My 4D Seonbae - Episode #12 "Semua Makhluk Berhak Bahagia"

22:43

                                            Episode #12 "Semua Makhluk Berhak Bahagia"





Luna selesai membersihkan diri. Ia duduk bersila sambil menikmati menu makan malamnya. Ia makan sambil sibuk dengan ponselnya. Usai menelan sisa makanan dalam mulutnya, ia mendesah. Selain banjir pesan dari Woojin, ia juga menerima pesan dari Dinar.
“Kenapa Mas Dinar ribet urusan kunjungan sih? Dipikirnya aku nganggur apa di sini?” Luna meluapkan rasa kesalnya usai membalas pesan Dinar. Ia berjanji hari Sabtu nanti akan berkunjung ke rumah keluarga kedua yang sudah sampai di Korea.
“Pakek alesan, apa kamu nggak kangen mereka? Dih! Ya kangen lah. Tapi, emang waktunya kan yang belum ada!” Luna lanjut ngomel sendiri sambil mengetik pesan balasan untuk pesan terbaru dari Dinar. “Nurutin chat Mas Dinar bisa nggak kelar kerjaanku! Lagian idol satu ini lagi ngganggur apa? Bisa chat gini.”
Luna meletakan ponselnya di meja. Ia merapikan peralatan makan malamnya. Lalu ia kembali duduk bersila di dekat sofa dan memeriksa ponselnya. Membaca pesan panjang dari Woojin.
Luna mendesah. “Kasihan sekali Bae Jinyoung ini. Padahal dia pemuda yang baik. Hanya karena satu ketidakberuntungan yang ia alami, ia harus menanggung beban itu seumur hidupnya. Apa yang harus aku lakukan?”
Luna diam. Berpikir tentang semua yang ia rencanakan dan mulai ia kerjakan hari ini. “Nggak seharusnya aku penasaran sampai kayak gini, kan? Lagi pula, belum tentu Bae Jinyoung membutuhkan bantuan kami. Pada Woojin aja sikapnya dingin. Apalagi ke aku? Bagaimana ke Jaehwan?”
Luna kembali diam. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya. Ia langsung mengirim pesan pada Aro, kakak sulungnya. Ia tersenyum puas kemudian. “Aku udah setengah jalan. Rasanya sayang sekali kalau harus mundur.” Ia tersenyum puas menatap ponselnya.

***


Seperti biasa Daniel sudah menunggu di dekat tangga. Kemudian ia berangkat ke sekolah bersama Luna. Sesuai perjanjian, jika salah satu dari mereka tak muncul setelah setengah jam, maka salah satu dari mereka boleh pergi lebih dulu. Daniel mengatakan kemarin ia pulang lebih dulu karena Luna tak kunjung muncul.
Luna meminta maaf dan mengatakan ia sedikit sibuk belakangan ini. Daniel mempercayainya. Perjalanan ke sekolah lebih banyak hening pagi ini. Daniel yang berusaha mengajak ngobrol tetap ditanggapi oleh Luna. Tapi, tak seantusias biasanya. Daniel memakluminya. Mungkin saja Luna kelelahan karena terlalu sibuk dengan entah apa pun itu yang sedang ia kerjakan.
Luna duduk di dekat jendela dalam bus. Daniel duduk di samping kirinya. Sejak naik ke dalam bus, Luna diam dan menatap ke luar jendela. Daniel merasa tak nyaman dengan situasi itu.
“Oya! Aku lupa!” Celetuk Luna tiba-tiba. Membuat Daniel sedikit tersentak. “Reaksinya gitu banget.” Luna heran melihat reaksi Daniel ketika ia bersuara.
“Seonbae dari tadi diam, aku berpikir apa terjadi sesuatu. Ketika Seonbae tiba-tiba bersuara, aku jadi sedikit kaget. Maaf.” Daniel tersenyum sungkan.
“Oh maaf. Aku pasti membuatmu merasa nggak nyaman. Aku sedikit banyak pikiran.”
“Nggak papa. Hanya saja aku belum terbiasa.”
“Maaf ya.”
Daniel tersenyum dan mengangguk. “Seonbae ingin menyampaikan sesuatu?”
“Oh iya! Ini!” Luna memberikan secarik kertas memo pada Daniel.
Daniel menerimanya dengan hati-hati. Lalu, membuka lipatan kertas memo itu untuk melihat apa yang tertulis dalam kertas itu. Kedua pupil mata sipit Daniel melebar saat kertas memo di tangannya terbuka. “Nomer ponsel Seonbae?” Tanyanya tak percaya.
“Mm!” Luna mengangguk. “Kita satu kelompok juga kan di EC? Biar lebih mudah kalau butuh sesuatu untuk satu sama lain.”
Daniel tersenyum lebar. Ia merasakan rasa lega yang luar biasa membuncah di dadanya. Akhirnya aku mendapatkan nomer ponsel Luna Seonbae, batinnya. “Terima kasih, Seonbae. Aku akan menjaganya dengan baik.” ia berjanji.
“Guanlin bilang apa?”
“Eh?”
Luna tersenyum melihat reaksi kaget Daniel. Senyum yang tulus dan manis.
Daniel senang melihat senyum itu. “Berhenti mengerjai aku.”
Luna menanggapinya dengan senyumnya yang masih terkembang. “Lalu, kapan aku bisa mendengar cerita tentang kapan aku menolongmu?”
“Mm, itu. Aku rasa sebentar lagi.”
“Jadi, aku harus menunggu lagi?”
“Mm... iya.” Daniel tersenyum lebar.
Luna menghela napas. “Kenapa orang-orang gemar membuat orang lain penasaran sih? Padahal penasaran itu kan merepotkan dan menguras banyak energi. Masa iya ingatanku seburuk ini juga? Sampai aku nggak bisa inget kapan aku nolongin kamu?” Luna memiringkan kepala.
Bus berjalan pelan hampir sampai di halte dekat sekolah.
“Kita sampai! Ya, Daniel. Emangnya kenapa kita harus pura-pura nggak kenal sih kalau di sekolah? Maksudku, kamu kan juga teman Guanlin dan kita juga satu kelas, satu kelompok di EC. Kita semua di sekolah ini teman kan? Masa iya kamu takut sama Park Jihoon? Monster berwajah imut?”
“Seonbae masih mengingatnya?”
Luna mengangguk. “Aku rasa itu memang cocok untuknya.”
“Pintu sudah terbuka, jadi kita bisa menunjukkan hubungan perlahan-lahan.”
“Mm?” Luna menoleh. Menatap Daniel dengan ekspresi bingung.
Daniel tersenyum dan berdiri. “Kita sudah sampai. Ayo turun. Oya, terima kasih untuk nomer ponselnya.” Ia berjalan lebih dulu.
Luna menyusul turun. Sambil merenungi ucapan Daniel tentang pintu sudah terbuka dan perlahan menunjukkan hubungan.
“Ya Kang Daniel!” Panggil Luna saat sudah berada di halte.
Daniel membalikan badan, menaruh perhatian pada Luna.
Luna berdiri diam, menatap Daniel yang berdiri jarak beberapa langkah di depannya. Ia mendesah, lalu berjalan melewati Daniel. Meninggalkan pemuda itu di belakangnya.
Daniel menatap punggung Luna yang berjalan meninggalkannya. “Tahu kah Seonbae, untuk berada di dekat Seonbae itu bukan hal mudah dan butuh keberanian.” Ujarnya. Ia pun tersenyum dan berjalan menyusul Luna.

***


Rutinitas yang biasa, berjalan seperti biasa. Saat bel pulang berdering, murid-murid berhamburan keluar kelas. Ada yang langsung pulang, ada yang menuju ruang klub atau ruang kelas untuk jam pelajaran tambahan, dan ada pula yang ke perpustakaan, atau sekedar duduk bersama di taman sekolah.
Daerin, Seongwoo, dan Jihoon harus kembali berkumpul untuk sesi pemotretan. Mereka tak menyangka, untuk jadi model sekolah membutuhkan pertemuan sebanyak itu. Dua kali pertemuan untuk diskusi dan sekarang untuk pemotretan.
Daerin dan Seongwoo yang selesai dirias duduk menunggu Jihoon yang sedang dirias. Mereka berada di basecamp Klub Fotografi yang mempunyai studio foto mini di dalamnya.
Fotografer yang bertugas untuk sesi pemotretan pun tak lain adalah pembina Klub Fotografi. Seorang fotografer profesional lulusan SMA Hak Kun yang sudah lima tahun mengabdikan diri membimbing para murid. Menggantikan pembina sebelumnya.

“Jisung akhir-akhir ini sibuk sama Luna ya?” Daerin membuka obrolan.
Seongwoo mengangkat kepala. “Kami semua, bukan Jisung aja.” Ia meralat.
“Kenapa sih selalu dia? Apa hebatnya murid asal Indonesia itu?” Daerin melipat tangan di dada, meluapkan kekesalannya. “Masa tiap kali aku ajak pulang bareng ada aja alesannya. Trus, ngapain juga dia ikut pelajaran tambahan Bahasa Korea?”
Seongwoo tersenyum melihat tingkah Daerin. “Lama juga ya kita nggak pulang bareng.”
“Sejak sekolah kembali aktif. Hampir dua bulan, kan? Hebatnya apa sih Luna itu? Jisung seneng banget sekelas lagi sama dia.”
Seongwoo berdehem. Ketika Daerin mengoceh tentang Luna, Minhyun melintas di dekat mereka. Minhyun anggota Klub Fotografi yang juga ketua klub, diminta membantu oleh pembina klub. Itu kenapa ia selalu hadir berkumpul bersama Daerin, Seongwoo, dan Jihoon.
“Apa aku harus bertanya padanya?” Daerin menatap Minhyun yang sibuk mempersiapkan studio untuk pemotretan. “Dia teman Luna semasa SMP, kan? Aku nggak percaya kalau mereka berantem cuman gara-gara tugas ilang.”
“Itu mungkin aja. Luna orangnya keras juga. Sama perfeksionisnya kayak Minhyun. Buat tipe orang kayak mereka, masalah yang bagi kita sepele bisa jadi seperti urusan hidup dan mati.”
Daerin tersenyum mendengar komentar Seongwoo. “Iya juga sih. Merepotkan!”
Jihoon duduk bergabung setelah selesai dirias.
“Ya, Park Jihoon. Kamu itu beneran pacaran sama Luna?” Tanya Daerin tiba-tiba.
“Nee?” Jihoon yang baru sampai dan diserang tentang urusan privasinya pun terkejut.
“Belum resmi pacaran ya? Padahal publik udah merestui kalian lho! Buruan resmikan hubungan kalian. Biar cowok lain nggak naruh harapan pada Luna.”
Bukan hanya Jihoon yang dibuat melongo mendengar ocehan Daerin. Seongwoo pun sama kagetnya. Ia tak menyangka Daerin akan memberikan saran seperti itu.
“Aku nggak tahu hebatnya Luna itu apa. Satu-satunya pesona dia yang aku akui karena dia murid asing yang nilainya bagus. Masa kamu nggak tahu kalau banyak cowok yang naksir dia?” Daerin melanjutkan. Pura-pura tak menyadari ekspresi kaget Jihoon dan Seongwoo.
“Kakak kelas, teman seangkatan, bahkan adik kelas. Aku banyak dengar tentang mereka yang suka Luna yang menurutku biasa aja itu. Tapi, penilaian orang tentang pesona seseorang beda-beda sih ya. Di mataku biasa, tapi wow di mata orang lain. Bisa juga sebaliknya.
Di sekolah ini lebih banyak cowoknya pula. Jadi, kalau nggak cepat-cepat maju buat dapetin cewek yang ditaksir. Bisa-bisa keduluan. Kalau udah maju tapi ndak segera diresmiin, bisa jadi ada kudeta lho!” Daerin tersenyum pada Jihoon.
Jihoon diam. Kepalanya sedikit tertunduk. Sedang Seongwoo, bingung. Tak tahu harus berbuat apa dalam situasi itu.
Minhyun kembali melintas. Daerin menatapnya. Tapi, Minhyun tetap cuek. Walau sudah pasti ia bisa mendengar apa yang dikatakan Daerin.
“Dia itu dulu teman baiknya Luna kan?” Daerin kembali bicara. “Teman sekelasku ada yang berasal dari SMP yang sama dengan mereka. Katanya, dulu mereka akrab banget. Minhyun yang memperkenalkan Korea pada Luna. Dia banyak membantu Luna. Bahkan, temanku menyesalkan Minhyun dan Luna berakhir dengan saling diam sampai sekarang. Aku curiga, dulu mereka bukan sekedar teman. Maksudku bukan murni teman. Bisa jadi Minhyun cinta monyetnya Luna dan sebaliknya, kan? Jadi, kemungkinan cinta lama mereka bersemi kembali itu ada.”
“Daerin-aa,” Seongwoo akhirnya angkat bicara. Menegur Daerin yang menurutnya sudah cukup keterlaluan dalam mendesak Jihoon.
“Wae?” Protes Daerin. Ia tak suka Seongwoo menyelanya seperti itu. “Aku hanya ingin memotivasi Jihoon. Dia harus mempertahankan apa yang udah dia capai sampai titik ini, kan? Lagi pula, aku nggak bisa 100% percaya pada hubungan Jihoon dan Luna. Bagiku, hubungan dua orang yang sama-sama menjadi pusat perhatian itu nggak wajar. Terlebih hanya dalam jangka waktu dua bulan. Kecuali keduanya emang gampang jatuh cinta.”
Mulut Seongwoo terbuka, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar.
“Orang bisa jatuh hati hanya sekian detik setelah saling tatap. Rasa tertarik itu, bisa muncul secepat itu. Dua bulan bukanlah waktu yang sebentar Seonbae.” Jihoon menjawab dengan tenang.
“Mm.... Jadi, kamu termasuk yang sekian detik setelah saling tatap itu?” Daerin tak kalah santai.
Hanya Seongwoo yang terlihat tegang. Tentu saja ia tegang. Ia tahu tentang betapa mengerikannya Jihoon jika marah. Bagaimana jika semua ocehan Daerin itu membuat Jihoon marah? Hal itulah yang paling dikhawatirkan Seongwoo.
“Nee.” Jihoon tersenyum manis dan mengangguk.
Minhyun datang menghampiri ketiganya. “Studio sudah siap. Pemotretan akan segera dimulai.” Ujarnya dengan ekspresi dan nada datar.
“Gomawo.” Seongwoo berterima kasih.
Jihoon tersenyum manis dan tulus pada Minhyun. Ia bangkit dari duduknya dan bersama Seongwoo berjalan menuju lokasi pemotretan.
Minhyun menatap sinis pada Daerin yang bangkit dari duduknya. Daerin membalas tatapannya tanpa ragu. Daerin berjalan melewati Minhyun.
“Luna bukan cinta monyetku. Begitu sebaliknya.” Ujar Minhyun saat Daerin melintas di depannya.
Daerin menghentikan langkah. Menatap Minhyun yang berada dekat di sampingnya. Kemudian ia menyunggingkan senyum di wajah ayunya dan berjalan menuju lokasi pemotretan.
Minhyun membalikan badan, menatap punggung Daerin yang berjalan menjauhinya.

***


Luna pulang bersama Jaehwan dan Woojin. Awalnya mereka janjian berkumpul di kedai ramen dekat sekolah. Tapi, ketika sampai suasana sangat ramai di sana. Banyak murid SMA Hak Kun menghabiskan sore mereka di kedai yang terkenal murah namun rasanya enak itu. Karenanya, mereka sepakat untuk ikut pulang ke rumah Luna.
Ketika sampai di halte di dekat sekolah, Luna lega tak melihat Daniel di sana. Walau ia sudah memberikan nomer ponselnya pada Daniel pagi tadi, pemuda itu belum menghubunginya sama sekali. Sepertinya pemuda itu masih memegang perjanjian pergi setelah menunggu 30 menit.
Luna tersenyum sendiri karena mengingat tentang Daniel. Menurutnya hal itu menarik. Dirinya dan Daniel seperti sedang memainkan sebuah permainan seperti petak umpet. Dan, mereka bekerja sama dengan baik. Akan sangat tidak baik jika ia dan Daniel harus berada dalam satu bus bersama Jaehwan dan Woojin.
Usai turun di halte yang letaknya dekat dengan komplek tempat tinggal Luna, mereka bertiga berjalan kaki untuk mencapai rumah Luna. Sepanjang perjalanan Jaehwan dan Woojin mengoceh. Mengomentari rute perjalanan Luna dan membahas apa saja yang menarik perhatian mereka dan layak dijadikan obrolan.
Luna menghentikan langkah saat sampai di persimpangan. Ia kembali dibuat bimbang menentukan gang sebelah kanan atau kiri. Jaehwan dan Woojin turut berhenti di sebelah kiri dan kanan Luna. Luna mantab memilih gang sebelah kanan. Toh ada dua pemuda bersamanya kini. Ia yakin akan aman dari Bogi. Tentu saja harapannya Bogi tak akan muncul dan menyapa mereka ketika lewat.
Luna tetap berjalan di tengah. Di antara Jaehwan dan Woojin yang berada di samping kiri dan kanannya. Ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah merah maroon, mendadak ia merasa takut. Takut Bogi muncul dan menyapa. Apalagi dari kejauhan tampak pagar rumah itu terbuka separuh.
Luna ingin membagi rasa takutnya itu pada Jaehwan dan Woojin. Tapi, mulutnya seolah terkunci rapat. Ia tak bisa berkata apa-apa dan tetap berjalan dalam diam, sembari terus memanjatkan doa agar Bogi tak muncul.
“Wah, rumah warna maroon itu unik ya.” Jaehwan memuji rumah merah maroon yang berada di sisi kanan jalan.
“Unik? Kok aku liatnya seram ya?” Woojin ikut berkomentar.
“Merah maroon kan bagus.”
“Tapi, rada suram. Nurut aku sih. Oh!” Woojin melihat anjing berbulu coklat yang berada di tengah gerbang yang terbuka.
Pupil kedua mata Luna melebar. Jantungnya seolah meluncur ke tanah ketika mengetahui Bogi ada di sana. “Woojin jang—”
“Annyeong!” Woojin tersenyum manis dan melambai pada Bogi sebelum Luna menyelesaikan kalimatnya.
“Omo! Dia menyalak!” Ujar Jaehwan.
“Tadi aku mau bilang jangan sok akrab. Anjing itu suka penasaran. Dia yang bikin kakiku cidera kala itu.” Luna dengan suara lirih dan mulut hampir tak terbuka saat berbicara.
“Bagaimana sekarang? Sepertinya dia akan mendekat.” Woojin mendadak siaga.
Ketiganya bahkan telah berhenti tepat di depan gerbang. Berhadapan dengan Bogi yang mulai bergerak maju mundur sambil sesekali menggonggong.
“Lari!” Woojin menarik tangan Luna dan berlari ketika Bogi mulai bergerak mendekati mereka.
Luna spontan menarik tangan Jaehwan. Mereka bertiga berlari. Bogi mengejar mereka. Di belakang Bogi, terdengar teriakan si pemilik. Pegangan tangan Woojin, Luna, dan Jaehwan terlepas saat mereka berlari.
“Park Woojin!!! Awas kau!!!” Luna berteriak sambil terus berlari.
“Aku nggak tahu kenapa kita harus lari!” Ujar Woojin yang berlari paling depan.
“Kita harusnya nggak lari! Dasar Park Woojin, babo!” Maki Jaehwan yang berlari hampir sejajar dengan Luna, di belakang Woojin.
“Sebaiknya kita berpencar!” Woojin memberi isyarat.
“Di sini jalanan lurus tahu! Mau berpencar gimana?” Luna sudah berada lebih dekat di belakang Woojin. Meninggalkan Jaehwan. “Jaehwan! Jangan ke timur!” Ia berteriak.
“Apa?!” Tanya Jaehwan yang juga berteriak.
“Jangan terlalu minggir ke timur!” Luna mengulang.
“Aaa!!!” Jaehwan menjerit.
Luna dan Woojin kompak berhenti. Dengan napas terengah-engah, keduanya membalikan badan. Jaehwan tidak ada di belakang mereka. Sedang Bogi berjalan mondar-mandir di dekat sebuah selokan yang berlubang. Penutupnya hilang sebagian. Luna menghela napas dan menepuk keningnya.

***


Woojin duduk di sofa sambil menikmati minuman dingin yang disajikan Luna. Ia menyelonjorkan kakinya yang lelah usai berlari.
Luna kembali ke ruang tamu usai mengganti pakaiannya. “Jaehwan belum selesai?” Tanyanya pada Woojin.
“Sepertinya dia akan menghabiskan seluruh sabun dan shampo yang kamu miliki.” Jawab Woojin santai.
“Ini kan gara-gara kamu!” Luna duduk di samping kanan Woojin.
“Kok aku??”
“Kalau kamu nggak lari, Jaehwan nggak akan nyemplung ke selokan!”
“Kan dia dengernya kamu nyuruh dia lari ke timur. Dia nurutin kamu dan nggak tahu ada selokan berlubang. Jadilah dia nyemplung. Jadi, bukan sepenuhnya salahku kan?”
Luna menatap Woojin dengan sengit.
“Oke. Oke. Kita salah. Hehehe.” Woojin meringis.
Luna membuang muka.
“Ah….”  Jaehwan mendesah saat keluar dari kamar mandi. Desahan yang membuat Woojin dan Luna kompak menoleh padanya. Jaehwan tersenyum lebar dan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Ia berjalan mendekati Luna dan Woojin.
“Wah, pas sekali di badanmu.” Woojin mengamati Jaehwan dari atas ke bawah.
“Makasih udah pinjemin aku baju ganti. Nanti aku balikin kalau udah aku cuci ya.” Jaehwan duduk di seberang, berhadapan dengan Luna.
“Nggak usah. Buat kamu aja.” Luna menolak.
Woojin memiringkan kepala. Mengamati kaos hitam yang dikenakan Jaehwan. “Itu kaos produksi distro milik kakak sulungmu, kan?” Ia menuding kaos yang dikenakan Jaehwan dan menoleh pada Luna.
“Iya.”
“Wah, beruntung banget kamu dapet kaos itu. Di Indonesia kaos itu udah terkenal lho. Yang pakek rata-rata artis.”
“Kamu tahu?” Jaehwan menatap heran pada Woojin.
“Dia kan stalker.” Sahut Luna. “Apa sih yang nggak dia tahu?”
Woojin hanya meringis menanggapi olokan Luna.
“Makasih ya Luna. Kaos dan celana trainingnya pas di aku.” Jaehwan tersenyum lebar.
“Kamu kan cewek, gimana ukurannya bisa pas buat Jaehwan?” Woojin kembali mengamati.
“Kaosnya size L. Kalau celananya emang celana training cowok. Ih, kamu kenapa bahas hal nggak penting kayak gitu sih? Ya emang aku bukan tipikal cewek feminim. Jadi, ya bajuku dominan kaos dan celana. Beruntung kan? Jadi, Jaehwan bisa ganti seragamnya yang basah dan kotor.”
“Juga bau.” Woojin menambahkan.
“Ya! Ini kan gara-gara kamu!” Jaehwan menatap kesal pada Woojin.
“Kamu kan salah denger waktu Luna teriak, jadi salah kamu sendiri! Bukan aku!” Woojin membela diri.
“Tapi, kalau kamu nggak lari kan kita nggak perlu dikejar anjing!”
“Udah! Udah! Jaehwan, itu minum minuman dinginnya. Silahkan nikmati cemilannya juga.” Luna menengahi. “Kalian ingat kan apa tujuan kita berkumpul?”
“Iya.”
“Iya.”
Woojin dan Jaehwan hampir bersamaan.
“Maaf untuk insiden hari ini. Aku bersyukur Jaehwan tidak terluka walau sempat terjatuh ke dalam selokan.” Luna meminta maaf.
“Nggak papa kok. Aku kan pria yang kuat.” Jaehwan tersenyum lebar.
“Baiklah. Bisa kita mulai?” Luna menatap Jaehwan, lalu Woojin. Dua pemuda itu mengangguk. “Oke. Mari kita mulai.”

Diskusi membahas informasi tentang Bae Jinyoung yang berhasil mereka kumpulkan pun dimulai. Luna memberi kesempatan pada Woojin untuk membeberkan informasi yang berhasil dikumpulkan sebagai pembuka diskusi. Woojin pun menjabarkan informasi yang berhasil ia kumpulkan. Tak lupa ia menyampaikan kesimpulan yang ia buat tentang Bae Jinyoung.
Setelah Woojin selesai dengan penjelasannya, giliran Jaehwan menjabarkan informasi tentang Bae Jinyoung yang berhasil ia kumpulkan bersama Luna. Lalu, Luna menyambungnya dengan membeberkan informasi tentang Lucy yang berhasil ia kumpulkan.
“Jadi, kesimpulan kita sama. Bae Jinyoung itu pemuda yang baik. Hanya saja dia ketiban sial hingga dicap sebagai pemerkosa.” Woojin mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dia bukan pemerkosa!” Luna meralat. “Polisi kan udah ngasih pernyataan bahwa Bae Jinyoung nggak bersalah. Dia ada di lokasi secara nggak sengaja, kan? Dia lewat di gang itu dan menemukan korban tak sadarkan diri. Saat ia berusaha membangunkan korban, pelaku malah meneriaki Bae Jinyoung. Karenanya Bae Jinyoung sempat di tahan dan dicurigai sebagai pelaku pemerkosaan.
“Tapi, penyelidikan membuktikan bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah. Ditambah lagi surat wasiat peninggalan korban sebelum bunuh diri semakin memperkuat fakta bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah. Harusnya mereka berhenti memberi label Bae Jinyoung itu pemerkosa. Bukankah dia sebenarnya pahlawan? Karena berusaha menolong korban.”
“Pahlawan ketiban sial. Kasihan sekali.” Woojin menggelengkan kepala. Bersimpati untuk Bae Jinyoung.
“Penampilannya mendukung sih. Dia yang selalu berjalan dengan kepala tertunduk dan lingkar hitam di matanya itu. Juga, bagaimana dia menatap orang lain. Siapa yang nggak ngeri?” Jaehwan menyambung.
“Fakta kelam tentang Bae Jinyoung, lalu kepribadian Lucy yang introvert, dan kebetulan yang mempertemukan kalian bertiga. Itu bisa jadi berita hebat kalau Lucy sampai salah bicara.” Woojin menarik sebuah kesimpulan.
“Itulah yang aku khawatirkan.” Luna membenarkan.
“Itu alasan kenapa kamu susah-susah nyari info tentang Bae Jinyoung dan Lucy?” Tanya Jaehwan.
“Yap!” Luna membenarkan.
“Tapi, selama Lucy tutup mulut kan semua aman? Lagian, dia bukan tipikal cewek yang gemar bergosip kan?”
“Iya sih. Cuman aku pikir lebih baik berjaga-jaga. Aku mau melindungi dan menjaga Bae Jinyoung dari sekarang.”
Woojin dan Jaehwan kompak menatap Luna.
“Buat apa sih?” Jaehwan heran. “Toh tadi kamu seharian menghabiskan waktu sama Lucy di ruang UKS, dia juga diem aja.”
“Dalam diamnya itu dia nyimpen pertanyaan tentang apa yang dilakukan Bae Jinyoung hingga tanganku berdarah. Itu bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.”
“Selama Lucy tutup mulut kan nggak akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku yakin dia nggak akan ngomong apa-apa.” Woojin buka suara.
“Aku pun tahu itu. Kan tadi udah aku bilang buat jaga-jaga aja. Entah kenapa aku punya firasat nggak baik tentang kebetulan yang mempertemukan kami itu.”
“Karena Lucy terus menerus bermain dengan pikirannya sendiri tentang kamu dan Bae Jinyoung?” Jaehwan menebak.
“Benar sekali!” Luna membenarkan.
“Tadi harusnya kamu langsung ngomong dong ke Lucy. Jelasin semuanya.”
“Masalahnya, ngomong sama orang introvert itu nggak segampang itu. Apalagi kami baru kenal.”
“Kamunya aja yang mempersulit. Kalau kamu jelasin kan Lucy pasti langsung paham. Orang introvert kadang susah juga buat memulai obrolan. Apalagi bertanya soal kejadian itu. Ketika ia nggak sengaja melihat tanganmu berdarah dan Bae Jinyoung memegang cutter.”
Suasana menjadi hening sejenak.
“Bukannya Luna mempersulit. Di depan Lucy yang super pendiam itu, bisa jadi Luna juga jadi kesulitan untuk memulai obrolan. Mungkin Luna mempertimbangkan, iya kalau Lucy berpikir Bae Jinyoung melukai Luna. Kalau nggak, kan Luna bisa kerepotan juga. Orang pendiam itu paling susah ditebak.” Woojin menengahi konflik antara Jaehwan dan Luna.
Luna mengangguk-anggukan kepala. Membenarkan apa yang dijabarkan Woojin.
“Trus sekarang gimana?” Jaehwan menyerah. Tak mendebat lagi.
“Kamu kan sekelas sama Bae Jinyoung, jadi awasi dia. Daehwi yang akan mengawasi Lucy.” Luna membagi rencananya. “Hanya itu aja. Selama nggak ada masalah, kita tetap bergerak seperti itu. Aku sih berharap nggak akan terjadi apa-apa. Setidaknya kalian tahu tentang apa yang aku khawatirkan dan juga tentang fakta-fakta itu. Jadi, jika nanti terjadi sesuatu, aku minta dukungan kalian untuk membantu Bae Jinyoung.”
Suasana kembali hening. Jaehwan dan Woojin menatap Luna dalam diam.
“Semua makhluk berhak bahagia. Begitu juga Bae Jinyoung. Aku nggak tahu dia bahagia atau nggak. Tapi, hidup dengan bayang-bayang kelam pasti nggak akan bikin siapapun bahagia.” Luna melanjutkan.
“Aku juga nggak berniat bersikap sok pahlawan kok!” Luna kembali bicara saat mulut Jaehwan terbuka. Membuat Jaehwan menelan kembali kata-katanya.
“Aku hanya melakukan apa yang kata hatiku bilang harus lakukan. Semoga ini tak menimbulkan masalah bagiku, juga bagi kalian.” Luna menambahkan. “Toh, informasi itu sementara hanya untuk kita. Tapi, aku yakin akan berguna suatu saat nanti.”
Jaehwan menatap Luna dalam diam. Begitu juga Woojin.
“Baiklah. Walau ini terkesan konyol bagiku, tapi aku tertarik mengikuti permainannya. Jadi, aku akan menjalankan tugasku dengan baik.” Jaehwan setuju untuk membantu Luna.
“Selama berada di Klub Basket, aku akan berusaha dekat dengannya.” Woojin juga bersedia membantu.
Luna tersenyum manis. “Terima kasih. Mulai sekarang, kita akan jadi sekutu yang saling menguntungkan.”
“Saling menguntungkan? Hari ini aku sial tahu! Kecebur selokan bau!” Protes Jaehwan.
“Tapi, kamu juga beruntung kan? Dapat kaos distro asli asal Indonesia demenan para pesohor di sana. Gratis. Bonus celana training pula. Coba bayangin kalau kamu harus beli online. Harus bayar ongkos kirim juga. Aku yakin di Korea hanya Luna yang punya. Kamu patut bangga karena pakek barang langka!” Woojin mengomeli Jaehwan.
“Iya juga ya. Wah, nanti mau aku pamerin di akun SNS ku ah!”
“Jangan! Bahaya buat Luna tahu! Apalagi kalau Jihoon sampai tahu!”
“Ah iya! Kenapa urusan sama kamu ribet banget sih Luna?”
Luna tersenyum saja menanggapi protes Jaehwan. “Kalian pasti laper. Mau aku bikinin ramen instan ala Indonesia nggak? Rasa yang nggak biasa kalian makan sebelumnya. Aku baru dapat kiriman dari Indonesia lho! Ada rasa soto, ada rasa kari. Kalian mau yang mana?”
“Aku penasaran kari.” Jaehwan langsung menentukan pilihan.
“Kalau gitu aku soto aja. Nanti kita saling mencicipi ya?” Woojin menatap Jaehwan.
“Oke.” Jaehwan setuju.
“Baiklah. Tolong ditunggu sebentar. Chef Luna akan memasak untuk kalian.” Luna bangkit dari duduknya dan menuju dapur.
Jaehwan dan Woojin menunggu di ruang tamu sambil menikmati cemilan yang disajikan.

***

Luna tak paham seberapa tenar dirinya di sekolah dan apa arti sebenarnya dari ketenaran itu. Pagi tadi, saat sampai di sekolah, Sungwoon langsung menyerangnya dengan banyak pertanyaan tentang kepulangannya bersama Jaehwan dan Woojin. Menurut Sungwoon, sudah banyak kasak-kusuk yang membicarakan kebersamaan mereka.
Kadang Luna berpikir, hal-hal seperti itu, kasak-kusuk itu apakah benar ada. Atau hanya alibi yang dibuat demi menjawab rasa penasaran si penanya itu sendiri. Luna paham benar akan betapa mengerikannya rasa penasaran itu. Ia sendiri masih sering dibelenggu dan diperbudak oleh rasa penasaran itu.
Pagi tadi Hyuri mengirim pesan, mengatakan ingin bertemu saat istirahat. Luna pun setuju. Ia menunggu seniornya itu di bangku taman yang bagi sebagian murid sudah memiliki tanda sebagai Bangku Taman Milik Luna. Istilah itu Luna dengar dari Jisung. Dan, ternyata benar ada postingan tentang Bangku Taman Milik Luna di komunitas sekolah. Lagi-lagi Luna dibuat heran oleh rekan-rekan di sekolahnya.
Ia sama sekali tak pernah melabeli bangku yang berada di pojok, di bawah sebuah pohon besar itu sebagai miliknya. Hanya saja, Luna menyukai tempat itu karena berada di pojok dan jarang digunakan oleh murid lain. Karenanya, ia banyak menghabiskan waktu di bangku itu saat istirahat. Entah untuk duduk-duduk saja sambil membaca buku dan mendengarkan musik. Atau untuk mengerjakan tugas bersama saat ada tugas kelompok. Kebiasaan itu berlangsung sejak Luna duduk di kelas X.
“Sudah lama menunggu?” Hyuri membuyarkan lamunan Luna.
“Eh?” Luna tekejut. “Lumayan.” Imbuhnya.
“Maaf ya. Tadi ada urusan sebentar.” Hyuri pun duduk di bangku seberang, berhadapan dengan Luna.
Belum tentu ada hal penting saat Hyuri mengajak bertemu seperti ini. Biasanya gadis itu hanya merasa telah lama tidak bertemu, duduk, dan ngobrol bersama Luna. Karenanya ia meminta bertemu sekedar untuk duduk dan ngobrol bersama.
Topik obrolan pun seputar sekolah atau EC yang sudah ditinggalkan Hyuri karena sudah naik ke kelas XII. Murid kelas XII kebanyakan memang memilih keluar atau tidak aktif dalam kegiatan klub atau pelajaran tambahan. Karena mereka fokus untuk ujian kelulusan. Beberapa mengganti kegiatan klub dengan mengikuti les tambahan khusus untuk persiapan ujian masuk universitas. Biasanya murid yang mengincar universitas ternama yang mengikuti les tambahan itu.
Siang ini pun topik obrolan antara Hyuri dan Luna seputar pergantian pengurus dalam klub. Setelah beberapa kali pertemuan, Jisung akhirnya resmi menjadi ketua Klub Teater. Sedang Luna tetap menjadi anggota biasa. Ia tetap saja malas menjadi pengurus walau statusnya adalah senior tingkat dua.
Bahasa yang mereka gunakan untuk mengobrol pun tidak beda dari sebelumnya yaitu menggunakan Bahasa Inggris. Tujuan Hyuri sebisa mungkin mendekati murid asing adalah tak lain untuk mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya. Di antara semua murid asing yang ia dekati, Luna lah yang membuatnya nyaman. Karena itu ia lebih sering meminta bertemu dan ngobrol bersama Luna.
Tidak dengan niat sok keren, tapi Hyuri yang mempunyai impian kuliah di Inggris tentu saja harus mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya sejak dini. Karenanya ketika masuk SMA, ia memilih SMA yang memiliki banyak murid asing. Walau bukan SMA berstandar internasional.
“Kalian sudah selesai?” Myungsoo menghampiri Hyuri dan Luna. Ia tak sendiri. Ada Lee Taemin bersamanya. Murid kelas XII yang juga merupakan Presiden Sekolah atau Ketua OSIS.
“Oh! Sunbaenim!” Luna bangkit dari duduknya dan memberi salam.
Taemin tersenyum manis. “Lama tak berjumpa, Luna.”
Luna membalas senyum dan menganggukan kepala.
“Kita makan?” Ajak Myungsoo.
“Nee.” Hyuri bangkit dari duduknya. “Luna, makan siang sama kami ya?” Ajak Hyuri.
“Nee??” Kedua mata bulat Luna melebar. Mendengar ajakan makan siang Hyuri.
Bukannya tidak pernah makan siang dengan Hyuri. Sebelumnya Luna pernah makan siang bersama Hyuri dan Hami. Bahkan bersama Hyuri dan Myungsoo. Tapi, kali ini ada Lee Taemin.
Sebelum Luna sempat menjawab, Hyuri sudah menyelipkan tangannya di lengan kanan Luna. Gadis itu menuntun Luna untuk pergi bersama. Luna pun tak bisa menolak.

***


Jisung duduk berdua saja dengan Seongwoo di kantin. Luna, Woojin, dan Sungwoon entah ke mana. Di tengah makan, Jisung melihat Linda yang membawa nampan sedang celingukan, mencari meja kosong.
“Linda! Di sini!” Jisung melambaikan tangan memanggi Linda.
Linda tersenyum dan mendekat. Guanlin dan Daniel mengekor di belakangnya.
“Iya, Seonba?” Sapa Linda pada Jisung.
“Duduk sini aja. Sama kami. Kebetulan Luna, Woojin, dan Sungwoon entah ke mana. Mungkin mereka akan terlambat.” Jisung mempersilahkan.
“Tapi, saya sama Guanlin dan Daniel.” Linda sungkan.
“Nggak papa. Duduk aja. Tempat kami masih luas.” Seongwoo turut mempersilahkan.
“Kamsahamnida.” Linda duduk. Di susul Guanlin dan Daniel yang tak lupa mengucap terima kasih.
Linda duduk berhadapan dengan Seongwoo. Di samping kirinya berurutan Daniel dan Guanlin. Daniel duduk berhadapan dengan Jisung.
“Sepertinya hari ini semua makan menjelang akhir jam istirahat. Kantin masih penuh seperti ini.” Jisung mengoceh di sela makan siangnya.
“Terima kasih sudah memberi kami tempat.” Daniel membungkukan badan.
“Nggak papa. Kita semua teman.” Jisung tersenyum.
“Itu Daerin!” Seongwoo melihat Daerin usai mengambil menu makan siang. Gadis itu membawa nampan dan melihat sekitar. “Boleh aku un—”
“Daerin-aa!” Jisung memanggil Daerin. Memotong Seongwoo yang hendak meminta izin untuk mengundang Daerin.
Seongwoo tersenyum melihat Daerin berjalan mendekat. Masih dengan gaya angkuhnya.
“Gomawo!” Daerin duduk di samping Jisung.
“Masih longgar kok. Muat buat dua orang lagi. Silahkan makan!” Jisung mempersilahkan.
Daerin mengamati tiga murid yang turut duduk di meja Jisung. Guanlin yang tersenyum sambil menundukkan kepala padanya. Lalu, Daniel yang juga bersikap sama namun dengan senyum sedikit kaku di wajahnya. Dan, Linda yang tersenyum sambil membungkukan badan.
“Murid kelas X ya?” Tanya Daerin.
“Iya. Guanlin temannya Luna dari Klub Anak Rantau kan ya?”
Guanlin mengangguk.
“Linda satu kelas denganku di kelas Bahasa Korea. Dan, Daniel teman mereka berdua.”
“Oh.” Respon Daerin datar. “Kamu sibuk banget belakangan.” Ia mengajak Jisung mengobrol seolah hanya ada mereka berdua di sana.
“Maklum, dia kan ketua baru Klub Teater.” Sela Seongwoo.
“Ah! Iya. Selamat ya!” Daerin segera memberi selamat atas terpilihnya Jisung menjadi ketua Klub Teater.
“Ah, terima kasih. Aku jadi malu. Sebenarnya ada calon lain. Tapi, karena Luna lebih setuju aku yang jadi ketua. Semua pun ikut setuju.” Jisung dengan bangga menceritakan bagaimana ia terpilih menjadi ketua klub.
“Luna lagi ya?” Komentar Daerin dengan nada tak menyenangkan. “Oh! Park Jihoon!” Daerin memanggil Jihoon. “Dia tak punya tempat. Tak apa, kan?”
“Nggak papa. Kita semua teman. Sudah wajar saling berbagi.” Jisung tak keberatan.
Jihoon yang datang ke kantin bersama Kim Min Seok pun bergabung di meja Jisung. Keduanya berterima kasih karena diizinkan bergabung untuk makan siang. Jihoon memilih duduk di samping Guanlin. Dan, Min Seok di samping Jihoon. Keduanya membiarkan kursi di samping Daerin kosong. Makan siang bersama antara senior tingkat dua dan juniornya itu pun berlanjut dalam suasana yang sedikit kaku.
“Oh! Bukankah itu Luna?” Daerin memecah kebisuan dalam meja Jisung. “Dia datang bersama Hyuri Seonbae? Dan, Taemin Seonbae?”
Jisung dan Seongwoo kompak menghentikan acara makan mereka dan mengikuti arah pandangan Daerin. Seperti di komando, Linda, Daniel, Guanlin, Jihoon, dan Minseok pun melakukan hal yang sama.
“Oh dia ketemuan sama Hyuri Seonbae ya,” Jisung setengah bergumam seolah itu hal yang biasa.
“Luna, Hyuri Seonbae, dan Myungsoo Seonbae ketemuan emang udah biasa!” Sahut Daerin. “Tapi, Taemin Seonbae?”
“Wae? Taemin Seonbae kan teman Myungsoo Seonbae. Wajar aja, kan?”
“Nggak wajar!” Daerin ketus. “Ini pertama kalinya, kan?”
“Mungkin kebetulan aja.” Seongwoo ikut bicara.
“Setelah gosip cintanya ditolak Luna?” Ujar Daerin terang-terangan.
Daniel dan Jihoon terbatuk-batuk hampir bersamaan.
“Jeosonghamnida.” Ujar Daniel meminta maaf.
“Jeosonghamnida.” Jihoon pun meminta maaf.
Daerin menyunggingkan senyum samar di bibirnya. Menatap Jihoon yang tertunduk kikuk di hadapannya. “Ada apa dengan kalian? Tersedak hampir bersamaan?” Tanyanya enteng.
“Daerin-aa, mari kita makan dengan tenang.” Seongwoo menegur Daerin.
“Memangnya dari tadi tidak tenang?” Daerin menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

***


Sepanjang perjalanan kembali ke kelas, Linda tak hentinya mengeluhkan sikap Daerin saat makan siang. Menurutnya sikap gadis itu terlalu frontal bahkan kasar. Segala ucapannya bisa menjadi wabah mengerikan jika ada yang mendengar lalu menyebarkannya.
“Setiap orang beda-beda sifatnya. Mungkin Daerin Seonbae memang begitu orangnya. Ceplas-ceplos.” Komentar Guanlin.
“Tapi, ya nggak gitu juga kali. Taemin Seonbae presiden sekolah kita lho! Kalau rumor itu sampai tersebar kan kasihan. Padahal belum tentu kayak gitu juga kan faktanya?” Linda masih kukuh jika sikap Daerin salah.
“Iya juga sih.” Guanlin setuju.
“Luna Seonbae juga lumayan terkenal. Dan, tadi juga ada Park Jihoon yang deket sama Luna Seonbae. Nggak kasihan ke Park Jihoon apa? Misal dia tersinggung? Cemburu pastilah ya. Sampai tersedak gitu.” Linda diam sejenak. “Tapi, Kang Daniel,” ia menatap Daniel yang berjalan di samping kanannya, “kenapa tadi kamu juga tersedak?”
Guanlin yang berjalan di samping kiri Linda ikut menatap Daniel.
“Kaget aja. Orang sekeren Taemin Seonbae aja ditolak. Kaum biasa kayak kita, sudah pasti tidak punya harapan.” Daniel tersenyum.
“Belum tentu kok. Selera orang siapa tahu, kan? Eh? Jangan-jangan kamu naksir Luna Seonbae ya?” Goda Guanlin.
Linda mengerutkan dahi, masih memperhatikan Daniel.
“Sepertinya hampir semua siswa di sekolah ini suka Luna Seonbaenim.”
“Iya, aku juga suka. Tapi, aku tadi bilang naksir. Bukan suka.” Guanlin memperjelas maksudnya.
Daniel tercenung sejenak, lalu tersenyum. “Nggak lah. Mana berani aku naksir cewek keren seperti Luna Seonbae.”
“Aku duluan ya!” Linda mempercepat langkahnya. Meninggalkan Daniel dan Guanlin.
Guanlin memiringkan kepala. Mengamati punggung Linda yang berjalan mendahului.
Daniel pun melanjutkan langkah. Berjalan menyusul Linda untuk kembali ke kelas.
“Wah, sepertinya ini situasi yang rumit.” Guanlin menggelengkan kepala.

***


Luna merebahkan tubuh lelahnya di sofa. Hari yang cukup menguras tenaganya. Ia diam, menatap langit-langit ruang tamu, mengingat semua kejadian di sekolah. Ia menghela napas panjang.
“Kenapa Taemin Seonbae tiba-tiba bergabung? Ya ampun! Itu membuatku merinding!” Luna mengusuk kedua lengannya.
Ponselnya bergetar. Luna pun mengeluarkan dan memeriksa ponselnya. Ada pesan dari Dinar yang kembali mengingatkan Luna untuk segera mengunjungi keluarga kedua yang sudah sampai di Korea.
“Ini orang nggak ada kerjaan apa selain jadi alarm pengingat macem gini?” Luna berbicara pada ponselnya. “Astaga!” Ia kaget saat ponselnya kembali bergetar dan nama Park Jihoon muncul di layar untuk sebuah panggilan video.
“Park Jihoon?” Luna berbisik. “Ada apa ya?” Ia pun menerima panggilan itu.
“Seonbae!” Jihoon tersenyum menyambut Luna yang menerima panggilannya. “Seonbae sudah sampai di rumah?”
“Mm. Baru saja.” Luna mengamati Jihoon. Pemuda itu masih berada di dalam mobilnya. Jangan-jangan… batinnya, lalu melanjutkan bertanya, “Wae?”
“Sabtu nanti apa Seonbae ada acara?”
“Mm? Apa ini ajakan kencan?”
Jihoon tersenyum tersipu.
“Ya, Park Jihoon! Apa kamu harus berakting sejauh itu?”
“Itu wajar dilakukan oleh remaja yang sedang pacaran, kan?”
“Ya, benar. Tapi, akan susah jika itu urusannya sama kamu. Dan, sayangnya Sabtu nanti aku ada acara.”
“Klub Anak Rantau ya?”
“Bukan. Tapi… eum, apa ya. Acara keluarga.”
“Bersama Ibu Kecil?”
“Nggak. Ini keluarga dari Indonesia. Pengganti ayahku. Aku harus berkunjung karena mereka sudah tiba di Korea. Oppaku terus mengingatkan akan kunjungan itu. Jadi, aku harus segera berkunjung agar alarm berwujud oppaku itu berhenti.”
Jihoon tersenyum melihat Luna.
“Wae??”
“Anee. Seonbae tampak cute saat mengoceh seperti itu.”
Luna menyipitkan mata.
“Baiklah. Maaf mengganggu waktu Seonbae. Lain kali saja kalau begitu.”
“Apa ini karena Kang Daerin?”
“….” Jihoon membeku.
“Seongwoo menceritakannya padaku. Ia khawatir mungkin kamu akan berkeluh kesah akan hal itu. Ia cerita sekaligus meminta maaf untuk sikap Daerin.”
“Maaf. Sepertinya aku terbakar dan cemburu.”
Kening Luna berkerut. Ia mengamti Jihoon yang tampak salah tingkah. “Hari Minggu, aku mau ke toko buku. Kalau kamu mau bergabung.”
Jihoon tampak terkejut. “Sama siapa?”
“Aku?”
Jihoon mengangguk.
“Sendiri.”
Jihoon berbinar. “Baiklah! Aku ikut!”
“Oke.”
“Terima kasih Seonbae. Sampai ketemu hari Minggu.” Jihoon mengakhiri panggilan.
Luna tercenung menatap ponselnya. “Terbakar dan cemburu?” Gumamnya masih menatap layar ponselnya yang berubah hitam. “Apakah… nggak! Itu nggak mungkin! Park Jihoon nggak boleh terbakar dan nggak boleh cemburu! Bagaimana ini?” Luna menggigit bibir bawahnya.

***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews