AWAKE "Rigel Story" - Bab XVII

03:42

AWAKE - Rigel Story

 


 



 


Bab XVII

 

Dalam perjalanan menuju Gedung Mati, Rue berusaha menghubungi Nath. Panggilan itu tersambung, tapi Nath tak kunjung menerimanya. Byungjae mengusulkan untuk mengirim pesan, namun menurut Rue itu kurang efektif.

Nath sampai di tempat janjian yang disebutkan Pearl. Ia pun turun di sebuah mini market dan duduk menunggu di salah satu bangku yang di sediakan di depan mini market. Nath meraih ponsel dalam tasnya dan memeriksanya. Ia tersenyum ketika melihat deretan panggilan tak terjawab dari Rue. Nath pun balik menghubungi Rue.

Rue mengakhiri panggilan. Lalu, sebuah panggilan dari Nath masuk. Ia senang dan segera menerima panggilan itu. “Sial!” Umpatnya ketika ponselnya tiba-tiba mati.
“Kenapa?” Dio dan Byungjae hampir bersamaan.
“Kehabisan baterai.” Rue menatap ponselnya dengan frustasi.
“Coba aku telepon.” Hanjoo merogoh saku celananya. Namun, tak menemukan ponselnya. “Ya ampun! Hapeku ketinggalan. Tadi aku cas.”
“Aku tadi ke sekolah nggak bawa hape.” Byungjae menggeleng penuh sesal.
Dio harapan satu-satunya pun langsung menghubungi Nath. “Nggak diterima.” Ia pun mengakhiri panggilan. “Setidaknya tadi tersambung dan Nath coba hubungi kamu balik. Artinya, dia masih di zona aman.” Dio menenangkan Rue.
“Bagusnya lagi, ini malam hari. Jadi, nggak ada sinar matahari. Jenna pasti baik-baik saja.” Byungjae turut menenangkan. Ia menyebut Nath dengan Jenna, vampir cute dalam novel Hex Hall.
Rue menghembuskan napas panjang. Berusaha tenang.
“Lagian gimana ceritanya sampai Om Arnold telpon dan bilang kita mau berburu bareng ke Gedung Mati ya? Nath nggak bahas sama sekali soal itu kan?” Byungjae memiringkan kepala.
“Belakangan kita sama-sama sibuk, kan. Jadi aku jarang chat sama Nath. Di sekolah juga nggak ketemu. Dia sibuk sama teaternya, aku sibuk sama PMR dan Dewan Senior.” Rue menyesal.
“Kayaknya ada yang nggak beres deh.” Dio curiga. “Jangan-jangan kita dikerjain. Dijebak.”
“Jenna? Nggak mungkin dia lakuin itu. Buat apa dia ngerjain kita? Menjebak kita ke Gedung Mati?” Byungjae merasa kecurigaan Dio tidak benar.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Dio. Pesan dari Nath. “Aku sudah di lokasi. Aku tunggu ya.” Dio membaca pesan Nath dengan keras.
“Edan apa tu anak? Udah di lokasi? Di Gedung Mati?” Byungjae menatap Dio, lalu menoleh ke arah kanan dan menatap Rue yang duduk di tengah. Di antara dirinya dan Hanjoo.
“Om, bisa cepetan dikit nggak?” Pinta Dio pada sopir.
“Ini udah ngegas, Non.” Jawab Sopir.

Karena ponsel Rue tak bisa dihubungi dan usaha menelpon Dio balik tak kunjung berhasil—nomer Dio berada di luar jangkuan, begitu pemberitahuan operator—, Nath pun memilih mengirim pesan pada Dio. Ia duduk menunggu dengan sabar.
“Jadi, bukan hanya aku, Pearl, Hanjoo, dan Rue? Ada Dio juga? Hmm, baiklah. Ini akan jadi Sabtu malam yang menyenangkan.” Nath tersenyum usai berbicara sendiri.
***


Rombongan Rue sampai di lokasi Gedung Mati. Lokasi gedung terdapat di tengah-tengah area kosong yang luas. Konon katanya, gedung itu di bangun untuk dijadikan bioskop. Namun, tiba-tiba pembangunan dihentikan dan gedung dibiarkan terbengkalai.
Warga yang menetap paling dekat dengan lokasi gedung menyebutnya Gedung Mangkrak. Area gedung sengaja dijauhi, terlebih di malam hari karena pamornya yang terkenal angker. Pada pagi hingga siang hari, kadang ada warga yang mencari rumput atau menggembala kambing di area lahan kosong di sekitar gedung.
Gedung berlantai dua itu terlihat megah dan mengerikan dalam kegelapan. Lima orang yang berada di dalam mobil menatapnya dalam diam. Mereka seolah tersihir oleh keangkuhan gedung yang belum sepenuhnya jadi itu.
“Andai beneran jadi bioskop, pasti keren banget. Ada dua lantai pula.” Byungjae memecah keheningan.
“Kota kita pasti tambah keren karena ada bioskop, kan? Zaman muda dulu, aku pernah membayangkannya. Ketika orang-orang membahas Gedung Mati ini.” Pria yang duduk di balik kemudi turut berkomentar. Teringat akan masa mudanya ketika masih seumuran Rigel.
“Om Toni, pernah ke sini?” Tanya Byungjae.
“Baru kali ini. Bersama kalian. Untuk apa aku main ke sini?”
“Kali aja. Kan kalau pagi ampek siang ada warga yang beraktivitas di sini. Nyari rumput, gembalin embek.”
“Nath nggak bisa dihubungi. Masa dia udah di sana sih?” Dio sibuk dengan ponselnya.
“Kalian nekat mau masuk?” Tanya Toni si sopir.
“Kami nggak tahu temen kami di mana Om. Kalau beneran dia udah di gedung sana kan bahaya. Kami nggak tahu dia sama siapa di sana.” Jawab Rue.
Jalan raya memang terlihat dari gedung. Letaknya kira-kira 5 meter dari jalan utama. Namun, saat malam jalan raya itu selalu sepi. Terlebih jika jam sudah menunjukan di atas angka sembilan.
Rue melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Mumpung masih sore. Ayo kita cek.” Ujarnya yang kemudian sibuk menyiapkan ransel dan bersiap turun.
“Jam 8 ya. Oke. Kita cek bentar aja. Kalau Nath nggak ada di sana, kita balik.” Dio setuju.
Dio, Hanjoo, Rue, dan Byungjae turun dari mobil. Hanjoo membagikan senter led pada Dio, Rue, dan Byungjae. Tak lupa ia menyiapkan untuk dirinya sendiri.
“Hati-hati ya. Aku tungguin di sini.” Pesan Toni sebelum Rigel pergi. Dio, Rue, Hanjoo, dan Byungjae kompak menganggukan kepala.
Byungjae tak lupa menyiapkan kamera. Ia pun memberikan satu pada Dio.
“Harus kah kita rekam?” Tanya Dio saat menerima kamera yang diulurkan Byungjae. Ia mulai berjalan bersama Rue. Di depan Hanjoo dan Byungjae.
“Tidak apa-apa kan? Selama ini kita tidak pernah punya rencana berburu penampakan di Gedung Mati. Tapi, hari ini takdir membawa kita ke sini. Jadi, jangan disia-siakan.” Byungjae berjalan sambil menyiapkan kamera. “Nih, udah siap.” Ia mengulurkan kamera yang sudah ia siapkan pada Dio.
Dio mengembalikan kamera sebelumnya, dan meraih kamera yang sudah disiapkan Byungjae. Byungjae segera sibuk dengan kamera kedua.
“Oke. Malam ini tanpa sengaja kami berada di Gedung Mati.” Dio memulai rekamannya. “Kalian bisa lihat gedung megah di depan sana? Yap, itu adalah Gedung Mati atau Gedung Mangkrak yang terkenal angker. Kami sedang berjalan mendekatinya sekarang.”
Kamera di tangan Dio menyorot Gedung Mati yang berdiri angkuh tak jauh di depan mereka. Gedung usang yang hampir jadi itu terlihat angker dengan pintu dan jendela-jendela yang berlubang. Tak memiliki daun pintu dan daun jendela. Dalam gelap, gedung tua itu terlihat semakin angker.
“Jalan di semak rerumputan gini tuh takut sama ular.” Ujar Rue yang berjalan dengan sangat hati-hati. “Mana cuman pakek sepatu kets pula. Nggak pakek sepatu boots.”
“Jangan ngomongin ular. Serem tahu!” Byungjae menyorot Rue dengan kameranya.
“Kita semakin dekat dengan Gedung Mati. Rue, apa yang kau lihat?” Tanya Dio. Namun, kameranya tetap menyorot Gedung Mati, tak menyorot Rue.
Rue mengangkat kepala dan menatap Gedung Mati yang berada beberapa meter saja di depannya. “Huft…” keluhnya sebelum menjawab pertanyaan Dio. “Ada Kuntilanak duduk di salah satu jendela di lantai dua.”
Dari belakang, Byungjae menyorot Rue.
“Sebelah mana?” Dio sedikit menaikan kamera untuk fokus menyorot lantai dua.
“Jendela sisi kiri, nomer dua dari utara. Ini beneran mau jadi bioskop? Kok bentuk bangunannya gini ya?”
“Nah, aku tadi juga mikirnya gitu.”
“Ini suer serem banget rumputnya. Sampai selutut lho! Aku takut ular beneran.”
Kamera Byungjae menyorot rerumputan di bawah mereka. Rumput liar itu tumbuh subur hingga panjangnya mencapai lutut mereka. “Ini anak aneh. Takut ular daripada takut hantu.” Olok Byungjae usai menyorot rerumputan.
“Ini makin deket makin serem juga. Energinya kuat banget. Eh, tetep deketan ya. Jangan putus doa sesuai keyakinan kalian.” Rue mengingatkan agar Rigel teman-temannya tetap waspada.
Rigel sampai di depan Gedung Mati. Mereka berhenti di sana. Dio dan Byungjae menyorot bagian depan gedung dan sekitarnya. Rue mendongakan kepala, menatap ke lantai dua gedung. Sedang Hanjoo mengamati sekitarnya.
“Nath!” Dio memanggil. “Kau di sini?”
“Sepertinya nggak ada deh.” Hanjoo dengan suara lirih.
“Eh! Apa itu!?” Byungjae yang melihat sekelebat bayangan putih di dalam gedung, tanpa ragu langsung mengejarnya.
“Byungjae!” Hanjoo mencoba menahan, namun gerakan Byungjae lebih cepat.
“Sial!” Dio mengumpat. Mengikuti Rue dan Hanjoo yang masuk ke dalam gedung mengejar Byungjae.
“Dia naik ke lantai dua. Apa itu Jenna?” Byungjae berjalan cepat. Mengejar bayangan putih yang ia duga adalah Nathaline.
Di dalam gedung sudah ada lantai. Karena sebagian lantai sudah rusak, beberapa rumput tumbuh dari sela lantai yang rusak. Tembok yang masih berupa tatanan batu bata pun mulai ditumbuhi lumut. Di pojok barat sebelah kanan tumbuh satu pohon yang menjulang tinggi. Bagian atasnya tertekuk karena telah mencapai dasar lantai dua.
Gelap dan lembab. Walau pintu dan jendela dari gedung itu tak memiliki daun pintu dan daun jendela, di dalam gedung terasa lembab. Bau dari tembok dan kayu yang lapuk pun cukup menyengat. Kondisi yang sangat cocok untuk hunian makhluk tak kasat mata.
“Byungjae! Berhenti!” Rue mengejar Byungjae.
“Auw!” Karena terburu-buru, Dio kurang waspada. Ia pun tersandung dan terjatuh satu meter dari tangga yang akan membawa mereka menuju lantai dua.
“Astaga! Dio!” Hanjoo batal menaiki tangga, berbalik untuk menolong Dio yang jatuh terduduk.
“Aku baik-baik aja. Kau temani saja Rue. Sepertinya genting.”
“Aku bantu kamu dulu.” Hanjoo membantu Dio berdiri.
“Auw! Sepertinya kakiku terkilir. Maaf. Aku nggak liat lubang di lantai itu.”
“Nggak papa.” Hanjoo memapah Dio menuju tangga. “Kamu yakin mau di sini sendirian?” Tanya Hanjoo setelah membantu Dio duduk di tangga terbawah.
“Mm.” Dio mengangguk yakin. Lalu, ia mengeluarkan kalung dengan liontin gemstone berwarna ungu. “Jimat dari Rue. Jadi, jangan khawatir. Aku baik-baik aja.”
“Baiklah. Tunggu di sini. Kami akan segera kembali.” Hanjoo menaiki tangga untuk menyusul Rue.
“Huft…” Dio menghela napas. Ia memeriksa tangga. “Kayunya lumayan kuat.” Gumamnya.
Dio melihat sekelebat bayangan putih. Ia pun menyorotkan kamera dan senter ke arah depan. Namun, kosong. Ia menurunkan senter dan menaruh di pangkuannya. Tangan kanannya menggenggam erat ‘jimat’ pemberian Rue.

Rue tiba di lantai dua. Ia melihat Byungjae berada di tengah-tengah ruangan dan terdiam. Rue mengatur napasnya yang terengah-engah, sambil memperhatikan Byungjae yang berdiri membelakangi dirinya.
“Rr-rue, kau kah itu?” Suara Byungjae bergetar. “Aku menginjak sesuatu yang lembek. Jangan-jangan itu ular.”
Rue menghela napas, lalu menyorotkan lampu senter pada kaki Byungjae. Pemuda itu menginjak satu ranting pohon yang membusuk. “Hanya ranting busuk.” Rue mengalihkan senter ke langit-langit. Bagian atap gedung juga sudah lapuk. “Nath nggak ada di sini. Ayo kita turun.”
Hanjoo baru sampai. Dengan napas terengah-engah, ia berhenti di samping kanan Rue. “Dia baik-baik aja kan?”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala.
Byungjae membalikkan badan, memeriksa kakinya. “Oh iya. Hanya batang kayu yang busuk. Hehehe.” Ia lega.
“Kendalikan dirimu!” Hanjoo berkacak pinggang.
Byungjae mengamati sekitar. “Ini di lantai dua? Dio mana?” Ia kebingungan.
Hanjoo menghela napas karena kesal.
Rue mengerutkan kening. Fokus menatap sesuatu di belakang Byungjae. Ia melihat bayangan hitam berjalan mendekati Byungjae. “Byungjae awas!” Rue memperingatkan, sambil bergerak maju untuk mendekati Byungjae.
“Aaaaa!” Byungjae menjerit. Tangan kirinya ditarik oleh sesuatu yang tak bisa ia lihat, hingga senter yang ia pegang terjatuh. Ia tidak bisa menolak ketika sesuatu yang tak kasat mata itu menyeret tubuhnya.
“Hanjoo! Bantu aku menghentikan Byungjae!” Rue berlari mengejar Byungjae, sambil berteriak untuk meminta bantuan Hanjoo.
Hanjoo mematung di tempatnya berdiri. Tertegun menatap Hanjoo yang berjalan mundur dengan gerakan cepat.
“Rue! Tolong aku!” Byungjae meronta.
Rue menambah kecepatan larinya. Berusaha mengejar Byungjae. “Lepaskan temanku makhluk jelek!” Ia berteriak frustasi. Ia tahu makhluk yang menyeret Byungjae akan membawa pemuda itu pada jendela tanpa daun jendela di ujung bangunan lantai dua.
Rue terpeleset dan jatuh. “Byungjae!!!” Jeritnya putus asa. Ia panik dan berusaha bangkit karena melihat Byungjae semakin dekat dengan jendela.
“Rue!!” Byungjae pun berteriak. Mengulurkan tangan kanannya yang memegang kamera. Berusaha meraih uluran tangan Rue yang tak mungkin bisa ia gapai.

Rue yang tiarap di atas lantai tercenung. Tangan kanannya masih terulur ke depan. Sedetik kemudian, ia menjatuhkan tangan kanannya. Ia lega melihat Toni berhasil menahan Byungjae yang sudah berada di ujung jendela bolong. Terlambat sedikit saja, Byungjae pasti jatuh dari lantai dua.
“Om Toni!” Byungjae lega karena Toni berhasil meraih tangan kanannya.
Toni pun menarik Byungjae menjauh dari jendela.
Hanjoo yang kesadarannya sudah kembali, membantu Rue untuk bangun.
“Kita pergi. Teman kalian nggak ada di sini.” Toni meminta Rigel pergi. “Dio baik saja di bawah. Ayo!”
Byungjae merasakan tangan kirinya basah. “Tangan kiriku basah.” Ujarnya sambil berjalan di belakang Toni.
Toni memungut senter Byungjae yang tergeletak di atas lantai. Ia pun menyorot tangan kiri Byungjae.
Byungjae terbelalak. “Darah!!!” Ia terkejut melihat tangan kirinya sudah berlumuran darah.

Walau Rue sudah membersihkan tangan kiri Byungjae dengan air mineral dalam botol yang selalu ada di dalam ranselnya, Byungjae masih belum bisa berhenti muntah. Hanjoo memijat tengkuk Byungjae agar rekannya itu bisa mengeluarkan isi perutnya. Sedang Dio sudah duduk di dalam mobil. Kakinya terkilir.
“Udah?” Hanjoo menepuk punggung Byungjae.
Byungjae menganggukkan kepala. Sejak ia mengetahui tangannya berlumuran darah, Byungjae mencium bau anyir yang membuatnya mual. Tak tahan dengan itu, ia pun muntah. Walau tangannya sudah dibersihkan Rue, ia tetap mual dan muntah hingga menguras seluruh isi perutnya.
“Byungjae duduk di depan saja. Dio udah duduk di belakang.” Ujar Toni.
Rue menatap Toni dalam diam. Ia sangat berterima kasih karena pria itu bertindak sigap dan menolong Byungjae. Ia tidak bisa membayangkan jika Toni terlambat sedikit saja. Lantai dua itu mungkin tidak akan membunuh Byungjae, tapi cukup untuk membuatnya patah tulang atau gegar otak. Rue menghela napas. Menyusul rekan-rekannya dan masuk ke mobil. Toni pun melajukan mobilnya, meninggalkan area Gedung Mati.
***

Nath dalam perjalanan menuju rooftop Rue. Satu jam menunggu di mini market, Pearl tak muncul. Begitu juga dengan Rue. Ia berusaha menghubungi Pearl, tapi ponsel gadis itu tak aktif. Nath juga berusaha menghubungi Dio, tapi ponsel Dio terus berada di luar jangkauan. Ia menghentikan sebuah taksi dan memintanya untuk mengantar ke tempat tinggal Rue.
Saat sampai, rooftop tempat tinggal Rue hening. Berulang kali ia mengetuk pintu, tapi tidak ada seseorang yang membuka pintu untuknya. Bahkan, tidak ada yang menjawab panggilannya. Setelah menunggu selama lima belas menit, Nath memutuskan untuk turun. Ia yakin Rue sedang tidak ada di rumah. Ia pun memutuskan untuk pulang.
Saat Nath sampai di tangga terbawah, sebuah mobil sedan berhenti. Ia tersenyum riang ketika tahu yang di dalam mobil itu adalah Byungjae, Hanjoo, Dio, dan Rue. Ia menunggu di dekat tangga.
Hanjoo yang pertama kali turun. Kening Nath berkerut saat melihat Hanjoo membantu Rue turun dari mobil. Kaki Dio pincang. Lalu, ia melihat Byungjae turun. Wajah pemuda itu pucat. Sedang tangan kirinya terangkat sejajar dada.
Nath berjalan mendekati mobil. “Kalian dari mana?” Sapanya ragu-ragu.
Hanjoo, Dio, dan Rue kompak menatap Nath. Nath terkejut melihat tampang lusuh mereka. Sedang Byungjae bergerak minggir, kemudian muntah-muntah di tepi selokan. Nath bingung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Rigel.
“Tolong bantu Byungjae. Bawa dia naik. Itu kalau kau mau dengar apa yang baru saja kami alami.” Ujar Rue yang kemudian berjalan melewati Nath untuk naik tangga.
Di belakang Rue, Hanjoo dan seorang pria memapah Dio yang pincang.
Nath mengerjapkan kedua matanya, lalu buru-buru menghampiri Byungjae.

Dio menjerit-jerit dan menangis. Ia kesakitan karena Toni memijat kakinya yang terkilir. “Ampun, Om! Sakit banget. Sumpah! Aaa!”
“Kalau kamu nggak tahan sakit, kakimu ntar nggak sembuh-sembuh. Nanti setelah dipijit bakalan bengkak, tapi nggak akan lama. Senin kamu udah bisa masuk sekolah. Tahan makanya!’ Toni mengomeli Dio.
“Iya ini ditahan! Ampun, Om! Sakit! Ampun! Aaa!”
Byungjae keluar dari kamar mandi. Ia memilih mandi demi menghilangkan bau anyir yang seolah masih menempel di tubuhnya. Karena tak membawa ganti, ia pun meminjam kaos dan celana kulot selutut milik Rue.
“Minum ini.” Rue menyodorkan jahe hangat dalam mug untuk Byungjae. “Biar mualmu ilang.”
“Udah nggak bau kan?” Byungjae mengulurkan tangan kirinya pada Rue.
“Udah nggak. Semprot parfum deh kalau masih merasa bau.” Rue menghidangkan coklat hangat di depan Nath. Lalu, menaruh mug-mug lainnya di atas meja. Ia membuat empat mug jahe hangat untuk Rigel, satu mug kopi untuk Toni, dan satu mug coklat hangat untuk Nath.
“Parfumnya mana?” Byungjae duduk di atas permadani ruang tamu dan meletakan mug di tangan kanannya ke atas meja.
Nath yang duduk di atas permadani di ruang tamu menatap Dio yang sedang duduk di atas sofa. Kakinya sedang dipijit Toni. Lalu, ia menatap Byungjae yang baru bergabung. Kemudian, beralih pada Hanjoo yang sibuk di dapur. Nath menundukkan kepala. Merasa bersalah.
Rue kembali ke ruang tamu dengan membawa parfum. Hanjoo pun bergabung setelah selesai membereskan dapur. Semua berkumpul di ruang tamu.
“Sekarang waktunya memberi penjelasan kan Jenna?” Ujar Byungjae sembari menyemprot parfum ke tangan kirinya.
“Maaf. Tapi, aku benar-benar nggak tahu. Kenapa kalian sampai seperti ini.” Nath perlahan mengangkat kepalanya.
“Papamu telpon ke Rue. Katanya, kamu pamit mau ikut perburuan ke Gedung Mati bersama kami. Rue panik dan membawa kami semua ke Gedung Mati. Dan, ini lah hasilnya. Seperti yang kamu lihat. Dio kakinya terkilir. Rue jatuh, dan aku hampir jatuh dari lantai dua. Untung ada Om Toni. Sebenernya rencanamu apa sih?” Byungjae meletakan parfum di atas meja dan menatap Nath.
Dinding pertahanan kedua mata Nath yang berkaca-kaca runtuh. Air mata meluncur turun di pipinya yang pucat. “Aku... aku benar-benar minta maaf. Ini salahku.”
“Aku yakin ini bukan salahmu! Aaa! Sakit, Om! Coba jelaskan apa yaaaaang sebenarnya terjadiiii!” Dio di sela jeritan kesakitannya.
“Katakan saja. Nggak papa. Kalau dipikir-pikir, itu bukan salahmu. Tapi, salahku. Aku bertindak tanpa pikir panjang. Tanpa memastikan lebih dulu kamu di mana.” Rue memegang tangan kanan Nath dan mengusuknya.
“Kami mana bisa marah ke kamu, Jenna.” Byungjae turut menenangkan.
“Aku tahu kalian nggak akan marah padaku, tapi…” Nath ragu.
“Tapi, kenapa? Katakan saja.” Desak Byungjae.
“Pearl.” Nath menyebut satu nama yang Rigel tahu.
“Kenapa Pearl?” Hanjoo turut mendesak Nath.
Nath menghela napas. Lalu, menceritakan semua dari awal. Dari pertemuan tak sengajanya dengan Pearl di food court, lalu Pearl mengajaknya hang out bersama Hanjoo dan Rue. Hingga Pearl membuatnya menunggu di mini market selama satu jam lamanya, dan ia sampai di rooftop Rue.
“Sudah kuduga pastiii ulaaah nenek sihir itu. Aaa, sakit!” Emosi Dio memuncak setelah mengetahui fakta di balik kesialan yang ia alami malam ini. “Awas kaaauuu Pearrrrllll!”
***
 


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews