Semua ekstrakurikuler sepakat membuka pendaftaran anggota
baru selama tiga hari dimulai pada hari Selasa dan berakhir pada hari Kamis.
Tidak ada seleksi khusus untuk penerimaan anggota. Karena sifatnya tak wajib,
tak seluruh murid yang mendaftarkan diri untuk bergabung dengan ekstrakurikuler
yang sesuai dengan minat mereka.
Hari Jumat usai jam sekolah berakhir, Rigel berkumpul di basecamp PMR. Semua anggota diminta
untuk berkumpul demi membahas penerimaan anggota baru. Di angkatan Rue, jumlah
anggota sebanyak dua belas orang. Sedang anggota dari kelas XII berjumlah lima
belas orang. Anggota kelas XII tidak lepas sepenuhnya, namun mereka pun tidak
bisa sepenuhnya aktif karena harus fokus untuk persiapan ujian akhir.
Di tahun ajaran baru ini, jumlah murid yang mendaftar untuk
bergabung dengan ekstrakurikuler PMR melonjak drastis. Tercatat 42 murid yang
mendaftar sebagai anggota PMR. Senior kelas XII menyambut baik. Namun, mereka
memperingatkan angkatan Rue untuk tak terlalu bangga. Karena, jumlah anggota pasti
akan menurun seiring berjalannya waktu. Begitulah tradisi yang terjadi secara
turun temurun. Di tengah jalan, pasti ada saja anggota yang tiba-tiba tidak
aktif, bahkan mengundurkan diri.
“Keren ya? Bisa pas gitu. Kalau ada 42 orang kan bisa
pas jadi 7 kelompok. Karena per kelompok anggotanya 6 orang.” Byungjae tak bisa
menyembunyikan rasa bangganya.
“Jangan seneng dulu. Kebanyakan anggota repot juga
ngurusnya.” Dio mengingatkan.
“Kayak kata senior, ntar di tengah jalan pasti berkurang.
Kayak angkatan kita dulu. Yang daftar 25 orang. Tengah jalan makin nyusut.
Akhirnya nyisa 12 orang doang. Kayak tim kesebelasan sepak bola dengan satu
pemain cadangan aja.” Hanjoo turut berkomentar.
“Yano dan Hongjoon resmi masuk jadi anggota PMR. Rue, kamu
nggak liat Malaikat Maut dideket Hongjoon lagi, kan? Kok aku jadi khawatir gini
ya?” Dio mengungkapkan perasaannya.
“Dia nongol waktu aku ngobrol sama Kak Nicky. Nggak jauh di
belakang Kak Nicky. Beberapa hari yang lalu setelah pertemuan Dewan Senior dan
MPK.” Jawab Rue.
“Wah! Bisa jadi sasarannya bukan Hongjoon dong?” Byungjae
menebak-nebak.
“Ami waktu kesurupan bilang semua gara-gara kamu ya? Aku
jadi makin yakin kalau teror ini sengaja dikirim ke sekolah buat jatuhin kamu,
Rue.” Dio semakin yakin pada dugaannya.
“Kalau emang ada hubungannya sama nominasi sekolah, bisa
juga Rue yang jadi kambing hitam. Semua bisa dimanipulasi.” Hanjoo turut urun
pendapat.
“Tetep aja ujungnya Rue dan Rigel, kan?” Dio kukuh pada
kesimpulannya.
“Iya sih.” Hanjoo membenarkan.
Keempatnya sampai di terminal dan masuk ke dalam angkutan
umum yang akan membawa mereka pulang.
“Besok kita nggak ada jadwal kemana gitu?” Tanya Byungjae.
“Besok kan ada tes buat calon pengurus Dewan Senior yang
baru.” Dio mengingatkan jadwal mereka hari Sabtu esok.
“Ah iya! Aku lupa. Jadi, kita tetep ke sekolah dong ya.” Byungjae
menghela napas.
“Untungnya kita nggak perlu tes ulang ya.” Dio tersenyum
riang. “Tapi, katanya kalau nggak dateng juga nggak papa kok. Kan panitia
semuanya kakak kelas XII.”
“Tapi, disarankan untuk hadir. Itu namanya diwajibkan dengan
kalimat yang lebih halus.”
“Hari Minggu jadi Rue?” Hanjoo bertanya pada Rue.
Dio dan Byungjae turut menatap Rue. Gadis itu menganggukan
kepala. Wajahnya terlihat malas.
“Apa kamu bakalan diomelin soal Yano kesurupan?” Byungjae
turut lesu.
“Pasti lah itu. Walau mamanya Yano udah meninggal, tapi ada
neneknya yang bencinya setengah hidup ke Rue. Emang salah ya kalau Pak Morgan
perhatian sama Rue? Rue kan anaknya, darah dagingnya. Nyebelin banget itu nenek
tua!” Dio kesal setiap kali mengingat bagaimana keluarga Yano memperlakukan
Rue.
“Untungnya Yano nggak nyebelin kayak keluarga mamanya ya.”
“Mendiang Mama Yano baik ke aku. Neneknya emang gitu. Sebenernya
aku males ke rumah Ayah.” Rue mengungkap apa yang ia rasakan.
“Kalau gitu, nggak usah dateng aja.”
“Kamu ngajarin Rue jadi pengecut? Alasan dia dilpanggil ke
rumah Pak Morgan tentu saja karena Yano kesurupan di sekolah. Apa lagi, coba?” Dio
masih bersungut-sungut karena kesal. “Syukur-syukur deh kalau ntar itu nenek tua
milih pindahin Yano.” Imbuhnya.
“Hanjoo, besok kamu nemenin Rue?” Tanya Byungjae.
“Iya. Mama selalu nggak kasih izin Rue berangkat sendiri ke
sana. Katanya pesan dari Tante gitu.” Hanjoo menatap Rue dengan sungkan. Setiap
kali menyebut Tante yang merujuk pada ibu Rue, ia selalu merasa khawatir Rue
akan merasakan sakit.
Ayah dan Ibu Rue tidak bercerai. Namun keduanya berpisah
saat Rue berumur 3 tahun. Ibu Rue merawat Rue kecil hingga gadis itu masuk SD.
Saat pertengahan di kelas satu SD, ibu Rue tiba-tiba menghilang. Meninggalkan
Rue untuk tinggal bersama sang kakek. Ibu Hanjoo lah yang sesekali hadir untuk
mengisi kekosongan dalam hidup Rue. Sejak saat itu Rue dan Hanjoo menjadi
dekat.
Ayah Rue menikah lagi karena memenuhi perjodohan dari orang
tuanya ketika Rue berusia 3 bulan. Ibu Rue yang tak mau di madu pun memilih
menjauh dari kehidupan pria yang ia cintai. Ayah dan Ibu Rue terpaksa berpisah
karena keluarga Ayah Rue tidak pernah bisa menerima Ibu Rue. Selain karena
perbedaan status sosial, Ibu Rue yang memiliki kemampuan sama seperti Rue
dinilai sebagai aib bagi keluarga Ayah Rue. Karena kerumitan itu, Ibu Rue
memilih pergi dari kehidupan Ayah Rue tanpa ada perceraian.
Ayah Rue tak sepenuhnya mengabaikan Rue. Ia selalu mengirim
uang untuk biaya hidup Rue. Sesekali ia pun menemui Rue. Bahkan, ketika Yano
lahir, Ayah Rue membawa Rue untuk menemui adiknya. Awalnya keluarga Morgan—ayah
Rue—bersikap biasa pada apa yang dilakukan Morgan. Akan tetapi, setelah Rue
menampakan bakat tak wajarnya, mereka mulai memprotes segala tindakan Morgan.
Bahkan, berusaha menjauhkan Yano dari Rue.
Sialnya Yano yang lebih dekat dengan Morgan justru memiliki
ikatan tersendiri dengan Rue. Anak laki-laki itu selalu merindukan kehadiran
Rue. Karena Morgan kukuh tak ingin memisahkan kedua anaknya, keluarganya pun
menyerah. Ikatan persaudaraan antara Rue dan Yano tumbuh secara alami karena
ada darah Morgan yang mengalir di tubuh mereka. Walau jarang bertemu, Yano
sangat mengagumi dan menyanyangi Rue.
Angkutan umum tiba di pemberhentian yang lokasinya berada
tak jauh dari pemukiman tempat tinggal Rigel. Byungjae, Dio, Rue, dan Hanjoo
pun turun. Berjalan kaki mereka menuju rumah masing-masing.
“Pokoknya, kalau besok nenek tua itu macem-macem, kamu harus
belain Rue!” Dio masih geram.
“Dia jarang muncul kok kalau Rue ngumpul sama papanya dan
Yano.” Hanjoo menenangkan.
“Tetep aja dia pasti nyari kesempatan untuk nyemprot Rue dengan
kata-katanya yang tajam.”
“Rue udah kebal. Aku yakin itu.” Byungjae memberi
penghiburan.
Keempat member Rigel berhenti di perempatan yang menjadi
tempat mereka berpisah untuk menuju ke arah berbeda dan pulang ke rumah
masing-masing.
“Kalau ntar Nenek Yano mengintimidasi kamu soal Yano
kesurupan di sekolah, suruh aja dia nyari jimat atau nyewa dukun sekalian buat jagain
cucunya di sekolah.” Dio kembali meluapkan kekesalannya.
“Dio…” Rue tersenyum dan menggelengkan kepala. “Lekas pulang
dan istirahat sana. Biar kepalamu dingin.”
Setelah saling mengucap salam perpisahan, anggota Rigel pun
berpencar. Berjalan ke arah berlawanan untuk menuju rumah masing-masing.
Rue berjalan dengan kepala tertunduk. Kepalanya terasa penuh
karena banyak hal yang ia pikirkan. Tentang teror di sekolah, tentang panggilan
mendadak dari ayahnya, dan banyak lagi. Tiba-tiba ia merasa seolah ada yang
mengikutinya. Rue menghentikan langkah, lalu menoleh.
Rue
terkejut. Sosok berbaju serba hitam yang sering ia sebut sebagai Malaikat Maut
atau Dewa Kematian berada tak jauh di belakangnya. Rue pun mempercepat
langkahnya, dan kemudian berlari. Berusaha menghindari Malaikat Maut yang
mengikutinya.
***
Walau tidak diwajibkan, seluruh anggota Dewan Senior dan MPK
kelas XI hadir pada hari tes pemilihan anggota baru digelar. Walau dibuka untuk
kelas X dan XI, pendaftar didominasi kelas X. Karena banyaknya peminat, tes pun
dilakukan di dua ruang kelas XI.
“Kalian tahu, kan? Yano daftar jadi anggota Dewan Senior.
Jadi, aku punya banyak kesempatan buat pedekate.” Pearl girang usai mengintip
ke dalam ruang tes.
“Eh, kamu serius mau pedekate ke Yano? Adek kelas kita?” Tanya
Ruby.
“Iya lah. Anak wakil wali kota lho! Ntar kalau bapaknya
sukses nyalon, dia bakal jadi anak wali kota. Dia anak tunggal lho!” Pearl
antusias.
“Udah masuk semua infonya?” Linde dibuat heran.
“Udah dong!”
Pearl, Ruby, dan Linde berkumpul di toilet kelas XI. Karena
melihat semua pintu toilet tertutup rapat, mereka pun menunggu di luar.
“Cakep sih emang. Tapi, masih anak-anak banget tampangnya. Too cute for me.” Ruby mengomentari
penampilan fisik Yano.
“And for me not tall
enough!” Linde menyambung.
“Jadi, sebenernya kamu tuh sukanya ke Kak Nicky apa ke
Yano?” Ruby penasaran tentang apa yang dirasakan Pearl sebenarnya.
“Sempet suka Kak Nicky. You know he's cute too. Tapi, sejak
liat Yano, aku jadi suka dia. Awalnya aku cuman pengen tahu aja sih Yano itu
yang mana. Ternyata... dia mencuri hatiku!” Pearl kegirangan.
“Wah, Pearl kita beneran jatuh cinta nih kayaknya.” Ruby
tersenyum heran dan menggelengkan kepala menatap Pearl.
“Iya. Kita harus bantu dia pedekate ke Yano.” Linde
sependapat dengan Ruby.
“Pasti dong!”
“Semoga aja Yano nggak ada hubungan sama Rue. Masa dari SMP,
cowok yang aku taksir malah naksir Rue. Kan nyebelin tuh!” Pearl melipat kedua
tangannya di dada.
“Karena itu kamu jadi nggak suka sama Rue? Padahal kalian
kan satu geng dulu.” Tanya Ruby.
“Gitu deh. Apa sih hebatnya Rue? Anak yang orang tuanya
nggak jelas kemana. Cantik juga nggak. Demen ngobrol ama setan pula.”
“Tapi, Rue nggak pernah pacaran kan? Sama cowok-cowok yang
naksir dia?”
“Nggak. Lebih demen pacaran ama setan kali dia. Padahal kan
mereka cakep, sedang Rue apalah. Sok jual mahal banget!”
Pintu bilik toilet paling pojok sebelah selatan terbuka, Rue
keluar dari dalam toilet. Membuat Pearl, Ruby, dan Linde kompak ternganga
karena kaget.
Pearl menurunkan kedua tangannya yang terlipat di dada.
Terlihat sungkan pada Rue. Ruby dan Linde pun sama, kelincutan berusaha
menghindarin kontak mata dengan Rue.
“Aku duluan ya.” Dengan riang Rue berpamitan pada Pearl,
Ruby, dan Linde.
Pearl bergeming. Ruby dan Linde tersenyum kikuk, membalas
sapaan Rue.
“Gimana ini? Dia pasti dengar semua.” Ruby panik.
“Iya. Secara di dalam sana.” Linde menunjuk bilik toilet
yang baru digunakan Rue.
Pearl masih diam. Lalu, menghembuskan napas dengan kasar. “Biarin
aja! Udah waktunya dia buat tahu!” Ia pun bergerak untuk memeriksa toilet yang
kosong. Menghindari toilet yang baru saja digunakan Rue.
***
Jadi, cuman gara-gara cowok?
Gara-gara cowok Pearl jadi benci setengah hidup ke aku? Ya ampun! Ada ya kayak
gini? Aku masih nggak percaya. Rue yang duduk menopang dagu di ruang tamu rooftop-nya menggelengkan kepala.
Sejak SMP cowok yang ditaksir Pearl
naksir aku? Siapa sih? SMP ya? Hmm, Fabian? Ya ampun! Mana aku tahu kalau
Fabian naksir aku? Aku kan temenan doang sama Fabian. Rue menghela napas.
Coba dia bilang naksir Fabian kan
aku bisa bantu. Dasar, Pearl! Nggak pernah berubah. Dari dulu selalu langsung
menyimpulkan dari apa yang dia liat dan mudah terhasut omongan orang. Trus, aku
kudu gimana? Jelasin ke dia? Rue memiringkan kepala.
Tapi, tadi dia cuek banget waktu
ketauan ngomongin aku. Kayaknya emang nggak peduli. Atau akting doang buat
nutupin malu?
Rue meluruskan posisi kepalanya kembali.
Dio yang duduk di sofa ruang tamu menyikut Byungjae yang
duduk di samping kanannya. Ketika Byungjae menoleh, ia meminta pemuda itu turut
memperhatikan Rue yang duduk di bawah, di atas permadani. Tangannya berada di
atas meja, menopang dagu.
“Dia kenapa?” Byungjae berbisik.
“Nggak tahu. Aneh aja liatnya. Mikirin apa sih dia?” Dio
turut berbisik.
“Yano yang daftar jadi anggota Dewan Senior?”
“Masa??”
Hanjoo yang duduk di sebelah kanan Rue tak menyadari
kelakuan Rue karena sibuk menggambar dalam buku sketsanya.
Sekarang dia malah naksir Yano.
Tuhan... apa lagi ini? Pearl yang benci setengah mati ke aku naksir adik
tiriku? Kira-kira Yano bakalan gimana ya? Aku nggak rela kalau Yano jadian sama
Pearl. Nggak!
Rue menggelengkan kepalanya.
“Rue!” Byungjae memanggil nama Rue. Membuat gadis itu
menoleh padanya. “Kamu kenapa sih?”
Rue nyengir canggung. “Aku lagi syok nih!”
“Syok? Kenapa?” Dio penasaran.
Ponsel Rue yang tergeletak di atas meja bergetar. Rue pun
segera memeriksanya. “Om Arnold?” Gumamnya membaca nama yang muncul di layar
ponselnya.
“Halo?” Rue menerima panggilan itu.
Hi, Rue!
“Iya, Om? Tumben ya nelpon?”
Nggak papa. Om hanya seneng. Nath
malam ini keluar sama kamu ya?
Rue terkejut mendengar pertanyaan Arnold, papa Nath.
Nggak papa kok. Om malah seneng.
Tapi, tolong jaga Nath ya. Dia kan nggak pernah ikut kalian berburu. Tapi,
nggak terlalu berbahaya berburu penampakan di Gedung Mati?
Rue berusaha menguasai dirinya. “Eung, Nath udah berangkat
Om?”
Udah barusan. Bentar lagi pasti
nyampek. Tolong jaga Nath ya. Selamat bersenang-senang.
Panggilan diputus. Rue tercenung selama beberapa detik, lalu
bangkit dari duduknya. “Kita harus ke Gedung Mati sekarang!” Rue berjalan
menuju tempat peralatan berburu disimpan.
“Eh?” Dio terkejut.
Hanjoo yang sibuk menggambar pun mengangkat kepala karena
kaget mendengar perintah Rue.
“Ngapain?” Byungjae pun sama terkejutnya dengan Dio dan Hanjoo.
“Om Arnold bilang, Nath bakalan ikut kita berburu ke Gedung
Mati malam ini. Dia sedang menuju ke sana.” Rue menjelaskan sembari
mempersiapkan alat.
“Sial!” Dio mengumpat dan bangkit dari duduknya. Ia pun
meraih ponsel untuk menghubungi sopir yang biasa mereka sewa.
Byungjae dan Hanjoo pun bangkit berdiri, membantu Rue
menyiapkan peralatan yang perlu dibawa saat berburu. Karena situasi genting,
Byungjae hanya membawa dua kamera. Satu untuknya, satu lagi untuk Dio. Hanjoo
memeriksa kelengkapan penerangan. Setelah selesai, ia membawanya ke sofa. Dio
sudah lebih dulu keluar untuk menunggu mobil dan sopir yang ia telepon.
Rue, Byungjae, dan Hanjoo turun menyusul Dio. Tak lama
kemudian mobil yang mereka sewa datang. Keempatnya segera masuk ke dalam mobil
sedan tua berwarna hitam itu.
“Gedung Mati ya, Om.” Ujar Dio yang duduk di samping sopir.
“Gedung Mati?? Malam ini kalian mau ke sana?” Pekik sopir
yang sudah biasa disewa jasanya oleh Rigel.
“Teman kami kemungkinan ada di sana. Jadi, tolong agak cepat
ya.”Pinta Rue.
“Oke. Oke.” Pak Sopir pun mulai melajukan mobilnya menuju
Gedung Mati.
0 comments