Dalam perjalanan menuju Gedung Mati,
Rue berusaha menghubungi Nath. Panggilan itu tersambung, tapi Nath tak kunjung
menerimanya. Byungjae mengusulkan untuk mengirim pesan, namun menurut Rue itu
kurang efektif.
Nath sampai di tempat janjian yang
disebutkan Pearl. Ia pun turun di sebuah mini market dan duduk menunggu di
salah satu bangku yang di sediakan di depan mini market. Nath meraih ponsel
dalam tasnya dan memeriksanya. Ia tersenyum ketika melihat deretan panggilan
tak terjawab dari Rue. Nath pun balik menghubungi Rue.
Rue mengakhiri panggilan. Lalu,
sebuah panggilan dari Nath masuk. Ia senang dan segera menerima panggilan itu.
“Sial!” Umpatnya ketika ponselnya tiba-tiba mati.
“Kenapa?” Dio dan Byungjae hampir
bersamaan.
“Kehabisan baterai.” Rue menatap
ponselnya dengan frustasi.
“Coba aku telepon.” Hanjoo merogoh
saku celananya. Namun, tak menemukan ponselnya. “Ya ampun! Hapeku ketinggalan.
Tadi aku cas.”
“Aku tadi ke sekolah nggak bawa
hape.” Byungjae menggeleng penuh sesal.
Dio harapan satu-satunya pun
langsung menghubungi Nath. “Nggak diterima.” Ia pun mengakhiri panggilan. “Setidaknya
tadi tersambung dan Nath coba hubungi kamu balik. Artinya, dia masih di zona
aman.” Dio menenangkan Rue.
“Bagusnya lagi, ini malam hari.
Jadi, nggak ada sinar matahari. Jenna pasti baik-baik saja.” Byungjae turut
menenangkan. Ia menyebut Nath dengan Jenna,
vampir cute dalam novel Hex Hall.
Rue menghembuskan napas panjang.
Berusaha tenang.
“Lagian gimana ceritanya sampai Om
Arnold telpon dan bilang kita mau berburu bareng ke Gedung Mati ya? Nath nggak
bahas sama sekali soal itu kan?” Byungjae memiringkan kepala.
“Belakangan kita sama-sama sibuk,
kan. Jadi aku jarang chat sama Nath. Di sekolah juga nggak ketemu. Dia sibuk
sama teaternya, aku sibuk sama PMR dan Dewan Senior.” Rue menyesal.
“Kayaknya ada yang nggak beres deh.”
Dio curiga. “Jangan-jangan kita dikerjain. Dijebak.”
“Jenna? Nggak mungkin dia lakuin
itu. Buat apa dia ngerjain kita? Menjebak kita ke Gedung Mati?” Byungjae merasa
kecurigaan Dio tidak benar.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Dio.
Pesan dari Nath. “Aku sudah di lokasi. Aku tunggu ya.” Dio membaca pesan Nath
dengan keras.
“Edan apa tu anak? Udah di lokasi?
Di Gedung Mati?” Byungjae menatap Dio, lalu menoleh ke arah kanan dan menatap
Rue yang duduk di tengah. Di antara dirinya dan Hanjoo.
“Om, bisa cepetan dikit nggak?” Pinta
Dio pada sopir.
“Ini udah ngegas, Non.” Jawab Sopir.
Karena ponsel Rue tak bisa dihubungi
dan usaha menelpon Dio balik tak kunjung berhasil—nomer Dio berada di luar
jangkuan, begitu pemberitahuan operator—, Nath pun memilih mengirim pesan pada
Dio. Ia duduk menunggu dengan sabar.
“Jadi, bukan hanya aku, Pearl,
Hanjoo, dan Rue? Ada Dio juga? Hmm, baiklah. Ini akan jadi Sabtu malam yang
menyenangkan.” Nath tersenyum usai berbicara sendiri.
***
Rombongan Rue sampai di lokasi
Gedung Mati. Lokasi gedung terdapat di tengah-tengah area kosong yang luas.
Konon katanya, gedung itu di bangun untuk dijadikan bioskop. Namun, tiba-tiba
pembangunan dihentikan dan gedung dibiarkan terbengkalai.
Warga yang menetap paling dekat
dengan lokasi gedung menyebutnya Gedung Mangkrak. Area gedung sengaja dijauhi,
terlebih di malam hari karena pamornya yang terkenal angker. Pada pagi hingga
siang hari, kadang ada warga yang mencari rumput atau menggembala kambing di
area lahan kosong di sekitar gedung.
Gedung berlantai dua itu terlihat
megah dan mengerikan dalam kegelapan. Lima orang yang berada di dalam mobil
menatapnya dalam diam. Mereka seolah tersihir oleh keangkuhan gedung yang belum
sepenuhnya jadi itu.
“Andai beneran jadi bioskop, pasti
keren banget. Ada dua lantai pula.” Byungjae memecah keheningan.
“Kota kita pasti tambah keren karena
ada bioskop, kan? Zaman muda dulu, aku pernah membayangkannya. Ketika orang-orang
membahas Gedung Mati ini.” Pria yang duduk di balik kemudi turut berkomentar.
Teringat akan masa mudanya ketika masih seumuran Rigel.
“Om Toni, pernah ke sini?” Tanya
Byungjae.
“Baru kali ini. Bersama kalian.
Untuk apa aku main ke sini?”
“Kali aja. Kan kalau pagi ampek
siang ada warga yang beraktivitas di sini. Nyari rumput, gembalin embek.”
“Nath nggak bisa dihubungi. Masa dia
udah di sana sih?” Dio sibuk dengan ponselnya.
“Kalian nekat mau masuk?” Tanya Toni
si sopir.
“Kami nggak tahu temen kami di mana
Om. Kalau beneran dia udah di gedung sana kan bahaya. Kami nggak tahu dia sama
siapa di sana.” Jawab Rue.
Jalan raya memang terlihat dari
gedung. Letaknya kira-kira 5 meter dari jalan utama. Namun, saat malam jalan
raya itu selalu sepi. Terlebih jika jam sudah menunjukan di atas angka sembilan.
Rue melihat jam yang melingkar di
pergelangan tangan kanannya. “Mumpung masih sore. Ayo kita cek.” Ujarnya yang
kemudian sibuk menyiapkan ransel dan bersiap turun.
“Jam 8 ya. Oke. Kita cek bentar aja.
Kalau Nath nggak ada di sana, kita balik.” Dio setuju.
Dio, Hanjoo, Rue, dan Byungjae turun
dari mobil. Hanjoo membagikan senter led pada Dio, Rue, dan Byungjae. Tak lupa
ia menyiapkan untuk dirinya sendiri.
“Hati-hati ya. Aku tungguin di
sini.” Pesan Toni sebelum Rigel pergi. Dio, Rue, Hanjoo, dan Byungjae kompak
menganggukan kepala.
Byungjae tak lupa menyiapkan kamera.
Ia pun memberikan satu pada Dio.
“Harus kah kita rekam?” Tanya Dio
saat menerima kamera yang diulurkan Byungjae. Ia mulai berjalan bersama Rue. Di
depan Hanjoo dan Byungjae.
“Tidak apa-apa kan? Selama ini kita
tidak pernah punya rencana berburu penampakan di Gedung Mati. Tapi, hari ini
takdir membawa kita ke sini. Jadi, jangan disia-siakan.” Byungjae berjalan
sambil menyiapkan kamera. “Nih, udah siap.” Ia mengulurkan kamera yang sudah ia
siapkan pada Dio.
Dio mengembalikan kamera sebelumnya,
dan meraih kamera yang sudah disiapkan Byungjae. Byungjae segera sibuk dengan
kamera kedua.
“Oke. Malam ini tanpa sengaja kami
berada di Gedung Mati.” Dio memulai rekamannya. “Kalian bisa lihat gedung megah
di depan sana? Yap, itu adalah Gedung Mati atau Gedung Mangkrak yang terkenal
angker. Kami sedang berjalan mendekatinya sekarang.”
Kamera di tangan Dio menyorot Gedung
Mati yang berdiri angkuh tak jauh di depan mereka. Gedung usang yang hampir
jadi itu terlihat angker dengan pintu dan jendela-jendela yang berlubang. Tak
memiliki daun pintu dan daun jendela. Dalam gelap, gedung tua itu terlihat
semakin angker.
“Jalan di semak rerumputan gini tuh
takut sama ular.” Ujar Rue yang berjalan dengan sangat hati-hati. “Mana cuman
pakek sepatu kets pula. Nggak pakek
sepatu boots.”
“Jangan ngomongin ular. Serem tahu!”
Byungjae menyorot Rue dengan kameranya.
“Kita semakin dekat dengan Gedung Mati.
Rue, apa yang kau lihat?” Tanya Dio. Namun, kameranya tetap menyorot Gedung
Mati, tak menyorot Rue.
Rue mengangkat kepala dan menatap
Gedung Mati yang berada beberapa meter saja di depannya. “Huft…” keluhnya sebelum
menjawab pertanyaan Dio. “Ada Kuntilanak duduk di salah satu jendela di lantai
dua.”
Dari belakang, Byungjae menyorot
Rue.
“Sebelah mana?” Dio sedikit menaikan
kamera untuk fokus menyorot lantai dua.
“Jendela sisi kiri, nomer dua dari
utara. Ini beneran mau jadi bioskop? Kok bentuk bangunannya gini ya?”
“Nah, aku tadi juga mikirnya gitu.”
“Ini suer serem banget rumputnya.
Sampai selutut lho! Aku takut ular beneran.”
Kamera Byungjae menyorot rerumputan
di bawah mereka. Rumput liar itu tumbuh subur hingga panjangnya mencapai lutut
mereka. “Ini anak aneh. Takut ular daripada takut hantu.” Olok Byungjae usai
menyorot rerumputan.
“Ini makin deket makin serem juga.
Energinya kuat banget. Eh, tetep deketan ya. Jangan putus doa sesuai keyakinan
kalian.” Rue mengingatkan agar Rigel teman-temannya tetap waspada.
Rigel sampai di depan Gedung Mati.
Mereka berhenti di sana. Dio dan Byungjae menyorot bagian depan gedung dan
sekitarnya. Rue mendongakan kepala, menatap ke lantai dua gedung. Sedang Hanjoo
mengamati sekitarnya.
“Nath!” Dio memanggil. “Kau di
sini?”
“Sepertinya nggak ada deh.” Hanjoo
dengan suara lirih.
“Eh! Apa itu!?” Byungjae yang
melihat sekelebat bayangan putih di dalam gedung, tanpa ragu langsung
mengejarnya.
“Byungjae!” Hanjoo mencoba menahan,
namun gerakan Byungjae lebih cepat.
“Sial!” Dio mengumpat. Mengikuti Rue
dan Hanjoo yang masuk ke dalam gedung mengejar Byungjae.
“Dia naik ke lantai dua. Apa itu
Jenna?” Byungjae berjalan cepat. Mengejar bayangan putih yang ia duga adalah
Nathaline.
Di dalam gedung sudah ada lantai.
Karena sebagian lantai sudah rusak, beberapa rumput tumbuh dari sela lantai
yang rusak. Tembok yang masih berupa tatanan batu bata pun mulai ditumbuhi
lumut. Di pojok barat sebelah kanan tumbuh satu pohon yang menjulang tinggi.
Bagian atasnya tertekuk karena telah mencapai dasar lantai dua.
Gelap dan lembab. Walau pintu dan
jendela dari gedung itu tak memiliki daun pintu dan daun jendela, di dalam
gedung terasa lembab. Bau dari tembok dan kayu yang lapuk pun cukup menyengat.
Kondisi yang sangat cocok untuk hunian makhluk tak kasat mata.
“Byungjae! Berhenti!” Rue mengejar
Byungjae.
“Auw!” Karena terburu-buru, Dio
kurang waspada. Ia pun tersandung dan terjatuh satu meter dari tangga yang akan
membawa mereka menuju lantai dua.
“Astaga! Dio!” Hanjoo batal menaiki
tangga, berbalik untuk menolong Dio yang jatuh terduduk.
“Aku baik-baik aja. Kau temani saja
Rue. Sepertinya genting.”
“Aku bantu kamu dulu.” Hanjoo
membantu Dio berdiri.
“Auw! Sepertinya kakiku terkilir.
Maaf. Aku nggak liat lubang di lantai itu.”
“Nggak papa.” Hanjoo memapah Dio
menuju tangga. “Kamu yakin mau di sini sendirian?” Tanya Hanjoo setelah
membantu Dio duduk di tangga terbawah.
“Mm.” Dio mengangguk yakin. Lalu, ia
mengeluarkan kalung dengan liontin gemstone
berwarna ungu. “Jimat dari Rue. Jadi, jangan khawatir. Aku baik-baik aja.”
“Baiklah. Tunggu di sini. Kami akan
segera kembali.” Hanjoo menaiki tangga untuk menyusul Rue.
“Huft…” Dio menghela napas. Ia
memeriksa tangga. “Kayunya lumayan kuat.” Gumamnya.
Dio melihat sekelebat bayangan
putih. Ia pun menyorotkan kamera dan senter ke arah depan. Namun, kosong. Ia
menurunkan senter dan menaruh di pangkuannya. Tangan kanannya menggenggam erat
‘jimat’ pemberian Rue.
Rue tiba di lantai dua. Ia melihat
Byungjae berada di tengah-tengah ruangan dan terdiam. Rue mengatur napasnya
yang terengah-engah, sambil memperhatikan Byungjae yang berdiri membelakangi
dirinya.
“Rr-rue, kau kah itu?” Suara
Byungjae bergetar. “Aku menginjak sesuatu yang lembek. Jangan-jangan itu ular.”
Rue menghela napas, lalu menyorotkan
lampu senter pada kaki Byungjae. Pemuda itu menginjak satu ranting pohon yang
membusuk. “Hanya ranting busuk.” Rue mengalihkan senter ke langit-langit.
Bagian atap gedung juga sudah lapuk. “Nath nggak ada di sini. Ayo kita turun.”
Hanjoo baru sampai. Dengan napas
terengah-engah, ia berhenti di samping kanan Rue. “Dia baik-baik aja kan?”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala.
Byungjae membalikkan badan,
memeriksa kakinya. “Oh iya. Hanya batang kayu yang busuk. Hehehe.” Ia lega.
“Kendalikan dirimu!” Hanjoo berkacak
pinggang.
Byungjae mengamati sekitar. “Ini di
lantai dua? Dio mana?” Ia kebingungan.
Hanjoo menghela napas karena kesal.
Rue mengerutkan kening. Fokus
menatap sesuatu di belakang Byungjae. Ia melihat bayangan hitam berjalan
mendekati Byungjae. “Byungjae awas!” Rue memperingatkan, sambil bergerak maju
untuk mendekati Byungjae.
“Aaaaa!” Byungjae menjerit. Tangan
kirinya ditarik oleh sesuatu yang tak bisa ia lihat, hingga senter yang ia
pegang terjatuh. Ia tidak bisa menolak ketika sesuatu yang tak kasat mata itu
menyeret tubuhnya.
“Hanjoo! Bantu aku menghentikan
Byungjae!” Rue berlari mengejar Byungjae, sambil berteriak untuk meminta
bantuan Hanjoo.
Hanjoo mematung di tempatnya
berdiri. Tertegun menatap Hanjoo yang berjalan mundur dengan gerakan cepat.
“Rue! Tolong aku!” Byungjae meronta.
Rue menambah kecepatan larinya.
Berusaha mengejar Byungjae. “Lepaskan temanku makhluk jelek!” Ia berteriak
frustasi. Ia tahu makhluk yang menyeret Byungjae akan membawa pemuda itu pada
jendela tanpa daun jendela di ujung bangunan lantai dua.
Rue terpeleset dan jatuh.
“Byungjae!!!” Jeritnya putus asa. Ia panik dan berusaha bangkit karena melihat
Byungjae semakin dekat dengan jendela.
“Rue!!” Byungjae pun berteriak.
Mengulurkan tangan kanannya yang memegang kamera. Berusaha meraih uluran tangan
Rue yang tak mungkin bisa ia gapai.
Rue yang tiarap di atas lantai
tercenung. Tangan kanannya masih terulur ke depan. Sedetik kemudian, ia
menjatuhkan tangan kanannya. Ia lega melihat Toni berhasil menahan Byungjae
yang sudah berada di ujung jendela bolong. Terlambat sedikit saja, Byungjae
pasti jatuh dari lantai dua.
“Om Toni!” Byungjae lega karena Toni
berhasil meraih tangan kanannya.
Toni pun menarik Byungjae menjauh
dari jendela.
Hanjoo yang kesadarannya sudah
kembali, membantu Rue untuk bangun.
“Kita pergi. Teman kalian nggak ada
di sini.” Toni meminta Rigel pergi. “Dio baik saja di bawah. Ayo!”
Byungjae merasakan tangan kirinya
basah. “Tangan kiriku basah.” Ujarnya sambil berjalan di belakang Toni.
Toni memungut senter Byungjae yang
tergeletak di atas lantai. Ia pun menyorot tangan kiri Byungjae.
Byungjae terbelalak. “Darah!!!” Ia
terkejut melihat tangan kirinya sudah berlumuran darah.
Walau Rue sudah membersihkan tangan
kiri Byungjae dengan air mineral dalam botol yang selalu ada di dalam
ranselnya, Byungjae masih belum bisa berhenti muntah. Hanjoo memijat tengkuk
Byungjae agar rekannya itu bisa mengeluarkan isi perutnya. Sedang Dio sudah
duduk di dalam mobil. Kakinya terkilir.
“Udah?” Hanjoo menepuk punggung
Byungjae.
Byungjae menganggukkan kepala. Sejak
ia mengetahui tangannya berlumuran darah, Byungjae mencium bau anyir yang
membuatnya mual. Tak tahan dengan itu, ia pun muntah. Walau tangannya sudah
dibersihkan Rue, ia tetap mual dan muntah hingga menguras seluruh isi perutnya.
“Byungjae duduk di depan saja. Dio
udah duduk di belakang.” Ujar Toni.
Rue menatap Toni dalam diam. Ia
sangat berterima kasih karena pria itu bertindak sigap dan menolong Byungjae.
Ia tidak bisa membayangkan jika Toni terlambat sedikit saja. Lantai dua itu
mungkin tidak akan membunuh Byungjae, tapi cukup untuk membuatnya patah tulang
atau gegar otak. Rue menghela napas. Menyusul rekan-rekannya dan masuk ke
mobil. Toni pun melajukan mobilnya, meninggalkan area Gedung Mati.
***
Nath dalam perjalanan menuju rooftop Rue. Satu jam menunggu di mini
market, Pearl tak muncul. Begitu juga dengan Rue. Ia berusaha menghubungi
Pearl, tapi ponsel gadis itu tak aktif. Nath juga berusaha menghubungi Dio,
tapi ponsel Dio terus berada di luar jangkauan. Ia menghentikan sebuah taksi
dan memintanya untuk mengantar ke tempat tinggal Rue.
Saat sampai, rooftop tempat tinggal Rue hening. Berulang kali ia mengetuk pintu,
tapi tidak ada seseorang yang membuka pintu untuknya. Bahkan, tidak ada yang
menjawab panggilannya. Setelah menunggu selama lima belas menit, Nath
memutuskan untuk turun. Ia yakin Rue sedang tidak ada di rumah. Ia pun
memutuskan untuk pulang.
Saat Nath sampai di tangga terbawah,
sebuah mobil sedan berhenti. Ia tersenyum riang ketika tahu yang di dalam mobil
itu adalah Byungjae, Hanjoo, Dio, dan Rue. Ia menunggu di dekat tangga.
Hanjoo yang pertama kali turun. Kening
Nath berkerut saat melihat Hanjoo membantu Rue turun dari mobil. Kaki Dio
pincang. Lalu, ia melihat Byungjae turun. Wajah pemuda itu pucat. Sedang tangan
kirinya terangkat sejajar dada.
Nath berjalan mendekati mobil. “Kalian
dari mana?” Sapanya ragu-ragu.
Hanjoo, Dio, dan Rue kompak menatap
Nath. Nath terkejut melihat tampang lusuh mereka. Sedang Byungjae bergerak
minggir, kemudian muntah-muntah di tepi selokan. Nath bingung melihat
pemandangan yang tersaji di hadapannya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada
Rigel.
“Tolong bantu Byungjae. Bawa dia
naik. Itu kalau kau mau dengar apa yang baru saja kami alami.” Ujar Rue yang
kemudian berjalan melewati Nath untuk naik tangga.
Di belakang Rue, Hanjoo dan seorang
pria memapah Dio yang pincang.
Nath mengerjapkan kedua matanya,
lalu buru-buru menghampiri Byungjae.
Dio menjerit-jerit dan menangis. Ia
kesakitan karena Toni memijat kakinya yang terkilir. “Ampun, Om! Sakit banget.
Sumpah! Aaa!”
“Kalau kamu nggak tahan sakit,
kakimu ntar nggak sembuh-sembuh. Nanti setelah dipijit bakalan bengkak, tapi
nggak akan lama. Senin kamu udah bisa masuk sekolah. Tahan makanya!’ Toni
mengomeli Dio.
“Iya ini ditahan! Ampun, Om! Sakit!
Ampun! Aaa!”
Byungjae keluar dari kamar mandi. Ia
memilih mandi demi menghilangkan bau anyir yang seolah masih menempel di
tubuhnya. Karena tak membawa ganti, ia pun meminjam kaos dan celana kulot
selutut milik Rue.
“Minum ini.” Rue menyodorkan jahe hangat
dalam mug untuk Byungjae. “Biar mualmu ilang.”
“Udah nggak bau kan?” Byungjae
mengulurkan tangan kirinya pada Rue.
“Udah nggak. Semprot parfum deh
kalau masih merasa bau.” Rue menghidangkan coklat hangat di depan Nath. Lalu,
menaruh mug-mug lainnya di atas meja. Ia membuat empat mug jahe hangat untuk
Rigel, satu mug kopi untuk Toni, dan satu mug coklat hangat untuk Nath.
“Parfumnya mana?” Byungjae duduk di
atas permadani ruang tamu dan meletakan mug di tangan kanannya ke atas meja.
Nath yang duduk di atas permadani di
ruang tamu menatap Dio yang sedang duduk di atas sofa. Kakinya sedang dipijit
Toni. Lalu, ia menatap Byungjae yang baru bergabung. Kemudian, beralih pada
Hanjoo yang sibuk di dapur. Nath menundukkan kepala. Merasa bersalah.
Rue kembali ke ruang tamu dengan
membawa parfum. Hanjoo pun bergabung setelah selesai membereskan dapur. Semua
berkumpul di ruang tamu.
“Sekarang waktunya memberi
penjelasan kan Jenna?” Ujar Byungjae sembari menyemprot parfum ke tangan
kirinya.
“Maaf. Tapi, aku benar-benar nggak
tahu. Kenapa kalian sampai seperti ini.” Nath perlahan mengangkat kepalanya.
“Papamu telpon ke Rue. Katanya, kamu
pamit mau ikut perburuan ke Gedung Mati bersama kami. Rue panik dan membawa
kami semua ke Gedung Mati. Dan, ini lah hasilnya. Seperti yang kamu lihat. Dio
kakinya terkilir. Rue jatuh, dan aku hampir jatuh dari lantai dua. Untung ada
Om Toni. Sebenernya rencanamu apa sih?” Byungjae meletakan parfum di atas meja
dan menatap Nath.
Dinding pertahanan kedua mata Nath
yang berkaca-kaca runtuh. Air mata meluncur turun di pipinya yang pucat. “Aku...
aku benar-benar minta maaf. Ini salahku.”
“Aku yakin ini bukan salahmu! Aaa!
Sakit, Om! Coba jelaskan apa yaaaaang sebenarnya terjadiiii!” Dio di sela
jeritan kesakitannya.
“Katakan saja. Nggak papa. Kalau
dipikir-pikir, itu bukan salahmu. Tapi, salahku. Aku bertindak tanpa pikir
panjang. Tanpa memastikan lebih dulu kamu di mana.” Rue memegang tangan kanan
Nath dan mengusuknya.
“Kami mana bisa marah ke kamu,
Jenna.” Byungjae turut menenangkan.
“Aku tahu kalian nggak akan marah
padaku, tapi…” Nath ragu.
“Tapi, kenapa? Katakan saja.” Desak
Byungjae.
“Pearl.” Nath menyebut satu nama
yang Rigel tahu.
“Kenapa Pearl?” Hanjoo turut
mendesak Nath.
Nath menghela napas. Lalu,
menceritakan semua dari awal. Dari pertemuan tak sengajanya dengan Pearl di food court, lalu Pearl mengajaknya hang
out bersama Hanjoo dan Rue. Hingga Pearl membuatnya menunggu di mini market
selama satu jam lamanya, dan ia sampai di rooftop
Rue.
“Sudah kuduga pastiii ulaaah nenek
sihir itu. Aaa, sakit!” Emosi Dio memuncak setelah mengetahui fakta di balik
kesialan yang ia alami malam ini. “Awas kaaauuu Pearrrrllll!”
0 comments