AWAKE "Rigel Story" - Bab XII

04:30

AWAKE - Rigel Story

 


 



Bab XII

 


Hongjoon duduk di teras samping rumahnya bersama sang nenek. Ia menceritakan tentang hari-hari di sekolahnya. Satu bulan berjalan, banyak hal unik yang terjadi. Seperti hari ini, ketika teman sekelasnya, Yano, jatuh pingsan dan kesurupan.

“Rue itu gadis yang menolongmu saat jurit malam?” Tanya Nenek Hongjoon.
“Mm.” Hongjoon menganggukkan kepala.
“Wah. Dia gadis istimewa ya. Bagaimana perkembanganmu dengannya?”
“Eh?” Hongjoon terkejut, lalu wajahnya bersemu merah.
“Kau yakin dia orangnya?”
Hongjoon menganggukkan kepala tanpa ragu.
“Kau sudah mengatakannya pada Esya?”
“Esya? Eum, belum.”
“Kenapa? Nenek rasa dia bisa membantumu.”
“Masalahnya… Nenek tahu tentang Rigel yang sering diceritakan Esya?”
“Kelompok pemburu hantu itu?”
“Ya, seperti itu lah.”
“Mereka ada di sekolah kalian kan?”
“Iya. Rue adalah salah satu anggotanya.”
“Oh.” Nenek Hongjoon diam sejenak. “Tapi, bukankah itu bagus? Esya penggemarnya, jadi jalan untukmu semakin mudah.”
“Iya, seharusnya. Axton pun penggemar Rigel. Tapi, masalahnya, sebelumnya aku sering mengolok kegemaran Esya pada Rigel. Rasanya aneh kan kalau tiba-tiba aku mengaku tentang Rue dan memintanya membantuku.”
Nenek Hongjoon tergelak mendengar pengakuan cucu kesayangannya. “Kalau begitu jangan lakukan di sekolah atau di depan Esya.”
“Eh? Itu… bagaimana?”
Nenek Hongjoon menghela napas. “Kita sudah kembali ke kota ini. Tidak akan sulit untuk mencari alamat seorang… siapa namanya?”
“Ruta Way.”
“Ya. Ruta Way. Serahkan saja pada nenek. Tapi, janji dulu. Setelah nenek menemukan alamatnya, kau akan bertindak.”
Hongjoon diam dan berpikir. “Tapi, apa mungkin dia masih ingat pada peristiwa hampir lima tahun yang lalu itu?”
“Bisa iya, bisa tidak. Karena itu, kau harus bertindak dan mengingatkannya. Jika tidak begitu, akan sia-sia. Harus ada yang memulai.”
Hongjoon kembali diam.
“Apa kau sudah pernah memberitahu nenek tentang foto gadis itu?”
“Ah! Sebentar.” Hongjoon segera sibuk dengan ponselnya. Lalu, menunjukkan foto Rigel yang pernah dibagi Esya. Ia menunjuk Rue.
“Gadis sederhana. Bagaimanapun, aku berhutang budi padanya. Ingin sekali bertemu dengannya langsung. Andai kalian, kau dan Esya bisa berteman baik dengannya. Pasti akan dengan mudah mengundangnya kemari.”
“Maafkan cucumu yang tak pandai bergaul ini, Nek.”
Nenek Hongjoon tersenyum dan mengelus puncak kepala Hongjoon. “Kau hanya butuh sedikit keberanian. Padahal kau memiliki kesempatan. Tenang saja. Setelah ini, bertindaklah. Diam-diam. Kau paham, kan? Di sekolah akan terlalu beresiko.”
Hongjoon tersenyum dan mengangguk.
***


“Apa?!” Pekik Dio usai mendengar penjelasan Rue.
“Pap-pasukan setan?” Byungjae menyambung.
Rue menganggukkan kepala.
“Jadi, itu yang membuatmu tercengang ketika kita di taman belakang sekolah?” Hanjoo akhirnya paham penyebab ekspresi takut Rue.
Rue kembali menganggukkan kepala.
“Ancaman itu bukan main-main.” Byungjae bergumam.
“Goong, apa dia tidak memberi informasi?” Dio pun tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Dari awal dia sudah memberi kode. Tapi, aku belum bisa memahaminya. Setelah peristiwa tadi,” Rue menelan ludah, “sepertinya aku mulai paham.”
“Paham bagaimana?” Buru Dio.
“Bahwa teror itu memang ada dan sudah dimulai.”
“Sebelumnya tidak pernah terjadi, kan?”
“Sepertinya tidak. Atau pernah, tapi sengaja ditutupi?”
“Ayo lah Rue! Itu tidak mungkin.” Hanjoo mementahkan pendapat Rue.
“Aku setuju dengan Hanjoo. Jika pernah terjadi teror, misal pada angkatan tertentu. Pihak sekolah pasti akan memberi peringatan.” Byungjae setuju dengan Hanjoo.
“Tapi, ini masalah yang tidak bisa dijangkau logika. Kau paham? Bisa jadi pihak sekolah sengaja menutup mata.” Dio menentang pendapat Byungjae.
“Benar juga.” Byungjae pun membenarkan pendapat Dio. “Lalu, kita harus bagaimana? Kenapa momennya pas dengan akan diadakannya pergantian pengurus Dewan Senior.”
Rue, Dio, dan Hanjoo kompak menatap Byungjae. Membuat Byungjae salah tingkah. “Ken-kenapa?” Byungjae merasa risih.
“Rue! Apa ini bukan kebetulan?” Dio mengutarakan isi kepalanya.
“Bukan kebetulan gimana?” Tanya Byungjae.
“Sesuatu yang sengaja direncanakan. Teror itu, sengaja diciptakan.”
“Emang bisa?”
“Bisa. Itu sejenis sihir. Iya, kan Rue?” Jawab Hanjoo.
“Sihir? Mendatangkan pasukan setan ke sekolah? Bisa ya?” Byungjae menatap Hanjoo, lalu Rue.
“Mudah saja bagi orang yang berkemampuan tinggi. Tapi, untuk apa?” Rue kembali bersuara. “Meneror sekolah. Terutama murid-murid. Dan, kenapa Yano?”
“Hey! Sudah kubilang itu hanya kebetulan!” Nada bicara Hanjoo sedikit berubah. Terdengar kesal.
“Benar yang dikatakan Hanjoo, Yano kesurupan bukan salahmu. Itu hanya kebetulan. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Byungjae mendukung Hanjoo.
“Lagi pula, bukan kamu yang nyuruh dia masuk sekolah kita, kan? Dan, nggak mungkin dia nggak tahu reputasi sekolah kita saat menentukan pilihan. Walau banyak cerita seram yang beredar seputar sekolah kita, tapi SMA Horison yang terbaik.” Dio pun turut membesarkan hati Rue.
Rue menghela napas dan tersenyum. “Makasih ya.”
“Yang harus kita persiapkan adalah untuk penyelidikan esok. Kau coba korek informasi dari Goong. Aku akan mencari informasi nyatanya.” Byungjae membagi tugas.
“Aku juga akan bekerja semampuku.” Dio menyanggupi.
“Aku akan mendampingi Rue.” Hanjoo pun tak mau ketinggalan.

Nath melakukan panggilan video lima belas menit setelah Byungjae, Dio, dan Hanjoo meninggalkan kediaman Rue. Ia ingin memastikan bahwa Rue baik-baik saja usai menolong Yano yang kesurupan di sekolah.
“Syukurlah jika kau baik-baik saja. Tadinya aku ingin menemuimu di sekolah. Tapi, itu terlalu mencolok. Aku takut Pearl mengendus jejak kita dan menemukan fakta tentangmu dan Yano.” Nath tersenyum.
“Perlu kau tahu, tindakanmu menyapa Yano di hari pertama jam aktif sekolah dimulai cukup mencuri perhatian lho! Banyak yang penasaran tentang itu. Untung saja tragedi jurit malam masih bisa disembunyikan ya. Itu bisa jadi masalah juga kan?” Nath menambahkan.
“Ngomong-ngomong, tadi kenapa kamu tiba-tiba pergi? Sampai-sampai Hanjoo mengejarmu. Sikapmu nggak biasa banget Rue.”
“Aku ngejar makhluk yang merasuki tubuh Yano. Sampai ke taman belakang sekolah.” Jawab Rue. Ia tak sepenuhnya berkonsentrasi pada obrolan dengan Nath. Tepatnya sejak Nath menyebutkan tragedi jurit malam. Tragedi hilangnya siswa bernama Jin Hongjoon.
Hongjoon dan Yano sama-sama murid kelas X-8. Kebetulan keduanya pun jadi berhubungan dengannya. Rue merasa semua itu bukan hanya sekedar kebetulan. Tapi, benar memiliki hubungan.
“Rue? Kamu baik aja? Kenapa kamu melamun?” Nath menyadari jika Rue tak sepenuhnya memperhatikannya.
“Ah ya. Maaf. Aku hanya memikirkan kata-katamu.” Rue tersenyum kikuk.
“Yang mana?”
“Hongjoon dan Yano. Sama-sama kelas X-8 dan terhubung padaku. Lalu, tentang Malaikat Maut yang terlihat di kelas X-8 saat MPLS. Lalu, pemandangan mengerikan di taman belakang sekolah tadi.”
“Rue?”
“Nath!” Rue fokus menatap layar ponselnya. “Aku rasa ini bukan sekedar kebetulan.”
“Apa?”
“Mereka, kami berhubungan.”
“Rue! Tolong jelaskan! Aku nggak paham.”
“Aku belum bisa memastikan.”
Nath menghela napas. “Istirahatlah. Itu yang kau butuhkan. Apa perlu aku ke sana dan menemanimu?”
“Tidak. Terima kasih.”
“Kalau begitu, istirahatkan tubuh dan pikiranmu. Jika butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku ya. Bye, Rue.” Nath mengakhiri panggilan videonya.

Rue duduk termenung di sofa. Menyambungkan kebetulan antara Hongjoon dan Yano. Semakin ia memikirkan hal itu, semakin banyak kemungkinan buruk yang muncul dalam otaknya. Rue menggelengkan kepala. Bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia menyalakan kompor dan memasak air. Ia butuh secangkir coklat hangat untuk meredam kekacauan dalam benaknya.
***


Seperti yang sudah direncanakan, Byungjae dan Dio pun mulai bergerak mencari informasi. Rue yang ditemani Hanjoo pun mulai mencari informasi pada makhluk tak kasat mata penghuni SMA Horison. Mereka melakukannya saat jam istirahat.

Hari pertama penyelidikan, mereka tak mendapatkan informasi apa-apa. Rue mendapat banyak penolakan dari makhluk tak kasat mata yang ia ajak berkomunikasi. Sedang Byungjae dan Dio hanya mendapatkan gosip-gosip tak berguna seputar murid-murid.

Rigel tak menyerah. Mereka terus berusaha menggali informasi untuk menemukan titik terang tentang ancaman teror yang disampaikan makhluk astral yang merasuki tubuh Yano. Rue meminta Hanjoo mencari informasi tertulis di perpustakaan. Sedang ia berjalan sendiri untuk mencari informasi dari makhluk-makhkuk tak kasat mata.

Bosan mengikuti pelajaran di dalam kelas, Rue meminta izin untuk pergi ke toilet. Ia berharap bisa mendapat informasi dari hantu toilet di jam pelajaran itu.

Tiap angkatan memiliki toilet sendiri. Kelas X, XI, XII punya toilet masing-masing. Yang terkenal paling angker adalah toilet kelas X. Lokasinya tepat di bawah rerimbunan pohon bambu yang tumbuh lebat di balik tembok pagar sekolah. Beberapa lampu di dalam bilik toilet pun mati, hingga membuat bilik-bilik itu gelap gulita. Walau airnya mengalir lancar, murid kelas X banyak yang enggan menggunakan toilet khusus untuk mereka.

Tapi, bukan toilet kelas X tujuan Rue sekarang. Ia pergi ke toilet kelas XI. Toilet kelas XI letaknya paling strategis. Di tepi jalan utama menuju lapangan basket. Tidak ada pepohonan yang menaungi bangunan toilet itu hingga membuatnya terkesan terang. Karena alasan itu, toilet kelas XI paling sering digunakan oleh seluruh murid SMA Horison.

Walau kelas XII punya toilet sendiri, letaknya sama dengan toilet kelas X; di bawah rerimbunan pohon bambu. Walau lebih terang dari toilet kelas X, murid-murid kelas XII lebih nyaman menggunakan toilet kelas XI. Karena alasan itu lah toilet kelas XI selalu ramai dikunjungi murid. Begitu juga ketika Rue sampai di sana. Semua pintu toilet tertutup rapat. Sebagai tanda ada penghuni di dalamnya. Rue menghela napas dan menunggu.

Salah satu pintu terbuka, Hongjoon keluar dari dalam bilik toilet yang pintunya terbuka. Ia terkejut melihat Rue berdiri di luar sambil memainkan ponsel. Di SMA Horison, toilet memang tidak dibedakan. Siswa dan siswi menggunakan toilet yang sama.

Rue mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia menatap Hongjoon yang berdiri di ambang pintu salah satu bilik toilet. Pemuda itu tersenyum kikuk padanya. “Jin Hongjoon ya?” Rue menyapa.

Dada Hongjoon dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Ia senang Rue masih mengingatnya. Dengan wajah bersemu merah, ia tersenyum dan mengangguk.

Rue membalas senyum.

“Mau pakek toilet ya Kak?” Hongjoon mengumpulkan nyali untuk mengajak Rue ngobrol.
“Nggak kok.”
Kenapa dia ke toilet kalau nggak mau pakek toilet? Gumam Hongjoon dalam hati.
Pintu bilik toilet di samping kanan Hongjoon terbuka. Yano keluar dari sana. “Udah selesai? Eh!” Yano kaget melihat Rue ada di toilet kelas XI.

Rue pun sama. Ia terkejut melihat Yano dan Hongjoon ada di toilet kelas XI. Di saat ia ingin pergi ke toilet dan menuruti keinginan itu, Rue malah menemukan Hongjoon dan Yano di sana.

Pintu bilik toilet paling ujung sebelah selatan terbuka. Pearl keluar dari dalam bilik. Ia kaget melihat Rue berdiri tak jauh di depannya. Saat menoleh ke samping kanan, ia menemukan Hongjoon dan Yano.

Pearl mengerutkan kening. Ia bisa merasakan rasa tak nyaman, rasa canggung yang ia tak tahu apa sebabnya. Ia kembali menatap Rue. Gadis itu kembali sibuk dengan ponselnya. Pearl memiringkan kepala, lalu pergi tanpa mengucap sepatah katapun.

Rue menghela napas. Merasa lega ketika melihat Pearl memilih pergi begitu saja. Ia tak menduga jika salah satu murid di dalam bilik itu adalah Pearl.

Pintu bilik toilet paling ujung sebelah utara terbuka. Kevin keluar dari dalam bilik itu. “Eh? Rue? Ngapain kamu di sini?” Ia menyapa Rue. Lalu, menatap Yano dan Hongjoon yang masih berdiri di depan pintu bilik toilet yang selesai mereka gunakan.
“Lho! Kamu Jin Hongjoon, kan?” Kevin mengenali Hongjoon.
“Iya, Kak.” Hongjoon tersenyum, lalu membetulkan letak kacamata bulat yang bertengger di hidungnya.
“Kami permisi dulu, Kak.” Yano pamit dan mengajak Hongjoon pergi.
“Yano.” Rue bersuara. Membuat Yano menghentikan langkahnya. “Kau baik-baik saja?” Tanyanya kemudian.
Kevin memiringkan kepala, mengamati Yano. “Oh! Dia siswa yang kesurupan itu ya?” Akhirnya ia menyadari siapa Yano dan kenapa Rue menahan langkah pemuda itu.
“Iya. Berkat Kak Rue. Terima kasih.” Jawab Yano.
“Di sekolah ini, jangan keseringan bengong atau melamun ya. Tahun ajaran baru memang identik dengan kesurupan. Katanya, itu sebagai tanda perkenalan. Aneh, kan?” Kevin mengingatkan Yano dan Hongjoon untuk selalu waspada.
“Iya, Kak.” Jawab Yano dan Hongjoon hampir bersamaan.
“Walau kita punya Rue, kita tidak boleh bergantung padanya sepenuhnya. Kita harus saling membantu. Menjaga keharmonisan kehidupan di sekolah ini.”
“Iya, Kak.” Kali ini Yano dan Hongjoon menjawab dengan kompak. Keduanya kemudian pamit. Sebelum pergi, Yano menatap Rue.
Kevin berjalan mendekati Rue. “Ngapain kamu di sini?”
“Mau pakek toilet lah. Ngapain lagi?”
“Mau aku tunggu?”
“Dih!” Rue mencibir lalu berjalan menuju bilik yang sebelumnya digunakan Pearl. Ia masuk ke dalamnya dan menutup pintu.
Kevin tersenyum pada pintu bilik yang sudah tertutup. Ia tak beranjak. Sengaja menunggu Rue.
***
 


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews