AWAKE "Rigel Story" - Bab XVI

04:40


AWAKE - Rigel Story

 

 

Bab XVI

 

Semua ekstrakurikuler sepakat membuka pendaftaran anggota baru selama tiga hari dimulai pada hari Selasa dan berakhir pada hari Kamis. Tidak ada seleksi khusus untuk penerimaan anggota. Karena sifatnya tak wajib, tak seluruh murid yang mendaftarkan diri untuk bergabung dengan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat mereka.
Hari Jumat usai jam sekolah berakhir, Rigel berkumpul di basecamp PMR. Semua anggota diminta untuk berkumpul demi membahas penerimaan anggota baru. Di angkatan Rue, jumlah anggota sebanyak dua belas orang. Sedang anggota dari kelas XII berjumlah lima belas orang. Anggota kelas XII tidak lepas sepenuhnya, namun mereka pun tidak bisa sepenuhnya aktif karena harus fokus untuk persiapan ujian akhir.
Di tahun ajaran baru ini, jumlah murid yang mendaftar untuk bergabung dengan ekstrakurikuler PMR melonjak drastis. Tercatat 42 murid yang mendaftar sebagai anggota PMR. Senior kelas XII menyambut baik. Namun, mereka memperingatkan angkatan Rue untuk tak terlalu bangga. Karena, jumlah anggota pasti akan menurun seiring berjalannya waktu. Begitulah tradisi yang terjadi secara turun temurun. Di tengah jalan, pasti ada saja anggota yang tiba-tiba tidak aktif, bahkan mengundurkan diri.
“Keren ya? Bisa pas gitu. Kalau ada 42  orang kan bisa pas jadi 7 kelompok. Karena per kelompok anggotanya 6 orang.” Byungjae tak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
“Jangan seneng dulu. Kebanyakan anggota repot juga ngurusnya.” Dio mengingatkan.
“Kayak kata senior, ntar di tengah jalan pasti berkurang. Kayak angkatan kita dulu. Yang daftar 25 orang. Tengah jalan makin nyusut. Akhirnya nyisa 12 orang doang. Kayak tim kesebelasan sepak bola dengan satu pemain cadangan aja.” Hanjoo turut berkomentar.
“Yano dan Hongjoon resmi masuk jadi anggota PMR. Rue, kamu nggak liat Malaikat Maut dideket Hongjoon lagi, kan? Kok aku jadi khawatir gini ya?” Dio mengungkapkan perasaannya.
“Dia nongol waktu aku ngobrol sama Kak Nicky. Nggak jauh di belakang Kak Nicky. Beberapa hari yang lalu setelah pertemuan Dewan Senior dan MPK.” Jawab Rue.
“Wah! Bisa jadi sasarannya bukan Hongjoon dong?” Byungjae menebak-nebak.
“Ami waktu kesurupan bilang semua gara-gara kamu ya? Aku jadi makin yakin kalau teror ini sengaja dikirim ke sekolah buat jatuhin kamu, Rue.” Dio semakin yakin pada dugaannya.
“Kalau emang ada hubungannya sama nominasi sekolah, bisa juga Rue yang jadi kambing hitam. Semua bisa dimanipulasi.” Hanjoo turut urun pendapat.
“Tetep aja ujungnya Rue dan Rigel, kan?” Dio kukuh pada kesimpulannya.
“Iya sih.” Hanjoo membenarkan.
Keempatnya sampai di terminal dan masuk ke dalam angkutan umum yang akan membawa mereka pulang.
“Besok kita nggak ada jadwal kemana gitu?” Tanya Byungjae.
“Besok kan ada tes buat calon pengurus Dewan Senior yang baru.” Dio mengingatkan jadwal mereka hari Sabtu esok.
“Ah iya! Aku lupa. Jadi, kita tetep ke sekolah dong ya.” Byungjae menghela napas.
“Untungnya kita nggak perlu tes ulang ya.” Dio tersenyum riang. “Tapi, katanya kalau nggak dateng juga nggak papa kok. Kan panitia semuanya kakak kelas XII.”
“Tapi, disarankan untuk hadir. Itu namanya diwajibkan dengan kalimat yang lebih halus.”
“Hari Minggu jadi Rue?” Hanjoo bertanya pada Rue.
Dio dan Byungjae turut menatap Rue. Gadis itu menganggukan kepala. Wajahnya terlihat malas.
“Apa kamu bakalan diomelin soal Yano kesurupan?” Byungjae turut lesu.
“Pasti lah itu. Walau mamanya Yano udah meninggal, tapi ada neneknya yang bencinya setengah hidup ke Rue. Emang salah ya kalau Pak Morgan perhatian sama Rue? Rue kan anaknya, darah dagingnya. Nyebelin banget itu nenek tua!” Dio kesal setiap kali mengingat bagaimana keluarga Yano memperlakukan Rue.
“Untungnya Yano nggak nyebelin kayak keluarga mamanya ya.”
“Mendiang Mama Yano baik ke aku. Neneknya emang gitu. Sebenernya aku males ke rumah Ayah.” Rue mengungkap apa yang ia rasakan.
“Kalau gitu, nggak usah dateng aja.”
“Kamu ngajarin Rue jadi pengecut? Alasan dia dilpanggil ke rumah Pak Morgan tentu saja karena Yano kesurupan di sekolah. Apa lagi, coba?” Dio masih bersungut-sungut karena kesal. “Syukur-syukur deh kalau ntar itu nenek tua milih pindahin Yano.” Imbuhnya.
“Hanjoo, besok kamu nemenin Rue?” Tanya Byungjae.
“Iya. Mama selalu nggak kasih izin Rue berangkat sendiri ke sana. Katanya pesan dari Tante gitu.” Hanjoo menatap Rue dengan sungkan. Setiap kali menyebut Tante yang merujuk pada ibu Rue, ia selalu merasa khawatir Rue akan merasakan sakit.
Ayah dan Ibu Rue tidak bercerai. Namun keduanya berpisah saat Rue berumur 3 tahun. Ibu Rue merawat Rue kecil hingga gadis itu masuk SD. Saat pertengahan di kelas satu SD, ibu Rue tiba-tiba menghilang. Meninggalkan Rue untuk tinggal bersama sang kakek. Ibu Hanjoo lah yang sesekali hadir untuk mengisi kekosongan dalam hidup Rue. Sejak saat itu Rue dan Hanjoo menjadi dekat.
Ayah Rue menikah lagi karena memenuhi perjodohan dari orang tuanya ketika Rue berusia 3 bulan. Ibu Rue yang tak mau di madu pun memilih menjauh dari kehidupan pria yang ia cintai. Ayah dan Ibu Rue terpaksa berpisah karena keluarga Ayah Rue tidak pernah bisa menerima Ibu Rue. Selain karena perbedaan status sosial, Ibu Rue yang memiliki kemampuan sama seperti Rue dinilai sebagai aib bagi keluarga Ayah Rue. Karena kerumitan itu, Ibu Rue memilih pergi dari kehidupan Ayah Rue tanpa ada perceraian.
Ayah Rue tak sepenuhnya mengabaikan Rue. Ia selalu mengirim uang untuk biaya hidup Rue. Sesekali ia pun menemui Rue. Bahkan, ketika Yano lahir, Ayah Rue membawa Rue untuk menemui adiknya. Awalnya keluarga Morgan—ayah Rue—bersikap biasa pada apa yang dilakukan Morgan. Akan tetapi, setelah Rue menampakan bakat tak wajarnya, mereka mulai memprotes segala tindakan Morgan. Bahkan, berusaha menjauhkan Yano dari Rue.
Sialnya Yano yang lebih dekat dengan Morgan justru memiliki ikatan tersendiri dengan Rue. Anak laki-laki itu selalu merindukan kehadiran Rue. Karena Morgan kukuh tak ingin memisahkan kedua anaknya, keluarganya pun menyerah. Ikatan persaudaraan antara Rue dan Yano tumbuh secara alami karena ada darah Morgan yang mengalir di tubuh mereka. Walau jarang bertemu, Yano sangat mengagumi dan menyanyangi Rue.
Angkutan umum tiba di pemberhentian yang lokasinya berada tak jauh dari pemukiman tempat tinggal Rigel. Byungjae, Dio, Rue, dan Hanjoo pun turun. Berjalan kaki mereka menuju rumah masing-masing.
“Pokoknya, kalau besok nenek tua itu macem-macem, kamu harus belain Rue!” Dio masih geram.
“Dia jarang muncul kok kalau Rue ngumpul sama papanya dan Yano.”  Hanjoo menenangkan.
“Tetep aja dia pasti nyari kesempatan untuk nyemprot Rue dengan kata-katanya yang tajam.”
“Rue udah kebal. Aku yakin itu.” Byungjae memberi penghiburan.
Keempat member Rigel berhenti di perempatan yang menjadi tempat mereka berpisah untuk menuju ke arah berbeda dan pulang ke rumah masing-masing.
“Kalau ntar Nenek Yano mengintimidasi kamu soal Yano kesurupan di sekolah, suruh aja dia nyari jimat atau nyewa dukun sekalian buat jagain cucunya di sekolah.” Dio kembali meluapkan kekesalannya.
“Dio…” Rue tersenyum dan menggelengkan kepala. “Lekas pulang dan istirahat sana. Biar kepalamu dingin.”
Setelah saling mengucap salam perpisahan, anggota Rigel pun berpencar. Berjalan ke arah berlawanan untuk menuju rumah masing-masing.
Rue berjalan dengan kepala tertunduk. Kepalanya terasa penuh karena banyak hal yang ia pikirkan. Tentang teror di sekolah, tentang panggilan mendadak dari ayahnya, dan banyak lagi. Tiba-tiba ia merasa seolah ada yang mengikutinya. Rue menghentikan langkah, lalu menoleh.
Rue terkejut. Sosok berbaju serba hitam yang sering ia sebut sebagai Malaikat Maut atau Dewa Kematian berada tak jauh di belakangnya. Rue pun mempercepat langkahnya, dan kemudian berlari. Berusaha menghindari Malaikat Maut yang mengikutinya.
***

Walau tidak diwajibkan, seluruh anggota Dewan Senior dan MPK kelas XI hadir pada hari tes pemilihan anggota baru digelar. Walau dibuka untuk kelas X dan XI, pendaftar didominasi kelas X. Karena banyaknya peminat, tes pun dilakukan di dua ruang kelas XI.
“Kalian tahu, kan? Yano daftar jadi anggota Dewan Senior. Jadi, aku punya banyak kesempatan buat pedekate.” Pearl girang usai mengintip ke dalam ruang tes.
“Eh, kamu serius mau pedekate ke Yano? Adek kelas kita?” Tanya Ruby.
“Iya lah. Anak wakil wali kota lho! Ntar kalau bapaknya sukses nyalon, dia bakal jadi anak wali kota. Dia anak tunggal lho!” Pearl antusias.
“Udah masuk semua infonya?” Linde dibuat heran.
“Udah dong!”
Pearl, Ruby, dan Linde berkumpul di toilet kelas XI. Karena melihat semua pintu toilet tertutup rapat, mereka pun menunggu di luar.
“Cakep sih emang. Tapi, masih anak-anak banget tampangnya. Too cute for me.” Ruby mengomentari penampilan fisik Yano.
And for me not tall enough!” Linde menyambung.
“Jadi, sebenernya kamu tuh sukanya ke Kak Nicky apa ke Yano?” Ruby penasaran tentang apa yang dirasakan Pearl sebenarnya.
“Sempet suka Kak Nicky. You know he's cute too. Tapi, sejak liat Yano, aku jadi suka dia. Awalnya aku cuman pengen tahu aja sih Yano itu yang mana. Ternyata... dia mencuri hatiku!” Pearl kegirangan.
“Wah, Pearl kita beneran jatuh cinta nih kayaknya.” Ruby tersenyum heran dan menggelengkan kepala menatap Pearl.
“Iya. Kita harus bantu dia pedekate ke Yano.” Linde sependapat dengan Ruby.
“Pasti dong!”
“Semoga aja Yano nggak ada hubungan sama Rue. Masa dari SMP, cowok yang aku taksir malah naksir Rue. Kan nyebelin tuh!” Pearl melipat kedua tangannya di dada.
“Karena itu kamu jadi nggak suka sama Rue? Padahal kalian kan satu geng dulu.” Tanya Ruby.
“Gitu deh. Apa sih hebatnya Rue? Anak yang orang tuanya nggak jelas kemana. Cantik juga nggak. Demen ngobrol ama setan pula.”
“Tapi, Rue nggak pernah pacaran kan? Sama cowok-cowok yang naksir dia?”
“Nggak. Lebih demen pacaran ama setan kali dia. Padahal kan mereka cakep, sedang Rue apalah. Sok jual mahal banget!”
Pintu bilik toilet paling pojok sebelah selatan terbuka, Rue keluar dari dalam toilet. Membuat Pearl, Ruby, dan Linde kompak ternganga karena kaget.
Pearl menurunkan kedua tangannya yang terlipat di dada. Terlihat sungkan pada Rue. Ruby dan Linde pun sama, kelincutan berusaha menghindarin kontak mata dengan Rue.
“Aku duluan ya.” Dengan riang Rue berpamitan pada Pearl, Ruby, dan Linde.
Pearl bergeming. Ruby dan Linde tersenyum kikuk, membalas sapaan Rue.
“Gimana ini? Dia pasti dengar semua.” Ruby panik.
“Iya. Secara di dalam sana.” Linde menunjuk bilik toilet yang baru digunakan Rue.
Pearl masih diam. Lalu, menghembuskan napas dengan kasar. “Biarin aja! Udah waktunya dia buat tahu!” Ia pun bergerak untuk memeriksa toilet yang kosong. Menghindari toilet yang baru saja digunakan Rue.
***

Jadi, cuman gara-gara cowok? Gara-gara cowok Pearl jadi benci setengah hidup ke aku? Ya ampun! Ada ya kayak gini? Aku masih nggak percaya. Rue yang duduk menopang dagu di ruang tamu rooftop-nya menggelengkan kepala.
Sejak SMP cowok yang ditaksir Pearl naksir aku? Siapa sih? SMP ya? Hmm, Fabian? Ya ampun! Mana aku tahu kalau Fabian naksir aku? Aku kan temenan doang sama Fabian. Rue menghela napas.
Coba dia bilang naksir Fabian kan aku bisa bantu. Dasar, Pearl! Nggak pernah berubah. Dari dulu selalu langsung menyimpulkan dari apa yang dia liat dan mudah terhasut omongan orang. Trus, aku kudu gimana? Jelasin ke dia? Rue memiringkan kepala.
Tapi, tadi dia cuek banget waktu ketauan ngomongin aku. Kayaknya emang nggak peduli. Atau akting doang buat nutupin malu? Rue meluruskan posisi kepalanya kembali.
Dio yang duduk di sofa ruang tamu menyikut Byungjae yang duduk di samping kanannya. Ketika Byungjae menoleh, ia meminta pemuda itu turut memperhatikan Rue yang duduk di bawah, di atas permadani. Tangannya berada di atas meja, menopang dagu.
“Dia kenapa?” Byungjae berbisik.
“Nggak tahu. Aneh aja liatnya. Mikirin apa sih dia?” Dio turut berbisik.
“Yano yang daftar jadi anggota Dewan Senior?”
“Masa??”
Hanjoo yang duduk di sebelah kanan Rue tak menyadari kelakuan Rue karena sibuk menggambar dalam buku sketsanya.
Sekarang dia malah naksir Yano. Tuhan... apa lagi ini? Pearl yang benci setengah mati ke aku naksir adik tiriku? Kira-kira Yano bakalan gimana ya? Aku nggak rela kalau Yano jadian sama Pearl. Nggak! Rue menggelengkan kepalanya.
“Rue!” Byungjae memanggil nama Rue. Membuat gadis itu menoleh padanya. “Kamu kenapa sih?”
Rue nyengir canggung. “Aku lagi syok nih!”
“Syok? Kenapa?” Dio penasaran.
Ponsel Rue yang tergeletak di atas meja bergetar. Rue pun segera memeriksanya. “Om Arnold?” Gumamnya membaca nama yang muncul di layar ponselnya.
“Halo?” Rue menerima panggilan itu.
Hi, Rue!
“Iya, Om? Tumben ya nelpon?”
Nggak papa. Om hanya seneng. Nath malam ini keluar sama kamu ya?
Rue terkejut mendengar pertanyaan Arnold, papa Nath.
Nggak papa kok. Om malah seneng. Tapi, tolong jaga Nath ya. Dia kan nggak pernah ikut kalian berburu. Tapi, nggak terlalu berbahaya berburu penampakan di Gedung Mati?
Rue berusaha menguasai dirinya. “Eung, Nath udah berangkat Om?”
Udah barusan. Bentar lagi pasti nyampek. Tolong jaga Nath ya. Selamat bersenang-senang.
Panggilan diputus. Rue tercenung selama beberapa detik, lalu bangkit dari duduknya. “Kita harus ke Gedung Mati sekarang!” Rue berjalan menuju tempat peralatan berburu disimpan.
“Eh?” Dio terkejut.
Hanjoo yang sibuk menggambar pun mengangkat kepala karena kaget mendengar perintah Rue.
“Ngapain?” Byungjae pun sama terkejutnya dengan Dio dan Hanjoo.
“Om Arnold bilang, Nath bakalan ikut kita berburu ke Gedung Mati malam ini. Dia sedang menuju ke sana.” Rue menjelaskan sembari mempersiapkan alat.
“Sial!” Dio mengumpat dan bangkit dari duduknya. Ia pun meraih ponsel untuk menghubungi sopir yang biasa mereka sewa.
Byungjae dan Hanjoo pun bangkit berdiri, membantu Rue menyiapkan peralatan yang perlu dibawa saat berburu. Karena situasi genting, Byungjae hanya membawa dua kamera. Satu untuknya, satu lagi untuk Dio. Hanjoo memeriksa kelengkapan penerangan. Setelah selesai, ia membawanya ke sofa. Dio sudah lebih dulu keluar untuk menunggu mobil dan sopir yang ia telepon.
Rue, Byungjae, dan Hanjoo turun menyusul Dio. Tak lama kemudian mobil yang mereka sewa datang. Keempatnya segera masuk ke dalam mobil sedan tua berwarna hitam itu.
“Gedung Mati ya, Om.” Ujar Dio yang duduk di samping sopir.
“Gedung Mati?? Malam ini kalian mau ke sana?” Pekik sopir yang sudah biasa disewa jasanya oleh Rigel.
“Teman kami kemungkinan ada di sana. Jadi, tolong agak cepat ya.”  Pinta Rue.
“Oke. Oke.” Pak Sopir pun mulai melajukan mobilnya menuju Gedung Mati.
***
 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews