Hongjoon dan Yano tinggal di kelas
saat jam istirahat tiba. Esya dan Axton keluar lebih dulu. Keduanya pergi
bersama untuk melihat jadwal pembukaan pendaftaran ekstrakurikuler yang
ditempel di majalah dinding sekolah.
Yano berpindah duduk ke samping
Hongjoon. “Kamu mau ikut ekstra apa?”
“Nggak tau. Mungkin malah nggak ikut
sama sekali. Nggak wajib juga, kan?”
“Iya sih. Tapi, masa nggak ada
ekskul yang menarik buatmu?”
“Kamu sendiri mau ikut ekskul apa?”
Yano tersenyum, tersipu. “PMR.”
Jawabnya lirih.
Kedua mata sipit Hongjoon melebar
mendengarnya. “Esya dan Axton juga mau daftar PMR.”
“Karena itu aku nggak ikut liat pengumuman.
Kan udah ada mereka.”
Hongjoon diam sejenak. “Apa… karena
Rigel?” Ia menebak alasan Yano yang ingin bergabung eksktrakurikuler Palang
Merah Remaja (PMR).
“Lebih tepatnya karena Rue.”
Hongjoon terkejut mendengar
pernyataan Yano. Yano sendiri menyadari perubahan ekspresi Hongjoon.
“Hubungan kami nggak seperti yang
kamu bayangkan kok. Aku suka Rue, tapi bukan suka seperti… yang…” Yano bingung
menjelaskan hubungannya dengan Rue.
“Seperti aku dan Esya?” Hongjoon
menebak.
“Ya. Seperti itu lah. Bukan suka
dalam artian rasa suka antara cowok dan cewek. Kau paham, kan?”
“Jadi, kalian itu saudara?” Hongjoon
melirihkan suaranya.
Yano tersenyum dan mengangguk.
Hongjoon merasa lega. Pertanyaan di
benaknya terjawab sudah. Tadinya Hongjoon turut percaya alibi tentang Rue dan
Yano adalah pasangan atau mantan pasangan. Hongjoon pun menduga Rue dan Yano
pernah menjalin hubungan di masa lalu, kemudian kembali bertemu di SMA Horison.
Karenanya, keduanya terlihat canggung, namun saling memperhatikan dalam diam.
Seperti alibi yang dibahas kebanyakan murid.
“Kami memang sepakat untuk tidak
mengungkap status kami. Hanya Rigel dan sekarang kau yang tahu. Aku harap kau
bisa merahasiakannya.” Yano meminta Hongjoon bungkam.
Hongjoon tersenyum dan menganggukkan
kepala.
“Kau suka Rue ya?” Yano langsung
menebak. Membuat senyum di wajah Hongjoon sirna.
“Bukan begitu.” Hongjoon membantah.
Rasa panas di wajahnya semakin menjadi. “Kak Rue menolongku saat jurit malam.
Axton tak cerita padamu?”
“Itu ya? Cerita kok. Dirahasiakan
ya? Tapi, bisa jadi masalah besar kalau ada Dewan Senior atau MPK yang buka
mulut.”
“Bukan masalah sih. Toh aku selamat
karena Rue. Kalau sampai ada masalah timbul karena tragedi itu, aku tidak akan
tinggal diam. Aku akan membela Kak Rue. Aku hutang budi padanya.”
“Wah!” Yano terkagum melihat
antusiasme Hongjoon.
“Kalian saudara dekat?”
“Lain kali akan aku ceritakan
semuanya. Sepertinya, kau juga punya cerita sendiri tentang Rue.”
“Lain kali akan aku ceritakan
semuanya.”
Hongjoon dan Yano saling menatap,
lalu tertawa bersama.
***
Rue melipat tangan di dada. Ia menyandarkan
punggung pada tembok di belakangnya.
“Sungguh ini bukan main-main. Aku
sendiri ketakutan. Kau harus menang lagi dalam pemilihan periode berikutnya.” Goong
melayang, mondar-mandir di depan Rue.
“Bahkan, kau sendiri sudah
melihatnya, kan? Pasukan setan itu. Kau lihat rajanya?” Goong berhenti tepat di
depan Rue.
“Posisimu itu bukan tak ada
pengaruhnya Rue. Dengan kau menjadi Ketua Dewan Senior, kau adalah presiden
sekolah. Pemimpin para murid. Pemimpin yang punya rakyat. Kedudukanmu sama
dengan raja setan itu!”
“Dia bukan setan!” Rue meralat.
“Raksasa, kan?”
“Iya. Lebih tepatnya, buto.”
“Iya apalah itu. Raksasa mengerikan.
Pasukannya sudah mengepung sekolah ini. Siap menyerang kapanpun. Kau dan
rakyatmu bisa melawannya. Aku yakin itu. Kalian bisa menggelar doa bersama dan
sejenisnya untuk mengusirnya.”
“Masalahnya itu bukan hal yang
mudah. Bagaimana aku bisa membujuk pihak sekolah? Acara syukuran dan doa
bersama rutin dilaksanakan satu tahun sekali. Saat ulang tahun sekolah saja.
Tapi, ada ekstrakurikuler metafisik yang rutin menggelar ritual doa. Bukannya
itu bekerja dengan baik ya?”
“Nah! Kau juga punya mereka. Jika
SMA Horison sebuah negara, sebuah kerajaan, orang-orang berkemampuan itu adalah
para menteri di sekitarmu. Kau bisa mengajak mereka bekerja sama, kan? Masa iya
mereka tidak bisa meraba aura mengerikan itu.
“Yang dikirim untuk mengusik kami
baru bawahannya lho! Termasuk yang merasuki murid laki-laki itu. Kau
mengejarnya, kan? Lalu, melihat raja setan, eh, raksasa dan pasukannya,
kan? Penghuni taman belakang beberapa sudah tunduk dan jadi tawanan. Yang
berhasil kabur berusaha berkomunikasi dengan kalian.
“Sebenarnya, sebelum siswa itu
kesurupan, terjadi perang kecil antara penghuni sekolah yang ingin
berkomunikasi dengan kalian dan pasukan yang sengaja diutus untuk masuk dan
menggangu area di dalam sekolah. Kau tahu siapa yang menang, kan?”
Rue menghela napas. “Tak bisa kah Doryeonim mencari informasi untukku?”
“Kau sudah paham aturannya, Rue.
Yang kuat yang berkuasa. Jika aku bergerak untuk mencari tahu, aku bisa celaka.
Caranya adalah kau lawan dan suruh dia mengaku. Dia ke sini karena bermigrasi
atau karena sengaja dikirim.”
Kening Rue berkerut. “Doryeonim juga memikirkan kemungkinan
itu. Pasti Doryeonim tahu sesuatu.
Iya, kan?”
Goong yang melayang bergerak mundur
dengan pelan. Ia menggelengkan kepala. Ekspresinya menunjukkan sebuah
penyesalan. Ia pun menghilang setelah menembus tembok.
Rue menghela napas. Kepalanya
tertunduk. Setelah mengejar Goong selama berhari-hari, hanya sedikit informasi yang
berhasil ia dapatkan. Sama seperti penghuni sekolah yang lain, Goong memilih
bungkam. Walau sempat bersedia ngobrol sejenak dengan Rue.
Rue terkejut ketika menoleh ke arah
kiri. Makhluk buntung—tidak memiliki tangan dan kaki bagian bawah—itu sudah berada
dekat di bawahnya. Menatapnya dengan ekspresi sendu. Ia adalah salah satu
makhluk astral penghuni sekolah yang menghuni salah satu bilik di toilet kelas
XII.
Entah karena alasan apa makhluk itu
muncul di lorong menuju toilet kelas XII tempat Rue sebelumnya ngobrol bersama
Goong. Rue bergerak pelan, menghindari bersentuhan dengan makhluk buntung yang
bergerak dengan cara ngesot itu.
Makhluk berwarna abu-abu itu menatap
Rue yang bergerak menghindarinya. Kepalanya plontos tanpa rambut. Ia pun tak
mengenakan sehelai pakaian pun. Kedua matanya hitam keseluruhan. Pada wajahnya
yang berbentuk oval itu tak terlihat hidung dan mulut. Awal melihatnya, Rue
sempat mengira makhluk itu adalah alien. Hanya saja kedua mata makhluk itu tak
besar dan lebar seperti gambaran alien pada umumnya.
Rue yang berhasil melarikan diri
dari makhluk buntung itu berjalan cepat dengan kepala tertunduk. Ia berusaha
mengumpulkan kembali informasi yang ia simpan dalam otaknya. Kumpulan informasi
itu sempat buyar karena kemunculan makhluk buntung.
“Hey!”
Rue hampir menabrak sosok yang
tiba-tiba muncul menghadang langkahnya itu. Ia mundur selangkah dan mengangkat
kepala. Nicky sudah berdiri di depannya. Menatapnya dengan senyum yang
terkembang di wajah tampannya.
“Tumben ke toilet kelas XII? Terjadi
sesuatu?” Tanya Nicky.
“Eung, anu. Tidak kok. Hanya
melihat-lihat saja.” Rue sedikit kacau. Usai dikejutkan makhluk mengerikan,
sekarang ia dikejutkan makhluk indah nan tampan bak elf dalam dunia dongeng.
Nicky mengerutkan kening. “Kita
masih berstatus ketua. Jika ada masalah, kau bisa membicarakannya denganku. Apa
pun itu. Jika memang berhubungan dengan sekolah.”
Rue merasa lega mendengarnya. Ia
yakin jika ia berbicara jujur, Nicky akan mempercayainya. “Terima kasih, Kak.
Saya merasa sangat senang karena Kakak memberi ruang untuk apa pun itu.”
Nicky tersenyum. “Aku berusaha
memahami duniamu, Rue. Lagi pula, di sini kita memang hidup berdampingan dengan
mereka yang tak kasat mata, kan? Jadi, jika memang ada masalah dengan mereka,
kau bisa membicarakannya denganku. Walau tidak bisa membantu, mungkin saja aku
bisa memberi usulan solusi atau sejenisnya.”
Pemuda yang tampan dan baik. Hati
Rue merasa hangat mendapatkan perhatian Nicky. “Terima kasih, Kak. Saya pasti
akan menghubungi Kak Nicky jika benar membutuhkan bantuan. Kami sedang
melakukan penyelidikan. Jika semua sudah jelas, mungkin kami benar akan
membutuhkan bantuan Kak Nicky.”
“Penyelidikan? Wah! Pasti seru. Sayang
aku tidak bisa terlibat, ya?”
“Rue!” Terdengar suara Byungjae
memanggil nama Rue.
Rue pun menengok ke balik punggung
Nicky. Dari kejauhan, tampak Byungjae berlari mendekat.
Nicky menggeser posisinya. Ia
berdiri di samping kanan Rue. Turut menunggu Byungjae sampai.
“Di sini kau rupanya. Kami kualahan
di UKS.” Byungjae sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. “Kenapa aku
selalu kebagian tugas nyariin kamu sih. Harus lari sana-sini.” Keluhnya sembari
mengelap keringat di keningnya.
“Kau kan punya ponsel, kenapa tidak
menghubungi Rue lewat ponsel?” Nicky menanggapi keluhan Byungjae.
Byungjae menegakkan badan. Baru
menyadari jika ponsel bisa mempermudah tugasnya untuk mencari Rue. Ia merasa
bodoh, namun enggan mengakuinya.
“Masalahnya, ponsel kadang tak
berfungsi di saat genting. Kami sering mengalaminya.” Byungjae menjawab
pertanyaan Nicky.
“Begitu ya?” Nicky tampak ragu.
“Percaya atau tidak, makhluk astral
juga bisa mengacaukan jaringan ponsel. Kami sering mengalaminya di saat
genting.”
“Oh.” Nicky bergumam dan
menganggukkan kepala.
“Lagian, kalian berdua ngapain di
sini? Berdua-duaan di tempat sepi.” Byungjae menatap Nicky, lalu Rue.
“Kami—”
“Kualahan kenapa?” Rue memotong
ucapan Nicky yang akan memberi penjelasan pada Byungjae.
“Ah iya! Itu tujuanku mencarimu! Ada
siswi kelas XII kesurupan. Nggak ada yang bisa warasin dia.”
Rue tercenung sejenak. Tidak paham
pada maksud Byungjae.
Karena SMA Horison terkenal angker
dan sering ada murid yang kesurupan, setiap angkatan dalam PMR, ada beberapa
anggota yang diajari untuk menyembuhkan orang kesurupan. Begitu juga pada
angkatan Rue. Selain Rue, ada beberapa anggota yang diajari cara untuk
menyembuhkan orang kesurupan.
“Ayo!” Byungjae menarik tangan kanan
Rue dan menyeretnya pergi.
Penasaran, Nicky pun mengikuti
langkah Rue menuju ruang UKS.
***
Saat sampai di UKS, suasana di depan
UKS cukup ramai. Jam pelajaran sekolah memang telah berakhir. Tapi, masih ada
beberapa murid yang tinggal di sekolah. Byungjae, Rue, dan Nicky menembus
kerumunan murid yang mengintip ke dalam ruang UKS. Ketiganya masuk ke dalam
ruang UKS.
Ranjang paling tengah dikerubuti
beberapa murid. Siswi yang kesurupan berada di sana. Sedang duduk dikerumuni
beberapa anggota PMR, juga murid kelas XII. Hanjoo dan Dio berada di pintu yang
menghubungkan ruang rawat dengan ruang jaga. Tak turut mengerumuni siswi kelas
XII yang kesurupan.
“Kesurupan?” Nicky menghampiri siswa
kelas XII yang turut mengerumuni ranjang. “Gimana ceritanya? Dia anggota ekskul
metafisik, kan?”
Rue yang berdiri di belakang Nicky
menyimak.
“Iya. Tadi jam terakhir kelas kami
kosong. Dia udah biasa main-main kayak gini. Masukin makhluk astral ke tubuh
dia buat ditanya-tanya. Nggak tahu kenapa ini tadi dia malah nggak bisa
sembuhin dirinya kayak biasanya. Sampai kami panggil rekannya di ekskul. Tetep
nggak bisa sembuhin. Satu keluar, satu lagi masuk. Terus kayak gitu. Anak PMR
juga nggak bisa bantu.”
Rue mengerutkan kening.
Memperhatikan siswi kelas XII yang sedang kesurupan. Ia tak bisa melihat wajah
gadis itu karena tertutup rambut panjangnya yang terurai.
“Trus, gimana sekarang?” Nicky
kembali bertanya pada teman seangkatannya.
“Nungguin pembina eskul metafisik.
Gurunya dia.”
“Oh.” Nicky membalikan badan demi
menatap Rue. Tapi, gadis itu menghindar. Berpindah mendekati rekan-rekannya
yang tergabung dalam Rigel yang berkumpul di pintu yang menghubungkan ruang
rawat dan ruang jaga.
Nicky penasaran pada apa yang sedang
di obrolkan Rigel. Tapi, ia menahan diri. Ia tak mendekati Rigel dan memilih
keluar dari UKS.
0 comments