Hening selama perjalanan pulang. Rue, Dio, Byungjae, dan
Hanjoo sangat minim berbicara. Mereka lebih banyak diam. Siswi kelas XII yang
kesurupan akhirnya bisa disembuhkan setelah pembina ekstrakurikuler metafisika
datang ke sekolah. Ahli metafisika yang dulunya juga bersekolah di SMA Horison
itu berhasil membebaskan anak didiknya dari cengkeraman tiga makhluk astral
yang terus keluar masuk ke dalam tubuh siswi kelas XII secara bergantian.
Karena menunggu proses itu, Rigel meninggalkan sekolah saat hari sudah gelap.
Pembina ekstrakurikuler metafisika menyapa Rue. Keduanya pun
sempat ngobrol sejenak. Namun, Rue tak berkata jujur tentang apa yang ia lihat
di taman belakang sekolah. Pembina ekskul metafisika pun mengungkap jika ia
merasakan sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sekolah. Karena rentetan
kejadian itulah Rue, Dio, Byungjae, dan Hanjoo diam hampir selama perjalanan
pulang. Keempatnya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Rigel langsung berkumpul di markas. Saat perjalanan pulang,
Rue sempat membeli makanan untuk mereka makan malam bersama. Sambil makan
malam, mereka membahas tentang kejadian di sekolah dan hasil penyelidikan
mereka.
Karena Hanjoo yang berada di UKS sejak siswi kelas XII yang
kesurupan dibawa ke sana, ia pun melaporkan apa saja yang terjadi selama Rue,
Dio, dan Byungjae tak di sana. Termasuk racauan siswi kelas XII saat kesurupan.
Isi racauan siswi kelas XII itu tergantung siapa yang sedang
menggunakan raganya. Ada yang hanya menjerit-jerit, lalu menangis, dan terus
mengucap kalimat, Aku takut. Ada yang
tertawa terbahak-bahak, lalu berujar, Ini
hanyalah awal. Bersiap-siaplah wahai kalian manusia-manusia sombong! Lalu,
ada yang hanya diam. Jika ditanya hanya menjawab, Berhati-hatilah mulai sekarang.
Rue, Dio, dan Byungjae menyimak penjelasan Hanjoo. Sambil
menikmati bakmi yang menjadi menu makan malam mereka.
“Lalu, kamu tadi ngapain dua-duaan sama Kak Nicky? Di deket
toilet kelas XII. Kalian pacaran ya?” Byungjae menyerang Rue.
“Pacaran gundulmu!” Rue tak terima dituduh pacaran dengan Nicky.
“Aku tadi ngejar Goong sampai sana tau! Tapi, dia nggak ngasih informasi
banyak. Kayaknya itu raja buto emang sakti bener deh. Sampai semua yang ada di
situ takut.”
“Termasuk penghuni yang terkuat di sekolah?” Tanya Dio.
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Ini masih teka-teki. Antara
mereka emang bermigrasi apa sengaja dikirim ke sekolah.”
“Sengaja dikirim ke sekolah? Buat apa?” Tanya Byungjae.
“Ya teror lah. Apa lagi?! Kan udah dimulai!” Jawab Dio
kesal.
“Aku dengar dari Kevin, sekolah kita masuk nominasi sekolah
terbaik. Apa karena itu ada pihak tertentu yang sengaja mengirim teror ke
sekolah kita? Agar citranya menjadi buruk?” Dio mengungkap informasi yang
berhasil ia kumpulkan.
“Dan, kalah dukungan gitu? Masuk akal sih ya. Tapi, kenapa
pakek sihir coba? Pakek pasukan setan buat neror murid.” Byungjae keheranan.
“Simpel aja kan. Kalau murid yang mengalami gangguan, akan
dengan mudah tersebar ke dunia luar.”
“Iya ya.”
“Tapi, aku secara pribadi curiga mungkin ini ada hubungannya
denganmu Rue. Maksudku sebentar lagi kan pergantian pengurus. Kamu pasti
didukung untuk maju kembali. Aku rasa ada pihak yang nggak suka dan sengaja
menggunakan pasukan setan itu untuk meneror.”
“Karena Rue dan Rigel terkenal sebagai pemburu hantu,
pemburu penampakan. Pasti banyak yang nggak suka sama kita. Kalau itu yang kita
banggakan, dengan jalan itu pula siapapun itu pelakunya menyerang kita.
“Selama ini sebagian besar murid percaya bahwa minimnya
kesurupan dan keusilan yang dilakukan makhluk halus di sekolah adalah karena
keberhasilan negosiasi yang dilakukan Rue. Padahal Rue nggak lakuin itu kan?
Palingan dia cuman ngobrol sama Goong.
“Kalau mau menelusuri sejarah sekolah, setiap tahun kejadian
ganjil seperti kesurupan memang semakin menurun. Tapi, nggak ilang sama sekali.
Artinya, sebenarnya fenomena yang terjadi di sekolah termasuk wajar. Semua
tergantung kita. Seperti kata Hanjoo, faktor personal. Tapi, nggak semua murid
tahu tentang itu. Dan, pihak manapun bisa memanfaatkannya untuk melakukan
teror, menghasut, memfitnah, dan sejenisnya.” Dio menutup penjelasannya.
“Masuk akal. Tapi, siapa yang tega bertindak sekeji itu?” Byungjae
kemudian menyuapkan sesendok bakmi ke dalam mulutnya.
“Entahlah. Siapa saja bisa melakukannya, kan?” Dio kembali
fokus pada bakmi di hadapannya.
“Jadi, sementara ini kalian yakin pasukan itu sengaja
dikirim? Bukan migrasi besar-besaran?” Rue menyimpulkan.
“Aku rasa begitu.” Jawab Dio sambil mengunyah bakmi di dalam
mulutnya.
“Kedua kemungkinan itu masuk. Menurutku, untuk sementara
kita diam saja. Mengamati, tapi tetap waspada. Sampai kita benar-benar
menemukan fakta. Menyerang lebih dulu bukanlah ide baik kan, Rue?” Hanjoo
meminta persetujuan Rue.
“Iya.” Rue membenarkan pendapat Hanjoo. “Aku jadi memikirkan
ucapan Goong.”
“Apa kata dia?” Dio penasaran.
“Jika aku tetap memegang posisi presiden sekolah, aku akan
sedikit disegani. Oleh mereka juga.”
“Itu karena kamu punya kelebihan bisa melihat dan komunikasi
dengan mereka. Kamu nggak segan nyampaiin keluhan mereka yang tak kasat mata
pada kita manusia. Jadi, menurutku, Goong ingin mengatakan jika kamu tetap jadi
presiden sekolah, kamu bisa mendamaikan dua alam yang tinggal di satu area
yaitu SMA Horison.” Byungjae menarik kesimpulan.
“Tumben kamu pinter!” Dio menepuk lengan Byungjae.
“Aku lho!” Byungjae membusungkan dada.
“Memang sebaiknya kamu maju lagi Rue. Aku yakin sebagian
besar pengurus mendukungmu.” Hanjoo mendukung Rue untuk kembali mencalonkan
diri sebagai ketua Dewan Senior.
“Kalau tahtamu jatuh ke Kevin sih aku rela. Tapi, kalau
Pearl. Hiii…” Dio bergidik ngeri.
“Baiklah. Aku akan maju kalau yang lain mendukung. Aku nggak
mau raja dan pasukannya itu menindas siapapun yang ada di SMA Horison. Aduh!” Rue
menutup mulut dengan telapak tangan kanannya.
“Kenapa?” Tanya Dio khawatir.
“Ini sama artinya aku mengibarkan bendera perang dong?” Rue
menatap satu per satu rekannya.
***
Kelas Rue sedang mengikuti pelajaran Biologi di
laboratorium. Rue bersama kelompoknya duduk di bangku urutan nomer dua dari
belakang pada deretan bangku sebelah kiri meja guru.
“Rue!”
Rue terkejut. Ia sedang fokus membaca buku Biologi yang
terbuka di hadapannya ketika ia tiba-tiba mendengar suara seorang perempuan
memanggil namanya. Ia mengamati sekelilingnya. Teman-teman sekelasnya sibuk
dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk dengan alat-alat praktikum, ada
yang mengobrol, ada yang fokus membaca seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Rue menghela napas, lalu seseorang mencolek punggungnya. Rue
pun menoleh ke belakang. Siswi berambut sebahu itu tersenyum padanya.
“Aku nggak ngerti soal ini. Bisa bantu kah?” Tanya Ami.
Siswi berambut lurus sebahu yang mencolek punggung Rue.
Rue menggeser posisi duduknya. Ia menghadap pada Ami dan
membantu teman sekelasnya itu. Menjelaskan bagian dari pelajaran Biologi yang
ditanyakan Ami. Ami pun menyimak dengan seksama. Sesekali ia menganggukkan
kepalanya saat menyimak penjelasan Rue.
“Udah?” Tanya Rue setelah membantu Ami.
“Udah. Makasih ya.” Ami tersenyum manis.
“Sama-sama.” Rue membalas senyum Ami dan kembali merubah
posisi duduknya untuk menghadap ke depan.
Rue belum sepenuhnya menghadap ke depan ketika ia mendengar
suara benda terjatuh dan teriakan siswa memanggil nama Ami. Rue kembali
menghadap belakang. Kedua mata bulatnya terbelalak melihat Ami sudah tergeletak
tak sadarkan diri di atas lantai. Ia pun bangkit dari duduknya dan bergegas
menuju bangku paling belakang untuk menolong Ami.
Tiga siswa sudah siap mengangkat tubuh Ami. Setelah salah
satu dari mereka memberi aba-aba, ketiganya pun berdiri dan membawa Ami keluar
dari laboratorium. Rue mengikuti di belakangnya.
Saat sampai di depan ruang laboratorium, Ami tiba-tiba
membuka mata, hingga salah satu siswa berujar, “Lho! Ami sadar!”
Ketiga siswa itu pun menurunkan Ami dari gendongan mereka.
Rue mengerutkan kening ketika memperhatikan Ami yang berdiri dengan mata
terbuka namun terlihat kosong.
“Teman-teman, dia belum sad—” Belum selesai Rue berbicara,
Ami tiba-tiba menjerit dan kembali tumbang.
Beruntung dua siswa yang berada di dekatnya sigap menangkap
tubuh Ami. Sedang satu siswa yang sebelumnya turut menggendong Ami, tersentak
kaget hingga mundur selangkah karena Ami tiba-tiba menjerit dan kembali
terjatuh.
Rue bergegas mendekati Ami dan membantu dengan mengangkat kedua
kaki Ami. Namun, sial. Karena Ami berontak, Rue pun terkena tendangan dua kaki
Ami hingga terdorong mundur dan jatuh terduduk. Bekas sepatu Ami sampai
membekas pada rok yang dikenakan Rue.
“Kamu nggak papa Rue?” Salah satu siswa yang tadinya hanya
mengintip dari ambang pintu laboratorium membantu Rue berdiri.
“Nggak papa kok. Makasih ya.” Setelah bangkit, Rue segera
menyusul Ami yang sudah dibawa ke ruang UKS.
Tidak ada anggota PMR yang berjaga di UKS saat jam pelajaran
berlangsung. Tapi, pintu depan UKS tidak pernah dikunci. Hingga siapapun yang
sakit bisa langsung masuk dan beristirahat di sana. Hanya pintu menuju ruang
jaga yang dikunci. Beruntung teman sekelas Rue ada yang menjadi anggota PMR
juga. Mereka yang membantu Rue menangani Ami.
Setelah sempat membuka mata dan kemudian menjerit, Ami
kembali tak sadarkan diri. Para anggota PMR segera melakukan pertolongan
pertama dengan melepas kedua sepatu yang dikenakan Ami. Mengendorkan dasi dan
membalurkan minyak kayu putih pada tubuh Ami.
Rue mendekati ranjang. Berhenti di dekat kaki Ami. Tangan
kanannya bergerak dan memegang jempol kaki kiri Ami. Rue merapalkan mantra
dengan tangan kanan masih memegang jempol kaki kiri Ami.
Tiba-tiba Ami membuka mata, kemudian menjerit. Tubuhnya
bergerak hebat. Rekan-rekan Rue segera membantu memegangi tubuh Ami yang terus
menjerit.
“Rue. Tolongin Ami. Aku mohon.” Ujar Nadia. Siswi berhijab
yang turut memegangi Ami. Ia sampai menangis karena kasihan melihat Ami
kesurupan.
Rue tetap fokus merapalkan mantra. Tangan kanannya masih
memegang jempol kaki kiri Ami.
“Hentikan! Kurang ajar! Kau membuatku kesakitan!” Ami memaki
Rue.
“Keluar dari tubuh anak ini! Maka aku nggak akan nyiksa
kamu.” Rue balik mengancam.
“Dia yang lemah. Dia yang bodoh!”
Rue masih memegang jempol kaki kiri Ami, namun berhenti
merapal mantra. “Anak ini nggak salah apa-apa. Kamu yang jahat!”
“Dia bodoh! Lemah! Pikiran gampang kosong. Cakra sudah bolong!
Gampang dirasuki. Hehehe.” Tawa Ami benar-benar mengerikan. “Sakit! Sialan!” Ami
memaki ketika Rue kembali merapalkan mantra.
“Keluar! Atau aku bakar kamu!” Rue mengancam.
“Lawan aku kalau berani! Kita duel!” Suara Ami yang berubah
serak dan mengerikan itu menantang Rue. “Panas! Panas! Edan! Panas!” Ami
kembali meronta-ronta setiap kali Rue merapalkan mantra.
“Aku laporkan kamu pada rajaku!” Makhluk astral dalam tubuh
Ami mengancam Rue.
“Kau diperintahkan rajamu? Untuk mengganggu anak ini?”
“Iya! Untuk menghancurkan tatanan di sekolah ini! Membuat
siapa saja yang ada di sini tunduk pada maha raja!”
Maha raja gundulmu! Rue mengumpat dalam hati.
“Semua ini gara-gara kamu!” Ami menuding Rue.
Seperti dikomando, rekan-rekan Rue kompak menoleh dan
menatap Rue.
“Dengarkan! Maha raja membawa kami kemari untuk menguasai
tempat ini. Kami sudah diberi kebebasan untuk melakukan apa saja di sini.
Tempat ini akan menjadi milik maha raja!”
“Tempat ini milik kami!” Rue menegaskan. “Kalian hanya
pendatang kurang ajar yang berani-beraninya membuat kekacauan. Dengarkan juga!
Kami tidak takut dan tidak akan tinggal diam!”
Rue merapal mantra, Ami menjerit dan tubuhnya kembali
bergerak hebat. Setelah Rue seolah menarik sesuatu dari jempol kaki kiri Ami,
gadis itu pun itu pun jatuh pingsan.
“Ami. Ami.” Nadia menepuk-nepuk pipi Ami.
“Dia udah nggak papa. Ntar kalau sadar, kasih air doa aja.” Rue
menenangkan Nadia.
“Ami emang gampang kesurupan. Dari SMP udah kayak gitu.” Inaya
yang juga berada di ruang UKS menjelaskan kondisi Ami.
Rue memang baru sekelas dengan Ami di kelas XI. “Begitu ya?
Padahal dia tadi habis nanya soal ke aku. Tiba-tiba aja dia pingsan dan ya
gini.”
“Kamu nggak papa Rue? Pasti sakit ditendang sampai jatuh
kayak tadi.” Nadia menanyakan kondisi Rue. Ia sudah berhenti menangis.
“Sakit banget. Secara bukan tenaga manusia.” Rue tersenyum
lesu.
“Tuh masih membekas di rokmu.” Inaya menuding rok yang
dikenakan Rue.
“Kok belakangan ini yang kesurupan isinya pada ngancem ya?
Ada apa sebenernya?” Inaya menatap Rue.
“Aku juga penasaran. Tapi, belum nemu titik terang.” Jawab
Rue.
“Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan.” Nadia
memanjatkan doa.
“Aamiin.” Semua yang berada di ruang UKS mengamini.
***
“Itu artinya, sasaran mereka acak? Siapapun yang lengah dan
lemah bisa jadi sasaran? Termasuk aku?” Byungjae memiringkan kepala. Ia berada
di dalam kantor Dewan Senior bersama Rue, Dio, dan Hanjoo.
“Emang kamu lemah?” Dio meragukan pertanyaan Byungjae.
“Kau kan tahu, kata Rue, aku ini termasuk jenis orang yang
disukai makhluk astral. Karena itu aku gampang ketempelan, bahkan pernah hampir
kesurupan. Tapi, sejak memakai gelang pemberian Rue ini,” Byungjae memutar
gelang prusik berwarna hitam di tangan kirinya, “aku merasa lebih baik.”
“Beneran kamu baik-baik aja Rue? Katanya kamu ditendang Ami
sampai jatuh.” Hanjoo mengkhawatirkan Rue.
“Sakit lah. Tapi, nggak papa kok. Tenaganya kuat banget itu
setan.”
“Nggak papa ya kita ngobrolin mereka di sekolah kayak gini?”
Byungjae dengan hati-hati.
“Bendera perang udah dikibarkan. Lagian dimanapun kita,
kalau mau, mereka bisa menjangkau kita. Karena, mereka tidak terbatas ruang dan
waktu. Iya kan Rue?” Dio meminta persetujuan Rue.
“Kesurupan lagi ya.” Ujar Kevin saat tiba di dalam kantor
Dewan Senior. Ia duduk bergabung bersama Rigel. “Rue, kita jadi maju bersama
mencalonkan diri untuk jadi kandidat ketua, kan?”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Kalau kamu yang menang, aku
akan bantu kamu sekuat tenaga.”
“Aduh. Jadi, malu. Tapi, aku senang Rue memperhatikanku
seperti itu. Aku berharap Rue yang menang lagi.”
“Kekacauan ini, jangan-jangan ulahmu.” Dio langsung
menjatuhkan tuduhan pada Kevin.
“Eh? Aku? Kekacauan apa?” Kevin terkejut karena mendapat
serangan tiba-tiba.
“Kesurupan yang kerap kali terjadi. Kau menyewa dukun untuk
mengirim santet berupa teror kesurupan ya? Agar kepercayaan murid pada Rue
luntur?”
Bukan hanya Kevin yang terkejut mendengar tuduhan Dio. Tapi,
juga Rue, Byungjae, dan Hanjoo. Ketiganya tak menduga Dio akan bertindak
sefrontal itu.
“Dio sayang, walau aku keturunan Inggris, tapi aku nggak
tertarik sama sihir. Terlebih sihir hitam. Andai dikaruniai kemampuan seperti
Rue, yang ingin aku lakukan adalah sama seperti yang Rue lakukan saat ini.
Bukan untuk menindas, tapi untuk mendamaikan. Lagi pula, apa wajahku ini tampang-tampang
hobi main dukun?” Kevin menuding hidungnya sendiri.
“Nurut kamu masuk akal nggak sih? Tuduhanku tadi?” Dio balik
bertanya.
“Emang bisa ya? Baru tahu lho aku!”
“Susah deh ngomong sama No-Maj.”
Dio menyebut Kevin dengan istilah No-Maj.
No-Maj adalah istilah lain dari Muggle dalam film Fantastic Beast yang naskahnya ditulis oleh JK. Rowling, penulis novel Harry
Potter. No-Maj atau Muggle adalah golongan yang tidak
mempunyai kemampuan sihir atau bisa disebut juga sebagai manusia biasa.
Kevin tergelak mendengar Dio menyebutnya No-Maj. “Yeah, I'm Muggle.” Ia pun mengakui
statusnya sebagai manusia biasa. “Tapi, apa bener kesurupan itu teror yang
sengaja dibuat untuk menakut-nakuti kita?” Kevin penasaran.
“Bisa jadi. Tapi, belum pasti. Penyelidikan kami belum
menemukan fakta.”
“Wah. Sepertinya kalian membutuhkan bantuan Kementerian Sihir. Agar mereka mengirim
detektif handal untuk membantu penyelidikan kalian. Segera hubungi saja nomor
62442.” Kevin membalas olokan Dio. Nomor 62442 adalah nomor telepon Kementerian Sihir dalam novel Harry Potter.
“Dasar, Muggle!” Dio
kesal.
Kevin terkekeh. “Maaf. Aku hanya bercanda. Aku nggak tahu
harus gimana, tapi kalau kalian butuh bantuanku, katakan saja. Aku akan bantu
kalian sebisaku.”
“Apa kamu pernah denger tentang teror kayak gini sebelumnya?
Pada angkatan sebelum kita?” Byungjae mengajukan pertanyaan. “Biasanya hal-hal
ganjil sengaja ditutupi. Tapi, pasti ada beberapa saksi hidup, kan?”
“Nggak tahu ya. Tapi, ntar deh coba aku cari infonya.” Kevin
menyanggupi.
Obrolan terhenti ketika anggota Dewan Senior dan MPK
memasuki kantor Dewan Senior. Sore ini mereka berkumpul untuk membahas tentang
pergantian pengurus. Tentang persiapan seleksi anggota baru dan pemilihan calon
ketua baru untuk periode kepemimpinan satu tahun ke depan. Rapat pun dimulai
setelah seluruh anggota Dewan Senior dan MPK lengkap. Nicky yang memimpin
jalannya rapat sore itu.
“Aku dengar tadi kamu ditendang sama siswi yang kesurupan. Sampai
jatuh. Kamu nggak papa?” Nicky menemui Rue setelah rapat selesai.
“Nggak papa kok.” Rue tersenyum manis.
Nicky menatap rok yang dikenakan Rue. Bekas sepatu masih tersisa
samar di sana. “Lain kali, lebih hati-hati ya.”
Rue yang masih tersenyum menganggukkan kepala.
“Selamat ya. Kamu terpilih lagi sebagai calon ketua Dewan
Senior. Aku pasti akan memberikan suaraku padamu.”
“Makasih, Kak.”
“Aku yakin kamu pasti menang lagi.”
“Dengan kondisi yang seperti ini?”
“Fenomena kesurupan itu ya? Memang ada hubungannya
denganmu?”
“Karena aku, Shopie
Mercer si penyihir. Kakak lupa?”
Nicky tergelak mendengar Rue menyebut julukan yang diberikan
Byungjae. “Dia sosok yang kuat, kan? Dengar,” Nicky sedikit membungkukkan badan
demi lebih dekat pada Rue, “dari awal aku yakin kamu sosok yang kuat.
Karenanya, aku nggak pernah raguin kamu. Jadi, berjuanglah Rue! Semangat!”
Rue merasakan panas di wajahnya. Nicky begitu dekat di
depannya. Membuat jantungnya berdetub lebih kencang. Ia pun tersenyum dan
mengangguk.
Saat Nicky kembali menegakkan tubuhnya, Rue melihat sosok
Malaikat Maut berdiri tak jauh di belakang Nicky. Kedua mata bulat Rue melebar.
Senyum di wajahnya pun sirna.
0 comments