Hongjoon duduk di teras samping
rumahnya bersama sang nenek. Ia menceritakan tentang hari-hari di sekolahnya.
Satu bulan berjalan, banyak hal unik yang terjadi. Seperti hari ini, ketika
teman sekelasnya, Yano, jatuh pingsan dan kesurupan.
“Rue itu gadis yang menolongmu saat
jurit malam?” Tanya Nenek Hongjoon.
“Mm.” Hongjoon menganggukkan kepala.
“Wah. Dia gadis istimewa ya. Bagaimana
perkembanganmu dengannya?”
“Eh?” Hongjoon terkejut, lalu
wajahnya bersemu merah.
“Kau yakin dia orangnya?”
Hongjoon menganggukkan kepala tanpa
ragu.
“Kau sudah mengatakannya pada Esya?”
“Esya? Eum, belum.”
“Kenapa? Nenek rasa dia bisa
membantumu.”
“Masalahnya… Nenek tahu tentang Rigel
yang sering diceritakan Esya?”
“Kelompok pemburu hantu itu?”
“Ya, seperti itu lah.”
“Mereka ada di sekolah kalian kan?”
“Iya. Rue adalah salah satu
anggotanya.”
“Oh.” Nenek Hongjoon diam sejenak. “Tapi,
bukankah itu bagus? Esya penggemarnya, jadi jalan untukmu semakin mudah.”
“Iya, seharusnya. Axton pun
penggemar Rigel. Tapi, masalahnya, sebelumnya aku sering mengolok kegemaran
Esya pada Rigel. Rasanya aneh kan kalau tiba-tiba aku mengaku tentang Rue dan
memintanya membantuku.”
Nenek Hongjoon tergelak mendengar
pengakuan cucu kesayangannya. “Kalau begitu jangan lakukan di sekolah atau di
depan Esya.”
“Eh? Itu… bagaimana?”
Nenek Hongjoon menghela napas. “Kita
sudah kembali ke kota ini. Tidak akan sulit untuk mencari alamat seorang… siapa
namanya?”
“Ruta Way.”
“Ya. Ruta Way. Serahkan saja pada
nenek. Tapi, janji dulu. Setelah nenek menemukan alamatnya, kau akan
bertindak.”
Hongjoon diam dan berpikir. “Tapi,
apa mungkin dia masih ingat pada peristiwa hampir lima tahun yang lalu itu?”
“Bisa iya, bisa tidak. Karena itu,
kau harus bertindak dan mengingatkannya. Jika tidak begitu, akan sia-sia. Harus
ada yang memulai.”
Hongjoon kembali diam.
“Apa kau sudah pernah memberitahu
nenek tentang foto gadis itu?”
“Ah! Sebentar.” Hongjoon segera
sibuk dengan ponselnya. Lalu, menunjukkan foto Rigel yang pernah dibagi Esya.
Ia menunjuk Rue.
“Gadis sederhana. Bagaimanapun, aku
berhutang budi padanya. Ingin sekali bertemu dengannya langsung. Andai kalian,
kau dan Esya bisa berteman baik dengannya. Pasti akan dengan mudah
mengundangnya kemari.”
“Maafkan cucumu yang tak pandai
bergaul ini, Nek.”
Nenek Hongjoon tersenyum dan mengelus
puncak kepala Hongjoon. “Kau hanya butuh sedikit keberanian. Padahal kau
memiliki kesempatan. Tenang saja. Setelah ini, bertindaklah. Diam-diam. Kau
paham, kan? Di sekolah akan terlalu beresiko.”
Hongjoon tersenyum dan mengangguk.
***
“Apa?!” Pekik Dio usai mendengar
penjelasan Rue.
“Pap-pasukan setan?” Byungjae
menyambung.
Rue menganggukkan kepala.
“Jadi, itu yang membuatmu tercengang
ketika kita di taman belakang sekolah?” Hanjoo akhirnya paham penyebab ekspresi
takut Rue.
Rue kembali menganggukkan kepala.
“Ancaman itu bukan main-main.”
Byungjae bergumam.
“Goong, apa dia tidak memberi
informasi?” Dio pun tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Dari awal dia sudah memberi kode.
Tapi, aku belum bisa memahaminya. Setelah peristiwa tadi,” Rue menelan ludah,
“sepertinya aku mulai paham.”
“Paham bagaimana?” Buru Dio.
“Bahwa teror itu memang ada dan
sudah dimulai.”
“Sebelumnya tidak pernah terjadi,
kan?”
“Sepertinya tidak. Atau pernah, tapi
sengaja ditutupi?”
“Ayo lah Rue! Itu tidak mungkin.” Hanjoo
mementahkan pendapat Rue.
“Aku setuju dengan Hanjoo. Jika
pernah terjadi teror, misal pada angkatan tertentu. Pihak sekolah pasti akan
memberi peringatan.” Byungjae setuju dengan Hanjoo.
“Tapi, ini masalah yang tidak bisa
dijangkau logika. Kau paham? Bisa jadi pihak sekolah sengaja menutup mata.” Dio
menentang pendapat Byungjae.
“Benar juga.” Byungjae pun
membenarkan pendapat Dio. “Lalu, kita harus bagaimana? Kenapa momennya pas
dengan akan diadakannya pergantian pengurus Dewan Senior.”
Rue, Dio, dan Hanjoo kompak menatap
Byungjae. Membuat Byungjae salah tingkah. “Ken-kenapa?” Byungjae merasa risih.
“Rue! Apa ini bukan kebetulan?” Dio
mengutarakan isi kepalanya.
“Bukan kebetulan gimana?” Tanya
Byungjae.
“Sesuatu yang sengaja direncanakan.
Teror itu, sengaja diciptakan.”
“Emang bisa?”
“Bisa. Itu sejenis sihir. Iya, kan
Rue?” Jawab Hanjoo.
“Sihir? Mendatangkan pasukan setan
ke sekolah? Bisa ya?” Byungjae menatap Hanjoo, lalu Rue.
“Mudah saja bagi orang yang berkemampuan
tinggi. Tapi, untuk apa?” Rue kembali bersuara. “Meneror sekolah. Terutama
murid-murid. Dan, kenapa Yano?”
“Hey! Sudah kubilang itu hanya
kebetulan!” Nada bicara Hanjoo sedikit berubah. Terdengar kesal.
“Benar yang dikatakan Hanjoo, Yano
kesurupan bukan salahmu. Itu hanya kebetulan. Berhenti menyalahkan dirimu
sendiri.” Byungjae mendukung Hanjoo.
“Lagi pula, bukan kamu yang nyuruh
dia masuk sekolah kita, kan? Dan, nggak mungkin dia nggak tahu reputasi sekolah
kita saat menentukan pilihan. Walau banyak cerita seram yang beredar seputar
sekolah kita, tapi SMA Horison yang terbaik.” Dio pun turut membesarkan hati
Rue.
Rue menghela napas dan tersenyum.
“Makasih ya.”
“Yang harus kita persiapkan adalah
untuk penyelidikan esok. Kau coba korek informasi dari Goong. Aku akan mencari
informasi nyatanya.” Byungjae membagi tugas.
“Aku juga akan bekerja semampuku.” Dio
menyanggupi.
“Aku akan mendampingi Rue.” Hanjoo
pun tak mau ketinggalan.
Nath melakukan panggilan video lima
belas menit setelah Byungjae, Dio, dan Hanjoo meninggalkan kediaman Rue. Ia
ingin memastikan bahwa Rue baik-baik saja usai menolong Yano yang kesurupan di
sekolah.
“Syukurlah jika kau baik-baik saja.
Tadinya aku ingin menemuimu di sekolah. Tapi, itu terlalu mencolok. Aku takut
Pearl mengendus jejak kita dan menemukan fakta tentangmu dan Yano.” Nath
tersenyum.
“Perlu kau tahu, tindakanmu menyapa
Yano di hari pertama jam aktif sekolah dimulai cukup mencuri perhatian lho!
Banyak yang penasaran tentang itu. Untung saja tragedi jurit malam masih bisa
disembunyikan ya. Itu bisa jadi masalah juga kan?” Nath menambahkan.
“Ngomong-ngomong, tadi kenapa kamu
tiba-tiba pergi? Sampai-sampai Hanjoo mengejarmu. Sikapmu nggak biasa banget
Rue.”
“Aku ngejar makhluk yang merasuki
tubuh Yano. Sampai ke taman belakang sekolah.” Jawab Rue. Ia tak sepenuhnya berkonsentrasi
pada obrolan dengan Nath. Tepatnya sejak Nath menyebutkan tragedi jurit malam.
Tragedi hilangnya siswa bernama Jin Hongjoon.
Hongjoon dan Yano sama-sama murid
kelas X-8. Kebetulan keduanya pun jadi berhubungan dengannya. Rue merasa semua
itu bukan hanya sekedar kebetulan. Tapi, benar memiliki hubungan.
“Rue? Kamu baik aja? Kenapa kamu
melamun?” Nath menyadari jika Rue tak sepenuhnya memperhatikannya.
“Ah ya. Maaf. Aku hanya memikirkan
kata-katamu.” Rue tersenyum kikuk.
“Yang mana?”
“Hongjoon dan Yano. Sama-sama kelas
X-8 dan terhubung padaku. Lalu, tentang Malaikat Maut yang terlihat di kelas
X-8 saat MPLS. Lalu, pemandangan mengerikan di taman belakang sekolah tadi.”
“Rue?”
“Nath!” Rue fokus menatap layar
ponselnya. “Aku rasa ini bukan sekedar kebetulan.”
“Apa?”
“Mereka, kami berhubungan.”
“Rue! Tolong jelaskan! Aku nggak
paham.”
“Aku belum bisa memastikan.”
Nath menghela napas. “Istirahatlah.
Itu yang kau butuhkan. Apa perlu aku ke sana dan menemanimu?”
“Tidak. Terima kasih.”
“Kalau begitu, istirahatkan tubuh
dan pikiranmu. Jika butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku ya. Bye, Rue.” Nath mengakhiri panggilan
videonya.
Rue duduk termenung di sofa.
Menyambungkan kebetulan antara Hongjoon dan Yano. Semakin ia memikirkan hal
itu, semakin banyak kemungkinan buruk yang muncul dalam otaknya. Rue
menggelengkan kepala. Bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia
menyalakan kompor dan memasak air. Ia butuh secangkir coklat hangat untuk
meredam kekacauan dalam benaknya.
***
Seperti yang sudah direncanakan,
Byungjae dan Dio pun mulai bergerak mencari informasi. Rue yang ditemani Hanjoo
pun mulai mencari informasi pada makhluk tak kasat mata penghuni SMA Horison.
Mereka melakukannya saat jam istirahat.
Hari pertama penyelidikan, mereka
tak mendapatkan informasi apa-apa. Rue mendapat banyak penolakan dari makhluk
tak kasat mata yang ia ajak berkomunikasi. Sedang Byungjae dan Dio hanya
mendapatkan gosip-gosip tak berguna seputar murid-murid.
Rigel tak menyerah. Mereka terus
berusaha menggali informasi untuk menemukan titik terang tentang ancaman teror
yang disampaikan makhluk astral yang merasuki tubuh Yano. Rue meminta Hanjoo
mencari informasi tertulis di perpustakaan. Sedang ia berjalan sendiri untuk
mencari informasi dari makhluk-makhkuk tak kasat mata.
Bosan mengikuti pelajaran di dalam
kelas, Rue meminta izin untuk pergi ke toilet. Ia berharap bisa mendapat
informasi dari hantu toilet di jam pelajaran itu.
Tiap angkatan memiliki toilet
sendiri. Kelas X, XI, XII punya toilet masing-masing. Yang terkenal paling
angker adalah toilet kelas X. Lokasinya tepat di bawah rerimbunan pohon bambu
yang tumbuh lebat di balik tembok pagar sekolah. Beberapa lampu di dalam bilik
toilet pun mati, hingga membuat bilik-bilik itu gelap gulita. Walau airnya
mengalir lancar, murid kelas X banyak yang enggan menggunakan toilet khusus
untuk mereka.
Tapi, bukan toilet kelas X tujuan
Rue sekarang. Ia pergi ke toilet kelas XI. Toilet kelas XI letaknya paling
strategis. Di tepi jalan utama menuju lapangan basket. Tidak ada pepohonan yang
menaungi bangunan toilet itu hingga membuatnya terkesan terang. Karena alasan
itu, toilet kelas XI paling sering digunakan oleh seluruh murid SMA Horison.
Walau kelas XII punya toilet
sendiri, letaknya sama dengan toilet kelas X; di bawah rerimbunan pohon bambu.
Walau lebih terang dari toilet kelas X, murid-murid kelas XII lebih nyaman
menggunakan toilet kelas XI. Karena alasan itu lah toilet kelas XI selalu ramai
dikunjungi murid. Begitu juga ketika Rue sampai di sana. Semua pintu toilet tertutup
rapat. Sebagai tanda ada penghuni di dalamnya. Rue menghela napas dan menunggu.
Salah satu pintu terbuka, Hongjoon
keluar dari dalam bilik toilet yang pintunya terbuka. Ia terkejut melihat Rue
berdiri di luar sambil memainkan ponsel. Di SMA Horison, toilet memang tidak
dibedakan. Siswa dan siswi menggunakan toilet yang sama.
Rue mengalihkan pandangan dari
ponselnya. Ia menatap Hongjoon yang berdiri di ambang pintu salah satu bilik
toilet. Pemuda itu tersenyum kikuk padanya. “Jin Hongjoon ya?” Rue menyapa.
Dada Hongjoon dipenuhi bunga-bunga
bermekaran. Ia senang Rue masih mengingatnya. Dengan wajah bersemu merah, ia
tersenyum dan mengangguk.
Rue membalas senyum.
“Mau pakek toilet ya Kak?” Hongjoon
mengumpulkan nyali untuk mengajak Rue ngobrol.
“Nggak kok.”
Kenapa dia ke toilet kalau nggak mau pakek toilet? Gumam Hongjoon dalam hati.
Pintu bilik toilet di samping kanan
Hongjoon terbuka. Yano keluar dari sana. “Udah selesai? Eh!” Yano kaget melihat
Rue ada di toilet kelas XI.
Rue pun sama. Ia terkejut melihat
Yano dan Hongjoon ada di toilet kelas XI. Di saat ia ingin pergi ke toilet dan
menuruti keinginan itu, Rue malah menemukan Hongjoon dan Yano di sana.
Pintu bilik toilet paling ujung
sebelah selatan terbuka. Pearl keluar dari dalam bilik. Ia kaget melihat Rue
berdiri tak jauh di depannya. Saat menoleh ke samping kanan, ia menemukan
Hongjoon dan Yano.
Pearl mengerutkan kening. Ia bisa
merasakan rasa tak nyaman, rasa canggung yang ia tak tahu apa sebabnya. Ia
kembali menatap Rue. Gadis itu kembali sibuk dengan ponselnya. Pearl
memiringkan kepala, lalu pergi tanpa mengucap sepatah katapun.
Rue menghela napas. Merasa lega
ketika melihat Pearl memilih pergi begitu saja. Ia tak menduga jika salah satu
murid di dalam bilik itu adalah Pearl.
Pintu bilik toilet paling ujung
sebelah utara terbuka. Kevin keluar dari dalam bilik itu. “Eh? Rue? Ngapain
kamu di sini?” Ia menyapa Rue. Lalu, menatap Yano dan Hongjoon yang masih
berdiri di depan pintu bilik toilet yang selesai mereka gunakan.
“Lho! Kamu Jin Hongjoon, kan?” Kevin
mengenali Hongjoon.
“Iya, Kak.” Hongjoon tersenyum, lalu
membetulkan letak kacamata bulat yang bertengger di hidungnya.
“Kami permisi dulu, Kak.” Yano pamit
dan mengajak Hongjoon pergi.
“Yano.” Rue bersuara. Membuat Yano
menghentikan langkahnya. “Kau baik-baik saja?” Tanyanya kemudian.
Kevin memiringkan kepala, mengamati
Yano. “Oh! Dia siswa yang kesurupan itu ya?” Akhirnya ia menyadari siapa Yano
dan kenapa Rue menahan langkah pemuda itu.
“Iya. Berkat Kak Rue. Terima kasih.”
Jawab Yano.
“Di sekolah ini, jangan keseringan
bengong atau melamun ya. Tahun ajaran baru memang identik dengan kesurupan.
Katanya, itu sebagai tanda perkenalan. Aneh, kan?” Kevin mengingatkan Yano dan
Hongjoon untuk selalu waspada.
“Iya, Kak.” Jawab Yano dan Hongjoon
hampir bersamaan.
“Walau kita punya Rue, kita tidak
boleh bergantung padanya sepenuhnya. Kita harus saling membantu. Menjaga
keharmonisan kehidupan di sekolah ini.”
“Iya, Kak.” Kali ini Yano dan
Hongjoon menjawab dengan kompak. Keduanya kemudian pamit. Sebelum pergi, Yano
menatap Rue.
Kevin berjalan mendekati Rue.
“Ngapain kamu di sini?”
“Mau pakek toilet lah. Ngapain
lagi?”
“Mau aku tunggu?”
“Dih!” Rue mencibir lalu berjalan
menuju bilik yang sebelumnya digunakan Pearl. Ia masuk ke dalamnya dan menutup
pintu.
Kevin tersenyum pada pintu bilik
yang sudah tertutup. Ia tak beranjak. Sengaja menunggu Rue.
0 comments