My 4D's Seonbae - Episode #15 "Misi Pertama"
07:44
Episode #15 "Misi Pertama"
Jihoon
menuruni tangga dengan langkah ringan. Bahkan, ia sedikit berlari. Senyum itu
masih menghiasi wajahnya yang bersemu merah. Ia masuk ke dalam mobil dan
menghela napas ketika duduk menyandarkan punggungnya.
Jihoon
terdiam, lalu kembali tersenyum. “Kita pergi.” Perintahnya pada sopir yang
duduk di balik kemudi.
Luna
berdiri terpaku di depan pintu rooftop.
Jihoon sudah menghilang dari hadapannya. Ia pun menghela napas panjang. Lalu,
menyentuh pipi kirinya. Ia mulai gusar. Bahkan, ia menyentuh keningnya.
Park Jihoon keterluan! Kenapa dia berakting seperti itu? Di
sini? Untuk ditunjukkan pada siapa? Dan, Luna! Kenapa tubuhmu bereaksi seperti
itu? Rasa hangat itu… wajar, kan? Ya! Pasti wajar! Ketika Cue mencium pipiku
saja aku merinding. Apalagi ini Jihoon. Anu, maksudku ini cowok. Cue cewek aja
bikin aku merinding. Apalagi cowok! Luna
mengomel dalam hati.
Iya. Ini adalah reaksi yang wajar. Dan, besok! Besok aku
harus memperingatkan Park Jihoon. Aktingnya sudah keterlaluan! Ya! Harus! Harus
memperingatkan Park Jihoon!
Luna
membulatkan tekad. Ia pun segera masuk ke dalam rooftop-nya.
***
Karena
akhir pekan yang sibuk, Luna bisa tidur lelap semalam. Pagi ini pun ia
terbangun tepat waktu. Tak jauh beda seperti di Indonesia, hari Senin memang
sering membuatnya merasa terbebani. Terlebih di Korea, ia memiliki libur dua
hari setiap minggunya. Sindrom long
weekend kadang juga menyerangnya di hari Senin.
Tapi,
pagi ini Luna bangun dengan perasaan ringan. Ia pun tak merasakan beban atau
rasa malas untuk pergi ke sekolah. Ia menuruni tangga dengan riang. Ia pun
tersenyum pada Daniel yang sudah menunggunya di ujung tangga.
“Selamat
pagi!” Luna menyapa Daniel.
Daniel
terkesiap. Biasanya dia lah yang menyapa lebih dulu. Tapi, pagi ini Luna yang
menyapa lebih dulu. Daniel tersenyum getir. Efek
dari kencan itu memang luar biasa, batinnya.
“Selamat
pagi! Tumben menyapa lebih dulu!” Balas Daniel tanpa basa-basi. Ia dan Luna
berjalan berdampingan. “Pasti senang sekali karena kemarin habis kencan sama
Park Jihoon ya?”
Mendengar
nama Jihoon disebut, jantung Luna seolah copot dari tempatnya. Ekspresinya pun
berubah menjadi kaku. Sedang semburat warna merah mulai menghiasi wajahnya.
“Tentu
saja. Semua pasangan begitu kan?” Balas Luna. “Ah! Kamu ini apa-apaan!” Imbuhnya
meralat kalimat sebelumnya. “Kamu pasti tahu apa yang membuatku bersemangat
hari ini.”
“Mmm…
apa ya….” Daniel pura-pura berpikir.
“Sebenarnya
kemarin aku merasa nggak enak ke kamu.”
“Kenapa?”
“Kami
nggak tahu kalau kamu kerja paruh waktu di kafe itu. Maaf ya.”
“Oh
itu. Nggak papa kok. Lagi pula nggak ada yang harus disembunyikan, kan? Aku
nggak malu ketahuan kerja paruh waktu. Ada yang bilang itu hal hebat. Bahkan,
ia sampai ingin mencobanya.”
Luna
tersenyum dan memukul lengan Daniel. “Kamu memang beda. Kamu memang hebat. Bekerja
sambil sekolah itu hal yang luar biasa. Hanya orang-orang kuat yang mampu
melakukannya.”
“Berarti
aku termasuk orang kuat itu?”
“Iya
dong. Bisa nggak sih, kapan-kapan aku coba kerja paruh waktu di sana?”
“Mm?
Di tempatku bekerja?”
Luna
mengangguk antusias.
“Wah,
bagaimana ya?”
“Aku
penasaran aja sih. Bagaimana rasanya. Sehari pun tak apa. Atau, aku temui saja
bosnya? Minta izin. Di Korea bisa ya?” Luna antusias.
“Nanti
akan aku coba bicara dengan manajer kami.”
“Benar
kah?” Mata bulat Luna berkilat-kilat penuh semangat.
“Tapi,
aku nggak janji ya.”
“Oke.
Tempatnya bagus dan ramai. Nggak butuh endors sih ya.”
Daniel
dan Luna sampai di halte. Tak lama menunggu, bus pun tiba. Mereka naik ke dalam
bus yang pagi ini cukup ramai, hingga keduanya harus berdiri. Dalam situasi
seperti ini, Daniel selalu berdiri di belakang Luna untuk melindungi gadis itu.
Bukannya
Luna tak menyadari pada apa yang dilakukan Daniel sejak mereka sepakat untuk
berangkat dan pulang bersama. Pemuda itu telah melakukan banyak hal dan sangat
membantunya. Daniel pun selalu membuatnya merasa nyaman dan aman. Selalu
berterima kasih rasanya tak cukup bagi Luna. Ia pun tak kunjung ingat pada
peristiwa ia menolong Daniel. Sedang, Daniel pun tak kunjung memberi tahu
tentang momen pertemuan pertama mereka itu.
Luna
merasa ingatannya sangat payah untuk satu hal itu. Ia pun mulai bertanya-tanya
harus menunggu Daniel bicara sampai kapan. Ia juga berpikir sebaiknya melakukan
apa untuk membalas semua kebaikan Daniel.
“Hari
ini pasti akan banyak kehebohan.” Suara Daniel yang terdengar dekat di telinga
kiri Luna membuyarkan lamunan gadis itu.
Luna
terkesiap, lalu kembali menyadari jika ia berdiri di dalam bus yang sedang
penuh. “Mm.” Ia hanya bergumam menanggapi ucapan Daniel.
“Semoga
lancar ya. Dan, cepat terselesaikan.”
“Gomawo.”
“Kerja
keras Seonbae nggak sia-sia.”
Luna
tersenyum dan mengangguk.
Bus
sampai di halte dekat sekolah. Daniel dan Luna pun turun.
“Kang
Daniel….”
“Iya?”
Luna
menggeleng dan berkata, “Anee.” Ia tersenyum. Berjalan mendahului Daniel.
Daniel
menatap punggung Luna dan menghela napas. Ia pun berjalan di belakang Luna.
Menuju sekolah mereka SMA Hak Kun.
***
Luna
menemukan Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin berdiri di depan poster
promosi sekolah. Entah sejak kapan poster itu dipasang di dinding-dinding
sekolah. Seongwoo, Daerin, dan Jihoon tampak tampan dan cantik dalam poster
itu. Luna berhenti di belakang keempat temannya. Tatapannya terhenti pada foto
Jihoon dalam poster. Ia pun menghela napas panjang.
“Memang
keren ya? Pasti ada campur tangan aplikasi untuk mengedit foto.” Luna
mengomentari poster yang sedang ditatap dan dikomentari oleh keempat temannya.
Empat pemuda itu pun kompak menoleh.
“Eh,
Luna? Sejak kapan di situ?” Respon Jisung.
“Lumayan
lama.” Luna berbohong. “Kalian tersihir pesona tiga model dalam poster itu sih.
Sampai nggak nyadar aku dateng.”
“Sepertinya
kemarin di pasang. Hari Sabtu belum ada kok.” Ujar Seongwoo.
“Kamu
tampan di poster itu.” Luna memuji.
“Benarkah?”
Seongwoo tersipu.
“Aslinya
jauh lebih tampan sih.” Luna mengedipkan mata pada Seongwoo berniat menggoda.
“Hoh!
Luna, sebenarnya kamu itu memuji Seongwoo apa Jihoon?” Sungwoon menyela.
“Keduanya.
Kang Daerin juga cantik.” Luna kemudian berjalan menaiki tangga. Menuju lantai
dua tempat kelasnya berada.
Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin mengikuti di belakangnya.
“Poster
begitu bagusnya masih ada aja yang berkomentar negatif.” Woojin berujar.
“Manusia
biasa seperti itu. Mau bagus atau buruk, tetap nggak lolos dari komentar.”
Jisung memberi respon. “Seongwoo nggak usah mikirin komentar negatifnya ya.”
“Emang
apa komentar negatifnya?” Tanya Luna.
“Banyak.
Salah satunya, kenapa Ong Seongwoo yang nggak ada prestasi akademis.” Jawab
Sungwoon.
“Hmm,
mereka nggak liat prestasi non akademisnya kali ya? Nggak melihat visi misi
sekolah di balik poster promo itu kali ya? Benar Seongwoo nggak terlalu
menonjol di bidang akademis, tapi di Klub Fotografi, dia salah satu maskot,
kan?”
“Seongwoo
dibandingkan sama Minhyun tuh. Kenapa bukan Minhyun yang jadi modelnya? Kan dia
lebih pantas daripada Ong Seongwoo.” Woojin ikut bicara.
“Siswa
tipe kayak Minhyun udah mainstream.
Ya, dia emang akademisnya bagus. Di Klub Fotografi juga berprestasi. Wakil
Ketua OSIS juga. Maksudku yang begini sudah umum. Kalian paham kan maksudku?
Kang Daerin contoh murid yang bagus dalam bidang akademis. Dan, dia mulai
merintis karir di dunia modeling, kan? Lalu, Park Jihoon yang nggak perlu
ditanya lagi dia seperti apa.
“Menurutku
pesan di balik poster itu adalah di sekolah ini bukan hanya akademis saja yang
didukung dan difasilitasi. Tapi, non akademis juga. Sekolah mendukung bakat dan
minat murid di luar akademis. Intinya seperti itu.” Luna menutup penjelasannya.
“Benar
sekali. Aku setuju!” Sungwoon mengamini penjelasan Luna. “Kamu jangan minder
Seongwoo. Walau kamu nggak menonjol di bidang akademis, kamu berprestasi di
bidang non akademis.”
“Nah,
kita sebagai murid SMA Hak Kun harusnya memberi komentar seperti itu ya. Agar
masyarakat luas paham apa visi misi sekolah kita.” Jisung ikut bicara.
“Iya.
Mereka yang berkomentar negatif itu mungkin sekolahnya bukan di sini. Tapi, di
planet lain.” Woojin sependapat dengan Jisung.
“Ngomong-ngomong
bagaimana penyelidikannya Luna?” Sungwoon mengganti topic obrolan.
“Aku
udah nyerahin semua ke Jaehwan. Seharusnya Jaehwan udah nyerahin ke Minhyun dan
Minhyun ke Taemin Seonbae.”
“Kok
estafet gitu? Jadi, kamu sama sekali nggak ngobrol sama Minhyun?”
“Hampir
nggak.”
“Hampir
nggak? Wah, sayang sekali. Padahal kesempatan untuk berbaikan.”
“Ya
kalau Minhyunnya mau baikan. Kalau nggak?” Sahut Jisung. “Trus, hasilnya gimana?
Bae Jinyoung nggak salah kan?”
“Kita
tunggu aja pengumumannya.” Luna memasuki kelas.
“Oya,
aku lupa.” Seongwoo sambil meletakkan tasnya. “Hari ini ada murid baru lho!
Katanya dari Indonesia.”
“Wah,
Indonesia lagi? Kamu tahu dari mana?” Jisung penasaran.
“Sabtu
kemarin saat ngumpul sama tim promosi. Nggak sengaja denger obrolan guru.”
“Laki-laki
apa perempuan?” Tanya Woojin.
“Perempuan.”
“Wah,
jadi di sekolah ini ada tiga siswi dari Indonesia ya?” Jisung berseri.
“Kelas
berapa?” Tanya Sungwoon.
“Kelas
XI. Katanya masuk kelas XI-B.”
“Pasti
di sana. Kan baru ada siswi yang keluar.” Woojin menyahut.
Empat
pemuda itu kemudian menatap Luna yang diam tak berkomentar. Gadis itu duduk di
bangkunya, diam, menatap keluar jendela. Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin
saling melempar pandangan. Namun, tak ada yang berani bertanya pada Luna.
***
Dua
pasang kaki itu berjalan menyusuri koridor yang kosong. Bel tanda masuk
berdering beberapa menit yang lalu. Murid-murid masuk ke kelas masing-masing.
Bahkan di beberapa kelas, pelajaran sudah dimulai.
Dua
pasang kaki itu berhenti di depan kelas XI-B. Orang yang berada di depan
membuka pintu. Murid-murid di dalam kelas XI-B pun diam. Guru laki-laki itu
berjalan ke tengah kelas. Beliau adalah wali kelas XI-B.
“Selamat
pagi, anak-anak. Hari ini bapak mampir ke kelas kalian karena ada pengumuman
penting.” Ujar Wali Kelas XI-B.
Semua
murid diam. Menaruh perhatian penuh pada guru di depan kelas.
“Aku
yakin ini masalah Bae Jinyoung.” Seorang siswa berbisik. Rekan di samping
kanannya menoleh dan menggeleng.
“Hari
ini kalian mendapatkan teman baru. Murid pindahan dari Indonesia.” Wali Kelas
melanjutkan.
“Indonesia?”
Celetuk Jaehwan sambil menoleh pada Minhyun yang duduk di bangku sebelah
kirinya.
Minhyun
yang duduk di bangku di dekat jendela itu mengangkat kedua bahunya tanda tidak
tahu.
“Tolong
kalian bantu dia ya. Masuklah!” Wali Kelas menatap pada pintu yang terbuka dan
mengangguk.
Seperti
di komando, semua murid di dalam kelas XI-B pun menatap ke arah pintu. Ekspresi
mereka rata-rata penasaran pada sosok murid pindahan asal Indonesia itu.
“Indonesia,
negara asalnya Luna kan ya?” Terdengar seorang siswa berbicara.
“Iya.
Luna juga dari Indonesia.” Siswa lainnya mengiyakan.
Gadis
itu pun masuk. Ia berjalan dengan kepala tertunduk. Rambutnya panjang dan
diikat ekor kuda. Ia mengenakan seragam SMA Hak Kun. Namun, tampak berbeda pada
bagian bawah. Gadis itu menambahkan celana olah raga pada bagian bawah seragam.
“Apa-apaan
dengan seragamnya?”
“Kenapa
dia memakai celana olah raga?”
“Apa
dia itu penggemar drama lawas Goong? Dandanannya seperti Shin Chae Kyeong.”
“Dia
sudah berulah di hari pertamanya.”
“Dia
lebih parah dari Luna. Apa semua orang Indonesia seperti itu? Haus perhatian
dan ketenaran.”
Siswa
dan siswi saling bersahutan mengomentari murid baru asal Indonesia yang
memasuki kelas.
Minhyun
tersenyum samar mengamati murid baru itu. Sedang Jaehwan, memiringkan kepala.
Tampak keheranan.
“Kenapa
kalian tidak bisa menjaga mulut kalian, ha? Biar bapak jelaskan dulu! Teman
baru kalian ini tidak berulah untuk mencari perhatian, dia hanya belum terbiasa
dengan seragam sekolah kita. Di Indonesia seragam sekolah tak sependek di
Korea. Jadi, teman kalian ini butuh penyesuaian.” Wali Kelas memberi
penjelasan.
“Aku
lihat di Internet banyak artis Indonesia yang memakai celana atau rok pendek.” Ujar
salah satu siswa.
“Ya!
Itu kan artis! Jangan samakan artis dengan warga biasa!” Jaehwan angkat bicara.
Membuat siswi baru itu menatapnya. Jaehwan pun segera tersenyum. Namun, siswi
baru itu buru-buru menundukan kepala.
“Sudah!
Sudah!” Wali Kelas melerai. “Silahkan memperkenalkan diri.”
Siswi
itu mengamati seisi kelas dengan cepat. Ia lalu tersenyum dan mulai
memperkenalkan diri. “Halo, saya Rania dari Indonesia. Mohon bimbingannya.”
Siswi baru asal Indonesia bernama Rania itu memperkenalkan diri dengan sopan.
“Oh,
namanya Rania. Setelah Luna, sekarang Rania. Nama mereka seperti nama idol ya.”
Komentar salah satu siswa.
“Hey!
Bukannya idol kita bernama Raina? After School, kan?” Seorang siswi meralat.
Membuat siswa yang sebelumnya berkomentar mendapat seruan ejekan.
“Sudah!
Sudah! Kalian ini ribut terus. Rania, kamu bisa duduk di sana.” Wali Kelas
menunjuk bangku kosong tepat di belakang Minhyun.
“Wah!
Dia duduk dekat Bae Jinyoung!” Celetuk salah satu siswa.
Rania
tersenyum dan berjalan menuju bangkunya. Murid-murid mengamati langkah Rania
hingga gadis itu duduk.
“Baiklah!
Bapak mohon diri. Tolong kalian bantu teman baru kalian ya.” Wali Kelas keluar
kelas diiringi jawaban kompak murid kelas XI-B.
“Ya!
Ganti! Ganti!” Jaehwan berbicara pada siswa yang duduk tepat di belakangnya.
“Apa?”
Siswa itu bingung.
“Kita
tukar tempat!” Pinta Jaehwan.
“Eh?”
Jaehwan
bangkit dari duduknya dan memaksa teman yang duduk di belakangnya berdiri.
Siswa itu pun menyerah. Minhyun memperhatikan tingkah Jaehwan. Namun, ia tetap
bungkam. Tak berkomentar.
Jaehwan
kini duduk tepat di samping kanan Rania. Ia memperhatikan Rania yang sedang
menyibukan diri. Pasti gadis itu merasa tak nyaman, karena menjadi pusat
perhatian hampir seisi kelas. Jaehwan melirik Jinyoung yang duduk di belakang
Rania. Pemuda itu diam, menatap keluar jendela. Tak peduli jika ada makhluk
baru nan cantik duduk di depannya.
Jaehwan
berdehem. “Hi, Rania.” Ia memanggil nama Rania untuk menyita perhatian gadis
asal Indonesia itu. Jaehwan tersenyum ketika Rania menoleh padanya.
“I'm Kim Jaehwan. Nice too meet you.” Jaehwan lanjut memperkenalkan diri. “Eum, if you need a help, you can ask me for help. I will help you, OK?
We are friend!”
Rania
tersenyum. “Annyeong. Saya Rania. Terima kasih. Saya senang Anda mau berteman
dengan saya. Mohon bantuannya ya.” Rania menunduk sopan.
Jaehwan
melongo. Kaget mendengar Rania berbicara dalam Bahasa Korea dengan lancar dan
sopan. Minhyun yang menonton, tersenyum mengejek tingkah Jaehwan.
Jaehwan
berdehem lalu tersenyum. “Itu lebih menyenangkan. Kamu sudah mahir ngomong
dalam Bahasa Korea. Aku Kim Jaehwan. Lalu, pemuda yang duduk di depanmu itu
ketua kelas kita, Hwang Minhyun. Selain ketua kelas, dia juga wakil ketua OSIS
di sekolah kita. Dan, pemuda yang duduk di belakangmu itu Bae Jinyoung. Teman
kita juga.” Jaehwan memperkenalkan Minhyun yang duduk di depan Rania dan
Jinyoung yang duduk di belakang Rania.
Mendengar
namanya disebut, Jinyoung pun menoleh. Ia tersenyum kikuk ketika Rania menoleh
ke belakang dan tersenyum padanya.
“Halo.
Aku Rania.” Rania mengulurkan tangan kanannya pada Jinyoung. Jinyoung terkejut
dan menatap Rania.
“Di
Indonesia, budaya perkenalan adalah dengan berjabat tangan.” Minhyun angkat
bicara. Menjelaskan kenapa Rania tiba-tiba mengulurkan tangan.
“Oh.
Bae Jinyoung.” Jinyoung menjabat singkat tangan Rania. Ia kembali melirik Rania
yang masih tersenyum sebelum kembali menundukan kepala.
Rania
memutar badan, kini menghadap depan. “Halo, aku Rania!” Ia mengulurkan tangan
kanan pada Minhyun.
“Hwang
Minhyun.” Minhyun menjabat tangan Rania.
Rania
beralih pada Jaehwan, mengulurkan tangan kanannya pada Jaehwan. Jaehwan menjabat
tangan Rania.
“Terima
kasih. Mohon bantuannya.” Rania kemudian menarik tangannya.
“Begini,
karena kamu masih baru, misalnya kamu mendengar desas-desus apa pun itu di
kalangan murid, tolong jangan langsung percaya ya. Kamu bisa tanya aku atau
Minhyun.” Jaehwan tiba-tiba memberi wejangan.
Rania
menatap Jaehwan dengan ekspresi bingung.
“Intinya,
kamu bisa minta batuan kami.” Minhyun menyela.
“Nee.”
Rania tersenyum malu-malu.
Guru
memasuki kelas. Murid kelas XI-B segera menaruh perhatian ke depan kelas.
***
Bel
istirahat berdering. Mayoritas murid berhamburan keluar kelas untuk menuju
kantin, perpustakaan, atau ruang klub. Namun, ada beberapa yang tetap bertahan
di dalam kelas.
Di
kelas XI-B, Rania, Jinyoung, dan Jaehwan masih di dalam kelas. Jinyoung memang
terbiasa tetap di dalam kelas saat istirahat. Biasanya ia akan ke kantin
menjelang bel masuk. Karena saat itu suasana kantin sedang sepi.
Jaehwan
menatap Rania, lalu Jinyoung. “Rania,” panggilnya.
“Iya?”
Rania segera menoleh dan menaruh perhatian pada Jaehwan.
“Kamu
nggak pengen jalan-jalan? Melihat-lihat sekolah? Atau makan siang? Masa kamu
nggak laper?”
Rania
diam. Tampak ragu untuk bicara.
“Aku
akan jadi tour guide kamu. Kita tur
melihat-lihat sekolah, lalu makan siang bersama. Bagaimana?”
“Hmm,
gimana ya?”
“Kamu
takut sama aku? Aku temennya Luna. Kalau aku macem-macem ke kamu, aku bisa
dihajar sama dia.”
Rania
tercenung menatap Jaehwan.
“Kok
kamu kaget gitu sih? Kalian kan sama-sama dari Indonesia, jadi kalau aku
jahatin kamu, kamu bisa minta bantuan dia. Dan, aku nggak akan selamat.”
“Eh?
Kok?”
Jaehwan
tergelak. “Luna baik kok anaknya. Gimana? Mau tur?”
“Mm,
baiklah.” Rania akhirnya setuju.
“Oke!
Ayo!” Jaehwan bangkit dari duduknya.
Rania
memutar badan, menghadap Jinyoung. “Bae Jinyoung mau ikut?” Tanyanya.
Jinyoung
yang sedang menatap keluar jendela terkejut. Ia menatap Rania, lalu Jaehwan.
“Mau
ikut kami? Tur keliling sekolah, lalu makan siang bersama.” Rania mengulangi
dan memperjelas pertanyaannya.
Jinyoung
menatap Rania dengan bingung, lalu beralih menatap Jaehwan.
“Ayo
ikut! Daripada kamu di kelas sendirian.” Jaehwan pun memberi ruang.
Jinyoung
menatap Rania yang masih menatapnya dengan mata berbinar. “Ba-baiklah.” Jawabnya
kikuk.
“Wah!
Terima kasih!” Rania tersenyum makin lebar. “Ayo!” Ia pun bangkit dari
duduknya.
Jinyoung
pun bangkit dari duduknya, mengikuti langkah Rania dan Jaehwan yang berjalan
berurutan di depannya.
Tur
pun dimulai. Jaehwan selaku tour guide
mengantar Rania berkeliling sekolah. Ia menunjukan tempat-tempat penting bagi
murid. Jinyoung yang diam sepanjang tur lebih cocok sebagai peserta tur seperti
Rania, dibanding jadi asisten Jaehwan.
Selesai
dengan tur, Jaehwan menggiring anggota turnya ke kantin. Suasana di dalam
kantin masih cukup ramai. Ia membimbing anggota turnya untuk belajar tata cara
makan di sekolah. Walau Jinyoung adalah murid lama, ia menuruti apa instruksi
Jaehwan seolah ia murid baru, sama seperti Rania. Mereka bertiga pun duduk usai
mengambil menu makan masing-masing. Jaehwan melihat Jisung, Sungwoon, dan Seongwoo
masuk ke dalam kantin.
“Wah,
Luna nggak ada ya?” Gumam Jaehwan.
“Kenapa?”
Tanya Rania.
“Eh,
itu! Tadinya aku mau kenalin kamu ke Luna. Dia murid asal Indonesia juga. Yang
aku sebut di kelas tadi. Tapi, kayaknya dia nggak ke kantin. Atau belum? Tapi,
ketiga temannya sudah ke sini. Ah! Sudahlah. Selamat makan!”
“Selamat
makan!”
Jinyoung
hanya menundukan kepala, lalu mulai makan.
“Eh,
kita bergabung di sini aja.” Jisung tiba di meja Jaehwan.
“Silahkan!
Silahkan!” Jaehwan mempersilahkan.
Jisung,
Sungwoon, dan Seongwoo duduk berhadapan dengan Jaehwan, Rania, dan Jinyoung.
“Kenalkan!
Dia ini Rania. Murid baru asal Indonesia.” Jaehwan memperkenalkan Rania pada
Jisung, Sungwoon, dan Seongwoo.
“Halo!
Saya Rania.” Rania mengulurkan tangan kanan pada Jisung.
“Di
Indonesia, budaya perkenalan adalah dengan berjabat tangan.” Jaehwan meniru
jawaban Minhyun.
“Oh!
Aku Yoon Jisung.” Jisung menjabat tangan Rania.
“Ha
Sungwoon.” Gantian Sungwoon menjabat tangan Rania.
“Ong
Seongwoo.” Terakhir Seongwoo menjabat tangan Rania.
“Seongwoo
itu pemilik marga langka lho! Dia juga model sekolah kita tahun ini.” Jaehwan
sedikit menceritakan tentang Seongwoo.
“Wah,
senang sekali bisa berkenalan dengan model sekolah. Pantas saja aku merasa
pernah melihatnya, sekarang aku ingat. Di poster!” Rania antusias. Membuat
Seongwoo tersipu.
“Kami
teman-teman Luna. Dia dari Indonesia juga. Dia sekelas sama kami. Kami juga
satu kelompok.” Jisung bercerita dengan bangga.
“Luna
ke mana?” Tanya Jaehwan
“Entahlah.
Dia menghilang bersama Park Woojin. Kukira akan bertemu dengan kalian.” Jisung
menatap Jaehwan lalu Jinyoung. "”inyoung, senang melihatmu bergabung.”
“Eh,
iya. Terima kasih.” Jinyoung kikuk.
“Harusnya
sih udah selesai. Tapi, kenapa belum ada pengumuman ya?” Jaehwan seolah
berbicara dengan dirinya sendiri.
“Mungkin
sebentar lagi.” Sungwoon bicara sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
“Yang
pasti, selamat ya Jinyoung. Kamu bebas tuduhan.” Seongwoo tersenyum pada
Jinyoung yang duduk berhadapan dengannya.
Rania
memiringkan kepala. Mengamati tingkah teman-temannya.
“Wah,
Rania jadi bingung.” Jisung menyadari ketidakpahaman Rania.
“Nanti
aja aku jelasin. Kita makan!” Jaehwan menghentikan obrolan.
Rania
pun menurut dan melanjutkan makan.
***
Usai
makan siang, Rania kembali mengikuti Jaehwan. Selain Jinyoung, kini ada Jisung,
Sungwoon, dan Seongwoo bersamanya.
“Itu
murid baru yang diceritakan Seongwoo ya?” Tuding Woojin yang sedang berada di
dekat tangga bersama Luna.
Luna
yang sibuk dengan ponselnya mengalihkan pandangan. “Sepertinya iya. Wah, Jisung
dan yang lain sudah bergabung dengannya.”
“Ada
Bae Jinyoung juga.”
“Syukurlah.
Pasti ulah Jaehwan.”
“Tapi,
kenapa dia pakai celana olah raga seperti itu?”
Rania
dan rombongannya berhenti di depan majalah dinding yang berada tepat di dekat
tangga. Jisung, Sungwoon, dan Seongwoo memisahkan diri. Dari posisi Rania,
Woojin dan Luna tak terlihat. Keduanya memperhatikan Rania dan teman-temannya
di bawah sana.
“Dia
manis juga ya? Apa semua gadis Indonesia itu manis?” Woojin melirik Luna.
“Kami
terdiri dari banyak suku. Tentu saja masing-masing punya kelebihan. Bagiku
semua gadis Indonesia tentu saja unik, cantik, dan manis.”
“Serakah
sekali! Eh? Itu kan seonbae pembuat onar!” Woojin menuding empat orang kakak
kelas mereka yang berjalan mendekati Rania dan kedua temannya. “Mereka mau
apa?”
“Kita
tonton aja dulu.”
“Tonton??”
Empat
orang pemuda dengan tubuh besar itu menghampiri Jaehwan, Rania, dan Jinyoung.
Jaehwan langsung berdiri di depan Rania.
“Seonbae,
tumben menyapa?” Sambut Jaehwan ramah.
“Menyapa?
Hagh! Siapa gadis ini? Kenapa seragamnya aneh?" Tanya siswa bertubuh tambun
yang berdiri di tengah.
“Siswi
baru. Belum terbiasa dengan rok seragam sekolah kita yang pendek. Karenanya,
dia memakai celana olah raga.” Jaehwan menjelaskan.
“Dari
mana asalnya? Kok nggak terbiasa sama rok seragam sekolah kita? Bukan orang
Korea ya?”
“Indonesia.”
“Hah!
Indonesia lagi.” siswa itu berkacak pinggang dan ekspresinya terlihat tak
senang mendengar kata Indonesia.
Kening
Rania berkerut. Ia tak suka pada nada bicara dan ekspresi seonbae itu. Ia tak
suka mendengar ejekan itu. Memangnya
kenapa kalau Indonesia? Protesnya dalam hati.
“Kenapa
nada bicara Seonbae seperti itu? Tidak ada yang salah kan kalau dia dari
Indonesia?” Jaehwan memberanikan diri memprotes.
Seonbae
itu segera menatap tajam pada Jaehwan. “Orang Asia Tenggara itu menyebalkan
tahu!”
“Seonbaenim,
berkata rasis seperti itu bukankah dilarang?” Rania tiba-tiba angkat bicara. “Dalam
peraturan sekolah kita ditulis bahwa berkata rasis pada murid asing bisa dikenakan
poin dan sanksi. Di sekolah ini murid asing dan murid lokal mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.”
“Hey,
anak baru! Berani-beraninya kamu protes!” Seonbae itu mulai mengintimidasi.
“Walaupun
senior, kalau salah harus ditegur, kan? Kalimat Seonbae itu menyinggung
perasaanku. Bukankah seharusnya Seonbae minta maaf? Bukan malah mengintimidasi
seperti ini?”
“Intimidasi?
Ya! Lihat siapa yang bicara ini? Berulah di hari pertama sekolah. Kamu siapa?
Anak Duta Besar Indonesia?”
“Kalau
aku jawab iya, apa Seonbae percaya?”
Seonbae
itu tergelak. Menertawakan Rania.
“Rania,
sudahlah.” Jaehwan berbisik.
“Lihat
aja! Dia berteman dengan sampah. Makanya sama-sama sampah!” Seonbae itu memaki
di sela tawanya.
“Sampah?
Siapa yang sampah? Kim Jaehwan? Bae Jinyoung? Apa nggak salah? Bukannya yang
sampah itu… Seonbae?” Rania lirih pada kata seonbae.
Tawa
empat seonbae terhenti mendegar olokan balik Rania. Jaehwan menggigit bibir.
Sedang Jinyoung tetap diam, tapi ia terlihat was-was.
“Apa
kamu bilang? Aku sampah?” Seonbae itu terlihat emosi.
Rania
mengangguk. “Orang yang gemar merendahkan orang lain nggak ada bedanya sama
sampah yang busuk.”
“Kau!”
Tangan Seonbae itu terangkat. Hendak memukul Rania.
Jaehwan
menutup mata. Jinyoung terbelalak.
“Wow!”
Woojin dengan mata terbelalak. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Luna
yang berdiri di samping kiri Woojin menyincingkan senyum.
Rania
menahan tangan seonbae yang hendak memukulnya. Seonbae itu meringis kesakitan
karena Rania memelintir tangannya.
“Gian
nggak selamanya menang dari Nobita walau tubuhnya lebih besar dari Nobita.” Ujar
Rania sembari menyungingkan senyum. Ia lalu melepas tangankan tangan seonbae
yang akan memukulnya.
Seonbae
itu memegang tangannya yang memerah. Ia kesakitan.
Jaehwan
ternganga. Ia tak percaya melihat Rania menghalau serangan Seonbae yang
terkenal suka mengancam dan membuat onar itu. Sedang Jinyoung tersenyum samar.
Luna
bertepuk tangan. Menyita perhatian orang-orang yang berada di bawah tangga.
“Pertunjukan keren!” Ia memberikan satu jempolnya.
“Kamu
sejak kapan di sana?” Seonbae itu mendadak panik.
“Sejak
Seonbae belum datang menghampiri Jaehwan.” Jawab Woojin. “Seonbae tadi mau
apa?”
Semua
diam menatap Seonbae yang sebelumnya membusungkan dada di depan para juniornya
itu. Membuat seonbae itu salah tingkah.
“Mengucapkan
kalimat rasis itu berapa poinnya ya?” Luna sambil mengamati ponselnya.
“Ya!
Luna! Kau merekamnya?” Seonbae itu bersungut-sungut menuding Luna yang masih
bertahan di atas sana.
“Sebaiknya
Seonbae meminta maaf.” Jaehwan turut mengancam.
“Awas
kalian ya!” Seonbae itu dan gengnya pun pergi.
“Kalian,
sejak kapan di sana?” Sambut Jaehwan pada Luna dan Woojin yang berjalan
menuruni tangga.
“Dari
sebelum kalian sampai.” Jawab Woojin.
“Ini
Rania. Murid baru asal Indonesia itu.” Jaehwan memperkenalkan Rania pada Luna
dan Woojin.
“Halo!
Aku Rania.” Rania mengulurkan tangan kanannya.
“Park
Woojin.” Woojin menjabat tangan Rania lebih dulu. “Kenapa dengan seragammu?”
“Dia
belum terbiasa dengan rok seragam sekolah kita yang pendek. Jadi, dia memakai celana
olah raga itu.” Jaehwan masih menjadi juru bicara Rania.
“Oh
gitu. Kok Luna nggak ya?” Woojin melirik Luna yang ada di samping kirinya.
“Aku
menurunkan jahitan rok seragamku tahu! Walau masih pendek, tapi lumayan lah.
Beruntung di Korea masih ada tukang jahit.” Luna membela diri.
“Memangnya
kamu pikir kita di bulan apa? Sampai nggak ada tukang jahit.” Woojin bercanda
lalu melepas jabatan tangannya.
“Hi.
Aku Luna.” Luna menjabat tangan Rania.
“Oh,
jadi ini Luna yang terkenal itu.”
“Nggak
terkenal kok. Mereka aja lebay.” Luna tiba-tiba menggunakan bahasa Indonesia.
“Jangan
pakai Bahasa Indonesia dong! Kan kami nggak ngerti!” Protes Woojin.
Rania
dan Luna sama-sama tersenyum, sambil melepas jabatan tangan mereka.
“Itu
tadi keren lho!” Puji Woojin.
“Di
Indonesia aku ikut PD, Perisai Diri. Jadi, aku bisa membaca gerakan lawan.”
Rania tersipu.
“PD?”
Woojin tak paham.
“Bela
diri. Seperti taekwondo kalau di Korea.” Luna menjelaskan.
“Wah!
Keren dong! Aku ikut Klub Taekwondo lho! Gabung aja!” Woojin antusias.
“Luna,
tadi kamu beneran videoin seonbae itu?” Jaehwan menyela.
“Mm!”
Luna mengangguk. “Sudah lama aku mengincar dia. Tapi, baru kali ini Tuhan
berpihak padaku dan memberiku keberuntungan.”
“Wah,
kamu harus hati-hati mulai sekarang.”
“Dari
dulu dia kan emang benci banget sama aku.”
“Jangan
khawatir, Luna. Aku akan melindungimu.” Rania tersenyum lebar. “Orang seperti
itu sebenarnya takut kalau di lawan.”
Luna
tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Rania.”
Rania
hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman.
Mereka
pun berpisah usai berkenalan. Jaehwan, Rania, dan Jinyoung kembali ke kelas.
Sedang, Luna dan Woojin ke kantin untuk makan siang.
***
Murid-murid
kembali ke kelas masing-masing karena jam istirahat telah berakhir. Mereka
menunggu untuk jam pelajaran selanjutnya. Bunyi microphone berdenging terdengar di speaker yang tersebar di seluruh sekolah.
Selamat siang anak-anakku tersayang. Bagaimana waktu
istirahat kalian? Menyenangkan? Maaf menyita sedikit waktu kalian sebelum
pelajaran selanjutnya dimulai.
Suara
seorang guru laki-laki terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Murid-murid dari
kelas X sampai kelas XII menaruh perhatian pada pengumuman itu. Banyak dari
mereka yang berkomentar tentang pengumuman apa yang akan disampaikan secara
global seperti itu.
Selaku Pembina OSIS, Bapak akan mengumumkan sesuatu hal yang
sempat membuat murid-murid di sekolah kita menjadi sedikit terganggu dalam
mengikuti proses belajar-mengajar seminggu yang lalu. Bapak yakin hampir
keseluruhan, bahkan mungkin seluruh sekolah ini sudah tahu tentang apa itu.
Maaf Bapak harus menyebutkan hal ini. Tentang Bae Jinyoung siswa kelas XI-B dan
Lucy siswi kelas X-E
Murid-murid
di kelas XI-B langsung ribut. Jinyoung menundukkan kepala. Jaehwan menatap
Jinyoung. Minhyun menghela napas. Rania memiringkan kepala, bertanya-tanya ada
apa gerangan.
Di
kelas X-E pun tak kalah ribut. Lucy menunduk semakin dalam. Daehwi menggigit
bibir bawahnya, sambil menatap Lucy. Ia merasa khawatir pada gadis itu.
Di
kelas XI-E, Jisung, Sungwoon, dan Seongwoo kompak menatap Luna ketika nama
Jinyoung dan Lucy disebut. Luna tetap tenang, duduk di bangkunya dan menatap
keluar jendela. Sedang Woojin, tersenyum lebar. Menunjukkan ekspresi lega dan
puas.
Sebelumnya Bapak ingin mengucapkan terima kasih kepada Lee
Taemin, Ketua OSIS kita yang telah bekerja keras bersama timnya untuk
menjernihkan masalah ini.
“Lee
Taemin? Ih! Dia kan nggak nglakuin apa pun! Tinggal lapor aja!” Gerutu Hami
yang sedang duduk di kelasnya menyimak pengumuman.
“Kenapa hanya Lee Taemin yang
disebut? Dia kan nggak melakukan apa-apa.” Woojin juga memprotes pengumuman
itu.
“Hanya
ketua aja ya yang disebut?” Jaehwan pun kecewa.
Terima kasih untuk kerja keras semua murid yang terlibat
dalam proses penjernihan masalah ini. Terutama terima kasih pada Bae Jinyoung
dan Lucy yang mau bekerja sama hingga akhir. Dengan ini Bapak mengumumkan bahwa
apa yang terjadi pada Bae Jinyoung dan Lucy hanya salah paham. Kang Mi Na
selaku saksi yang melapor telah meminta maaf karena tindakannya yang gegabah
telah menimbulkan kesalahpahaman yang merugikan Bae Jinyoung dan Lucy.
Hari itu Lucy pingsan karena penyakit darah rendahnya
kambuh. Sedang Bae Jinyoung yang sedang berada di lokasi berniat menolong.
Tapi, Kang Mi Na yang melihat keduanya terburu-buru melapor hingga terjadilah
salah paham. Setelah tim OSIS melakukan mediasi, masalah pun jelas.
Kesimpulannya Bae Jinyoung tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab atas
pingsannya Lucy.
Murid-murid
yang mendengar pengumuman kembali ribut. Saling berkomentar.
Secara pribadi Bapak berterima kasih pada anak-anakku
sekalian karena tidak membawa kesalahpahaman ini ke web komunitas sekolah.
Terima kasih untuk kerjasama kalian. Semoga dengan adanya kesalahpahaman ini,
kita semakin bisa berkomunikasi dengan baik, dan bisa memahami sesama teman
dengan baik. Bukankah berbagi dengan teman itu menyenangkan? Jadi, jangan ragu
untuk bicara pada teman kalian. Banyak sekali contoh kesalahpahaman hanya
gara-gara enggan atau kurangnya komunikasi.
Terima kasih, lagi, pada Lee Taemin dan tim yang telah rela
meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat kesalahpahaman ini menemukan
penyelesaian. Jika kalian penasaran, temui bapak atau anggota tim Tata Tertib.
Taemin dan timnya benar-benar bekerja dengan baik. Mereka telah
memberikan bukti kepada kami. Jadi, jika ada di antara kalian yang penasaran.
Temui kami. Kami akan memperlihatkan bukti itu pada kalian.
“Bukti?
Bukti apa?”
“Kenapa
tidak diungkap saja buktinya?”
“Wah!
Mereka bertindak seperti polisi ya. Buktinya disimpan rapat. Muncul hanya dalam
persidangan saja. Jadi, yang terpenting adalah tersangka terbukti tidak
bersalah.”
“Ah!
Aku penasaran pada buktinya.”
“Nanti
aku mau pergi ke ruang Tata Tertib untuk melihat buktinya!”
Murid-murid
kembali berkomentar.
Sepertinya Bapak terlalu banyak bicara. Baiklah, mari kita
lanjutkan proses belajar mengajar. Terima kasih.
Murid-murid
masih ribut ketika pengumuman telah selesai.
Rania
memutar tubuhnya, hingga ia menghadap pada Jinyoung. Ia menatap Jinyoung yang
masih menundukkan kepala. Di sekitarnya, murid-murid kelas XI-B juga turut
memperhatikan Jinyoung.
Jaehwan
bangkit dari duduknya dan menghampiri Jinyoung. “Selamat ya. Akhirnya kesalahpahaman
ini bisa terselesaikan.” Ia menepuk pundak kanan Jinyoung.
Jinyoung
tersenyum kikuk pada Jaehwan.
“Sepertinya
serius sekali ya? Syukurlah masalah sudah selesai.” Rania turut bersimpati.
Jinyoung
pun memberikan reaksi yang sama pada Rania.
“Kamu
nggak penasaran sama masalah Jinyoung yang sempat bikin sekolah heboh?” Tanya
Jaehwan.
Minhyun
yang duduk tepat di depan Rania pun sudah memutar posisi duduknya hingga
menghadap Rania. Ia menyimak obrolan teman-teman yang duduk di belakangnya.
“Kenapa
harus penasaran? Maaf, bukannya aku tidak mau peduli. Tapi, itu bukan urusanku,
kan? Setiap orang punya masalah. Itu masalah mereka. Lagi pula aku baru hari
ini bergabung di sekolah. Apa yang terjadi sebelum aku tiba di sekolah ini, aku
tak peduli.” Jawab Rania.
Minhyun
tersenyum samar mendengarnya. Sedang Jaehwan dibuat ternganga. Jinyoung hanya
menatap Rania dalam diam.
Rania
kembali menatap Jinyoung. “Mari menatap masa depan. Hari kemarin dan sebelumnya
adalah masa lalu yang memberi kita pelajaran berharga agar lebih hati-hati
untuk menuju masa depan yang masih samar. Tetap semangat ya. Terima kasih sudah
mau berteman denganku.” Rania tersenyum lebar dan tulus.
Jinyoung
tertegun menatap Rania. Ia lalu tersenyum—benar-benar tersenyum-dan mengangguk.
Murid-murid
kelas XI-B kembali ke bangku masing-masing karena seorang guru memasuki kelas.
Pelajaran berikutnya pun dimulai.
***
“Kenapa
Lee Taemin Seonbae yang disebut berulang-ulang? Dia kan nggak ngapa-ngapain!”
Hami kemudian menghela napas dengan kasar.
“Dia
ketua tim. Tugasnya melaporkan semua hasil kerja kita hingga beres dan diumumkan
tadi.” Luna menjawab dengan wajah dihiasi senyum. Ia tak bisa menyembunyikan
kelegaannya karena kasus Bae Jinyoung dan Lucy selesai.
“Cuman
lapor aja, kan? Kita yang lari-lari—.”
“Ey!”
Potong Luna. “Kita kan udah sepakat untuk tidak disebutkan namanya. Atau
jangan-jangan kamu….”
“Nggak!
Nggak!” Hami menggoyang kedua tangannya. Membantah entah kecurigaan apa yang
terbesit di dalam pikiran Luna.
Luna
dan Kang Mina tertawa bersama melihat tingkah Hami.
“Peristiwa
ini benar-benar membuka pikiranku. Terima kasih. Karena kalian semua salah
paham itu beres dan menghapuskan rasa bersalahku pada Bae Jinyoung dan Lucy.
Lain kali, aku akan bertindak dengan lebih hati-hati. Tidak hanya mempercayai
apa yang aku lihat. Tapi, aku harus mendengar dan merasakan juga agar bisa tahu
kebenarannya.”
Luna
tersenyum dan mengangguk.
“Setiap
peristiwa, selalu ada hikmahnya ya. Untung bagi kita yang mau memetik hikmah
itu dan memperbaiki diri.” Hami kemudian tersenyum. “Kalau begini aku jadi lupa
sama waktu, tenaga, dan materi yang udah aku buang untuk penyelidikan. Hehehe.”
“Rasa
puas itu emang nggak bisa dibeli dengan apa pun ya.” Luna menyikut Hami. Ketiga
gadis itu pun tertawa bersama.
“Aku
nggak nyangka kasus ini selesai dengan cepat.” Siswi yang dari awal kasus Bae
Jinyoung-Lucy muncul terus memojokkan Bae Jinyoung itu menghampiri Luna, Hami,
dan Mina. Ia datang bersama kedua temannya, seperti sebelumnya.
“Yah,
anak ini. Kamu nggak puas apa Bae Jinyoung dinyatakan nggak salah?” Hami maju
ke depan. Meladeni siswi itu.
Siswa
kelas XII yang siang tadi membuat masalah dengan Rania melintas bersama
gengnya. Mereka berhenti dekat dengan adik kelas yang sedang berkumpul itu.
“Guru
aja udah mengumumkan kalau Bae Jinyoung nggak salah. Masa iya kamu nggak
percaya?” Hami melanjutkan.
“Masalahnya
bukan guru yang melakukan penyelidikan.” Siswi itu kukuh membantah.
“Mwo?
Jadi, kamu pikir apa yang kami lakukan itu nggak ada artinya?” Nada bicara Hami
sedikit meninggi. “Kamu nggak tahu gimana kami harus bolak-balik demi menemui
Lucy. Menghabiskan uang saku kami. Tunggu! Jangan-jangan kamu belum nonton
videonya?”
“Video?”
Gumam siswa kelas XII yang ikut menyimak.
“Ya,
sebelum menegur kami harusnya kamu nonton dulu videonya. Kami sengaja
menyerahkan video itu kepada tim Tata Tertib karena menjaga privasi Bae
Jinyoung dan Lucy, juga semua orang yang terlibat dalam video itu. Tapi, kalau
kamu minta bukti ke tim Tata Tertib, pasti bakalan dikasih tahu soal video itu
kok.”
“Masalahnya,
apa benar video itu asli?”
“Kamu
pikir, itu rekayasa?” Mina ikut bicara.
“Ya.
Kamu ini! Ck!” Hami berdecak kesal dan berkacak pinggang.
“Video
apa?” Siswa kelas XII itu akhirnya bergabung.
“Video
pertemuan Bae Jinyoung dan Lucy, juga Kang Mina. Mereka bertiga kami pertemukan
untuk saling bicara, meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Karena video itu,
masalah Bae Jinyoung selesai dan dia dinyatakan tidak bersalah. Seonbae tadi
pasti mendengar pengumumannya, kan?” Hami menatap siswa kelas XII itu dari atas
ke bawah.
“Video
itu ada di tim Tata Tertib. Seonbae bisa minta pada mereka.” Mina menyambung.
“Video
itu… siapa yang buat?” Tanya siswa itu dengan hati-hati.
“Siapa
lagi? Tentu saja Luna!” Hami menunjuk Luna dengan bangga.
Siswa
kelas XII itu terperanjat. Ia menatap Luna yang balas menatapnya dengan wajah
dihiasi senyuman. Bukan senyuman, tapi seringaian yang membuat ngeri siapa saja
yang menatapnya.
***
0 comments