AWAKE "Rigel Story" - Bab XIV

03:33


AWAKE - Rigel Story

 



Bab XIV




Hening selama perjalanan pulang. Rue, Dio, Byungjae, dan Hanjoo sangat minim berbicara. Mereka lebih banyak diam. Siswi kelas XII yang kesurupan akhirnya bisa disembuhkan setelah pembina ekstrakurikuler metafisika datang ke sekolah. Ahli metafisika yang dulunya juga bersekolah di SMA Horison itu berhasil membebaskan anak didiknya dari cengkeraman tiga makhluk astral yang terus keluar masuk ke dalam tubuh siswi kelas XII secara bergantian. Karena menunggu proses itu, Rigel meninggalkan sekolah saat hari sudah gelap.
Pembina ekstrakurikuler metafisika menyapa Rue. Keduanya pun sempat ngobrol sejenak. Namun, Rue tak berkata jujur tentang apa yang ia lihat di taman belakang sekolah. Pembina ekskul metafisika pun mengungkap jika ia merasakan sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sekolah. Karena rentetan kejadian itulah Rue, Dio, Byungjae, dan Hanjoo diam hampir selama perjalanan pulang. Keempatnya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Rigel langsung berkumpul di markas. Saat perjalanan pulang, Rue sempat membeli makanan untuk mereka makan malam bersama. Sambil makan malam, mereka membahas tentang kejadian di sekolah dan hasil penyelidikan mereka.
Karena Hanjoo yang berada di UKS sejak siswi kelas XII yang kesurupan dibawa ke sana, ia pun melaporkan apa saja yang terjadi selama Rue, Dio, dan Byungjae tak di sana. Termasuk racauan siswi kelas XII saat kesurupan.
Isi racauan siswi kelas XII itu tergantung siapa yang sedang menggunakan raganya. Ada yang hanya menjerit-jerit, lalu menangis, dan terus mengucap kalimat, Aku takut. Ada yang tertawa terbahak-bahak, lalu berujar, Ini hanyalah awal. Bersiap-siaplah wahai kalian manusia-manusia sombong! Lalu, ada yang hanya diam. Jika ditanya hanya menjawab, Berhati-hatilah mulai sekarang.
Rue, Dio, dan Byungjae menyimak penjelasan Hanjoo. Sambil menikmati bakmi yang menjadi menu makan malam mereka.
“Lalu, kamu tadi ngapain dua-duaan sama Kak Nicky? Di deket toilet kelas XII. Kalian pacaran ya?” Byungjae menyerang Rue.
“Pacaran gundulmu!” Rue tak terima dituduh pacaran dengan Nicky. “Aku tadi ngejar Goong sampai sana tau! Tapi, dia nggak ngasih informasi banyak. Kayaknya itu raja buto emang sakti bener deh. Sampai semua yang ada di situ takut.”
“Termasuk penghuni yang terkuat di sekolah?” Tanya Dio.
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Ini masih teka-teki. Antara mereka emang bermigrasi apa sengaja dikirim ke sekolah.”
“Sengaja dikirim ke sekolah? Buat apa?” Tanya Byungjae.
“Ya teror lah. Apa lagi?! Kan udah dimulai!” Jawab Dio kesal.
“Aku dengar dari Kevin, sekolah kita masuk nominasi sekolah terbaik. Apa karena itu ada pihak tertentu yang sengaja mengirim teror ke sekolah kita? Agar citranya menjadi buruk?” Dio mengungkap informasi yang berhasil ia kumpulkan.
“Dan, kalah dukungan gitu? Masuk akal sih ya. Tapi, kenapa pakek sihir coba? Pakek pasukan setan buat neror murid.” Byungjae keheranan.
“Simpel aja kan. Kalau murid yang mengalami gangguan, akan dengan mudah tersebar ke dunia luar.”
“Iya ya.”
“Tapi, aku secara pribadi curiga mungkin ini ada hubungannya denganmu Rue. Maksudku sebentar lagi kan pergantian pengurus. Kamu pasti didukung untuk maju kembali. Aku rasa ada pihak yang nggak suka dan sengaja menggunakan pasukan setan itu untuk meneror.”
“Wah! Masuk akal juga. Tapi, kenapa sih segitunya? Pakek sihir segala.”
“Karena Rue dan Rigel terkenal sebagai pemburu hantu, pemburu penampakan. Pasti banyak yang nggak suka sama kita. Kalau itu yang kita banggakan, dengan jalan itu pula siapapun itu pelakunya menyerang kita.
“Selama ini sebagian besar murid percaya bahwa minimnya kesurupan dan keusilan yang dilakukan makhluk halus di sekolah adalah karena keberhasilan negosiasi yang dilakukan Rue. Padahal Rue nggak lakuin itu kan? Palingan dia cuman ngobrol sama Goong.
“Kalau mau menelusuri sejarah sekolah, setiap tahun kejadian ganjil seperti kesurupan memang semakin menurun. Tapi, nggak ilang sama sekali. Artinya, sebenarnya fenomena yang terjadi di sekolah termasuk wajar. Semua tergantung kita. Seperti kata Hanjoo, faktor personal. Tapi, nggak semua murid tahu tentang itu. Dan, pihak manapun bisa memanfaatkannya untuk melakukan teror, menghasut, memfitnah, dan sejenisnya.” Dio menutup penjelasannya.
“Masuk akal. Tapi, siapa yang tega bertindak sekeji itu?” Byungjae kemudian menyuapkan sesendok bakmi ke dalam mulutnya.
“Entahlah. Siapa saja bisa melakukannya, kan?” Dio kembali fokus pada bakmi di hadapannya.
“Jadi, sementara ini kalian yakin pasukan itu sengaja dikirim? Bukan migrasi besar-besaran?” Rue menyimpulkan.
“Aku rasa begitu.” Jawab Dio sambil mengunyah bakmi di dalam mulutnya.
“Kedua kemungkinan itu masuk. Menurutku, untuk sementara kita diam saja. Mengamati, tapi tetap waspada. Sampai kita benar-benar menemukan fakta. Menyerang lebih dulu bukanlah ide baik kan, Rue?” Hanjoo meminta persetujuan Rue.
“Iya.” Rue membenarkan pendapat Hanjoo. “Aku jadi memikirkan ucapan Goong.”
“Apa kata dia?” Dio penasaran.
“Jika aku tetap memegang posisi presiden sekolah, aku akan sedikit disegani. Oleh mereka juga.”
“Itu karena kamu punya kelebihan bisa melihat dan komunikasi dengan mereka. Kamu nggak segan nyampaiin keluhan mereka yang tak kasat mata pada kita manusia. Jadi, menurutku, Goong ingin mengatakan jika kamu tetap jadi presiden sekolah, kamu bisa mendamaikan dua alam yang tinggal di satu area yaitu SMA Horison.” Byungjae menarik kesimpulan.
“Tumben kamu pinter!” Dio menepuk lengan Byungjae.
“Aku lho!” Byungjae membusungkan dada.
“Memang sebaiknya kamu maju lagi Rue. Aku yakin sebagian besar pengurus mendukungmu.” Hanjoo mendukung Rue untuk kembali mencalonkan diri sebagai ketua Dewan Senior.
“Kalau tahtamu jatuh ke Kevin sih aku rela. Tapi, kalau Pearl. Hiii…” Dio bergidik ngeri.
“Baiklah. Aku akan maju kalau yang lain mendukung. Aku nggak mau raja dan pasukannya itu menindas siapapun yang ada di SMA Horison. Aduh!” Rue menutup mulut dengan telapak tangan kanannya.
“Kenapa?” Tanya Dio khawatir.
“Ini sama artinya aku mengibarkan bendera perang dong?” Rue menatap satu per satu rekannya.
***

Kelas Rue sedang mengikuti pelajaran Biologi di laboratorium. Rue bersama kelompoknya duduk di bangku urutan nomer dua dari belakang pada deretan bangku sebelah kiri meja guru.
“Rue!”
Rue terkejut. Ia sedang fokus membaca buku Biologi yang terbuka di hadapannya ketika ia tiba-tiba mendengar suara seorang perempuan memanggil namanya. Ia mengamati sekelilingnya. Teman-teman sekelasnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk dengan alat-alat praktikum, ada yang mengobrol, ada yang fokus membaca seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Rue menghela napas, lalu seseorang mencolek punggungnya. Rue pun menoleh ke belakang. Siswi berambut sebahu itu tersenyum padanya.
“Aku nggak ngerti soal ini. Bisa bantu kah?” Tanya Ami. Siswi berambut lurus sebahu yang mencolek punggung Rue.
Rue menggeser posisi duduknya. Ia menghadap pada Ami dan membantu teman sekelasnya itu. Menjelaskan bagian dari pelajaran Biologi yang ditanyakan Ami. Ami pun menyimak dengan seksama. Sesekali ia menganggukkan kepalanya saat menyimak penjelasan Rue.
“Udah?” Tanya Rue setelah membantu Ami.
“Udah. Makasih ya.” Ami tersenyum manis.
“Sama-sama.” Rue membalas senyum Ami dan kembali merubah posisi duduknya untuk menghadap ke depan.
Rue belum sepenuhnya menghadap ke depan ketika ia mendengar suara benda terjatuh dan teriakan siswa memanggil nama Ami. Rue kembali menghadap belakang. Kedua mata bulatnya terbelalak melihat Ami sudah tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai. Ia pun bangkit dari duduknya dan bergegas menuju bangku paling belakang untuk menolong Ami.
Tiga siswa sudah siap mengangkat tubuh Ami. Setelah salah satu dari mereka memberi aba-aba, ketiganya pun berdiri dan membawa Ami keluar dari laboratorium. Rue mengikuti di belakangnya.
Saat sampai di depan ruang laboratorium, Ami tiba-tiba membuka mata, hingga salah satu siswa berujar, “Lho! Ami sadar!”
Ketiga siswa itu pun menurunkan Ami dari gendongan mereka. Rue mengerutkan kening ketika memperhatikan Ami yang berdiri dengan mata terbuka namun terlihat kosong.
“Teman-teman, dia belum sad—” Belum selesai Rue berbicara, Ami tiba-tiba menjerit dan kembali tumbang.
Beruntung dua siswa yang berada di dekatnya sigap menangkap tubuh Ami. Sedang satu siswa yang sebelumnya turut menggendong Ami, tersentak kaget hingga mundur selangkah karena Ami tiba-tiba menjerit dan kembali terjatuh.
Rue bergegas mendekati Ami dan membantu dengan mengangkat kedua kaki Ami. Namun, sial. Karena Ami berontak, Rue pun terkena tendangan dua kaki Ami hingga terdorong mundur dan jatuh terduduk. Bekas sepatu Ami sampai membekas pada rok yang dikenakan Rue.
“Kamu nggak papa Rue?” Salah satu siswa yang tadinya hanya mengintip dari ambang pintu laboratorium membantu Rue berdiri.
“Nggak papa kok. Makasih ya.” Setelah bangkit, Rue segera menyusul Ami yang sudah dibawa ke ruang UKS.

Tidak ada anggota PMR yang berjaga di UKS saat jam pelajaran berlangsung. Tapi, pintu depan UKS tidak pernah dikunci. Hingga siapapun yang sakit bisa langsung masuk dan beristirahat di sana. Hanya pintu menuju ruang jaga yang dikunci. Beruntung teman sekelas Rue ada yang menjadi anggota PMR juga. Mereka yang membantu Rue menangani Ami.
Setelah sempat membuka mata dan kemudian menjerit, Ami kembali tak sadarkan diri. Para anggota PMR segera melakukan pertolongan pertama dengan melepas kedua sepatu yang dikenakan Ami. Mengendorkan dasi dan membalurkan minyak kayu putih pada tubuh Ami.
Rue mendekati ranjang. Berhenti di dekat kaki Ami. Tangan kanannya bergerak dan memegang jempol kaki kiri Ami. Rue merapalkan mantra dengan tangan kanan masih memegang jempol kaki kiri Ami.
Tiba-tiba Ami membuka mata, kemudian menjerit. Tubuhnya bergerak hebat. Rekan-rekan Rue segera membantu memegangi tubuh Ami yang terus menjerit.
“Rue. Tolongin Ami. Aku mohon.” Ujar Nadia. Siswi berhijab yang turut memegangi Ami. Ia sampai menangis karena kasihan melihat Ami kesurupan.
Rue tetap fokus merapalkan mantra. Tangan kanannya masih memegang jempol kaki kiri Ami.
“Hentikan! Kurang ajar! Kau membuatku kesakitan!” Ami memaki Rue.
“Keluar dari tubuh anak ini! Maka aku nggak akan nyiksa kamu.” Rue balik mengancam.
“Dia yang lemah. Dia yang bodoh!”
Rue masih memegang jempol kaki kiri Ami, namun berhenti merapal mantra. “Anak ini nggak salah apa-apa. Kamu yang jahat!”
“Dia bodoh! Lemah! Pikiran gampang kosong. Cakra sudah bolong! Gampang dirasuki. Hehehe.” Tawa Ami benar-benar mengerikan. “Sakit! Sialan!” Ami memaki ketika Rue  kembali merapalkan mantra.
“Keluar! Atau aku bakar kamu!” Rue mengancam.
“Lawan aku kalau berani! Kita duel!” Suara Ami yang berubah serak dan mengerikan itu menantang Rue. “Panas! Panas! Edan! Panas!” Ami kembali meronta-ronta setiap kali Rue merapalkan mantra.
“Aku laporkan kamu pada rajaku!” Makhluk astral dalam tubuh Ami mengancam Rue.
“Kau diperintahkan rajamu? Untuk mengganggu anak ini?”
“Iya! Untuk menghancurkan tatanan di sekolah ini! Membuat siapa saja yang ada di sini tunduk pada maha raja!”
Maha raja gundulmu! Rue mengumpat dalam hati.
“Semua ini gara-gara kamu!” Ami menuding Rue.
Seperti dikomando, rekan-rekan Rue kompak menoleh dan menatap Rue.
“Dengarkan! Maha raja membawa kami kemari untuk menguasai tempat ini. Kami sudah diberi kebebasan untuk melakukan apa saja di sini. Tempat ini akan menjadi milik maha raja!”
“Tempat ini milik kami!” Rue menegaskan. “Kalian hanya pendatang kurang ajar yang berani-beraninya membuat kekacauan. Dengarkan juga! Kami tidak takut dan tidak akan tinggal diam!”
Rue merapal mantra, Ami menjerit dan tubuhnya kembali bergerak hebat. Setelah Rue seolah menarik sesuatu dari jempol kaki kiri Ami, gadis itu pun itu pun jatuh pingsan.
“Ami. Ami.” Nadia menepuk-nepuk pipi Ami.
“Dia udah nggak papa. Ntar kalau sadar, kasih air doa aja.” Rue menenangkan Nadia.
“Ami emang gampang kesurupan. Dari SMP udah kayak gitu.” Inaya yang juga berada di ruang UKS menjelaskan kondisi Ami.
Rue memang baru sekelas dengan Ami di kelas XI. “Begitu ya? Padahal dia tadi habis nanya soal ke aku. Tiba-tiba aja dia pingsan dan ya gini.”
“Kamu nggak papa Rue? Pasti sakit ditendang sampai jatuh kayak tadi.” Nadia menanyakan kondisi Rue. Ia sudah berhenti menangis.
“Sakit banget. Secara bukan tenaga manusia.” Rue tersenyum lesu.
“Tuh masih membekas di rokmu.” Inaya menuding rok yang dikenakan Rue.
“Kok belakangan ini yang kesurupan isinya pada ngancem ya? Ada apa sebenernya?” Inaya menatap Rue.
“Aku juga penasaran. Tapi, belum nemu titik terang.” Jawab Rue.
“Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan.” Nadia memanjatkan doa.
“Aamiin.” Semua yang berada di ruang UKS mengamini.
***

“Itu artinya, sasaran mereka acak? Siapapun yang lengah dan lemah bisa jadi sasaran? Termasuk aku?” Byungjae memiringkan kepala. Ia berada di dalam kantor Dewan Senior bersama Rue, Dio, dan Hanjoo.
“Emang kamu lemah?” Dio meragukan pertanyaan Byungjae.
“Kau kan tahu, kata Rue, aku ini termasuk jenis orang yang disukai makhluk astral. Karena itu aku gampang ketempelan, bahkan pernah hampir kesurupan. Tapi, sejak memakai gelang pemberian Rue ini,” Byungjae memutar gelang prusik berwarna hitam di tangan kirinya, “aku merasa lebih baik.”
“Beneran kamu baik-baik aja Rue? Katanya kamu ditendang Ami sampai jatuh.” Hanjoo mengkhawatirkan Rue.
“Sakit lah. Tapi, nggak papa kok. Tenaganya kuat banget itu setan.”
“Nggak papa ya kita ngobrolin mereka di sekolah kayak gini?” Byungjae dengan hati-hati.
“Bendera perang udah dikibarkan. Lagian dimanapun kita, kalau mau, mereka bisa menjangkau kita. Karena, mereka tidak terbatas ruang dan waktu. Iya kan Rue?” Dio meminta persetujuan Rue.
“Kesurupan lagi ya.” Ujar Kevin saat tiba di dalam kantor Dewan Senior. Ia duduk bergabung bersama Rigel. “Rue, kita jadi maju bersama mencalonkan diri untuk jadi kandidat ketua, kan?”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Kalau kamu yang menang, aku akan bantu kamu sekuat tenaga.”
“Aduh. Jadi, malu. Tapi, aku senang Rue memperhatikanku seperti itu. Aku berharap Rue yang menang lagi.”
“Kekacauan ini, jangan-jangan ulahmu.” Dio langsung menjatuhkan tuduhan pada Kevin.
“Eh? Aku? Kekacauan apa?” Kevin terkejut karena mendapat serangan tiba-tiba.
“Kesurupan yang kerap kali terjadi. Kau menyewa dukun untuk mengirim santet berupa teror kesurupan ya? Agar kepercayaan murid pada Rue luntur?”
Bukan hanya Kevin yang terkejut mendengar tuduhan Dio. Tapi, juga Rue, Byungjae, dan Hanjoo. Ketiganya tak menduga Dio akan bertindak sefrontal itu.
“Dio sayang, walau aku keturunan Inggris, tapi aku nggak tertarik sama sihir. Terlebih sihir hitam. Andai dikaruniai kemampuan seperti Rue, yang ingin aku lakukan adalah sama seperti yang Rue lakukan saat ini. Bukan untuk menindas, tapi untuk mendamaikan. Lagi pula, apa wajahku ini tampang-tampang hobi main dukun?” Kevin menuding hidungnya sendiri.
“Nurut kamu masuk akal nggak sih? Tuduhanku tadi?” Dio balik bertanya.
“Emang bisa ya? Baru tahu lho aku!”
“Susah deh ngomong sama No-Maj.” Dio menyebut Kevin dengan istilah No-Maj.
No-Maj adalah istilah lain dari Muggle dalam film Fantastic Beast yang naskahnya ditulis oleh JK. Rowling, penulis novel Harry Potter. No-Maj atau Muggle adalah golongan yang tidak mempunyai kemampuan sihir atau bisa disebut juga sebagai manusia biasa.
Kevin tergelak mendengar Dio menyebutnya No-Maj. “Yeah, I'm Muggle.” Ia pun mengakui statusnya sebagai manusia biasa. “Tapi, apa bener kesurupan itu teror yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti kita?” Kevin penasaran.
“Bisa jadi. Tapi, belum pasti. Penyelidikan kami belum menemukan fakta.”
“Wah. Sepertinya kalian membutuhkan bantuan Kementerian Sihir. Agar mereka mengirim detektif handal untuk membantu penyelidikan kalian. Segera hubungi saja nomor 62442.” Kevin membalas olokan Dio. Nomor 62442 adalah nomor telepon Kementerian Sihir dalam novel Harry Potter.
“Dasar, Muggle!” Dio kesal.
Kevin terkekeh. “Maaf. Aku hanya bercanda. Aku nggak tahu harus gimana, tapi kalau kalian butuh bantuanku, katakan saja. Aku akan bantu kalian sebisaku.”
“Apa kamu pernah denger tentang teror kayak gini sebelumnya? Pada angkatan sebelum kita?” Byungjae mengajukan pertanyaan. “Biasanya hal-hal ganjil sengaja ditutupi. Tapi, pasti ada beberapa saksi hidup, kan?”
“Nggak tahu ya. Tapi, ntar deh coba aku cari infonya.” Kevin menyanggupi.
Obrolan terhenti ketika anggota Dewan Senior dan MPK memasuki kantor Dewan Senior. Sore ini mereka berkumpul untuk membahas tentang pergantian pengurus. Tentang persiapan seleksi anggota baru dan pemilihan calon ketua baru untuk periode kepemimpinan satu tahun ke depan. Rapat pun dimulai setelah seluruh anggota Dewan Senior dan MPK lengkap. Nicky yang memimpin jalannya rapat sore itu.

“Aku dengar tadi kamu ditendang sama siswi yang kesurupan. Sampai jatuh. Kamu nggak papa?” Nicky menemui Rue setelah rapat selesai.
“Nggak papa kok.” Rue tersenyum manis.
Nicky menatap rok yang dikenakan Rue. Bekas sepatu masih tersisa samar di sana. “Lain kali, lebih hati-hati ya.”
Rue yang masih tersenyum menganggukkan kepala.
“Selamat ya. Kamu terpilih lagi sebagai calon ketua Dewan Senior. Aku pasti akan memberikan suaraku padamu.”
“Makasih, Kak.”
“Aku yakin kamu pasti menang lagi.”
“Dengan kondisi yang seperti ini?”
“Fenomena kesurupan itu ya? Memang ada hubungannya denganmu?”
“Karena aku, Shopie Mercer si penyihir. Kakak lupa?”
Nicky tergelak mendengar Rue menyebut julukan yang diberikan Byungjae. “Dia sosok yang kuat, kan? Dengar,” Nicky sedikit membungkukkan badan demi lebih dekat pada Rue, “dari awal aku yakin kamu sosok yang kuat. Karenanya, aku nggak pernah raguin kamu. Jadi, berjuanglah Rue! Semangat!”
Rue merasakan panas di wajahnya. Nicky begitu dekat di depannya. Membuat jantungnya berdetub lebih kencang. Ia pun tersenyum dan mengangguk.
Saat Nicky kembali menegakkan tubuhnya, Rue melihat sosok Malaikat Maut berdiri tak jauh di belakang Nicky. Kedua mata bulat Rue melebar. Senyum di wajahnya pun sirna.
***





You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews