Fan Fiction FF
My 4D’s Seonbae - Episode #28 “Selalu Ada Alasan di Balik Sebuah Tindakan, Walau itu Sebuah Kebohongan.”
04:52
Episode #28 “Selalu
Ada Alasan di Balik Sebuah Tindakan, Walau itu Sebuah Kebohongan.”
Luna
duduk bersama rekan satu klubnya. Hari ini adalah jadwal untuk menyeleksi calon
anggota baru yang sudah mengisi formulir pendaftaran. Klub Teater merupakan
salah satu klub besar dan populer di SMA Hak Kun. Karena itu, setiap tahun
banyak yang mengirim lamaran untuk bisa menjadi anggota. Luna tak bisa menolak
ketika ia diminta bergabung dalam tim penyeleksi. Ketika sampai pada formulir
dengan nama Park Jihoon, rekan-rekannya jadi sedikit ribut. Luna bingung. Ada
apa dengan nama itu? Kemudian ia mendengar kasak-kusuk rekan-rekannya yang
membicarakan tentang Park Jihoon yang seorang mantan artis cilik. Pemuda itu
masih aktif di dunia hiburan saat masih SMP. Ketika masuk SMA, pemuda itu
mengumumkan bahwa akan vakum sejenak dari dunia hiburan, karena ingin fokus
belajar.
Ketika
Luna menelaah semua yang ia dengar, murid bernana Park Jihoon maju. Membuat
rekan-rekan perempuan yang berada di dalam basecamp
untuk turut memantau jalannya seleksi anggota jadi sedikit heboh. Luna
mengangkat kepala, menatap pemuda yang sedang berdiri tepat di hadapannya.
Kebetulan ia mendapat tempat duduk paling tengah. Posisi yang membuatnya
berhadapan langsung dengan calon anggota.
Luna
mengamati pemuda bernama Park Jihoon yang sukses membuat teman-temannya heboh.
Pemuda itu memiliki wajah yang tampan sekaligus manis. Tingkahnya yang
malu-malu memang menggemaskan. Pantas saja jika teman-teman perempuannya jadi
heboh. Namun, baginya sikap Jihoon itu terlalu berlebihan dan terlalu
dibuat-buat. Ia tak menanyakan apa pun pada Jihoon saat proses seleksi. Ketika
teman-temannya meloloskan Jihoon, ia pun setuju.
Menjadi
satu klub dengan orang terkenal membuat Luna sering mendengar obrolan tentang
Park Jihoon. Mau tak mau ia selalu mendengar kisah pemuda itu. Karena berada di
satu klub yang sama, mereka sering bertemu di basecamp. Kebetulan mereka selalu datang paling awal ketika akan
ada pertemuan. Awalnya mereka saling canggung. Jihoon yang berstatus hoobae selalu menyapa Luna lebih dulu.
Karena kebiasaan itu, Luna membuka diri. Ia memulai obrolan dan Jihoon
menyambutnya dengan ramah. Karena sering ngobrol, mereka menjadi akrab. Obrolan
yang kemudian membuat mereka saling berkeluh kesah karena ketenaran
masing-masing.
“Jihoon-aa,
kau mau mencoba sebuah permainan?” Luna mengutarakan ide di kepalanya.
“Permainan?”
Luna
mengangguk.
“Apa
itu?”
“Ini
sedikit konyol, tapi aku rasa akan efektif bagi kita.”
“Katakan,
permainan apa itu?”
Luna
ragu, tapi Jihoon tak sabar ingin mendengar permainan yang disebutkan Luna. “Permainan
kita pura-pura berpacaran.” Luna mengutarakan idenya dengan cepat.
Jihoon
tertegun. Mulutnya ternganga mendengar penjelasan Luna.
Luna
melirik reaksi Jihoon. “Aku hanya berpikir jika ada label ‘pacaran’ pada kita,
mungkin kita bisa menghindari orang-orang yang membuat kita tidak nyaman.
Hati-hati, Luna itu milik Jihoon. Seperti itu. Pun sebaliknya. Tapi, itu hanya
ide gila. Jangan ditanggapi serius!” Kali ini Luna benar-benar menatap Jihoon.
Pemuda itu tersipu-sipu. Kening Luna berkerut ketika mengamati reaksi Jihoon. Lagi-lagi dia bereaksi berlebihan!
Umpatnya dalam hati.
“Menurut
Seonbae, apa itu akan berhasil?” Jihoon
mengangkat kepala. Tatapannya bertemu dengan Luna. Gadis itu menatapnya dengan
datar. Padahal beberapa menit yang lalu gadis itu menjabarkan ide yang bisa
membuatnya tersipu seperti ini. Dia ini
benar tidak mempunyai rasa sedikitpun padaku? Tersipu pun tidak. Jihoon
membatin.
“Entahlah.”
Luna menggeleng dan mengalihkan pandangan. “Aku hanya mengungkapkan ide yang
muncul di kepalaku.”
“Baiklah!
Kalau begitu, ayo kita coba.” Jihoon pun setuju. Membuat Luna kembali
menatapnya. “Kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencobanya, kan?” Jihoon
tersenyum manis. Baginya tak mengapa jika Luna bersikap dingin padanya. Jika
mereka resmi berpura-pura menjadi sepasang kekasih, ia akan punya banyak
kesempatan untuk dekat dengan Luna. Pelan-pelan ia akan mengungkapkan rasa
sukanya pada Luna.
“Oke.”
Luna mengangguk. Kemudian ia melihat jam di tangan kanannya. “Kali ini kamu
harus menunjukkan kemampuan aktingmu.”
“Nee?”
Jihoon merasa salah dengar.
Luna
menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat pada Jihoon. Ia pun merubah
posisinya menjadi sedikit menghadap pada Jihoon. “Bisa kau sesuaikan?” Ia
memberi intruksi pada Jihoon.
Jihoon
mengangguk. Lalu, turut merubah posisi duduknya. Ia pun jadi sedikit menghadap
pada Luna.
“Pegang
tanganku.”
“Nee?”
Luna
diam. Jihoon pun perlahan menggerakan tangannya dan menyentuh tangan Luna. Luna
menghela napas, lalu meraih tangan Jihoon dan menata posisi tangan sesuai
keinginannya. Jihoon terkejut karena Luna tiba-tiba meraih tangannya.
“Tunggu
sebentar lagi.” Luna memberi kode. Ia acuh tak acuh pada reaksi Jihoon ketika
ia menyentuh tangan pemuda itu.
Jihoon
pun menurut. Ia tetap memegang tangan Luna seperti itu. Ia berusaha tetap
tenang walau jantungnya sudah berdetub tak karuan, karena Luna tiba-tiba meraih
tangannya.
“Satu…
dua… tiga…” Luna menghitung dengan lirih. Pintu basecamp terbuka. Jisung dan Jaehwan masuk bersama beberapa anggota
Klub Teater. Jisung terkejut melihat Jihoon memegang tangan Luna. Jaehwan dan
yang lain pun sama. Senyum samar terkembang di wajah Luna. Ia pun menarik
tangannya dari genggaman Jihoon.
“Astaga!
Apa yang kalian lakukan?” Jisung menghampiri Luna dan Jihoon.
“Itu…”
Luna pura-pura salah tingkah.
“Kalian,
pacaran?” Jaehwan langsung menuduh.
“Eng-nggak!”
Luna mengelak.
“Iya
pun nggak papa.” Siswi yang masuk bersama Jisung dan Jaehwan menyahut. “Selamat
ya!”
Luna
tersenyum samar, sedang Jihoon tersipu malu. Melihat reaksi Jihoon, Luna
kembali menyeringai samar.
“Seonbae!” Jihoon mengejar Luna yang baru
keluar dari gerbang sekolah.
Luna
menghentikan langkahnya, menunggu Jihoon yang belari kecil ke arahnya.
Jihoon
berhenti jarak satu langkah di depan Luna. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Sudah dimulai?”
Luna
menganggukkan kepala.
“Seonbae
peramal ya?”
“Nee?” Luna memiringkan kepala.
“Timing dan alasan yang Seonbae ungkap tadi.”
“Hanya
memperhatikan kebiasaan orang-orang di sekitar kita.”
“Lalu,
tentang alasan?”
“Kita
bertemu saat liburan?”
Jihoon
menganggukan kepala dengan antusias.
“Itu
alasan paling logis. Selain tak sengaja bertemu saat liburan, apa ada alasan
yang lebih masuk akal? Aku bahkan tidak tahu kalau kamu artis. Jadi, nggak
mungkin kita ketemu saat fanmeet atau
sejenisnya.”
Jihoon
tersenyum manis. “Baiklah. Mulai hari ini, kita adalah couple.”
Luna
membalas senyum dan mengangguk.
Luna
yang terbaring menatap langit-langit kamarnya mendesah kasar. Sudah lewat
tengah malam, tapi ia masih terjaga. Tidur sejenak, ia bermimpi Park Jihoon.
Terjaga pun terus teringat Park Jihoon. Park Jihoon memenuhi pikirannya.
Bahkan, bagaimana mereka memulai hubungan palsu itu pun terputar kembali di
otaknya. Luna menghela napas panjang. Apa yang terjadi padanya dan Jihoon saat
ini semua adalah karena ia yang memulai. Sejenak ia menyesalinya. Andai ia tahu
Jihoon menyukainya dan tak memberi kesempatan, pasti Jihoon tidak akan
bertindak sedemikian jauh.
Luna
menyentuh bibirnya. Ia kembali teringat momen ketika Jihoon menciumnya. Luna
segera menggelengkan kepala. Sejenak ia merasa benci pada dirinya sendiri.
Benci karena merasa dirinya tak lagi suci. Benci karena membiarkan Jihoon
mencuri ciuman pertamanya. Bukankah seharusnya
ciuman pertama dilakukan dengan orang yang dicintai? Dalam momen yang romantis.
Bukan disosor sembarangan seperti apa yang dilakukan Jihoon.
Luna
bangkit dan duduk. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. “Ini karma! Benar ini
karma. Tapi, kenapa tubuhku bereaksi seperti itu saat Jihoon menciumku? Rasa
hangat itu… Masa iya aku suka dia?”
Luna
memiringkan. “Tapi… bukankah tubuh memang akan bereaksi demikian saat
dirangsang? Jadi, itu normal reaksi biologis saja kan? Aaaaa!!! Kamu mikir
apaan sih!” Luna menjatuhkan tubuhnya. Dan, menutup wajah dengan bantal. Ia
berusaha untuk tidur.
***
Pukul
delapan pagi Rania dan Linda sudah berada di rooftop Luna. Keduanya sengaja berangkat pagi karena ingin
menghabiskan waktu di tempat Luna lebih dulu. Lebih tepatnya, Rania yang ingin
sedikit berlama-lama di tempat Luna, dan Linda menurut saja apa kata Rania.
Linda
mengamati rooftop Luna dengan kagum.
Rumah mungil di atas atap itu sangat rapi. “Rumah Mbak Luna rapi banget ya.
Padahal tinggal sendiri.”
“Dia
itu super perfeksionis. Misal lo makan kue putri salju, trus gula halusnya jatuh
dikit aja. Dia bakal tahu.”
“Masa
sih, Mbak? Gitu banget Mbak Luna.” Linda menggeleng heran.
Luna
keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Rania dan
Linda memperhatikan dari tempat mereka duduk. Luna menoleh ke arah ruang tamu,
meja masih kosong di sana.
“Kok
Linda nggak diambilin apa-apa sih, Cue?” Luna memprotes Rania yang tak menjamu
Linda dengan baik.
“Kan
lo tuan rumahnya. Masa gue yang kudu menjamu.” Rania membela diri. Tapi,
ia pun bangkit dari duduknya dan menuju dapur. “Lo mau minum apa Lin? Teh
anget? Atau kopi?”
“Nggak
usah deh, Mbak. Udah sarapan juga aku tadi. Ntar kalau haus aku minta air putih
aja.” Linda menolak.
“Gimana
kerja part time lo kemarin, Cing?
Sukses? Capek banget apa sampai hape dimatiin?”
“Mbak
Luna kerja? Di mana?”
“Iseng
aja dia. Penasaran kerja paruh waktu. Trus dibantuin Daniel dan dapet
kesempatan kerja paruh waktu di cafe tempat Daniel kerja.”
Luna
yang juga berada di dapur menyikut Rania. Ia keberatan karena Rania
menceritakan perihal dirinya dan Daniel di depan Linda.
Linda
sempat terkejut. Tapi, ia kemudian tersenyum. “Segitunya ya Mbak Luna.
Penasaran sampai beneran dicobain kerja part
time.”
“Dia
emang nggak waras. Makanya heran gue. Kenapa di Korea dia jadi tenar. Disebut
4D. Apaan sih 4D?” Rania membuka kulkas untuk mengambil air putih dingin. Usai
mengambil botol air putih, ia menangkap gelas yang ada di dalam freezer. “Cing! Itu kenapa ada gelas
kaca dalam freezer? Bahaya kan?”
Jantung
Luna seolah terjun bebas ke lantai dapur ketika Rania menyebut gelas kaca dalam
freezer. Otaknya langsung memutar
kenangan ketika Jihoon menciumnya. “Aw!” Luna memekik karena pisau yang ia
gunakan untuk mengiris apel justeru mengiris jari telunjuk tangan kirinya.
“Ya
ampun! Mbak Luna!” Linda bergegas bangkit dari duduknya ketika melihat telunjuk
tangan kiri Luna berdarah.
“Ada
apa?” Rania membalikan badan. Ia melihat Luna sudah berdiri di tempat pencucian
piring.
“Tangan
Mbak Luna kena pisau. Berdarah.” Linda sudah berada di dapur.
“Ya
ampun! Ati-ati dong Cing! Kotak P3K lo di mana?”
“Nggak
papa kok.” Luna berusaha tenang. Ia mencuci tangannya yang terluka di bawah
guyuran air kran.
“Walau
nggak papa, lo tetep butuh plester buat nutup luka itu! Di mana kotak P3K punya
lo?” Rania sudah sibuk mencari kotak P3K di sekitaran dapur.
“Di
kamar. Di nakas deket ranjang.”
Rania
pun masuk ke kamar Luna untuk mencari kotak P3K. Setelah menemukannya, ia
bergegas kembali ke dapur. Ia pun membungkus jari telunjuk tangan kiri Luna
yang tersayat pisau.
Linda
membantu Luna memotong apel. Lalu, bersama Luna dan Rania, ia membawanya ke
ruang tamu. Ketiganya duduk di ruang tamu.
“Tumben
sih lo ceroboh!” Rania mengomeli Luna. “Mata panda itu, lo begadang lagi? Ada
apa sih, Cing? Kalau lo ada masalah kan lo bisa cerita ke gue.”
“Hidup
jelaslah selalu ada masalah. But I’m OK.
Don't worry. Kurang tidur iya, tapi aku baik aja kok. Makasih ya udah
khawatirin aku.” Luna tersenyum manis.
Rania
menghela napas dengan kasar. Sedang Linda, melirik Luna dan Rania bergantian
dalam diam.
“Gimana
latihanmu kemarin, Cue?” Luna menyuapkan sepotong apel ke dalam mulutnya. “Aku
kemarin dapat bingkisan dari bosnya Daniel. Ntar kalian aku bagi.”
“Taemin
emang baik. Canggung sih gue sama Prince.
Gue yang canggung. Tapi, kayaknya Prince
juga.” Rania kemudian melirik Linda. “Prince
itu Minhyun. Lo tahu kan dia dulu temen SMP Luna? Luna manggil dia Prince. Dia bilang Emperor Hwang, tapi
dia manggilnya Prince. Emang cakep
kayak pangeran kan tuh anak.”
Linda
menganggukkan kepala. Walau ia sebenarnya tak begitu paham dengan penjelasan
Rania.
“Udah
kubilang mereka baik, kan?” Luna kembali menunjukkan senyum manisnya.
“Lo
senyum-senyum gitu, gue malah curiga lo lagi nggak baik, Cing!” Rania tidak bisa
mengabaikan rasa khawatirnya tentang Luna.
“Aku
ganti baju dulu.” Luna pun bangkit dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar untuk
ganti baju.
Hening
di ruang tamu. Rania diam, terus menebak-nebak, ada apa dengan Luna. Linda pun
tak berani bertanya, walau ia diliputi rasa penasaran.
***
Selama
dalam perjalanan menuju rumah Jihoon, Luna lebih banyak diam. Ia sedang
berusaha mengurus perasaannya sendiri. Menyiapkan diri untuk bertatap muka
dengan Jihoon usai insiden ‘Jihoon membersihkan sisa es krim di pojok bibirnya’
semalam.
“Kan?
Dia berubah lagi? Tadi ramah penuh senyum ceria. Sekarang diem seribu bahasa.
Kayak gini yang namanya 4D Princess From
Country of a Thousand Islands?” Rania mengomentari perubahan sikap Luna
saat duduk di dalam bus.
Luna
tersadar dari lamunannya. Ia mengamati Rania yang duduk di samping kanannya.
Lalu, Linda yang duduk di samping kirinya. Ketiganya memilih duduk di bangku
paling belakang. Agar bisa duduk bertiga. Luna menghela napas pelan. Teringat
jika kemarin begitu pula ia pergi bersama Jihoon dan Daniel. Ketika Daniel
muncul dalam ingatannya, tiba-tiba ia menggigit bibirnya dan merasa bersalah.
Luna segera menggelengkan kepala ketika menyadari pikirannya mulai kacau.
Rania
yang memperhatikan tingkah Luna mengerjapkan mata. Ia heran melihat tingkah
Luna. “Yakin lo baik aja, Cing?”
“Mbak
Luna gugup kali. Mau ketemu calon mertua.” Linda mencoba menengahi dengan
candaan yang ia pun sadar sangat garing.
“Emang
yakin hubungan Kucing sama Park Jihoon bakal langgeng?” Rania beralih menatap
Linda.
“Jodoh
siapa tahu, Mbak?”
“No comment!” Rania kembali menghadap ke
depan.
Linda
menatap Luna yang diam dengan kepala sedikit tertunduk. Sial banget aku terjebak cek-cok kucing dan ikan ini. Ia membatin,
lalu turut menghadap depan.
Ketika
sampai di tempat janjian, Dio, Ira, Esya, Jae, Sasha, dan Nathaline sudah
berada di lokasi. Tak hanya mereka, Daehwi dan Joohee juga berada di sana.
“Noona!” Daehwi melambaikan tangan penuh
semangat pada Luna yang berjalan ke arahnya.
“Dewi
kenapa ada di situ?” Komentar Rania ketika melihat Daehwi.
“Dewi
sapa tho, Mbak?” Tanya Linda.
“Lee
Daehwi. Dewi, kan?”
“Ya
ampun! Mbak Rania ada-ada aja.” Linda menggelengkan kepala.
“Ngapain
dia di situ, Cing?”
“Jihoon
minta dia mengantar kita ke rumahnya.” Luna mulai terdengar suaranya.
“Dewi
akrab sama Jihoon?”
“Nggak
tahu juga. Tapi, Daehwi pernah ke rumah Jihoon. Gitu sih ngakunya.” Luna
tiba-tiba teringat Daniel yang mengusulkan untuk numpang mandi di rumah Jihoon
ketika ia harus melakukan ritual mandi air campuran tujuh buah jeruk. Ia pun
tersenyum karenanya.
Bersama-sama,
mereka pun berjalan kaki menuju rumah Jihoon. Daehwi, Joohee, dan Luna berada
di barisan paling depan. Rania dan Linda berjalan di belakang ketiganya. Dio,
Esya, dan Nathaline menyambung. Ira, Sasha, dan Jae berada di urutan paling
belakang.
Ketika
sampai di kediaman Jihoon, para gadis dibuat terkagum-kagum. Rumah itu memang
tak semegah rumah-rumah dalam drama Korea, tapi bagi mereka rumah Jihoon masuk
dalam kategori rumah mewah. Seorang pelayan menyambut kedatangan teman-teman
Jihoon. Perempuan itu langsung mengantar mereka ke tempat latihan. Jihoon yang
sudah menunggu di ruang latihan pun menyambut. Pemuda itu sedang menggendong
anjing kecil berwarna hitam. Melihatnya, Luna pun spontan mundur.
“Oh,
maaf! Aku lupa kalau kamu takut anjing.” Jihoon segera meminta maaf pada Luna.
Ia memanggil Luna tanpa embel-embel ‘seonbae’
seperti tempo hari ketika mereka hanya berdua. Hal itu membuat teman-teman Luna
saling berbisik.
Jihoon
tersenyum melihat reaksi teman-teman Luna. “Sebenarnya aku dan Luna seumuran.
Kami sepakat kalau di luar sekolah, saling memanggil nama.”
“Wooo…”
Dio, Ira, Sasha, Esya, Nathaline, Jae kompak merespon.
“Harusnya
pakai panggilan sayang dong!” Dio lanjut menggoda.
“Lucu
sekali. Siapa namanya?” Nathaline mengomentari anjing dalam gendongan Jihoon.
“Max.
Park Max.” Jihoon memperkenalkan anjing peliharaannya. “Dia masih bayi. Aku
baru mengadopsinya. Aku harus membawanya pergi dulu. Pacarku takut anjing.” Jihoon
melirik Luna sebelum pergi.
Enam
teman Luna kembali berseru melihat tingkah Jihoon. Sedang Luna, jantungnya
berdetub cepat ketika Jihoon meliriknya. Wajahnya pun terasa panas. Ini efek takut anjing. Iya, karena anjing
itu! Luna meyakinkan dirinya bahwa perubahan detub jantungnya adalah karena
ia melihat anjing dalam gendongan Jihoon.
Dio
memimpin untuk duduk melingkar di atas lantai. Ia menyalakan laptop yang ia
bawa, kemudian memutar video latihan Tari Buchaechum
BKK UI yang sudah ia download.
“Wah,
seonbaenim sekalian mau menampilkan Tari Buchaechum?
Ide brilian!” Daehwi antusias.
“Ini
rahasia lho!” Dio menegaskan.
“Beres!”
Daehwi menggerakan tangan, melakukan gerakan mengunci bibir.
“Oya,
karena kalian orang Korea asli, bisa bantu kami lengkapi perlengkapan nggak?”
“Kostum
ya?”
“Iya.
Dan, kipasnya.”
“Saya
tahu tempat yang menjual perlengkapan tari tradisional.” Joohee buka suara.
“Wah!
Bagus sekali. Luna, kamu aja yang belanja keperluan ya? Aku yakin Joohee lebih
nyaman sama kamu.” Dio langsung melemparkan tugas belanja pada Luna. Luna pun
menganggukkan kepala.
“Nanti
aku bantu juga.” Daehwi antusias.
“Ajak
Jihoon juga. Belanja sekaligus double
date. Seru, kan?” Ira memberi usul. Di saat yang bersamaan, Jihoon masuk ke
ruang latihan.
“Benar
sekali! Itu sempurna!” Daehwi setuju dengan usul Ira. Joohee yang duduk di
samping kirinya tersipu.
“Maaf
jika tempatnya tidak nyaman.” Jihoon duduk bersila di samping kanan Daehwi.
“Noona butuh belanja keperluan. Joohee
tahu tempat buat belanja. Kami akan mengantar Noona. Kau mau ikut?” Daehwi menjelaskan apa yang dilewatkan
Jihoon.
“Tentu
saja. Apa harus sekarang?” Jihoon langsung setuju.
“Mereka
yang sedang dimabuk asmara. Semangat sekali.” Sasha menggelengkan kepala.
“Coba
periksa ini Joohee. Apa kira-kira ada yang kurang?” Esya menyerahkan daftar keperluan
untuk penampilan Tari Buchaechum
kepada Joohee.
Joohee
menerima kertas itu dan membacanya. “Saya rasa ini sudah lengkap. Kita bisa
bertanya di tokonya nanti.”
“Ya
udah. Kalian belanja sekarang aja.” Dio kembali memberi perintah.
“Harus
sekarang ya?” Nathaline tidak setuju dengan perintah Dio.
“Apa
nggak sebaiknya latihan dulu? Belanja nanti bisa Sabtu depan atau pas pulang
sekolah?” Jae mendukung Nathaline.
“Aku
setuju sama Jae. Sekarang kita atur posisi dan mulai latihan. Belanja bisa
minggu depan.” Ira mendukung usul Jae.
“Oke
kalau maunya gitu. Sekarang kita bagi posisinya.” Dio kembali fokus ke laptop.
Kedelapan gadis anggota Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun pun mendekatinya.
Mereka membantuk ruang sendiri untuk berdiskusi.
Jihoon,
Daehwi, dan Joohee tetap di posisi mereka duduk. Memperhatikan murid asing yang
duduk berkerumun tak jauh di depan mereka. Daehwi dan Joohee mengobrol tentang
senior mereka yang sedang berunding. Sedang Jihoon fokus memperhatikan Luna.
Setelah
sepakat dengan posisi masing-masing gadis-gadis anggota tim Tari Buchaechum berdiri. Mereka mulai
mengatur posisi masing-masing sebelum mulai latihan. Suara mereka yang lebih
sering berbicara dalam Bahasa Inggris pun memenuhi ruang latihan. Jihoon,
Daehwi, dan Joohee tetap menjadi penonton setia.
Dengan
panduan video di laptop Dio, tim Tari Buchaechum
pun mulai berlatih. Mereka memang sudah men-download
video itu. Tapi, mereka belum menghafal gerakannya. Karena berlatih bersama
malah membuat kacau, Luna mengusulkan untuk berlatih sendiri-sendiri dulu untuk
menghafal gerakan tari. Anggota tim pun setuju.
Dio,
Esya, dan Jae tetap duduk di sekitar laptop Dio. Ira dan Sasha duduk
berdampingan. Ira menyalakan laptopnya lalu menonton video bersama Sasha.
Nathaline duduk menyendiri dan fokus pada ponselnya. Rania, Luna, dan Linda
duduk tak jauh dari tempat Nathaline duduk. Luna menyalakan laptopnya. Tapi,
hanya ia dan Rania yang menonton. Linda fokus pada ponsel di tangannya. Daehwi
dan Joohee sibuk membicarakan novel online
yang sedang dibaca Joohee. Sedang Jihoon kembali sibuk dengan Max. Entah sejak
kapan anjing kecil itu kembali ke dalam ruang latihan dan menemukan Jihoon. Situasi
berjalan seperti itu selama dua jam. Pelayan di rumah Jihoon datang. Membawa
minuman dan makanan. Jihoon meminta teman-temannya untuk istirahat sambil
menikmati minuman dan makanan yang ia sediakan. Semua pun mendekat untuk
menikmati jamuan dari Jihoon.
“Park
Jihoon, kamu nggak perlu repot nyiapain kayak gini buat kami. Kami dikasih
tumpangan tempat latihan aja udah seneng.” Dio merasa sungkan.
“Saya
nggak repot kok. Saya malah senang, karena rumah jadi ramai. Dan, saya ada
teman.”
“Kamu
anak tunggal?” Ira menyahut.
“Tidak.
Saya punya satu orang kakak laki-laki.”
“Jangan
pakai bahasa formal. Ini kan bukan di sekolah.”
“Kayaknya
Jihoon seneng karena ada Luna. Bukan karena kita.” Dio mulai menggoda Jihoon.
“Dio
Seonbae gemar sekali menggoda Jihoon
ya.” Daehwi mengomentari ulah Dio.
“Hehehe.”
Dio meringis.
Jihoon
tersenyum. Ia kemudian menatap Luna yang sama sekali tak mengajaknya ngobrol
sejak datang. Ia menghela napas pelan. Memperhatikan Luna yang nyaman
berdekatan dengan Rania dan Linda.
“Oh my! Ini apa??” Pekik Sasha yang fokus
pada ponselnya.
“Ada
apa sih? Bikin kaget aja!” Ira menegur Sasha.
Sasha
mengalihkan pandangan pada Rania, Luna, dan Linda. “Luna, liat ini!” Ia
menunjukkan ponselnya pada Luna.
Luna
pun menatap ponsel Sasha sejenak, lalu melirik Jihoon yang menatapnya. Kemudian
ia kembali menatap ponsel Sasha. Ia menduga pasti heboh soal kemarin. Ia ketahuan
kerja paruh waktu bersama Jihoon.
“Ini
oppamu yang idol itu yang bikin postingan.”
“Mas
Dinar?” Rania lirih.
“Buka
Instagram deh. Dia nyebutin kamu dan
Rania. Dia menulis, sahabat lama yang dipertemukan kembali. Oppamu menulis
dalam bahasa Korea juga lho!”
Rania
langsung meraih ponselnya dan mengecek akun Instagram
miliknya. Benar yang dikatakan Sasha. Dinar membuat postingan tentang dirinya
dan Luna. “Masmu ini, Cing! Masmu yang edan itu!” Rania berbicara dalam bahasa
Indonesia sambil menunjukkan ponselnya pada Luna.
Linda
meraih ponsel Rania. Ia melihat postingan Dinar yang berupa potongan video
penampilan Luna dan Rania saat pertemuan bersama Persatuan Murid Asing SMA Hak
Kun dan Klub Anak Rantau. Potongan video Luna dan Rania yang menyanyikan Whistle -Black Pink secara akustik
dengan iringan gitar yang dimainkan Joshua Hong.
“Kita
juga ada di sana malam itu.” Dio juga sudah dibuat sibuk dengan ponselnya.
“Iya.
Kita semua ada di sana. Menonton penampilan trio Rania, Joshua, dan Luna. Kita
juga tahu kalau Luna dan Rania teman baik dari SD karena malam itu Rania
langsung memperkenalkan diri secara jelas dan lengkap setelah kita terpilih
jadi satu tim. Tapi, ini… ini artinya oppanya Luna membongkar apa yang Luna
tutupi selama ini.” Sasha memperjelas maksudnya. “Dan, video perform kalian yang diunggah di Youtube udah dibagikan juga.”
“Mas
Dinar!” Rania geram.
Jihoon,
Daehwi, dan Joohee kompak menatap Luna dengan ekspresi terkejut. Luna menghela
napas panjang. Ia langsung kehilangan mood
baiknya karena postingan Dinar.
***
Rania,
Luna, dan Linda duduk berjajar di kursi paling belakang bus. Mereka saling diam
sejak meninggalkan kediaman Jihoon.
Rania
menghela napas dengan kasar. “Lo nggak negur Mas Dinar? Itu orang labilnya
ampun ya! Alay banget! Caper sana-sini. Maksudnya apa sih pos video kita?” Ia
tak tahan lagi dan meluapkan seluruh unek-uneknya.
“Aku
kesel juga. Tapi, kalau aku luapin semua ke Mas Dinar, ntar dia jadi tahu kalau
aku di sini bermasalah. Trus, dia ngadu ke Bunda. Dan, you know lah ending-nya
bakal kayak gimana.”
Rania
kembali menghela napas dengan kasar. “Bener juga sih. Besok kita pasti jadi superstar di sekolah. Parahnya gue jadi victim, lo penjahatnya.”
“Sungguh
maha benar cocotnya netizen.” Linda menyahut. Membuat Rania dan Luna kompak
menatapnya. Kedua gadis itu pun mengembangkan senyum di wajah lesu mereka.
“Welcome to 4D Princess From Country of a
Thousand Islands world. Dunia yang penuh drama.” Rania lagi-lagi menghela
napas panjang.
“Akhirnya
aku tidak sendirian.” Luna meraih tangan kiri Rania dan tangan kanan Linda. Ia
menautkan jemarinya pada jemari Rania dan Linda. Luna menyandarkan kepala di
pundak Rania. “Kenapa tiba-tiba aku lelah sekali?” Luna pun memejamkan mata.
Rania
dan Linda sama-sama terdiam ketika Luna meraih tangan mereka. Rania menggenggam
erat tangan Luna. Ia membiarkan Luna bersandar padanya. Sedang Linda, tetap
diam, membiarkan Luna menggenggam tangannya.
Suasana
hening setelah Luna turun. Rania dan Linda sama-sama terdiam. Bahkan, mereka
membiarkan ruang kosong di antara mereka setelah Luna pergi.
“Walau
nggak mungkin, aku berharap besok nggak akan terjadi sesuatu yang buruk.” Linda
memulai obrolan. “Aku nggak bisa bilang aku nggak kepo. Karena, sebenernya aku
kepo Mbak. Kepo kenapa Mbak Luna sampai sembunyiin status sahabatan kalian.
Tapi, aku yakin Mbak Luna pasti punya alasan buat itu.”
“Lo
pikir lo doang yang kepo? Gue juga kepo. Gue nggak tahu alasan pastinya Luna
sampai minta gue sembunyiin status persahabatan kami.” Rania turut meluapkan
isi kepalanya.
“Mbak
Luna nggak bilang detailnya kenapa?”
“Nggak.
Dia bilang, kamu tahu lah Korea. Nggak beda jauh kayak di drama. Bullying itu ada. Terkenal nggak berarti
bebas dari bullying. Di Indonesia bullying
juga ada kan? Untuk sementara, aku cuman pengen kamu aman. Gitu doang. Gue kan
jadi curiga. Jangan-jangan Luna di bully.”
“Iya
juga sih. Baik buruk sekarang nggak luput dari bully-an. Baik secara langsung atau di dunia maya.”
“Itu
dia. Gue jadi pengen deketin Ha Sungwoon.”
“Buat
apa?”
“Selidikin
Luna. Gue yakin Sungwoon suka sama Luna. Dia pasti mau bantu gue.”
“Yang
terbaik aja deh. Maaf aku nggak tahu harus bersikap gimana sama masalah kalian
ini.”
“Nggak
papa. Makasih lo udah mau jadi tempat sampah gue. Ngomong sama sesama orang
Indonesia di tempat asing, rasanya lebih nyaman.”
Linda
tersenyum manis. “Curhat aja kalau mbak mau. Walau aku nggak bisa ngasih solusi,
aku bisa jadi pendengar kok.”
“Makasih
ya.” Rania membalas senyum. Ia kemudian menghela napas panjang. Dan, suasana
pun kembali hening.
***
Luna
berjalan dengan melamun. Ia terus memikirkan tentang kemungkinan yang bisa saja
terjadi esok di sekolah. Video yang diunggah Dinar ke kanal Youtube pribadinya sudah dibagikan ke
komunitas sekolah. Ada yang memuji penampilan Luna, Joshua, dan Rania. Banyak
pula yang menghujat, karena isi postingan Dinar di Instagram. Pujian datang untuk kemampuan vokal dan rap Rania, juga
untuk vokal Luna dan permainan gitat Joshua. Hampir semua hujatan memojokan
Luna yang menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania. Banyak yang
berpendapat Luna takut kalah saingan dengan Rania.
Luna
menghela napas panjang dan tertunduk semakin dalam. Kemudian, ia merasakan
ponsel di sakunya bergetar. Ia meraih ponsel itu, namun batal memeriksanya. Ia
teringat pesan Jihoon sebelum ia pergi.
Setelah
Dio, Esya, Jae, Nathaline, Ira, dan Sasha pergi, Jihoon meminta waktu agar bisa
bicara empat mata dengan Luna. Jihoon pun meminta izin pada Rania dan Linda.
Setelah keduanya mengizinkan, Jihoon membawa Luna pergi. Sedang Rania dan
Linda, menunggu di ruang tamu ditemani Daehwi dan Joohee.
Jihoon
membawa Luna naik ke lantai dua. Luna terkejut ketika Jihoon membawanya ke
kamar. Tapi ia berpendapat, Jihoon memilih kamar karena hanya tempat itulah
yang paling aman untuk berbicara empat mata. Luna yakin Jihoon pasti akan
membahas tentang insiden video yang diunggah Dinar.
“Besok
pasti akan sangat heboh di sekolah.” Jihoon langsung mengutarakan isi kepalanya
setelah mempersilahkan Luna duduk.
Luna
yang duduk di kursi di dekat meja belajar menganggukan kepala.
“Aku
tahu alasanmu menyembunyikan hubungan persahabatan kalian. Tapi, di sini kamu
pasti akan dinilai salah oleh sebagian besar teman kita. Bahkan, para pemujamu
pun bisa berbalik menghujatmu dalam situasi ini.”
Lagi-lagi
Luna hanya menganggukkan kepala.
“Bagaimanapun
juga, aku akan mempertahankanmu di sisiku. Kita harus lebih berhati-hati. Dia
pasti mencari celah untuk menyerangmu. Karena ini adalah kesempatan emas untuk
menjatuhkanmu.”
“Gomawo.
Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku.”
Jihoon
yang duduk di tepi ranjang pun bangkit, berjalan mendekati Luna. Ia merengkuh
Luna ke dalam pelukannya. “Jangan terlalu terbebani. Walau semua itu
mengerikan, kita pasti bisa melewatinya. Em?”
Luna
tak menolak dekapan Jihoon. Ia membiarkan pemuda itu memeluknya. Luna
memejamkan mata. Sejenak, ia merasa aman.
“Tolong
jangan bermain ponsel sambil berjalan seperti tempo hari. Itu berbahaya. Bukan
hanya bisa membuat fokusmu terganggu, tapi bagaimana jika ketika kau sedang
fokus pada ponselmu, tiba-tiba ada yang menyambar ponselmu dan membawanya
kabur? Ada banyak rahasia kan di dalamnya? Jadi, tolong untuk lebih
berhati-hati.”
Luna
yang berada dalam dekapan Jihoon menganggukan kepala. Jihoon menghela napas
panjang dan mengelus kepala Luna.
Lagi-lagi
Luna menghela napas. Ia menyimpan kembali ponselnya. Aroma parfum Jihoon
tiba-tiba terendus hidungnya. Ia pun tersenyum dan menggeleng pelan ketika
menaiki tangga untuk mencapai rooftop-nya.
Kembali mencium aroma parfum Jihoon membuatnya kembali merasakan hangatnya
pelukan Jihoon yang membuatnya aman. Luna merasakan panas di wajahnya.
Ketika
sampai di ujung tangga teratas, Luna terkejut. Ia menemukan Daniel sedang duduk
di bangku di teras rooftop-nya. Saat
ia muncul, Daniel bangkit dari duduknya dan tersenyum menyambutnya. Luna
berjalan mendekati dan berhenti jarak satu langkah di depan Daniel.
“Sudah
lama di sini?” Karena terlalu lama diam, suara Luna pun sedikit serak.
Daniel
terkejut mendengar suara Luna yang sedikit serak. “Karena video itu, aku
khawatir dan langsung menunggumu di sini. Aku ingin bertemu denganmu. Aku
khawatir kamu merasa tak baik karena video itu.”
Mendengar
Daniel mengutarakan rasa khawatirnya, dada Luna terasa sesak. Kedua matanya pun
memanas. Ia pun segera menundukkan kepala. Berusaha menahan air matanya agar
tak jatuh. Tapi, ia tak bisa. Air mata itu terasa hangat ketika meluncur
menuruni pipinya.
Daniel
menurunkan kepalanya, berusaha melihat Luna yang tertunduk di hadapannya.
Karena gadis itu bergeming, Daniel pun meraih tubuh Luna dan memeluknya. “Tidak
apa-apa, menangislah. Semua akan baik-baik saja.” Daniel mengelus-elus punggung
Luna yang terisak dalam pelukannya.
***
Kompres
air dingin, kompres teh celup, kompres irisan timun, sampai kompres sendok
sudah Luna lalukan demi mengurangi sembab di matanya. Kemarin ia meluapkan
tangisnya dalam pelukan Daniel, namun itu tak cukup. Ketika ia sendirian, air
matanya kembali tumpah. Sialnya, ia ketiduran setelah menangis tersedu. Ketika
terbangun, kedua matanya pun sembab. Susah payah Luna berusaha menghilangkan
sembab itu. Namun, semua usaha yang ia lakukan hanya bisa mengurangi sembab di
kedua matanya.
Luna
mendesah keras saat mengamati bayangannya di dalam cermin. Mata panda yang
sembab itu membuat wajahnya tampak mengerikan. Tidak ada pilihan lain. Ia harus
mengaplikasikan make up untuk membuat
wajahnya tampak segar, sekaligus untuk menyamarkan sisa tangisan semalam.
Sebenarnya
Luna sempet berpikir untuk membolos. Tapi, itu akan memperburuk situasi yang
harus ia hadapi. Ia pun meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
Bahwa dirinya adalah gadis yang tangguh, yang mampu menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Luna kembali menatap bayangannya di
dalam cermin. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri. Kemudian berbalik,
mengambil tas punggungnya yang tergeletak di atas kasur. Luna siap menghadapi
apa pun itu yang akan terjadi hari ini.
Saat
Luna membuka pintu, Daniel menyambutnya dengan sebuah senyuman. Luna tersenyum
samar. Kehadiran Daniel memberinya kekuatan tersendiri.
“Tidurmu
nyenyak?” Tanya Daniel yang berjalan menuruni tangga di belakang Luna.
“Tidak.
Aku terjaga hampir sepanjang malam. Aku rasa ini tahun terberatku sejak tinggal
di Korea.”
“Tidak
mencoba menghubungi oppamu?”
“Itu
bukan ide bagus.”
“Biarkan
oppa menjagamu.” Daniel menyebut dirinya sebagai oppa.
Luna
tersenyum mendengarnya.
“Tapi,
Daniel Oppa tidak bisa melindungi Luna sebaik Jihoon Oppa. Mian.”
“Ngomong
gitu lagi, aku akan memukulmu!”
“Pukul
saja jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”
“Tukang
gombal mulai!”
“Kan
kita emang gombal couple!”
Daniel
dan Luna tertawa bersama. Langkah mereka terhenti ketika sebuah mobil mendekat.
Mobil yang tak asing bagi keduanya. Mobil yang biasa mengantar dan menjemput
Jihoon ke sekolah. Setelah mobil itu berhenti, Jihoon keluar dan berjalan
mendekati Luna.
“Tumben
mampir?” Luna menyambut Jihoon.
Jihoon
hanya terfokus pada Luna. Ia sama sekali tak melirik Daniel yang berdiri di
samping Luna. “Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ini hari Senin, bus pasti
sangat padat. Ayo, berangkat bersamaku.”
“Tapi,
Daniel?”
Jihoon
beralih menatap Daniel. Dengan ekspresi datar Jihoon berkata, “Kita berangkat
bersama. Bukankah sebelumnya kita pernah berada di satu mobil yang sama?”
“Aku
naik bus saja.” Daniel menolak.
“Mulai
sekarang, kita harus terlihat baik bersama!”
Daniel
menatap Jihoon dalam diam. Luna pun memberikan reaksi yang sama.
“Jika
tujuan kita sama, untuk melindungi Luna. Sebaiknya kau ikuti apa yang aku
katakan. Situasinya sedang tak baik. Aku harap kau bisa bekerja sama.”
Seperti
sebelumnya, Daniel duduk di kursi depan menemani sopir. Sedang Luna dan Jihoon
duduk di kursi belakang. Tidak ada percakapan sama sekali sejak mereka bertiga
masuk ke dalam mobil. Perjalanan menuju sekolah pagi itu sangat hening.
Jihoon
bersikap dingin dan datar. Hal itu membuat Luna tak nyaman. Tapi, ia pun tak
ingin bermanis-manis di depan Jihoon. Bukan karena ada Daniel bersamanya. Tapi,
ia benar-benar merasa lelah di hari yang masih pagi. Ia sibuk dengan ponselnya.
Grup squad Moon Kingdom sudah ramai sepagi
ini. Sungwoon dan Woojin berjanji akan menunggu Luna di gerbang. Mereka siap
mengawal Luna agar aman seharian di sekolah. Luna mendesah pelan. Ia merasa
telah merepotkan banyak orang.
Mendengar
Luna mendesah gelisah, Jihoon pun menoleh. Luna mengembangkan senyum terbaik di
wajah lesunya. Ia tak ingin Jihoon—dan juga Daniel—khawatir. Ia meyakinkan
dirinya bahwa hari ini akan berjalan baik-baik saja. Seperti keinginannya.
Ketika
mobil Jihoon berhenti di depan gerbang sekolah, Luna melihat tak hanya Sungwoon
dan Woojin yang ada di gerbang sekolah. Tapi, Jisung dan Seongwoo juga berada
di sana. Melihat begitu perhatiannya teman-teman satu kelompoknya itu, Luna
merasa haru, senang, juga sedih. Karena keegoisannya, ia telah merepotkan
banyak orang. Ia pun turun dari mobil Jihoon. Dari jarak yang lumayan dekat
itu, ia bisa melihat reaksi terkejut keempat temannya.
Jihoon
berdiri di sebelah kanan Luna. Daniel kecewa dibuatnya.
“Walau
hubungan kami hanya pura-pura, di mata publik aku lah pacar Luna. Jadi, biarkan
aku memainkan peranku dengan baik.” Jihoon memperingatkan Daniel.
Daniel
hanya menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia paham.
Luna
tak mendebat. Ia berjalan mendahului dua adik kelasnya yang sejak bertemu pagi
tadi sudah membuatnya kelelahan karena rasa tak nyaman.
Jihoon
tak keberatan. Ia pun berjalan menyusul Luna. Sedang, Daniel menyunggingkan
sebuah senyuman melihat bagaimana Luna bersikap. Ia pun turut berjalan di
belakang Jihoon.
Saat
sampai di gerbang, Luna berhenti sejenak untuk mengajak keempat temannya masuk
ke dalam sekolah. Setelah mengucapkan ajakan itu, ia kembali berjalan tanpa
menoleh ke belakang lagi. Ia pun tak menundukkan kepala ketika mulai memasuki
sekolah. Mengabaikan banyak pasang mata yang mulai menatapnya ketika ia
memasuki area sekolah.
***
Seperti
yang sudah ia prediksikan sebelumnya, di sekolah heboh karena postingan Dinar
yang membongkar status persahabatannya dengan Rania. Tapi, Luna berusaha
mengabaikannya. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat perlakuan seperti itu. Walau
ia tak banyak bicara, squad Moon Kingdom
tetap memberinya dukungan. Ketika Luna meminta waktu untuk sendiri, walau
tampak keberatan, Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin pun memberinya ruang.
Ia juga merasa lega karena Rania memberi kabar jika Minhyun, Jinyoung, dan
Jaehwan menyambut baik fakta tentang persahabatan mereka.
Luna
keluar dari salah satu bilik toilet. Ia menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Saat ia mencuci tangan, Daerin
keluar dari salah satu bilik toilet dan berdiri mencuci tangan di wastafel yang berada tepat di samping
kirinya. Walau bersikap acuh tak acuh, Luna bisa merasakan jika Daerin
memperhatikannya.
“Nggak
nyangka ketemu bintang hari ini di toilet.” Daerin menyindir Luna.
“Kebetulan
sekali ya.” Luna membalas dengan tenang.
“Menyembunyikan
sahabat sendiri. Kenapa? Takut kesaingan? Tadinya aku berpikir kenapa murid
asal Indonesia itu gabung Klub Vokal. Sekarang aku tahu, karena dia memang
berbakat. Bahkan, ia bisa menyanyikan bagian rap Lisa dan Jennie dengan baik.”
“Kok
aku merasa yang takut kesaingan itu kamu ya? Secara Cue gabung Klub Vokal dan dia
berbakat. Dia juga lumayan manis. Jadi, Cue bukan ancaman buatku. Tapi,
buatmu.”
“Ya!
Mezzaluna!”
“Nadamu
meninggi, aku benar ya?”
Daerin
berdecak. “Aku nggak takut kesaingan Rania!”
“Tapi,
takut kesaingan Linda.”
Daerin
mendelik. “Ya, Mezzaluna! Stop ikut
campur urusanku!”
“Bagaimana
foto yang aku kirim tempo hari? Jisung dan Linda tampak baik bersama, kan?”
Daerin
diam dan menatap geram Luna.
Luna
menghela napas. Ia mematikan keran dan mengeringkan tangannya. Lalu, ia berdiri
menghadap pada Daerin. “Harusnya kau menyerah saja, Kang Daerin. Untuk apa
mengejar Jisung yang sama sekali tak menginginkanmu.”
“Tahu
apa kau tentang kami?”
“Mmm…
mungkin lebih dari yang kamu tahu.”
Daerin
semakin geram.
“Jangan
buang-buang waktumu untuknya.”
“Aku
tidak membuang waktuku!”
“Ya
terserah kamu. Padahal ada yang perhatian dengan tulus padamu, tapi malah kau
abaikan.”
“Siapa
yang lebih perhatian padaku kecuali Jisung?”
Luna
mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Bukankah kau yang lebih tahu tentang hal
itu?” Ia menatap Daerin sejenak. “Terima kasih sudah menyapaku.”
“Luna-ya!”
Luna
yang hendak keluar dari toilet menghentikan langkahnya ketika Daerin memanggil
namanya.
“Ini
baru permulaan. Kau bisa mendapatkan yang lebih parah dari ini.”
Luna
yang berhenti tepat di samping kiri Daerin terdiam. Lalu, ia menganggukkan
kepala. “Terima kasih atas perhatiannya.” Luna melanjutkan langkahnya.
Meninggalkan Daerin sendirian di toilet.
***
Rania
merasa lega karena Jinyoung dan Jaehwan justeru menyambut baik fakta tentang
persahabatannya dengan Luna. Tapi, ia menjadi makin canggung pada Minhyun.
Sekarang Prince-nya Luna itu tahu dia
adalah sahabat Luna sejak SD. Ia yakin Minhyun pun pasti merasa terganggu.
Walau Minhyun mengatakan bukan masalah jika ia adalah sahabat Luna sejak SD.
Tapi, Rania yakin Minhyun sangat terganggu akan fakta itu.
Hari
Senin yang membuat Rania benar tak nyaman. Tatapan murid-murid dan kasak-kusuk
mereka yang mengomentari persahabatannya dengan Luna benar-benar membuatnya
muak. Tapi, tidak ada tempat untuk menghindar. Ia yakin Luna pasti lebih
menderita darinya. Karena Luna mendapat banyak komentar kebencian.
Rania
yang berjalan sendirian melihat Luna keluar dari toilet. Sebenarnya tujuannya
juga toilet. Melihat Luna keluar dari sana, ia ingin mengejar. Tapi, sepertinya
Luna buru-buru. Rania mengurungkan niatnya. Ketika Rania hendak masuk ke
toilet, Daerin tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.
“Ya
ampun! Aku bertemu bintang kedua hari ini di toilet. Mimpi apa aku semalam!” Daerin
melirik Rania lalu berjalan pergi.
Rania
tercenung di depan pintu masuk toilet. Daerin
dari toilet... itu artinya tadi Daerin ketemu sama Kucing di toilet. Ia
memiringkan kepala. Kucing buru-buru
gitu. Astaga! Apa mungkin pelaku bullying itu Daerin?? Rania terkejut
karena kesimpulannya sendiri.
Rania
meminta waktu untuk bertemu Sungwoon. Sungwoon mengiyakan. Setelah jam sekolah
usai, mereka pun bertemu. Tanpa basa-basi, Rania mengutarakan unek-uneknya. Ia
bertanya tentang perkembangan penyelidikan yang dilakukan Sungwoon, juga
tentang apa yang Sungwoon ketahui tentang Luna selama satu tahun mereka menjadi
teman seangkatan.
“Kamu
curiga Luna mengalami bullying?” Sungwoon
terkejut mendengar kesimpulan sementara Rania.
Rania
mengangguk yakin. “Kucing berubah drastis. Aku yakin ada pemicunya. Apalagi dia
tipe orang tertutup.”
“Memang
pernah ada rumor tentang itu. Setelah adanya rumor dia menolak Taemin Seonbae. Tapi, Luna tampak baik-baik
aja. Apa ada orang yang kamu curigai?”
“Ada.
Tapi, hanya kesimpulan sementara. Karena kamu sedang menyelidiki kasus Luna,
aku ingin membagi kecurigaanku denganmu. Aku yakin kamu orang yang bisa
dipercaya dan diandalkan.”
Sungwoon
tersipu mendengar pujian Rania. “Aku akan membantu semampuku.”
“Gomawo.”
“Siapa
yang kamu curigai?”
“Mungkin
ini terlalu dini, tapi aku memiliki keyakinan dan alasan. Aku rasa itu Kim
Jiyoon Seonbaenim dan mungkin juga
Kang Daerin.”
“Mwo??” Mulut Sungwoon membulat. Terkejut
mendengar kecurigaan Rania.
“Hanya
dugaan sementara. Tapi, bisa kah aku minta tolong padamu untuk lebih fokus pada
mereka berdua? Aku pun akan menggali informasi semampuku.”
“Kim
Jiyoon Seonbaenim…” Sungwoon
mengangguk-anggukan kepala.
Rania
menatap Sungwoon dengan penuh harap. Dari semua teman Luna, pada pemuda itu lah
ia menetapkan pilihan untuk membagi keresahan dan meminta bantuan.
***