinyoung menjadi korban bukan karena sengaja ingin melindungimu. Tapi, karena
kebetulan saja dia posisinya di depanmu dan bola itu mengarah entah benar
padanya atau padamu.” Jaehwan yang menghampiri meja Rania saat pergantian jam
pelajaran tiba-tiba mengoceh.
“Aku
lega Jinyoung udah sadar. Tapi, bukan itu yang aku pikirkan sekarang.”
“Lalu,
apa?”
“Boleh
aku nanya sesuatu?”
“Tentang?”
“Luna.”
Minhyun
yang menyimak obrolan Jaehwan dan Rania terkejut ketika Rania menyebut nama
Luna. Walau tak membalikkan badan untuk menghadap pada Rania, Minhyun menyimak
obrolan di belakangnya sejak Jaehwan berbicara pada Rania.
“Mm,
boleh. Kalau aku tahu, aku jawab.” Jaehwan mengizinkan.
“Luna
pernah ada masalah sama Kim Jiyoong Seonbaenim?” Rania langsung mengutarakan
apa yang menganggu pikirannya.
Jaehwan
diam, berpikir sejenak. Mengingat-ingat apa pernah mendengar sesuatu tentang
Kim Jiyoon dan Luna. “Nggak ada deh kayaknya.”
“Yakin?”
Jaehwan
menganggukkan kepala. “Kenapa emang?”
“Nggak
papa sih.”
Rania
yang tahu perihal surat ancaman yang diterima Luna merasa semua itu ada
hubungannya dengan Kim Jiyoon sekarang. Setidaknya setelah peristiwa tadi pagi
dan saat istirahat. Sebelumnya ia tak punya pikiran jika bola itu di arahkan
padanya. Tapi, setelah mengobrol di ruang jaga UKS, ia baru menyadari jika hal
itu sangat masuk akal. Jiyoon sengaja melempar bola padanya dan sialnya
Jinyoung yang terkena sasaran karena posisinya tiba-tiba berada di depan Rania.
Masa iya dia tahu kalau gue sohibnya Kucing? Karena itu dia
berusaha melukai gue dari pertama gue masuk sekolah ini. Tapi, demi apa? Raja
Kingkong itu punya masalah apa sama Kucing?
Rania terdiam. Semua teka-teki itu memenuhi pikirannya.
“Nanti
kami ngumpul untuk mulai baca naskah. Aku coba korek informasi ya.” Jaehwan
menyanggupi untuk membantu Rania.
“Kamu
yakin Luna mau ngomong sama kamu?”
“Nggak
ada salahnya dicoba kan? Siapa tahu dia mau ngomong.”
“Nggak
yakin deh.”
“Iya
juga sih. Hehehe.”
Dasar Jurle geblek!
“Minhyun
mungkin tahu?” Jaehwan tiba-tiba menarik Minhyun dalam obrolan.
Rania
menatap punggung Minhyun. Mendadak ia merasa gugup. Jurle ini geblek apa geblek sih? Udah tahu Prince perang dingin sama
Kucing. Malah ditanya! Rania menggigit bibirnya.
“Setelah
rumor Luna menolak Taemin Seonbae, sempat ada rumor tentang Luna dibully. Tapi,
rumor itu menghilang begitu saja.” Di luar dugaan Jaehwan dan Rania, Minhyun
buka suara tentang dugaan adanya hubungan antara Kim Jiyoon dan Luna.
Walau
jawaban Minhyun tak pasti, melihat reaksi Luna pagi tadi, untuk sementara Rania
menyimpulkan jika rumor bullying itu benar dengan Luna sebagai korban dan Kim
Jiyoon adalah pelakunya.
Rania
kembali menatap punggung Minhyun. Pantesan
kalian pernah jadi sohib. Kalian punya banyak kesamaan sih! Ia pun
tersenyum.
“Jadi,
menurutmu rumor bullying itu ada hubungannya sama Kim Jiyoon Seonbaenim?”
Jaehwan kembali bertanya pada Minhyun.
“Menurutmu?”
Minhyun tak memberi jawaban dan balik bertanya pada Jaehwan.
“Dia
emang berpotensi buat lakuin itu sih. Kayak di hari pertama Rania masuk. Wah,
kalau benar pernah ada kasus bullying pada Luna yang dilakukan Kim Jiyoon
Seonbae pada Luna, bisa jadi gawat kalau Park Jihoon tahu.”
“Kenapa
begitu?” Rania penasaran. “Kenapa Park Jihoon dijuluki monster cute? Ada hubungannya sama itu?”
“Yang
aku dengar, dia pernah menghajar senior-seniornya sampai babak belur saat SMP.
Karena senior itu mengganggunya dan membawa nama orang tua Jihoon dalam olokan
mereka.”
“Pantas
aja Jihoon marah. Kalau aku di posisi dia, aku juga pasti marah dan menghajar
senior-seniorku!” Rania mendukung tindakan Jihoon.
“Sebagai
mantan artis cilik yang sering dipuji cute.
Tentu saja apa yang dia lakukan berkebalikan dengan image cute-nya. Itu kenapa julukan monster cute mulai tersebar untuknya.”
“Trus,
gara-gara insiden itu dia pensiun jadi artis cilik?”
“Nggak.
Saat SMP dia masih aktif di variety show
dan musikal. Waktu insiden itu mencuat ke publik, fans justeru mendukung
tindakan Jihoon. Bukan hanya fans yang mendukungnya.”
“Trus,
kalau tahu Kim Jiyoon Seobaenim bully Luna, dia bakalan belain Luna? Yakin
Jihoon sesayang itu sama Luna?”
Kening
Minhyun berkerut mendengar pertanyaan Rania.
“Sebelum
kamu masuk, ada satu kejadian yang membuat kebanyakan dari pendukung Jiluna—”
“Apa
itu Jiluna?” Rania memotong penjelasan Jaehwan.
“Jihoon
dan Luna.”
“Oh.
Lucu juga disingkat jadi Jiluna.”
“Biasalah!
Kerjaan fans mereka. Nah, kejadiannya pendukung Jihoon yang nggak suka Jihoon
jalan sama Luna terlibat cek-cok sama pendukung Luna. Jihoon ada di
tengah-tengah mereka. Insiden itu sampai bikin Jihoon terluka. Kata saksi yang
ada di tempat kejadian, Jihoon udah hampir meledak. Tapi, Luna tiba-tiba datang
dan berhasil meredam emosi Jihoon.”
Anjir! Kucing macem jadi pawangnya monster cute Park Jihoon. Rania tersenyum samar.
“Mereka
yakin kalau Jihoon sayang banget sama Luna. Makanya dia nurut dan mau pergi
ninggalin TKP sama Luna. Bayangin aja kalau dia tahu orang yang dia sayangi
dilukai. Udah pasti dia bisa ngamuk dan jadi monster beneran.”
“Wuik!
Ngeri juga ya.”
“Tapi,
kalau emang beneran Luna dibully sama Kim Jiyoon Seonbae, aku berharap Jihoon
tahu dan beneran menghajar Kim Jiyoon Seonbae. Biar kapok dia. Dia itu demen
bikin rusuh.”
Rania
menghela napas panjang. Ia menghubungkan dugaan-dugaannya dengan informasi yang
diberikan Jaehwan. Untuk sementara ia menyimpulkan bahwa hubungan antara Luna
dan Kim Jiyoon adalah tentang korban dan pelaku bullying. Ia pun merasa geram
pada Kim Jiyoon hanya karena kesimpulan sementara itu.
***
Luna
berada di basecamp Klub Teater
bersama Jisung. Hanya ada mereka berdua di sana. Luna sedang memberi contoh
pada Jisung tentang bagaimana memerankan karakter nenek pendongeng yang ia
inginkan. Ia memberi contoh bagaimana nenek itu berjalan dan berbicara.
Jisung
duduk di atas kursi. Memperhatikan Luna yang sedang berakting menjadi seorang
nenek di hadapannya. Gadis itu berbicara dengan suara bak nenek-nenek sambil
sesekali melihat naskah yang berada di tangan kanannya. Jisung tersenyum
melihat totalitas Luna.
Jihoon
masuk ke dalam basecamp. Dengan
langkah lebar-lebar ia berjalan mendekati Luna. Ketika ia sampai di dekat Luna,
ia langsung memeluk gadis itu.
Luna
terkejut karena Jihoon tiba-tiba memeluknya. Ia berusaha lepas, tapi Jihoon
memeluknya semakin erat. Luna pun pasrah. Logika memberikan jawaban bahwa itu
hanyalah akting yang dilakukan Jihoon untuk memberinya kejutan di depan Jisung.
Karena Jisung menambahkan adegan Penebang Kayu memeluk erat Peri di akhir
cerita.
Jisung
mengatupkan bibirnya yang sempat ternganga ketika melihat Jihoon tiba-tiba
memeluk Luna. “Ya, Park Jihoon. Aktingmu sempurna. Tapi, apa kamu akan memeluk
Luna seperti itu sampai yang lain datang?”
Jihoon
melepas pelukannya dan menatap Luna. Ia tersenyum. “Aku lega melihat Seonbae
baik-baik saja.”
“Eh?
Emang aku kenapa?” Luna bingung.
“Insiden
di lapangan basket. Aku sangat khawatir setelah mendengarnya.”
“Insiden
Bae Jinyoung ya? Kenapa kamu khawatir?” Jisung menyela. “Omo!” Ia menutup
mulutnya dengan tangan. Karena teringat surat ancaman yang diterima Luna.
“Apakah…”
“Sudah!
Sebentar lagi yang lain datang! Jangan membicarakannya di sini!” Luna menarik
diri dari hadapan Jihoon. Ia kemudian duduk di kursi kosong di sebelah Jisung
dan meneguk air mineral miliknya. Mengetahui Jihoon sangat mengkhawatirkannya,
mendadak ia merasa sedikit limbung. Ia duduk untuk membuat dirinya kembali
stabil.
Luna
dan Jihoon berjalan berdampingan untuk pulang usai berkumpul untuk pembacaan
naskah di basecamp Klub Teater.
“Kang
Daniel tidak menunggu?” Jihoon memecah keheningan.
“Kenapa
kamu bertanya begitu setelah tadi sempat khawatir sampai memelukku?” Luna
pura-pura kesal.
“Kalaupun
dia menunggu, aku nggak papa kok kita pulang bertiga. Naik bus atau naik
mobilku lagi.”
“Puas-puasin
deh ngeledeknya.”
Jihoon
menyenggol lengan kanan Luna dan bertingkah cute.
“Dih!”
Luna mencibir.
“Aku
senang kamu baik-baik aja. Aku benar-benar khawatir saat mendengar Kim Jiyoon
Seonbae menyerang Bae Jinyoung Seonbae. Bae Jinyoung Seonbae adalah orang yang
dengan susah payah kamu bela. Kim Jiyoon pasti kesal karenanya dan baru punya kesempatan
tadi untuk menyerang.”
“Apa
yang kamu takutkan? Kim Jiyoon Seonbae akan menyerangku seperti itu?”
“Kalau
dia sampai melakukan hal itu, dia pasti mati di tanganku!”
“Ya!
Park Jihoon!”
Jihoon
tersenyum. “Aku serius.”
“Trus,
kalau kamu bunuh dia dan kamu di penjara, siapa yang bakal lindungin aku?”
“Tentu
saja aku!”
Luna
menghentikan langkahnya setelah keluar dari gerbang sekolah.
Jihoon
pun ikut berhenti. “Apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan Mezzaluna di
sisiku. Melindunginya semampu yang aku bisa. Sampai titik darah penghabisan.”
“Kamu
pikir kita sedang perang apa?”
Jihoon
tersenyum melihatnya. “Oya, hari Sabtu nanti apa kamu ada acara?”
“Wae?”
“Temani
aku ke Hongdae. Ada yang penting yang ingin aku tunjukkan padamu di sana.”
“Hongdae?
Hal penting apa? Bukan seperti Daehwi dan Joohee kan?”
“Kalau
iya kenapa?”
Kening
Luna berkerut.
Jihoon
tersenyum lebar. “Nggak kok. Tapi, beneran hal penting yang pengen aku
tunjukkan ke kamu. Aku butuh dukungan. Semoga saja kamu bisa. Aku berharap kamu
bisa.”
Luna
diam sejenak. Ia berpikir harus menerima atau menolak ajakan Jihoon.
“Sabtu
malam, aku hanya butuh waktumu dua jam saja.”
“Begini,
hari Sabtu besok aku mau mencoba kerja paruh waktu di cafe tempat Daniel bekerja.”
Ekspresi
Jihoon berubah. Keningnya berkerut.
“Aku
penasaran pada bagaimana rasanya kerja paruh waktu dan baru kali ini punya
keberanian untuk mencobanya. Dan, bersyukur aku mendapat kesempatan di cafe
tempat Daniel berkerja paruh waktu.”
Jihoon
tak suka melihat antusiasme yang ditunjukkan Luna. Baginya itu ambigu. Entah
Luna antusias karena akhirnya bisa mencoba bekerja paruh waktu. Atau Luna
antusias karena akhirnya bisa mencoba bekerja paruh waktu bersama Daniel.
“Untuk
vlog-mu ya? Kalau gitu, aku temani. Aku bisa jadi kameramen yang baik untukmu.”
Jihoon tersenyum manis.
Luna
tertegun mendengar permintaan Jihoon. Ia bingung harus memberi jawaban apa.
***
0 comments