My 4D's Seonbae - Episode #16 "Saat Satu Misi Berhasil Terselesaikan, Maka Akan Muncul Misi-Misi Baru."
06:37
"Saat Satu Misi Berhasil Terselesaikan, Maka Akan Muncul
Misi-Misi Baru."
Senior
kelas XII itu masih mengamati Luna yang menatapnya dengan sebuah seringaian
samar di wajah ayunya. Ia bergidik ngeri. “Dasar psikopat!” Umpatnya sebelum
pergi.
“Mwo?”
Mulut Hami membulat mendengar umpatan seniornya itu.
“Udah
biarin aja!” Luna menahan Hami.
“Kalian
di sini rupanya!” Jaehwan datang bersama Jinyoung, Minhyun, dan Rania.
“Eh?
Minhyun?” Hami bergumam. Dia heran melihat Minhyun menghampiri Luna.
“Dia
kan tim penyelidik juga.” Mina berbisik lirih.
“Oh
iya! Mian, aku lupa. Hehehe.”
“Taemin
Seonbae minta kita kumpul!” Jaehwan sudah sampai di depan Luna. Ia
mengembangkan senyum seluas samudra di wajahnya.
Luna
terfokus pada Rania yang ada di antara Jaehwan dan Minhyun.
“Ini
karena kami berada di arah yang sama. Aku memaksa Rania pulang bersamaku.”
Jaehwan paham arti tatapan Luna dan segera memberi klarifikasi.
“Kalau
ke cewek peduli banget kamu ya. Tanpa diminta Luna, udah kasih perhatian. Giliran
Bae Jinyoung, harus ada intruksi dari Luna dulu.” Hami mengolok Jaehwan.
“Bukan
gitu, Hami. Tapi, kan…”
“Nggak
papa. Itu wajar kok. Manusiawi.” Hami memotong penjelasan Jaehwan.
“Astaga!”
Kedua mata sipit Jaehwan tiba-tiba melebar. “Jangan-jangan kamu cemburu ya?”
“Hoek!
Amit-amit! Kamu bukan tipeku tahu!”
Semua
menertawakan reaksi Hami.
“Udah
yuk! Kita ke ruang OSIS. Taemin Seonbae udah nunggu di sana.”
Rombongan
itu pun berjalan bersama menuju ruang OSIS. Luna berjalan di depan bersama Hami
dan Mina. Rania dan Jaehwan berada di belakangnya. Minhyun dan Jinyoung ada di
barisan paling belakang.
Kecepatan
langkah Luna berkurang ketika rombongan bergerak mendekati perpustakaan. Untuk
sampai di ruang OSIS, mereka harus melewati perpustakaan. Kecepatan langkah
Hami dan Mina pun turut berkurang. Begitu juga barisan yang ada di belakang
Luna.
Luna
mengerutkan dahi, memperhatikan seorang siswi yang sedang sibuk mengais isi
tempat sampah. Sedang Jihoon berdiri di dekat siswi itu. Siswi itu sesekali
mengusap pipinya yang berair. Gadis itu menangis.
“Park
Jihoon? Ngapain dia? Cewek itu nangis?” Hami dengan suara lirih ketika
langkahnya sudah benar-benar terhenti mengikuti Luna.
“Wah!
Apa yang dilakukan pacarmu, Luna?” Jaehwan yang mengamati dekat di belakang Luna
ikut berkomentar.
“Pacar??”
Rania terkejut hingga menoleh menatap Jaehwan.
“He’em.
Murid kelas X itu, Park Jihoon. Dia pacarnya Luna. Dia salah satu model sekolah
kita tahun ini.”
“Wah…”
Rania menoleh dan tersenyum pada punggung Luna.
“Tapi,
ngapain dia sama cewek? Ceweknya nangis pula?” Jaehwan memiringkan kepala.
“Jangan-jangan
Jihoon yang bikin siswi itu menangis?” Mina dengan suara lirih.
“Kamu
mau bikin heboh lagi?” Tegur Jaehwan. “Masalah Jinyoung dan Lucy baru kelar
lho!”
Di
barisan belakang, Jinyoung dan Minhyun diam dan menyimak.
Luna
tetap bungkam, walau teman-temannya mengoceh. Sebenarnya detub jantungnya sudah
meningkat sejak ia menemukan Jihoon di depan perpustakaan. Wajahnya pun
tiba-tiba memanas karena teringat bagaimana Jihoon mencium pipinya kemarin. Ia
benci reaksi itu dan sedang berusaha keras meredamnya. Andai ada jalan lain, ia
pasti akan memilih jalan lain itu untuk sampai ke ruang OSIS. Sayangnya,
koridor itulah satu-satunya jalan yang bisa membawanya ke ruang OSIS.
“Tapi,
kalau mendengar tentang kisah masa lalu Jihoon yang mengerikan itu, bisa jadi
kan? Gadis itu menangis karena ulah Jihoon.” Hami mendukung kecurigaan Mina. “Ada
monster bersembunyi di balik wajah imutnya.”
“Masa
iya itu ulah Jihoon? Apa yang dilakuin siswi itu sampai Jihoon membuatnya
menangis?” Mina meragukan kecurigaannya sendiri.
Di
belakang Luna, Rania diam dan menyimak. Sama seperti Jinyoung dan Minhyun.
Tapi, di wajahnya tergambar jelas ekspresi penasaran. Rania terus mengamati
punggung Luna dengan wajah dihiasi ekspresi penasaran itu.
Luna
menghembuskan napas pelan, lalu kembali berjalan. Seperti di komando,
rombongannya pun ikut berjalan.
Jihoon
menyadari kehadiran orang lain di koridor. Ia mengangkat kepala dan melihat
rombongan murid dari arah kanan. Melihat Luna berada di barisan depan, di
tengah-tengah Hami dan Mina, ia pun tak bisa menahan diri untuk tidak
tersenyum.
Luna
bisa melihat senyum dan wajah bersemu merah itu. Semakin dekat semakin jelas
wajah Jihoon terlihat. Dan, itu membuat detub jantungnya semakin meningkat.
Bahkan, ia mulai merasakan sesak di dadanya.
“Seonbae.”
Jihoon menghadang langkah Luna. Senyum dan wajah bersemu merah itu kini tersaji
dekat di depan Luna.
“Kenapa
dia cute sekali.” Hami memuji lirih.
“Kenapa
siswi itu menangis?” Jaehwan maju dan berdiri di samping kanan Mina yang
berdiri di samping kanan Luna.
“Oh.
Dia Han Joohee. Teman sekelas, juga teman satu kelompok dengan saya. Saat saya
datang, dia sudah mengais isi tempat sampah sambil menangis. Saya sudah
bertanya, tapi dia hanya diam dan terus bertingkah seperti itu.” Jihoon
berbicara dengan sopan di depan para seniornya.
“Sopan
lagi.” Hami lagi-lagi memuji. Sedang yang lain langsung terfokus pada Joohee.
“Hoobae,
kamu kenapa? Apa kamu kehilangan sesuatu?” Jaehwan dengan suara selembut
mungkin.
Hami
merasa terganggu dengan suara itu dan langsung menoleh ke arah kanan. “Kim
Jaehwan mengerikan sekali!” Ia bergidik ngeri.
Pintu
perpustakaan terbuka dan Daehwi muncul. Ia kaget melihat ada gerombolan murid
di depan perpustakaan. Ia mengamati dengan cepat satu per satu murid yang
sedang bergerombol di depan perpustakaan itu. Kedua mata sipitnya melebar
ketika tatapannya terhenti pada Han Joohee yang sedang mengais tempat sampah.
“Han
Joohee! Apa yang kamu lakukan?” Bukannya menyapa para senior, Daehwi langsung
menegur Joohee. Membuat semua murid yang sedang berkerumun di koridor itu
menatapnya.
Daehwi
yang menjadi pusat perhatian tiba-tiba merasa kikuk. Tatapannya bertemu pandang
dengan Luna. “An-anu itu tadi Han Joohee mencari kuisioner untuk pelajaran
Sastra Korea. Dia mendapat nilai jelek dan harus mendapatkan kuisioner itu
untuk memperbaiki nilai. Sayangnya yang tersisa hanya satu kertas kuisioner
yang sudah robek jadi dua. Dua orang siswa memperebutkan kertas itu hingga
sobek. Dan, sialnya saya sudah membuangnya ke tempat sampah.”
“Lim
Songsaengnim ya? Pantas jika Han Joo Hee berusaha keras. Lim Songsaengnim kan
killer.” Jaehwan akhirnya paham alasan Joohee menangis.
Daehwi
menggigit bibir bawahnya. Ia masih beradu pandang dengan Luna yang menatapnya.
Gadis itu tak menunjukkan emosi apa pun. Ekspresinya datar dan dingin.
Joohee
menegakkan badan. Kedua tangannya memegang dua buah kertas. Ia tersenyum
di sela tangisnya. Ia mengembalikan tutup tempat sampah dan membalikan badan.
Joohee berjingkat
kaget melihat ada beberapa murid telah berkerumun di sekitarnya. Bukan hanya
teman seangkatannya, Daehwi dan Jihoon. Tapi, ada beberapa senior juga di sana.
Pipi Joohee yang basah berubah warna menjadi merah padam. Ia malu.
“Tanganmu
kotor!” Luna memegang tangan kanan Joohee ketika gadis itu hendak mengusap
wajahnya yang basah.
Bukan
hanya Joohee yang terkejut karena tindakan Luna. Tapi, Luna tetap cuek. Ia
mengeluarkan tissu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Joohee.
“Cuci
tanganmu dulu.” Luna kemudian melanjutkan langkahnya.
Anggota
rombongan Luna pun mengikuti langkah Luna. Rania tersenyum pada Joohee. Namun,
senyum itu ia tarik ketika ia melewati dan menatap Jihoon.
Jihoon
yang berdiri berdampingan dengan Daehwi sempat beradu pandang dengan Minhyun
yang berjalan di barisan belakang bersama Jinyoung. Jihoon menghela napas
ketika rombongan Luna menjauh pergi. Sedang Daehwi masih menatap Joohee yang
berdiri tertunduk menatap tissu pemberian Luna di tangannya.
***
Hari
Senin yang melelahkan. Luna berjalan pelan menuju rooftop-nya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Daniel berdiri di
persimpangan gang. Ia tak yakin jika Daniel menunggunya. Tapi, pemuda itu
langsung tersenyum ketika ia muncul. Menepis keyakinan itu, Luna kembali
berjalan dan menyapa Daniel.
“Kok
di sini?” Luna berhenti di depan Daniel.
“Sengaja
menunggu Seonbae.” Daniel tersenyum manis.
“Menungguku?
Bogi kan sudah nggak ada. Aku bisa jalan pulang dengan tenang sekarang.”
“Aku
ingin bertanya sesuatu pada Seonbae.”
“Penting
banget ya? Sampai nungguin kayak gini. Kan kamu bisa kirim pesan.”
“Lebih
enak nanya langsung.”
Luna
diam. Mencerna pengakuan Daniel. Ia menepis perasaan aneh yang mulai
menyelimuti dirinya. Jangan-jangan dia
mau nanya soal kencanku sama Jihoon kemarin? Jangan-jangan Daniel liat pas
Jihoon nyium aku? Kayak di drama-drama itu? Aduh! Gimana ini?
Daniel
mengerutkan kening. Memperhatikan wajah Luna yang tiba-tiba dihiasi semburat
pink. “Seonbae?”
“Eh?
Iya?” Suara Daniel membawa kesadaran Luna kembali. Kedua mata bulatnya melebar
ketika ia menatap Daniel yang fokus menatapnya. Wajahnya terasa panas. Ia yakin
Daniel memperhatikannya ketika ia diam dan menduga-duga tadi.
“Kenapa
wajah Seonbae tiba-tiba memerah seperti itu?” Kalimat itu meluncur lancar dari
mulut Daniel.
Sialan! Kenapa anak ini frontal sekali sih? Nggak bisa apa
dia nggak nanya soal perubahan warna mukaku!
Luna mengumpat dalam hati. “Aku malu kalau kamu tanya-tanya soal aku dan Jihoon
kemarin. Kenapa sih? Jalan bareng sama temen cowok kan wajar? Apalagi status
kami couple!”
Daniel
melongo menatap Luna. “Aku cuman mau nanya soal video bukti itu. Bukan soal Seonbae
dan Park Jihoon.”
Luna
merasa malu bertumpuk-tumpuk. Ia tak tahu lagi apa warna wajahnya sekarang. Ia
hanya bisa merasakan panas yang teramat sangat berpusat di wajahnya. “Memangnya
kenapa dengan video itu?” Berusaha mengalihkan rasa malunya, Luna pun mulai
berjalan.
Daniel
menyusul langkah Luna. “Itu keren! Siapa yang merekamnya? Pasti bukan hanya aku
yang penasaran. Kebetulan sekali ya tempat ngumpulnya di kafe tempatku kerja
paruh waktu. Tapi, sayang aku nggak masuk dalam video. Hehehe.”
“Kamu
lupa kalau aku agen rahasia dari bulan?”
“Kucing
ajaib ya?”
“Begitulah.”
“Seonbae,
aku serius.” Daniel merengek. “Karena sangat sibuk, aku nggak bisa fokus memperhatikan
Seonbae. Aku penasaran siapa tim rahasia Seonbae. Aku menduga itu Guanlin, tapi
Guanlin bilang kemarin dia di rumah aja. Menyelesaikan tugas dari pelajaran
tambahan Bahasa Korea.”
“Yang
penting kan isi dari video itu. Kenapa kamu malah penasaran sama siapa yang
rekam video itu?”
“Yakin
yang lain nggak penasaran soal itu juga?”
Luna
teringat pada squad Moon Kingdom-nya.
Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin juga menanyakan tentang hal itu saat di
sekolah tadi.
“Kebetulan
banget ya lokasi pertemuannya di kafe tempatku kerja.” Daniel kembali bicara
sebelum Luna menjawab pertanyaannya.
“Sebenarnya
aku hanpir putus asa lho!”
“Putus
asa?” Daniel menoleh ke arah kiri, memperhatikan Luna yang berjalan di
sampingnya. “Kok gitu?”
“Putus
asa karena nggak kunjung nemuin Lucy. Aku dan Hami sampai ngejar Lucy ke rumahnya
dan ke rumah sakit. Untung aja Hami dengan suka rela membantu. Hari Sabtu, ia
pergi sendiri mencari Lucy. Akhirnya dia ketemu Lucy di rumah sakit tempat
nenek Lucy dirawat. Lucy bukannya menghindari kasus itu. Tapi, ponselnya nggak
aktif dan dia nggak masuk sekolah karena neneknya dirawat di rumah sakit. Lucy
menemukan neneknya nggak sadarkan diri saat pulang sekolah. Dia langsung
membawa neneknya ke rumah sakit dan meninggalkan ponselnya di dalam tas hingga
baterainya habis.
“Tanpa
susah-susah membujuknya, Lucy langsung setuju ketika Hami mengusulkan
pertemuan. Lucy sendiri merasa terbebani karena insiden itu. Sabtu malam, aku
langsung menemui Hami dan Lucy di rumah sakit. Dari sana, kami menghubungi
Jaehwan untuk membawa Jinyoung. Lalu, Mina pun setuju. Karena sudah ada janji
sama Jihoon, aku nggak bisa membatalkannya. Malam itu juga aku menelpon Jihoon
dan merubah tempat janjian. Untungnya Jihoon setuju. Usai nonton, kami nggak
sengaja nemuin kafe tempat kamu kerja. Melihat tempatnya mendukung, aku
langsung merubah tempat janjian. Kami sepakat bertemu di kafe tempatmu bekerja.
“Syukurlah
semua bisa diselesaikan di sana. Membuat dua orang introvert untuk bertemu dan saling bicara itu ternyata nggak
gampang. Cukup lama suasana kikuk itu berlangsung. Untung ada Hami dan Jaehwan.
Mereka jadi moderatornya.” Luna menghela napas dan tersenyum.
Daniel
ikut tersenyum. “Syukurlah. Aku ikut senang. Apa Seonbae orangnya selalu
begitu?”
“Mm?”
Luna menoleh ke arah kanan dan menatap Daniel. Pemuda itu tersenyum padanya.
Senyum polos dan tulus yang selalu membuatnya kagum. “Begitu gimana?”
“Peduli
pada orang lain. Padahal itu kan merepotkan.”
Luna
kembali menatap lurus ke depan dan terdiam. Merenungkan ucapan Daniel. Benar
yang dikatakan pemuda itu, rasa penasaran itu sungguh merepotkan. Ia paham akan
hal itu, tapi ia tak paham kenapa ia tak mau berhenti dan menjadi tak peduli.
“Malam
itu saat kami harus menginap di sekolah. Hari terakhir MOS.” Daniel mengubah topik
pembicaraan. Luna tak membantah. Ia tetap diam, menunggu Daniel melanjutkan
kalimatnya.
“Di
koridor itu lampu menyala dan sedang dipenuhi ngengat.” Daniel menunjukkan
ekspresi jijik ketika mengucap kalimat itu. “Aku nggak tahu harus bagaimana.
Tapi, tiba-tiba muncul gadis berambut panjang terurai itu. Aku berjingkat
kaget. Kupikir dia hantu. Tapi, ternyata bukan. Gadis itu menatapku yang
berhenti tak jauh dari lampu. Kami saling diam selama beberapa saat. Sampai
akhirnya dia bertanya kenapa aku berdiri saja di situ.” Daniel tersenyum kecil.
“Aku
bingung. Harus menjawab jujur atau tidak. Jujur kalau aku takut melewati lampu
yang sedang dikerubungi ngengat itu. Takut jika aku nekat lewat, ngengat itu
akan menempel bahkan menyerangku. Ingin aku bohong, tapi entah mulut ini malah
mengucap alasanku yang sebenarnya. Aku siap jika gadis itu akan menertawakanku
seperti kebanyakan orang yang tahu aku takut serangga. Aku siap jika gadis itu
akan mengolokku, badan aja gede tapi takut sama serangga, seperti kebanyakan
orang.
“Tapi,
gadis itu hanya diam. Lalu, ia melepas handuk yang melingkar di lehernya dan
menyelimutkannya pada kepalaku. Ia mengatakan, karena lampu-lampu itu
dinyalakan secara otomatis dari pusat, kami tidak akan bisa menemukan saklar
untuk mematikannya. Ia juga menambahkan, mematikan lampu tidak akan membuat
ngengat-ngengat itu pergi. Jalan satu-satunya adalah melewati lampu menyala dan
ngengat-ngengat itu.
“Gadis
itu mengulurkan tangan dan membantuku melewati lampu penuh ngengat itu. Handuk
yang ia selimutkan di kepalaku, melindungiku dari ngengat-ngengat itu. Aku
berhasil melewati lampu itu dengan selamat.” Daniel tersenyum setelah
menyelesaikan kalimatnya.
Luna
menghentikan langkahnya dan memiringkan kepala. “Dan, gadis itu adalah aku? Bagaimana
aku bisa melupakannya?” Ia menoleh dan menatap Daniel dengan wajah dihiasi
senyum. “Maafkan aku, Daniel. Jadi, itu pertemuan pertama kita?”
Daniel
yang berdiri di hadapan Luna tersenyum dan mengangguk.
“Malam
itu beberapa anggota Klub Teater terpilih untuk ikut menginap karena harus
mengisi acara hiburan dan demo klub. Aku termasuk menjadi anggota yang
terpilih. Di basecamp, saat aku
sedang membereskan kostum di atas lantai usai demo klub, tanpa sengaja Jaehwan
menyenggol botol minuman. Isi dari botol itu tumpah ke kepalaku. Aku pergi ke
toilet untuk membasuh rambutku yang lengket karena minuman rasa-rasa yang
ditumpahkan Jaehwan. Maaf jika kemunculanku yang secara tiba-tiba membuatmu
takut.”
Daniel
merasa lega. Luna masih mengingatnya. Ia menatap Luna dengan tatapan teduh, lalu
tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih karena peduli dan mau membantuku.
Terima kasih karena tidak menertawakan kelemahanku.”
“Rasa
takut itu memang mengerikan. Seperti yang aku rasakan saat aku bertemu anjing.
Rasa takut pada apa pun itu bukanlah hal yang seharusnya diolok dan
ditertawakan. Aku juga heran pada tipe-tipe orang seperti itu.”
Daniel
menatap tangga di belakang Luna. Tangga yang akan membawa Luna berpisah darinya
untuk hari ini. “Sebenarnya lebih dulu mana? Seonbae bertemu denganku atau Park
Jihoon?”
“Eh?
Kok?”
“Hanya
ingin tahu aja.”
“Aku
bertemu Jihoon saat ia mendaftar untuk gabung Klub Teater.”
“Jadi,
lebih dulu bertemu denganku ya? Andai saja aku punya keberanian lebih.”
Luna
menatap Daniel yang juga balas menatapnya. “Memangnya kenapa?” Ia memberanikan
diri bertanya.
Daniel
lagi-lagi menunjukan senyum polosnya yang manis itu. “Gadis yang nggak takut
serangga itu keren dan langka. Andai aku selangkah lebih berani dari Park
Jihoon, apa itu mungkin sekarang aku yang berada di posisi Park Jihoon?”
Luna
tertegun mendengar ungkapan Daniel.
“Peduli
padaku, nggak takut serangga, juga nggak takut hantu. Dia gadis yang aku
inginkan. Tipe idealku. Tapi…” Daniel tak melanjutkan ucapannya karena
menyadari jika Luna tertegun menatapnya. “Selama ini aku merasa sendiri. Tidak
ada yang peduli pada pemuda miskin sepertiku. Lalu, Seonbae datang. Tapi, aku
takut mengakuinya sebagai sebuah kenyataan. Takut jika ini semua hanya mimpi.
Jika saja aku lebih berani.”
Luna
mengerjapkan kedua matanya setelah sempat tertegun selama beberapa menit. “Kang
Daniel, apa ini artinya…” mulut Luna terbuka, kamu menyatakan rasa sukamu padaku? Ia menyelesaikan kalimatnya
dalam hati saja. Ia mengatupkan bibirnya dan menunduk.
“Babo!”
Luna mengangkat kepala. Kembali menatap Daniel. “Kamu takut aku nggak mau jadi
temanmu? Ck! Bagaimana kamu bisa punya pikiran kayak gitu? Memangnya aku ini
apa sampai nggak mau berteman sama kamu? Terkenal? Itu cuman alibi yang
diciptakan orang-orang! Aku dan kamu, kita sama. Hanya manusia biasa yang
berjuang untuk hidup lebih baik di dunia ini. Aku dan kamu, kita nggak ada
bedanya.”
Daniel
tersenyum melihat Luna yang terlihat salah tingkah. Ia tahu gadis itu tak
bodoh. Ia yakin Luna paham jika ia menyukainya.
“Aku
lelah sekali hari ini. Kamu juga, istirahatlah. Eh, sebentar lagi kerja ya?
Hmm, jangan lupa makan. Tubuh kita butuh nutrisi untuk kerja keras. Aku pamit.”
Luna tersenyun kikuk, lalu membalikkan badan membelakangi Daniel, berjalan
menuju tangga dan menaikinya.
“Seonbae!”
Luna
yang sudah berada di tangga ketiga menghentikan langkahnya dan menoleh pada
Daniel.
“Maafkan
aku. Terima kasih.” Daniel tersenyum manis dan tulus.
Senyum
dan wajah polos itu tiba-tiba membuat dada Luna terasa sesak. Ia hanya
tersenyum, lalu berjalan cepat menaiki tangga.
Daniel
menatap Luna hingga gadis itu menghilang dari jangkauan pandangnya. Ia menghela
napas, lalu pergi.
Luna
mengintip dan menemukan jalan itu sudah kosong. Daniel sudah pergi. Ia menghela
napas panjang, lalu menatap langit malam. “Wahai Penulis idolaku, kali ini
apa?” Ia berbicara pada langit malam dengan menggunakan bahasa Indonesia. “Kisah
apa yang ingin Kau tulis? Tolong abaikan aku! Tapi, bantulah teman-temanku.
Sudah kukatakan Kau bisa menggunakan aku, kan? Menggunakan aku untuk membantu
teman-temanku.”
Luna
mendesah dengan kasar. Lalu, berjalan menuju rooftop-nya.
***
Onyet: Cue!!! Gimana hari pertama sekolah di
Korea? Ketemu cowok mirip Eunwoo nggak?
Wirog:
Doh! Monyet ini teriak-teriak bikin telinga sakit! Mana foto bareng Kucing?
Onyet: Iya nih! Mana selcanya? Penasaran Kucing
pakek baju pink hasil jahitan Siput! Hehehe.
Cue: Nyet, lu pikir gue sekolah di Hanlim apa?
Selcanya minta langsung ke Kucing aja noh!
Siput: Kucing nggak suka ya? Duh, maaf. Warna
pink itu pilihan Cue yang diaminin Onyet sama Wirog.
Cue:
Suka kok. Kaget iya sih dia. Tapi, suka. Udah japri bilang makasih ke elu kan,
Put?
Wirog:
Cing, lu ngapain ngintip-ngintip doang! Sok jual mahal nih!
Onyet:
Speechless kali dia. Syok dapet rok
pink. Wkwkwk.
Cue: Biar idupnya berwarna dikit. Nggak item
putih mulu! Asal kalian tahu, dia nggak banyak berubah lho! Soal gaya pakaian. Casual as always.
Siput:
Maklum, Cue. Kucing cewek ndiri di keluarganya.
Cue:
Kan, ada mamahnya tuh! Tante feminim banget. Kalian tahu, kan?
Onyet: Yekan Kucing lebih banyak sama
abang-abangnya. Setuju sama Siput gue. Btw, lagi ngumpul nih. Nobar. Mumpung
Senin, nomat.
Cue:
Tetep aja lu, Nyet.
Onyet: Tetep lah. Gue kan nggak gampang berubah.
Seneng-seneng dengan hemat seru lho! Prinsip kita itu mah.
Wirog:
Cing! Jangan ngintip aja. Keluar sini!
Onyet:
Cing, cariin Cue cowok Korea. Kasian di Indo dia jomblo mulu. Wkwkwk.
Cue:
Njir! Kayak lu paling laku aja, Nyet. Orang sama jomblo dari orok kayak gue!
Siput:
Sama squad-nya Kucing tuh
cakep-cakep. Hehehe.
Cue:
Gua bungkusin buat kalian mau? Squad Moon
Kingdom-nya Kucing. Hahaha.
Onyet:
Emang belum pada sold out?
Cue: Kayaknya. Pilih dah mau yang mana. Ntar gue
paketin buat kalian. Mau Yoon Jisung, Ha Sungwoon, Ong Seongwoo, apa Park
Woojin?
Siput:
Cue udah pernah ketemu? Langsung hafal namanya. Keren!
Cue: Ingatan gue nggak seburuk itu kali, Put.
Inget lah nama-nama geng gebleknya Kucing.
Onyet:
Geblek? Gua ngakak woy!
Wirog:
KUCING!!! KELUAR LOE!!!
Onyet:
Kucing lagi sibuk siapin bungkus kali tuh. Wkwkwk.
Cue:
Senin woy Senin. Capek tau!
Onyet:
Sama aja kayak Indo kan?
Wirog:
KUCING! ADA CUE, LOE NGGAK NAPSU APA?
Cue:
Woy! Tikus rabies. Loe kira gua apaan?
Onyet:
Cue makanan favorit Kucing. Wkwkwk.
Wirog: Sehati sama Kucing suka manggil gua tikus
rabies. Kalian berjodoh kali. Udah buruan resmiin hubungan sana!
Siput:
Hahaha.
Onyet:
Wkwkwk.
Cue:
Kucing dah sold out!
Wirog:
Jinja?
Onyet:
Beneran?
Siput:
Wah, selamat!
Wirog:
Sama Prince ya?
Cue:
Eh, gue ngarep bisa ketemu Prince tau. Suer penasaran gue!
Onyet:
Jangan lupa fotoin kalau ketemu.
Siput:
Aku juga penasaran sama Prince.
Wirog:
CING! BIKIN KLARIFIKASI CEPET!
Luna
rebahan di sofa sambil menyimak grup chat Pretty
Soldier. Ia senyum-senyum membaca obrolan teman-temannya.
Luna
menghela napas panjang, meletakkan ponsel di atas perutnya. Kedua matanya
menatap langit-langit ruang tamu, namun tatapannya kosong. Ia melamun.
Momen
bersama Jihoon dan Daniel bergantian muncul dalam ingatan Luna. Getaran
ponselnya membawa kesadaraannya kembali. Luna menghembuskan napas dengan kasar.
Bangkit dari tidurnya di sofa dan pindah ke kamarnya. Ia berusaha untuk tidur.
Mengabaikan Jihoon dan Daniel yang terus muncul dalam benaknya.
***
Walau
hari berganti Park Jihoon dan Kang Daniel masih bergantian wara-wiri dalam benak
Luna. Bukan tanpa alasan, pesan Park Jihoon memenuhi ponsel Luna. Pemuda itu
menuliskan pujiannya tentang usaha Luna untuk membuktikan bahwa Bae Jinyoung
tidak bersalah. Ia juga merasa senang karena bisa terlibat dalam misi
penyelidikan itu walau hanya muncul dalam video saat pertemuan digelar di kafe.
Sama
seperti Daniel, Jihoon juga penasaran pada siapa yang membantu Luna merekam
video itu. Karena ia juga berada di lokasi. Tapi, walau sudah berusaha keras
mengingat momen saat di kafe. Ia tidak bisa menemukan titik terang tentang
sosok yang membantu Luna.
Karena
adanya Jihoon dalam video itu, squad Moon
Kingdom pun tak hentinya membicarakan hal itu di grup chat. Saat tiba di
sekolah pagi tadi, Luna pun sempat mendengar bisik-bisik murid tentang dirinya
dan Jihoon yang ada dalam video pertemuan untuk membuktikan bahwa Bae Jinyoung
tidak bersalah.
Sedang
tentang Daniel, seperti tempo hari. Pagi tadi pemuda itu sudah menunggunya
untuk berangkat sekolah bersama. Walau ia dan Daniel berusaha bersikap biasa usai
Daniel mengungkapkan isi hatinya semalam, rasa canggung itu tetap ada. Luna
tidak menyukai hal itu.
“Luna.
Kita ngapain sih di sini?”
Suara
itu membuyarkan lamunan Luna. Ia pun menoleh ke arah kanan dan menemukan
Sungwoon. Luna mengerjapkan kedua matanya. Bagaimana
dia bisa ada di sini?
Sungwoon
tersenyum lebar. “Nggak sengaja nemuin kamu berdiri sendirian di sini. Jadi,
aku temenin. Hehehe.”
“Nggak
sengaja nemuin apa emang membuntuti?”
“Hehehe.”
Sungwoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Jangan bilang kamu lagi
nungguin Jihoon?”
Luna
mendelik menatap Sungwoon.
“Trus
ngapain hayo? Berdiri di sini? Ini kan jalannya murid kelas X.”
“Kenapa
kamu nggak ngilang aja sih bawel? Bukannya Klub Vokal ada pertemuan ya?”
“Iya.
Eh, temenmu gabung Klub Vokal lho!”
“Temenku??”
“Rania.
Sama-sama dari Indonesia. Jadi, temen kan? Tadi aku nerima formulir pendaftaran
dia.”
“Oh…”
Luna kembali menatap ke arah depan. Dia baru ingat kalau Ha Sungwoon selain
menjadi ketua di kelasnya, juga terpilih menjadi ketua Klub Vokal yang baru.
Sungwoon
masih bertahan di samping kanan Luna.
“Kenapa
kamu masih di sini sih?” Luna merasa risih.
“Kamu
ada misi baru ya? Sekali-kali ajak aku dong! Kemarin kenapa Park Woojin sih?”
“Kan
dia satu klub sama Bae Jinyoung. Klub Basket.”
“Oh
gitu ya. Tapi, kamu bisa minta bantuanku. Serius ini. Aku kan cukup luas
pergaulan di sekolah ini.”
Luna
memutar kedua bola matanya. “Premannya kelas XI, kan?”
“Hahaha.
Nggak juga. Apa sih! Aku? Preman?”
“Aku
tahu kamu preman budiman. Pembela kaum lemah.” Luna memberikan satu senyuman
untuk Sungwoon.
“Senyumnya
nggak tulus!”
Luna
mengedikkan bahu.
“Karena
aku cukup disegani di sekolah, aku bisa melindungimu dengan baik.”
Luna
mengangguk-anggukan kepala.
“Jadi,
jangan ragu untuk merekurt aku dalam timmu ya.”
“Bukannya
kita udah jadi satu tim ya?”
Sungwoon
memiringkan kepala, lalu tersenyum. “Iya juga. Hahaha. Moon Kingdom.”
Luna
tiba-tiba menegakkan tubuhnya yang bersandar pada tembok. Membuat Sungwoon
terkejut. Gadis itu pun berjalan mendekati seorang siswi yang keluar dari kelas
yang sama dengan kelas Jihoon. Sungwoon tak mengikuti Luna. Ia tetap bertahan
di tempatnya dan memperhatikan apa yang dilakukan Luna.
“Han
Joohee!” Luna mengejar Joohee yang baru keluar dari kelasnya.
Joohee
segera membungkuk memberi salam. “Seonbae mencari Park Jihoon? Dia sudah keluar
dari tadi. Saya yang paling akhir karena harus piket membersihkan kelas dulu.”
“Kamu
piket sendirian?”
“Tidak.”
Joohee tersenyum canggung. “Teman-teman sudah pulang lebih dulu.” Ia menatap
Luna ragu-ragu. Jika dia tidak mencari
Park Jihoon, kenapa dia menahanku seperti ini?
Luna
mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya dan memberikannya pada Joohee.
“Ap-apa
ini Seonbae?” Joohee takut-takut.
“Kuisioner
yang kamu cari. Belum terlambat, kan? Yang kemarin, pasti nggak bisa
diperbaiki.”
Dengan
sedikit gemetar Joohee menerima kertas itu. Kemarin ia memang menemukan kertas
kuisioner yang sudah robek jadi dua yang dibuang Daehwi ke tempat sampah.
Setelah ia memperbaiki kertas itu dan memfotocopy, hasilnya tetap buruk. Luna
tiba-tiba muncul dan memberinya kertas kuisioner, benar-benar membuatnya
terharu.
“Kamsahamnida,
Seonbaenim. Jeongmal kamsahamnida.” Joohee membungkuk dalam-dalam di depan
Luna.
“Eh,
eh. Jangan gitu. Aduh. Aku jadi nggak enak.”
Joohee
menegakkan badan, dengan mata berkaca-kaca ia menatap Luna.
“Eh?
Joohee? Mau nang—“ Luna kaget karena Joohee tiba-tiba memeluknya. Ia pun
tersenyum dan membalas pelukan Joohee.
Sungwoon
yang menyaksikan adegan itu tersenyum.
“Daehwi
merasa bersalah padamu. Semalam dia menghubungiku. Lalu, kami bersama-sama
mencari bantuan. Bersyukur menemukan satu yang masih kosong. Kami
menggandakannya.” Luna berbisik pada kalimat terakhir.
Joohee
melepas pelukannya dan mengusap air mata yang tak bisa ia bendung lagi.
“Saat
kelas X, aku juga jadi murid Lim Songsaengnim. Jadi, aku tahu betapa killernya
beliau.”
“Tapi,
pasti Seonbae tidak pernah mendapat nilai jelek sepertiku.”
“Siapa
bilang? Aku juga pernah berebut kuisioner sepertimu. Walau aku murid asing,
tidak ada dispensasi. Nilai mendekati batas minus, harus tetap mengerjakan
tugas untuk menambah nilai. Semangat ya Han Joohee!”
“Kamsahamnida,
Seonbaenim.”
“Tolong
jangan lupakan Daehwi. Harusnya dia yang memberikan ini padamu. Tapi, dia
tiba-tiba harus pergi. Ada keperluan mendadak katanya. Entah kenapa ia
mempercayakan kertas ini padaku. Mungkin karena kertas ini sangat diburu murid
kelas X sekarang.”
“Dan
karena nilai Park Jihoon bagus. Jadi, tidak mungkin Seonbae memberikannya pada
Park Jihoon.”
“Eh?”
“Maaf,
Seonbae. Hanya bercanda.”
Luna
tersenyum tulus. “Sekarang mau ke mana? Langsung pulang?”
Joohee
mengangguk.
“Baiklah.
Hati-hati di jalan.”
“Sekali
lagi terima kasih Seonbae.”
“Nanti
aku sampaikan pada Daehwi.”
“Kok?”
“Kan
ini usaha dia. Daehwi yang nemuin satu kertas kuisioner ini. Eum, begini. Lebih
tepatnya dia menyimpannya untukmu. Tapi. Kemarin situasinya nggak memungkinkan
untuk ngasih kertas ini ke kamu karena masih banyak yang mencari. Dia nyimpen
beberapa untuk teman-temannya. Kamu termasuk satu orang yang dia prioritaskan.
Milikmu ini asli dari Lim Songsaengnim. Bukan hasil fotocopy.”
Joohee
terdiam sejenak. Lalu, tersenyum. Ia tidak menyangka jika Daehwi begitu
memperhatikannya. “Nanti kalau bertemu dia di perpustakaan, saya akan berterima
kasih secara langsung.”
“Good!”
Joohee
tersenyum, lalu pamit pergi.
Luna
menghela napas, masih bertahan di tempatnya berdiri. Menatap punggung Joohee
yang berjalan menjauhinya.
Sungwoon
berjalan mendekati Luna. “Jadi, target berikutnya gadis itu?”
“Kepo!”
“Jangan
pakai bahasa Indonesia dong! Itu tadi apa? Ngolok aku ya?”
“Kamu
pengen tahu aja sih. Itu artinya kepo.”
“Kep,
apa?”
“Udah.
Nggak penting.” Luna berjalan meninggalkan Sungwoon.
“Luna!”
Sungwoon mengejar Luna. “Aku bisa bantu apa untuk misi kali ini?’
Luna
menghentikan langkah. Sungwoon pun ikut berhenti.
“Serius
nih?”
“Iya.”
Sungwoon mengangguk antusias.
“Rania
masuk Klub Vokal kan?”
“Iya.”
“Lindungi
dia.”
“Eh?
Kenapa?”
“Kemarin
dia ada sedikit masalah sama senior pembuat onar. Tahu kan siapa?”
“Lho??
Masa?? Di hari pertamanya??”
“Tanya
Jaehwan atau Woojin deh kalau nggak percaya.”
“Wah…”
“Kenapa?
Takut?”
“Nggak
lah! Mereka cuman berempat walau badannya gede-gede. Gengku, ada sebelas orang.
Ngapain aku takut.”
“Oke.
Aku percayakan Rania ke kamu. Laksanakan tugasmu dengan baik Ha Sungwoon.” Luna
kembali berjalan.
“Luna!
Itu gampang. Tapi, aku mau jadi bodyguard
kamu.” Sungwoon mengejar Luna. “Bisa kan?”
“Klub
Vokal udah nungguin kamu. Aku nggak butuh bodyguard.
Emang aku apaan?”
Suara
cek-cok Luna dan Sungwoon memenuhi koridor yang sepi. Walau Luna menolaknya,
Sungwoon tak mau menyerah. Ia tetap menawarkan diri untuk melindungi Luna.
***
“Jadi,
aku harus melindungi Rania? Demi Luna? Kalau aku melakukan itu, apa Luna akan
mau terima aku jadi bodyguard-nya?
Kenapa aku malah nawarin diri jadi bodyguard
sih?” Sungwoon berjalan sambil ngomel.
“Aku
iri! Sepertinya Luna hanya perhatian sama Woojin. Jisung juga. Aku? Aku seperti
nggak terlihat di depannya. Tapi, kenapa aku iri sih? Oh!” Sungwoon terkejut
melihat Jaehwan dan Minhyun ada di depan basecamp
Klub Vokal. Selain dua pemuda itu, ada satu gadis bersama mereka.
“Ini
Rania?” Sungwoon menebak nama gadis yang sedang bersama Jaehwan dan Minhyun.
“Nee.
Annyeong.” Rania memberi salam.
“Aku
Ha Sungwoon. Ketua Klub Vokal yang baru. Terima kasih sudah mau bergabung dalam
klub kami.”
“Mohon
bimbingannya.” Rania kembali membungkuk.
Sungwoon
menatap Rania dengan ekspresi berseri-seri.
“Apa
arti tatapan dan ekspresimu itu?” Jaehwan menegur Sungwoon.
“Aku
senang bisa ketemu Rania. Tadi, Luna memintaku menjaganya.”
Minhyun
terkejut mendengar nama Luna disebut. Tapi, tak seorangpun menyadari perubahan
mimik wajahnya.
“Luna
memintamu menjagaku?” Rania bingung.
“Nee.
Kubilang temannya gabung klubku dan dia memintaku menjaganya.”
“Temannya?”
Pekik Minhyun tiba-tiba. Ia segera mendapat tatapan dari Jaehwan, Rania, dan
Sungwoon.
“Iya.
Sama-sama dari Indonesia kan?” Sungwoon menatap heran Minhyun. “Jadi, mereka
teman karena berasal dari negara yang sama. Jika berada di tempat asing pasti
akan berpikir seperti itu, kan? Jadi teman karena tempat asal yang sama.”
“Oh.”
Minhyun tersenyum canggung.
“Kalian
ngapain di sini?”
“Nganterin
Rania ke basecamp Klub Vokal.”
Jaehwan menuding pintu basecamp Klub
Vokal yang tertutup.
“Minhyun
juga?” Sungwoon berganti menatap Minhyun. “Tumben mau repot-repot begini? Biasanya
kamu cuek sama murid asing.”
Rania
ikut menoleh menatap Minhyun yang berdiri di samping kanannya.
Jaehwan
melirik Minhyun yang tampak bingung. “Kami janjian pulang bareng. Karena aku
nawarin diri nganter Rania, Minhyun jadi ikut.”
“Oh
gitu.” Sungwoon manggut-manggut.
Minhyun
kembali tersenyum kikuk. Saat tatapannya bertemu pandang dengan Rania, ia
terlihat semakin canggung.
“Ya
udah. Rania biar aku yang urus. Kalian bisa pergi.” Sungwoon mengambil alih
tugas Jaehwan.
“Sungwoon.”
Minhyun berhasil menghentikan gerak tubuh Sungwoon yang hendak membuka pintu basecamp.
“Apa
lagi?”
“Kang
Daerin.” Minhyun menyebut nama itu.
Alis
Sungwoon bertaut. “Kenapa dengan Daerin?”
“Itu…”
Minhyun melirik Rania.
“Ada
apa sih?” Sungwoon tak sabar dan menuntut Minhyun segera menyelesaikan
kalimatnya.
“Aku
tahu!” Jaehwan mengangkat tangan kanannya. Sukses menyita perhatian ketiga
temannya. Ia pun mendekat pada Sungwoon dan membisikkan sesuatu pada telinga
kiri Sungwoon.
Minhyun
dan Rania sama-sama menatap Jaehwan dan Sungwoon.
“Masa
sih?” Sungwoon usai Jaehwan membisikkan sesuatu di telinganya. Ia kemudian
menatap Minhyun.
“Hanya
untuk jaga-jaga. Aku minta bantuanmu.” Minhyun tersenyum tulus.
“Oh
gitu ya. Mm, baiklah. Aku baru tahu soal itu.” Kedua mata Sungwoon melebar.
“Minhyun! Kamu dan Luna…”
“Kami
pergi!” Minhyun menarik lengan Jaehwan dan menyeret pemuda itu pergi.
“Minhyun!
Eh, ini apa!” Jaehwan berusaha berontak. Tapi, Minhyun menariknya dengan kuat.
“Rania! Selamat bersenang-senang! Sungwoon! Tolong jaga Rania!” Jaehwan
melambaikan tangan kirinya yang bebas.
Rania
tersenyum dan membalas lambaian tangan Jaehwan. Ia kemudian kembali menghadap
Sungwoon. Pemuda itu masih menatap Minhyun dan Jaehwan yang berjalan semakin
menjauh.
“Apa
Minhyun dan Luna udah baikan? Gara-gara kasus Bae Jinyoung?” Sungwoon masih
menatap Minhyun yang berjalan semakin menjauhi dirinya.
Kening
Rania berkerut. Ia memiringkan kepala dan tampak berpikir.
Sungwoon
mengalihkan pandangannya pada Rania yang berdiri di hadapannya. Gadis itu
sedang melamun. “Rania! Ayo masuk!”
Rania
tersadar dari lamunannya. Tersenyum pada Sungwoon yang sedang membuka pintu basecamp Klub Vokal. Ia pun menyusul
langkah Sungwoon yang masuk ke dalam basecamp.
Di dalam ternyata tak begitu banyak murid yang berkumpul.
“Kok
cuman ini yang dateng?” Sungwoon mengamati tujuh murid yang berada di dalam basecamp.
“Kamu
minta kita kumpul di hari Selasa. Banyak yang nggak bisa. Bentrok sama jadwal
pelajaran tambahan.” Siswi yang duduk di sofa tunggal berbicara tanpa
mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Kegiatan
klub di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.” Sahut siswi lainnya. Ia duduk bersimpuh
di atas lantai yang dilapisi karpet.
“Tapi,
kita kan harus mulai membahas rencana untuk festival musim panas di sekolah
nanti.” Sungwoon kemudian teringat pada Rania yang berdiri di samping kirinya.
“Oiya, ini anggota baru kita. Rania.”
Tiga
siswi dan empat siswa yang sebelumnya cuek kompak mengangkat kepala. Menatap
Rania yang berdiri di samping kiri Sungwoon.
“Si
copycat Shin Chae Kyong ya?” Gadis
yang duduk di sofa mencibir.
“Hohoho.
Si Gadis Celana Olah Raga.” Siswi yang duduk di atas karpet di dekat meja turut
berkomentar.
“Selamat
bergabung. Semoga betah. Jangan kaget sama mulut mereka. Kalau Daerin ada di sini,
kamu bakal mendapat komentar yang lebih pedas dari itu.” Siswi yang
mengingatkan jadwal kegiatan klub turut berkomentar.
“Terima
kasih. Mohon bimbingannya.” Rania membungkuk di depan para seniornya di Klub
Vokal.
“Bahkan
anggota dari kelas X tidak ada yang datang.” Keluh Sungwoon. “Duduklah Rania.
Buat dirimu nyaman.” Ia kemudian menuju satu meja di pojok ruangan dan entah
sibuk dengan apa di sana.
“Rania!
Sini!” Gadis yang sebelumnya duduk di atas sofa memanggil Rania. Ia sudah duduk
di atas karpet dengan dua siswi lainnya.
Rania
pun duduk bergabung. Kenapa dengan
Minhyun dan Luna? Lalu, siapa Kang Daerin itu? Apa yang dibisikan Jaehwan pada
Sungwoon? Apa ada hubungannya dengan Daerin? Pertanyaan itu terus
berputar-putar di benak Rania.
Rania
berusaha mendengarkan ocehan ketiga temannya di Klub Vokal dengan baik. Sambil
sesekali ia melirik Sungwoon yang duduk di balik meja dan entah sibuk menulis
apa. Ia menghela napas pelan. Lalu, kembali fokus pada ketiga teman barunya.
***
Jihoon
menghela napas dan menggeleng pelan usai melihat Daehwi yang bertahan
bersembunyi di bawah meja.
“Keluar
dari sana! Tingkahmu itu menggelikan!” Jihoon mengalihkan pandangan dari Daehwi
ke ponsel di tangannya.
“Ssh!!!”
Daehwi meletakkan jari telunjuk tangan kanannya dibibirnya.
“Di
sini hanya ada kita. Tidak ada kegiatan klub hari ini.”
“Ssh!
Berisik banget sih kamu! Kalau Joohee ikut ke sini gimana? Aku bisa ketahuan!”
“Hagh!”
Jihoon kembali menoleh, menatap Daehwi yang berada di sisi kanan darinya yang
sedang duduk di atas sebuah bangku di dalam basecamp
Klub Teater. “Kamu pikir Han Joohee tipe cewek yang demen ngintilin senior
tenar yang baru sekali saja nyamperin dia?”
Daehwi
sewot. “Bisa jadi, kan?” Ia pun keluar dari bawah meja dan duduk menyelonjorkan
kaki di atas lantai. Ia meraih ponsel di sakunya dan memeriksanya.
“Omo!
Ada pesan dari Seonbae!” Mata sipit Daehwi terbelalak menatap ponselnya.
Jihoon
terkejut mendengar kalimat itu. “Seonbae kirim pesan?” Ia pun memeriksa
ponselnya. Tapi, Luna belum membalas satu pun pesan yang ia kirim. Hal itu
membuat ekspresinya berubah cemberut.
“Yey!
Mission complete!” Daehwi berseru
riang usai membaca pesan dari Luna.
Jihoon
menghembuskan napas dengan kasar, bangkit dari duduknya, meraih tas punggungnya
dan berjalan keluar. Meninggalkan Daehwi.
Melihat
tingkah Jihoon, Daehwi pun turut bangkit dari duduknya. “Park Jihoon! Kamu mau
ke mana?” Ia menyambar tasnya dan berlari kecil menyusul langkah Jihoon.
“Kamu,
mau ke mana?” Daehwi berhasil mensejajarkan langkah dengan Jihoon.
“Menyusul
Luna Seonbae!” Jihoon tetap berjalan dengan langkah lebar-lebar.
“Kalau
Seonbae masih sama Joohee gimana?”
“Aku
kan nggak minta kamu ikut!”
“Tapi,
aku takut di basecamp sendirian.”
“Kalau
gitu pulang aja!”
“Jihoon,
kamu nggak marah kan? Aku udah bilang berulang kali ke kamu. Gadis yang aku
sukai bukan Luna Seonbae. Kamu bilang, oke kamu paham. Tapi, kenapa kamu
tiba-tiba kayak gini? Kamu marah ya? Tapi, ini kan skenario yang Luna Seonbae
buat. Walau ya, demi aku.” Daehwi melirik ke arah kanan sambil terus berusaha
mengimbangi langkah Jihoon.
“Maksudku,
aku suka Luna Seonbae sebagai kakak. Aku anak tunggal, dan Seonbae baik dari
pertama kami bertemu. Aku menyukainya layaknya adik ke kakak. Itu kenapa aku
memilih cerita ke Seonbae. Tentang semua yang aku rasakan.” Daehwi kembali
melirik Jihoon yang tetap bergeming.
Daehwi
baru menyadari jika ekspresi Jihoon tiba-tiba berubah usai ia mengatakan Luna
mengirim pesan padanya. Mulutnya terbuka, lalu ia katupkan lagi. Daehwi paham
sekarang. Jihoon melihat ponselnya lalu beranjak pergi. Ia paham jika Jihoon
menunggu balasan pesan dari Luna, tapi gadis itu mungkin tak membalas pesan
yang dikirim Jihoon.
“Mungkin
saja Seonbae…” Daehwi kembali bicara, tapi tak melanjutkan karena Jihoon
tiba-tiba menghentikan langkah. Daehwi turut menghentikan langkah dan mengikuti
arah pandangan Jihoon.
Daehwi
ternganga. Ia melihat Luna sedang duduk di taman. Tapi, gadis itu tak
sendirian. Ada Taemin yang menemani di sampingnya. Daehwi menoleh, menatap
Jihoon. Wajah temannya itu berubah merah. Ia yakin Jihoon marah dan cemburu
karena melihat Luna sedang berduaan saja dengan Taemin. Daehwi menggigit bibir
bawahnya. Bingung tak tahu harus berbuat apa.
“Aku
rasa apa yang kita lihat belum tentu seperti apa yang kita pikirkan.” Dengan
hati-hati Daehwi mengucap kalimat itu.
Jihoon
mengabaikan Daehwi. Ia kembali berjalan, menuju tempat Luna berada.
Daehwi
menepuk keningnya. “Gawat! Park Jihoon!” Ia pun menyusul langkah Jihoon.
***
0 comments