My 4D Seonbae - Episode #12 "Semua Makhluk Berhak Bahagia"
22:43 Episode #12 "Semua Makhluk Berhak Bahagia"
Luna
selesai membersihkan diri. Ia duduk bersila sambil menikmati menu makan
malamnya. Ia makan sambil sibuk dengan ponselnya. Usai menelan sisa makanan
dalam mulutnya, ia mendesah. Selain banjir pesan dari Woojin, ia juga menerima
pesan dari Dinar.
“Kenapa
Mas Dinar ribet urusan kunjungan sih? Dipikirnya aku nganggur apa di sini?”
Luna meluapkan rasa kesalnya usai membalas pesan Dinar. Ia berjanji hari Sabtu
nanti akan berkunjung ke rumah keluarga kedua yang sudah sampai di Korea.
“Pakek
alesan, apa kamu nggak kangen mereka? Dih! Ya kangen lah. Tapi, emang waktunya
kan yang belum ada!” Luna lanjut ngomel sendiri sambil mengetik pesan balasan untuk
pesan terbaru dari Dinar. “Nurutin chat Mas Dinar bisa nggak kelar kerjaanku!
Lagian idol satu ini lagi ngganggur apa? Bisa chat gini.”
Luna
meletakan ponselnya di meja. Ia merapikan peralatan makan malamnya. Lalu ia
kembali duduk bersila di dekat sofa dan memeriksa ponselnya. Membaca pesan
panjang dari Woojin.
Luna
mendesah. “Kasihan sekali Bae Jinyoung ini. Padahal dia pemuda yang baik. Hanya
karena satu ketidakberuntungan yang ia alami, ia harus menanggung beban itu
seumur hidupnya. Apa yang harus aku lakukan?”
Luna
diam. Berpikir tentang semua yang ia rencanakan dan mulai ia kerjakan hari ini.
“Nggak seharusnya aku penasaran sampai kayak gini, kan? Lagi pula, belum tentu
Bae Jinyoung membutuhkan bantuan kami. Pada Woojin aja sikapnya dingin. Apalagi
ke aku? Bagaimana ke Jaehwan?”
Luna
kembali diam. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya. Ia langsung mengirim pesan
pada Aro, kakak sulungnya. Ia tersenyum puas kemudian. “Aku udah setengah
jalan. Rasanya sayang sekali kalau harus mundur.” Ia tersenyum puas menatap
ponselnya.
***
Seperti
biasa Daniel sudah menunggu di dekat tangga. Kemudian ia berangkat ke sekolah
bersama Luna. Sesuai perjanjian, jika salah satu dari mereka tak muncul setelah
setengah jam, maka salah satu dari mereka boleh pergi lebih dulu. Daniel
mengatakan kemarin ia pulang lebih dulu karena Luna tak kunjung muncul.
Luna
meminta maaf dan mengatakan ia sedikit sibuk belakangan ini. Daniel
mempercayainya. Perjalanan ke sekolah lebih banyak hening pagi ini. Daniel yang
berusaha mengajak ngobrol tetap ditanggapi oleh Luna. Tapi, tak seantusias biasanya.
Daniel memakluminya. Mungkin saja Luna kelelahan karena terlalu sibuk dengan
entah apa pun itu yang sedang ia kerjakan.
Luna
duduk di dekat jendela dalam bus. Daniel duduk di samping kirinya. Sejak naik
ke dalam bus, Luna diam dan menatap ke luar jendela. Daniel merasa tak nyaman
dengan situasi itu.
“Oya!
Aku lupa!” Celetuk Luna tiba-tiba. Membuat Daniel sedikit tersentak. “Reaksinya
gitu banget.” Luna heran melihat reaksi Daniel ketika ia bersuara.
“Seonbae
dari tadi diam, aku berpikir apa terjadi sesuatu. Ketika Seonbae tiba-tiba
bersuara, aku jadi sedikit kaget. Maaf.” Daniel tersenyum sungkan.
“Oh
maaf. Aku pasti membuatmu merasa nggak nyaman. Aku sedikit banyak pikiran.”
“Nggak
papa. Hanya saja aku belum terbiasa.”
“Maaf
ya.”
Daniel
tersenyum dan mengangguk. “Seonbae ingin menyampaikan sesuatu?”
“Oh
iya! Ini!” Luna memberikan secarik kertas memo pada Daniel.
Daniel
menerimanya dengan hati-hati. Lalu, membuka lipatan kertas memo itu untuk
melihat apa yang tertulis dalam kertas itu. Kedua pupil mata sipit Daniel
melebar saat kertas memo di tangannya terbuka. “Nomer ponsel Seonbae?” Tanyanya
tak percaya.
“Mm!”
Luna mengangguk. “Kita satu kelompok juga kan di EC? Biar lebih mudah kalau
butuh sesuatu untuk satu sama lain.”
Daniel
tersenyum lebar. Ia merasakan rasa lega yang luar biasa membuncah di dadanya. Akhirnya aku mendapatkan nomer ponsel Luna
Seonbae, batinnya. “Terima kasih, Seonbae. Aku akan menjaganya dengan
baik.” ia berjanji.
“Guanlin
bilang apa?”
“Eh?”
Luna
tersenyum melihat reaksi kaget Daniel. Senyum yang tulus dan manis.
Daniel
senang melihat senyum itu. “Berhenti mengerjai aku.”
Luna
menanggapinya dengan senyumnya yang masih terkembang. “Lalu, kapan aku bisa
mendengar cerita tentang kapan aku menolongmu?”
“Mm,
itu. Aku rasa sebentar lagi.”
“Jadi,
aku harus menunggu lagi?”
“Mm...
iya.” Daniel tersenyum lebar.
Luna
menghela napas. “Kenapa orang-orang gemar membuat orang lain penasaran sih?
Padahal penasaran itu kan merepotkan dan menguras banyak energi. Masa iya
ingatanku seburuk ini juga? Sampai aku nggak bisa inget kapan aku nolongin
kamu?” Luna memiringkan kepala.
Bus
berjalan pelan hampir sampai di halte dekat sekolah.
“Kita
sampai! Ya, Daniel. Emangnya kenapa kita harus pura-pura nggak kenal sih kalau
di sekolah? Maksudku, kamu kan juga teman Guanlin dan kita juga satu kelas,
satu kelompok di EC. Kita semua di sekolah ini teman kan? Masa iya kamu takut
sama Park Jihoon? Monster berwajah imut?”
“Seonbae
masih mengingatnya?”
Luna
mengangguk. “Aku rasa itu memang cocok untuknya.”
“Pintu
sudah terbuka, jadi kita bisa menunjukkan hubungan perlahan-lahan.”
“Mm?”
Luna menoleh. Menatap Daniel dengan ekspresi bingung.
Daniel
tersenyum dan berdiri. “Kita sudah sampai. Ayo turun. Oya, terima kasih untuk
nomer ponselnya.” Ia berjalan lebih dulu.
Luna
menyusul turun. Sambil merenungi ucapan Daniel tentang pintu sudah terbuka dan perlahan
menunjukkan hubungan.
“Ya
Kang Daniel!” Panggil Luna saat sudah berada di halte.
Daniel
membalikan badan, menaruh perhatian pada Luna.
Luna
berdiri diam, menatap Daniel yang berdiri jarak beberapa langkah di depannya.
Ia mendesah, lalu berjalan melewati Daniel. Meninggalkan pemuda itu di
belakangnya.
Daniel
menatap punggung Luna yang berjalan meninggalkannya. “Tahu kah Seonbae, untuk
berada di dekat Seonbae itu bukan hal mudah dan butuh keberanian.” Ujarnya. Ia
pun tersenyum dan berjalan menyusul Luna.
***
Rutinitas
yang biasa, berjalan seperti biasa. Saat bel pulang berdering, murid-murid
berhamburan keluar kelas. Ada yang langsung pulang, ada yang menuju ruang klub
atau ruang kelas untuk jam pelajaran tambahan, dan ada pula yang ke
perpustakaan, atau sekedar duduk bersama di taman sekolah.
Daerin,
Seongwoo, dan Jihoon harus kembali berkumpul untuk sesi pemotretan. Mereka tak
menyangka, untuk jadi model sekolah membutuhkan pertemuan sebanyak itu. Dua
kali pertemuan untuk diskusi dan sekarang untuk pemotretan.
Daerin
dan Seongwoo yang selesai dirias duduk menunggu Jihoon yang sedang dirias.
Mereka berada di basecamp Klub
Fotografi yang mempunyai studio foto mini di dalamnya.
Fotografer
yang bertugas untuk sesi pemotretan pun tak lain adalah pembina Klub Fotografi.
Seorang fotografer profesional lulusan SMA Hak Kun yang sudah lima tahun
mengabdikan diri membimbing para murid. Menggantikan pembina sebelumnya.
“Jisung
akhir-akhir ini sibuk sama Luna ya?” Daerin membuka obrolan.
Seongwoo
mengangkat kepala. “Kami semua, bukan Jisung aja.” Ia meralat.
“Kenapa
sih selalu dia? Apa hebatnya murid asal Indonesia itu?” Daerin melipat tangan
di dada, meluapkan kekesalannya. “Masa tiap kali aku ajak pulang bareng ada aja
alesannya. Trus, ngapain juga dia ikut pelajaran tambahan Bahasa Korea?”
Seongwoo
tersenyum melihat tingkah Daerin. “Lama juga ya kita nggak pulang bareng.”
“Sejak
sekolah kembali aktif. Hampir dua bulan, kan? Hebatnya apa sih Luna itu? Jisung
seneng banget sekelas lagi sama dia.”
Seongwoo
berdehem. Ketika Daerin mengoceh tentang Luna, Minhyun melintas di dekat
mereka. Minhyun anggota Klub Fotografi yang juga ketua klub, diminta membantu
oleh pembina klub. Itu kenapa ia selalu hadir berkumpul bersama Daerin,
Seongwoo, dan Jihoon.
“Apa
aku harus bertanya padanya?” Daerin menatap Minhyun yang sibuk mempersiapkan
studio untuk pemotretan. “Dia teman Luna semasa SMP, kan? Aku nggak percaya
kalau mereka berantem cuman gara-gara tugas ilang.”
“Itu
mungkin aja. Luna orangnya keras juga. Sama perfeksionisnya kayak Minhyun. Buat
tipe orang kayak mereka, masalah yang bagi kita sepele bisa jadi seperti urusan
hidup dan mati.”
Daerin
tersenyum mendengar komentar Seongwoo. “Iya juga sih. Merepotkan!”
Jihoon
duduk bergabung setelah selesai dirias.
“Ya,
Park Jihoon. Kamu itu beneran pacaran sama Luna?” Tanya Daerin tiba-tiba.
“Nee?”
Jihoon yang baru sampai dan diserang tentang urusan privasinya pun terkejut.
“Belum
resmi pacaran ya? Padahal publik udah merestui kalian lho! Buruan resmikan
hubungan kalian. Biar cowok lain nggak naruh harapan pada Luna.”
Bukan
hanya Jihoon yang dibuat melongo mendengar ocehan Daerin. Seongwoo pun sama
kagetnya. Ia tak menyangka Daerin akan memberikan saran seperti itu.
“Aku
nggak tahu hebatnya Luna itu apa. Satu-satunya pesona dia yang aku akui karena
dia murid asing yang nilainya bagus. Masa kamu nggak tahu kalau banyak cowok
yang naksir dia?” Daerin melanjutkan. Pura-pura tak menyadari ekspresi kaget
Jihoon dan Seongwoo.
“Kakak
kelas, teman seangkatan, bahkan adik kelas. Aku banyak dengar tentang mereka
yang suka Luna yang menurutku biasa aja itu. Tapi, penilaian orang tentang
pesona seseorang beda-beda sih ya. Di mataku biasa, tapi wow di mata orang
lain. Bisa juga sebaliknya.
Di
sekolah ini lebih banyak cowoknya pula. Jadi, kalau nggak cepat-cepat maju buat
dapetin cewek yang ditaksir. Bisa-bisa keduluan. Kalau udah maju tapi ndak
segera diresmiin, bisa jadi ada kudeta lho!” Daerin tersenyum pada Jihoon.
Jihoon
diam. Kepalanya sedikit tertunduk. Sedang Seongwoo, bingung. Tak tahu harus
berbuat apa dalam situasi itu.
Minhyun
kembali melintas. Daerin menatapnya. Tapi, Minhyun tetap cuek. Walau sudah pasti
ia bisa mendengar apa yang dikatakan Daerin.
“Dia
itu dulu teman baiknya Luna kan?” Daerin kembali bicara. “Teman sekelasku ada
yang berasal dari SMP yang sama dengan mereka. Katanya, dulu mereka akrab
banget. Minhyun yang memperkenalkan Korea pada Luna. Dia banyak membantu Luna.
Bahkan, temanku menyesalkan Minhyun dan Luna berakhir dengan saling diam sampai
sekarang. Aku curiga, dulu mereka bukan sekedar teman. Maksudku bukan murni
teman. Bisa jadi Minhyun cinta monyetnya Luna dan sebaliknya, kan? Jadi,
kemungkinan cinta lama mereka bersemi kembali itu ada.”
“Daerin-aa,”
Seongwoo akhirnya angkat bicara. Menegur Daerin yang menurutnya sudah cukup
keterlaluan dalam mendesak Jihoon.
“Wae?”
Protes Daerin. Ia tak suka Seongwoo menyelanya seperti itu. “Aku hanya ingin
memotivasi Jihoon. Dia harus mempertahankan apa yang udah dia capai sampai
titik ini, kan? Lagi pula, aku nggak bisa 100% percaya pada hubungan Jihoon dan
Luna. Bagiku, hubungan dua orang yang sama-sama menjadi pusat perhatian itu
nggak wajar. Terlebih hanya dalam jangka waktu dua bulan. Kecuali keduanya emang
gampang jatuh cinta.”
Mulut
Seongwoo terbuka, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar.
“Orang
bisa jatuh hati hanya sekian detik setelah saling tatap. Rasa tertarik itu,
bisa muncul secepat itu. Dua bulan bukanlah waktu yang sebentar Seonbae.” Jihoon
menjawab dengan tenang.
“Mm....
Jadi, kamu termasuk yang sekian detik setelah saling tatap itu?” Daerin tak kalah
santai.
Hanya
Seongwoo yang terlihat tegang. Tentu saja ia tegang. Ia tahu tentang betapa
mengerikannya Jihoon jika marah. Bagaimana jika semua ocehan Daerin itu membuat
Jihoon marah? Hal itulah yang paling dikhawatirkan Seongwoo.
“Nee.”
Jihoon tersenyum manis dan mengangguk.
Minhyun
datang menghampiri ketiganya. “Studio sudah siap. Pemotretan akan segera
dimulai.” Ujarnya dengan ekspresi dan nada datar.
“Gomawo.”
Seongwoo berterima kasih.
Jihoon
tersenyum manis dan tulus pada Minhyun. Ia bangkit dari duduknya dan bersama
Seongwoo berjalan menuju lokasi pemotretan.
Minhyun
menatap sinis pada Daerin yang bangkit dari duduknya. Daerin membalas tatapannya
tanpa ragu. Daerin berjalan melewati Minhyun.
“Luna
bukan cinta monyetku. Begitu sebaliknya.” Ujar Minhyun saat Daerin melintas di
depannya.
Daerin
menghentikan langkah. Menatap Minhyun yang berada dekat di sampingnya. Kemudian
ia menyunggingkan senyum di wajah ayunya dan berjalan menuju lokasi pemotretan.
Minhyun
membalikan badan, menatap punggung Daerin yang berjalan menjauhinya.
***
Luna
pulang bersama Jaehwan dan Woojin. Awalnya mereka janjian berkumpul di kedai
ramen dekat sekolah. Tapi, ketika sampai suasana sangat ramai di sana. Banyak
murid SMA Hak Kun menghabiskan sore mereka di kedai yang terkenal murah namun
rasanya enak itu. Karenanya, mereka sepakat untuk ikut pulang ke rumah Luna.
Ketika
sampai di halte di dekat sekolah, Luna lega tak melihat Daniel di sana. Walau
ia sudah memberikan nomer ponselnya pada Daniel pagi tadi, pemuda itu belum
menghubunginya sama sekali. Sepertinya pemuda itu masih memegang perjanjian pergi
setelah menunggu 30 menit.
Luna
tersenyum sendiri karena mengingat tentang Daniel. Menurutnya hal itu menarik.
Dirinya dan Daniel seperti sedang memainkan sebuah permainan seperti petak
umpet. Dan, mereka bekerja sama dengan baik. Akan sangat tidak baik jika ia dan
Daniel harus berada dalam satu bus bersama Jaehwan dan Woojin.
Usai
turun di halte yang letaknya dekat dengan komplek tempat tinggal Luna, mereka
bertiga berjalan kaki untuk mencapai rumah Luna. Sepanjang perjalanan Jaehwan
dan Woojin mengoceh. Mengomentari rute perjalanan Luna dan membahas apa saja
yang menarik perhatian mereka dan layak dijadikan obrolan.
Luna
menghentikan langkah saat sampai di persimpangan. Ia kembali dibuat bimbang
menentukan gang sebelah kanan atau kiri. Jaehwan dan Woojin turut berhenti di
sebelah kiri dan kanan Luna. Luna mantab memilih gang sebelah kanan. Toh ada
dua pemuda bersamanya kini. Ia yakin akan aman dari Bogi. Tentu saja harapannya
Bogi tak akan muncul dan menyapa mereka ketika lewat.
Luna
tetap berjalan di tengah. Di antara Jaehwan dan Woojin yang berada di samping
kiri dan kanannya. Ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah merah maroon,
mendadak ia merasa takut. Takut Bogi muncul dan menyapa. Apalagi dari kejauhan
tampak pagar rumah itu terbuka separuh.
Luna
ingin membagi rasa takutnya itu pada Jaehwan dan Woojin. Tapi, mulutnya seolah
terkunci rapat. Ia tak bisa berkata apa-apa dan tetap berjalan dalam diam,
sembari terus memanjatkan doa agar Bogi tak muncul.
“Wah,
rumah warna maroon itu unik ya.” Jaehwan memuji rumah merah maroon yang berada
di sisi kanan jalan.
“Unik?
Kok aku liatnya seram ya?” Woojin ikut berkomentar.
“Merah
maroon kan bagus.”
“Tapi,
rada suram. Nurut aku sih. Oh!” Woojin melihat anjing berbulu coklat yang
berada di tengah gerbang yang terbuka.
Pupil
kedua mata Luna melebar. Jantungnya seolah meluncur ke tanah ketika mengetahui
Bogi ada di sana. “Woojin jang—”
“Annyeong!”
Woojin tersenyum manis dan melambai pada Bogi sebelum Luna menyelesaikan
kalimatnya.
“Omo!
Dia menyalak!” Ujar Jaehwan.
“Tadi
aku mau bilang jangan sok akrab. Anjing itu suka penasaran. Dia yang bikin
kakiku cidera kala itu.” Luna dengan suara lirih dan mulut hampir tak terbuka
saat berbicara.
“Bagaimana
sekarang? Sepertinya dia akan mendekat.” Woojin mendadak siaga.
Ketiganya
bahkan telah berhenti tepat di depan gerbang. Berhadapan dengan Bogi yang mulai
bergerak maju mundur sambil sesekali menggonggong.
“Lari!”
Woojin menarik tangan Luna dan berlari ketika Bogi mulai bergerak mendekati
mereka.
Luna
spontan menarik tangan Jaehwan. Mereka bertiga berlari. Bogi mengejar mereka.
Di belakang Bogi, terdengar teriakan si pemilik. Pegangan tangan Woojin, Luna,
dan Jaehwan terlepas saat mereka berlari.
“Park
Woojin!!! Awas kau!!!” Luna berteriak sambil terus berlari.
“Aku
nggak tahu kenapa kita harus lari!” Ujar Woojin yang berlari paling depan.
“Kita
harusnya nggak lari! Dasar Park Woojin, babo!” Maki Jaehwan yang berlari hampir
sejajar dengan Luna, di belakang Woojin.
“Sebaiknya
kita berpencar!” Woojin memberi isyarat.
“Di
sini jalanan lurus tahu! Mau berpencar gimana?” Luna sudah berada lebih dekat
di belakang Woojin. Meninggalkan Jaehwan. “Jaehwan! Jangan ke timur!” Ia
berteriak.
“Apa?!”
Tanya Jaehwan yang juga berteriak.
“Jangan
terlalu minggir ke timur!” Luna mengulang.
“Aaa!!!”
Jaehwan menjerit.
Luna
dan Woojin kompak berhenti. Dengan napas terengah-engah, keduanya membalikan
badan. Jaehwan tidak ada di belakang mereka. Sedang Bogi berjalan mondar-mandir
di dekat sebuah selokan yang berlubang. Penutupnya hilang sebagian. Luna
menghela napas dan menepuk keningnya.
***
Woojin
duduk di sofa sambil menikmati minuman dingin yang disajikan Luna. Ia
menyelonjorkan kakinya yang lelah usai berlari.
Luna
kembali ke ruang tamu usai mengganti pakaiannya. “Jaehwan belum selesai?”
Tanyanya pada Woojin.
“Sepertinya
dia akan menghabiskan seluruh sabun dan shampo yang kamu miliki.” Jawab Woojin
santai.
“Ini
kan gara-gara kamu!” Luna duduk di samping kanan Woojin.
“Kok
aku??”
“Kalau
kamu nggak lari, Jaehwan nggak akan nyemplung ke selokan!”
“Kan
dia dengernya kamu nyuruh dia lari ke timur. Dia nurutin kamu dan nggak tahu
ada selokan berlubang. Jadilah dia nyemplung. Jadi, bukan sepenuhnya salahku
kan?”
Luna
menatap Woojin dengan sengit.
“Oke.
Oke. Kita salah. Hehehe.” Woojin meringis.
Luna
membuang muka.
“Ah….”
Jaehwan mendesah saat keluar dari kamar
mandi. Desahan yang membuat Woojin dan Luna kompak menoleh padanya. Jaehwan
tersenyum lebar dan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Ia berjalan
mendekati Luna dan Woojin.
“Wah,
pas sekali di badanmu.” Woojin mengamati Jaehwan dari atas ke bawah.
“Makasih
udah pinjemin aku baju ganti. Nanti aku balikin kalau udah aku cuci ya.” Jaehwan
duduk di seberang, berhadapan dengan Luna.
“Nggak
usah. Buat kamu aja.” Luna menolak.
Woojin
memiringkan kepala. Mengamati kaos hitam yang dikenakan Jaehwan. “Itu kaos
produksi distro milik kakak sulungmu, kan?” Ia menuding kaos yang dikenakan Jaehwan
dan menoleh pada Luna.
“Iya.”
“Wah,
beruntung banget kamu dapet kaos itu. Di Indonesia kaos itu udah terkenal lho.
Yang pakek rata-rata artis.”
“Kamu
tahu?” Jaehwan menatap heran pada Woojin.
“Dia
kan stalker.” Sahut Luna. “Apa sih yang nggak dia tahu?”
Woojin
hanya meringis menanggapi olokan Luna.
“Makasih
ya Luna. Kaos dan celana trainingnya pas di aku.” Jaehwan tersenyum lebar.
“Kamu
kan cewek, gimana ukurannya bisa pas buat Jaehwan?” Woojin kembali mengamati.
“Kaosnya
size L. Kalau celananya emang celana training cowok. Ih, kamu kenapa bahas hal
nggak penting kayak gitu sih? Ya emang aku bukan tipikal cewek feminim. Jadi,
ya bajuku dominan kaos dan celana. Beruntung kan? Jadi, Jaehwan bisa ganti seragamnya
yang basah dan kotor.”
“Juga
bau.” Woojin menambahkan.
“Ya!
Ini kan gara-gara kamu!” Jaehwan menatap kesal pada Woojin.
“Kamu
kan salah denger waktu Luna teriak, jadi salah kamu sendiri! Bukan aku!” Woojin
membela diri.
“Tapi,
kalau kamu nggak lari kan kita nggak perlu dikejar anjing!”
“Udah!
Udah! Jaehwan, itu minum minuman dinginnya. Silahkan nikmati cemilannya juga.”
Luna menengahi. “Kalian ingat kan apa tujuan kita berkumpul?”
“Iya.”
“Iya.”
Woojin
dan Jaehwan hampir bersamaan.
“Maaf
untuk insiden hari ini. Aku bersyukur Jaehwan tidak terluka walau sempat
terjatuh ke dalam selokan.” Luna meminta maaf.
“Nggak
papa kok. Aku kan pria yang kuat.” Jaehwan tersenyum lebar.
“Baiklah.
Bisa kita mulai?” Luna menatap Jaehwan, lalu Woojin. Dua pemuda itu mengangguk.
“Oke. Mari kita mulai.”
Diskusi
membahas informasi tentang Bae Jinyoung yang berhasil mereka kumpulkan pun
dimulai. Luna memberi kesempatan pada Woojin untuk membeberkan informasi yang
berhasil dikumpulkan sebagai pembuka diskusi. Woojin pun menjabarkan informasi
yang berhasil ia kumpulkan. Tak lupa ia menyampaikan kesimpulan yang ia buat
tentang Bae Jinyoung.
Setelah
Woojin selesai dengan penjelasannya, giliran Jaehwan menjabarkan informasi
tentang Bae Jinyoung yang berhasil ia kumpulkan bersama Luna. Lalu, Luna
menyambungnya dengan membeberkan informasi tentang Lucy yang berhasil ia
kumpulkan.
“Jadi,
kesimpulan kita sama. Bae Jinyoung itu pemuda yang baik. Hanya saja dia ketiban
sial hingga dicap sebagai pemerkosa.” Woojin mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dia
bukan pemerkosa!” Luna meralat. “Polisi kan udah ngasih pernyataan bahwa Bae
Jinyoung nggak bersalah. Dia ada di lokasi secara nggak sengaja, kan? Dia lewat
di gang itu dan menemukan korban tak sadarkan diri. Saat ia berusaha
membangunkan korban, pelaku malah meneriaki Bae Jinyoung. Karenanya Bae
Jinyoung sempat di tahan dan dicurigai sebagai pelaku pemerkosaan.
“Tapi,
penyelidikan membuktikan bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah. Ditambah lagi surat
wasiat peninggalan korban sebelum bunuh diri semakin memperkuat fakta bahwa Bae
Jinyoung tidak bersalah. Harusnya mereka berhenti memberi label Bae Jinyoung
itu pemerkosa. Bukankah dia sebenarnya pahlawan? Karena berusaha menolong
korban.”
“Pahlawan
ketiban sial. Kasihan sekali.” Woojin menggelengkan kepala. Bersimpati untuk
Bae Jinyoung.
“Penampilannya
mendukung sih. Dia yang selalu berjalan dengan kepala tertunduk dan lingkar
hitam di matanya itu. Juga, bagaimana dia menatap orang lain. Siapa yang nggak
ngeri?” Jaehwan menyambung.
“Fakta
kelam tentang Bae Jinyoung, lalu kepribadian Lucy yang introvert, dan kebetulan yang mempertemukan kalian bertiga. Itu
bisa jadi berita hebat kalau Lucy sampai salah bicara.” Woojin menarik sebuah
kesimpulan.
“Itulah
yang aku khawatirkan.” Luna membenarkan.
“Itu
alasan kenapa kamu susah-susah nyari info tentang Bae Jinyoung dan Lucy?” Tanya
Jaehwan.
“Yap!”
Luna membenarkan.
“Tapi,
selama Lucy tutup mulut kan semua aman? Lagian, dia bukan tipikal cewek yang
gemar bergosip kan?”
“Iya
sih. Cuman aku pikir lebih baik berjaga-jaga. Aku mau melindungi dan menjaga
Bae Jinyoung dari sekarang.”
Woojin
dan Jaehwan kompak menatap Luna.
“Buat
apa sih?” Jaehwan heran. “Toh tadi kamu seharian menghabiskan waktu sama Lucy
di ruang UKS, dia juga diem aja.”
“Dalam
diamnya itu dia nyimpen pertanyaan tentang apa yang dilakukan Bae Jinyoung
hingga tanganku berdarah. Itu bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.”
“Selama
Lucy tutup mulut kan nggak akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku yakin dia nggak
akan ngomong apa-apa.” Woojin buka suara.
“Aku
pun tahu itu. Kan tadi udah aku bilang buat jaga-jaga aja. Entah kenapa aku
punya firasat nggak baik tentang kebetulan yang mempertemukan kami itu.”
“Karena
Lucy terus menerus bermain dengan pikirannya sendiri tentang kamu dan Bae
Jinyoung?” Jaehwan menebak.
“Benar
sekali!” Luna membenarkan.
“Tadi
harusnya kamu langsung ngomong dong ke Lucy. Jelasin semuanya.”
“Masalahnya,
ngomong sama orang introvert itu
nggak segampang itu. Apalagi kami baru kenal.”
“Kamunya
aja yang mempersulit. Kalau kamu jelasin kan Lucy pasti langsung paham. Orang introvert kadang susah juga buat memulai
obrolan. Apalagi bertanya soal kejadian itu. Ketika ia nggak sengaja melihat
tanganmu berdarah dan Bae Jinyoung memegang cutter.”
Suasana
menjadi hening sejenak.
“Bukannya
Luna mempersulit. Di depan Lucy yang super pendiam itu, bisa jadi Luna juga
jadi kesulitan untuk memulai obrolan. Mungkin Luna mempertimbangkan, iya kalau
Lucy berpikir Bae Jinyoung melukai Luna. Kalau nggak, kan Luna bisa kerepotan
juga. Orang pendiam itu paling susah ditebak.” Woojin menengahi konflik antara
Jaehwan dan Luna.
Luna
mengangguk-anggukan kepala. Membenarkan apa yang dijabarkan Woojin.
“Trus
sekarang gimana?” Jaehwan menyerah. Tak mendebat lagi.
“Kamu
kan sekelas sama Bae Jinyoung, jadi awasi dia. Daehwi yang akan mengawasi
Lucy.” Luna membagi rencananya. “Hanya itu aja. Selama nggak ada masalah, kita
tetap bergerak seperti itu. Aku sih berharap nggak akan terjadi apa-apa.
Setidaknya kalian tahu tentang apa yang aku khawatirkan dan juga tentang
fakta-fakta itu. Jadi, jika nanti terjadi sesuatu, aku minta dukungan kalian
untuk membantu Bae Jinyoung.”
Suasana
kembali hening. Jaehwan dan Woojin menatap Luna dalam diam.
“Semua
makhluk berhak bahagia. Begitu juga Bae Jinyoung. Aku nggak tahu dia bahagia
atau nggak. Tapi, hidup dengan bayang-bayang kelam pasti nggak akan bikin
siapapun bahagia.” Luna melanjutkan.
“Aku
juga nggak berniat bersikap sok pahlawan kok!” Luna kembali bicara saat mulut
Jaehwan terbuka. Membuat Jaehwan menelan kembali kata-katanya.
“Aku
hanya melakukan apa yang kata hatiku bilang harus lakukan. Semoga ini tak
menimbulkan masalah bagiku, juga bagi kalian.” Luna menambahkan. “Toh,
informasi itu sementara hanya untuk kita. Tapi, aku yakin akan berguna suatu
saat nanti.”
Jaehwan
menatap Luna dalam diam. Begitu juga Woojin.
“Baiklah.
Walau ini terkesan konyol bagiku, tapi aku tertarik mengikuti permainannya.
Jadi, aku akan menjalankan tugasku dengan baik.” Jaehwan setuju untuk membantu
Luna.
“Selama
berada di Klub Basket, aku akan berusaha dekat dengannya.” Woojin juga bersedia
membantu.
Luna
tersenyum manis. “Terima kasih. Mulai sekarang, kita akan jadi sekutu yang
saling menguntungkan.”
“Saling
menguntungkan? Hari ini aku sial tahu! Kecebur selokan bau!” Protes Jaehwan.
“Tapi,
kamu juga beruntung kan? Dapat kaos distro asli asal Indonesia demenan para
pesohor di sana. Gratis. Bonus celana training pula. Coba bayangin kalau kamu
harus beli online. Harus bayar ongkos
kirim juga. Aku yakin di Korea hanya Luna yang punya. Kamu patut bangga karena
pakek barang langka!” Woojin mengomeli Jaehwan.
“Iya
juga ya. Wah, nanti mau aku pamerin di akun SNS ku ah!”
“Jangan!
Bahaya buat Luna tahu! Apalagi kalau Jihoon sampai tahu!”
“Ah
iya! Kenapa urusan sama kamu ribet banget sih Luna?”
Luna
tersenyum saja menanggapi protes Jaehwan. “Kalian pasti laper. Mau aku bikinin
ramen instan ala Indonesia nggak? Rasa yang nggak biasa kalian makan
sebelumnya. Aku baru dapat kiriman dari Indonesia lho! Ada rasa soto, ada rasa
kari. Kalian mau yang mana?”
“Aku
penasaran kari.” Jaehwan langsung menentukan pilihan.
“Kalau
gitu aku soto aja. Nanti kita saling mencicipi ya?” Woojin menatap Jaehwan.
“Oke.”
Jaehwan setuju.
“Baiklah.
Tolong ditunggu sebentar. Chef Luna akan memasak untuk kalian.” Luna bangkit dari
duduknya dan menuju dapur.
Jaehwan
dan Woojin menunggu di ruang tamu sambil menikmati cemilan yang disajikan.
***
Luna
tak paham seberapa tenar dirinya di sekolah dan apa arti sebenarnya dari
ketenaran itu. Pagi tadi, saat sampai di sekolah, Sungwoon langsung
menyerangnya dengan banyak pertanyaan tentang kepulangannya bersama Jaehwan dan
Woojin. Menurut Sungwoon, sudah banyak kasak-kusuk yang membicarakan
kebersamaan mereka.
Kadang
Luna berpikir, hal-hal seperti itu, kasak-kusuk itu apakah benar ada. Atau
hanya alibi yang dibuat demi menjawab rasa penasaran si penanya itu sendiri.
Luna paham benar akan betapa mengerikannya rasa penasaran itu. Ia sendiri masih
sering dibelenggu dan diperbudak oleh rasa penasaran itu.
Pagi
tadi Hyuri mengirim pesan, mengatakan ingin bertemu saat istirahat. Luna pun
setuju. Ia menunggu seniornya itu di bangku taman yang bagi sebagian murid
sudah memiliki tanda sebagai Bangku Taman
Milik Luna. Istilah itu Luna dengar dari Jisung. Dan, ternyata benar ada
postingan tentang Bangku Taman Milik Luna
di komunitas sekolah. Lagi-lagi Luna dibuat heran oleh rekan-rekan di
sekolahnya.
Ia
sama sekali tak pernah melabeli bangku yang berada di pojok, di bawah sebuah
pohon besar itu sebagai miliknya. Hanya saja, Luna menyukai tempat itu karena
berada di pojok dan jarang digunakan oleh murid lain. Karenanya, ia banyak
menghabiskan waktu di bangku itu saat istirahat. Entah untuk duduk-duduk saja
sambil membaca buku dan mendengarkan musik. Atau untuk mengerjakan tugas
bersama saat ada tugas kelompok. Kebiasaan itu berlangsung sejak Luna duduk di
kelas X.
“Sudah
lama menunggu?” Hyuri membuyarkan lamunan Luna.
“Eh?”
Luna tekejut. “Lumayan.” Imbuhnya.
“Maaf
ya. Tadi ada urusan sebentar.” Hyuri pun duduk di bangku seberang, berhadapan dengan
Luna.
Belum
tentu ada hal penting saat Hyuri mengajak bertemu seperti ini. Biasanya gadis
itu hanya merasa telah lama tidak bertemu, duduk, dan ngobrol bersama Luna.
Karenanya ia meminta bertemu sekedar untuk duduk dan ngobrol bersama.
Topik
obrolan pun seputar sekolah atau EC yang sudah ditinggalkan Hyuri karena sudah
naik ke kelas XII. Murid kelas XII kebanyakan memang memilih keluar atau tidak
aktif dalam kegiatan klub atau pelajaran tambahan. Karena mereka fokus untuk
ujian kelulusan. Beberapa mengganti kegiatan klub dengan mengikuti les tambahan
khusus untuk persiapan ujian masuk universitas. Biasanya murid yang mengincar
universitas ternama yang mengikuti les tambahan itu.
Siang
ini pun topik obrolan antara Hyuri dan Luna seputar pergantian pengurus dalam
klub. Setelah beberapa kali pertemuan, Jisung akhirnya resmi menjadi ketua Klub
Teater. Sedang Luna tetap menjadi anggota biasa. Ia tetap saja malas menjadi
pengurus walau statusnya adalah senior tingkat dua.
Bahasa
yang mereka gunakan untuk mengobrol pun tidak beda dari sebelumnya yaitu
menggunakan Bahasa Inggris. Tujuan Hyuri sebisa mungkin mendekati murid asing
adalah tak lain untuk mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya. Di antara semua
murid asing yang ia dekati, Luna lah yang membuatnya nyaman. Karena itu ia
lebih sering meminta bertemu dan ngobrol bersama Luna.
Tidak
dengan niat sok keren, tapi Hyuri yang mempunyai impian kuliah di Inggris tentu
saja harus mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya sejak dini. Karenanya ketika
masuk SMA, ia memilih SMA yang memiliki banyak murid asing. Walau bukan SMA
berstandar internasional.
“Kalian
sudah selesai?” Myungsoo menghampiri Hyuri dan Luna. Ia tak sendiri. Ada Lee
Taemin bersamanya. Murid kelas XII yang juga merupakan Presiden Sekolah atau
Ketua OSIS.
“Oh!
Sunbaenim!” Luna bangkit dari duduknya dan memberi salam.
Taemin
tersenyum manis. “Lama tak berjumpa, Luna.”
Luna
membalas senyum dan menganggukan kepala.
“Kita
makan?” Ajak Myungsoo.
“Nee.”
Hyuri bangkit dari duduknya. “Luna, makan siang sama kami ya?” Ajak Hyuri.
“Nee??”
Kedua mata bulat Luna melebar. Mendengar ajakan makan siang Hyuri.
Bukannya
tidak pernah makan siang dengan Hyuri. Sebelumnya Luna pernah makan siang
bersama Hyuri dan Hami. Bahkan bersama Hyuri dan Myungsoo. Tapi, kali ini ada
Lee Taemin.
Sebelum
Luna sempat menjawab, Hyuri sudah menyelipkan tangannya di lengan kanan Luna.
Gadis itu menuntun Luna untuk pergi bersama. Luna pun tak bisa menolak.
***
Jisung
duduk berdua saja dengan Seongwoo di kantin. Luna, Woojin, dan Sungwoon entah
ke mana. Di tengah makan, Jisung melihat Linda yang membawa nampan sedang celingukan,
mencari meja kosong.
“Linda!
Di sini!” Jisung melambaikan tangan memanggi Linda.
Linda
tersenyum dan mendekat. Guanlin dan Daniel mengekor di belakangnya.
“Iya,
Seonba?” Sapa Linda pada Jisung.
“Duduk
sini aja. Sama kami. Kebetulan Luna, Woojin, dan Sungwoon entah ke mana.
Mungkin mereka akan terlambat.” Jisung mempersilahkan.
“Tapi,
saya sama Guanlin dan Daniel.” Linda sungkan.
“Nggak
papa. Duduk aja. Tempat kami masih luas.” Seongwoo turut mempersilahkan.
“Kamsahamnida.”
Linda duduk. Di susul Guanlin dan Daniel yang tak lupa mengucap terima kasih.
Linda
duduk berhadapan dengan Seongwoo. Di samping kirinya berurutan Daniel dan
Guanlin. Daniel duduk berhadapan dengan Jisung.
“Sepertinya
hari ini semua makan menjelang akhir jam istirahat. Kantin masih penuh seperti
ini.” Jisung mengoceh di sela makan siangnya.
“Terima
kasih sudah memberi kami tempat.” Daniel membungkukan badan.
“Nggak
papa. Kita semua teman.” Jisung tersenyum.
“Itu
Daerin!” Seongwoo melihat Daerin usai mengambil menu makan siang. Gadis itu
membawa nampan dan melihat sekitar. “Boleh aku un—”
“Daerin-aa!”
Jisung memanggil Daerin. Memotong Seongwoo yang hendak meminta izin untuk
mengundang Daerin.
Seongwoo
tersenyum melihat Daerin berjalan mendekat. Masih dengan gaya angkuhnya.
“Gomawo!”
Daerin duduk di samping Jisung.
“Masih
longgar kok. Muat buat dua orang lagi. Silahkan makan!” Jisung mempersilahkan.
Daerin
mengamati tiga murid yang turut duduk di meja Jisung. Guanlin yang tersenyum
sambil menundukkan kepala padanya. Lalu, Daniel yang juga bersikap sama namun
dengan senyum sedikit kaku di wajahnya. Dan, Linda yang tersenyum sambil
membungkukan badan.
“Murid
kelas X ya?” Tanya Daerin.
“Iya.
Guanlin temannya Luna dari Klub Anak Rantau kan ya?”
Guanlin
mengangguk.
“Linda
satu kelas denganku di kelas Bahasa Korea. Dan, Daniel teman mereka berdua.”
“Oh.”
Respon Daerin datar. “Kamu sibuk banget belakangan.” Ia mengajak Jisung
mengobrol seolah hanya ada mereka berdua di sana.
“Maklum,
dia kan ketua baru Klub Teater.” Sela Seongwoo.
“Ah!
Iya. Selamat ya!” Daerin segera memberi selamat atas terpilihnya Jisung menjadi
ketua Klub Teater.
“Ah,
terima kasih. Aku jadi malu. Sebenarnya ada calon lain. Tapi, karena Luna lebih
setuju aku yang jadi ketua. Semua pun ikut setuju.” Jisung dengan bangga
menceritakan bagaimana ia terpilih menjadi ketua klub.
“Luna
lagi ya?” Komentar Daerin dengan nada tak menyenangkan. “Oh! Park Jihoon!”
Daerin memanggil Jihoon. “Dia tak punya tempat. Tak apa, kan?”
“Nggak
papa. Kita semua teman. Sudah wajar saling berbagi.” Jisung tak keberatan.
Jihoon
yang datang ke kantin bersama Kim Min Seok pun bergabung di meja Jisung.
Keduanya berterima kasih karena diizinkan bergabung untuk makan siang. Jihoon
memilih duduk di samping Guanlin. Dan, Min Seok di samping Jihoon. Keduanya
membiarkan kursi di samping Daerin kosong. Makan siang bersama antara senior
tingkat dua dan juniornya itu pun berlanjut dalam suasana yang sedikit kaku.
“Oh!
Bukankah itu Luna?” Daerin memecah kebisuan dalam meja Jisung. “Dia datang
bersama Hyuri Seonbae? Dan, Taemin Seonbae?”
Jisung
dan Seongwoo kompak menghentikan acara makan mereka dan mengikuti arah
pandangan Daerin. Seperti di komando, Linda, Daniel, Guanlin, Jihoon, dan
Minseok pun melakukan hal yang sama.
“Oh
dia ketemuan sama Hyuri Seonbae ya,” Jisung setengah bergumam seolah itu hal
yang biasa.
“Luna,
Hyuri Seonbae, dan Myungsoo Seonbae ketemuan emang udah biasa!” Sahut Daerin.
“Tapi, Taemin Seonbae?”
“Wae?
Taemin Seonbae kan teman Myungsoo Seonbae. Wajar aja, kan?”
“Nggak
wajar!” Daerin ketus. “Ini pertama kalinya, kan?”
“Mungkin
kebetulan aja.” Seongwoo ikut bicara.
“Setelah
gosip cintanya ditolak Luna?” Ujar Daerin terang-terangan.
Daniel
dan Jihoon terbatuk-batuk hampir bersamaan.
“Jeosonghamnida.”
Ujar Daniel meminta maaf.
“Jeosonghamnida.”
Jihoon pun meminta maaf.
Daerin
menyunggingkan senyum samar di bibirnya. Menatap Jihoon yang tertunduk kikuk di
hadapannya. “Ada apa dengan kalian? Tersedak hampir bersamaan?” Tanyanya
enteng.
“Daerin-aa,
mari kita makan dengan tenang.” Seongwoo menegur Daerin.
“Memangnya
dari tadi tidak tenang?” Daerin menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
***
Sepanjang
perjalanan kembali ke kelas, Linda tak hentinya mengeluhkan sikap Daerin saat
makan siang. Menurutnya sikap gadis itu terlalu frontal bahkan kasar. Segala
ucapannya bisa menjadi wabah mengerikan jika ada yang mendengar lalu
menyebarkannya.
“Setiap
orang beda-beda sifatnya. Mungkin Daerin Seonbae memang begitu orangnya.
Ceplas-ceplos.” Komentar Guanlin.
“Tapi,
ya nggak gitu juga kali. Taemin Seonbae presiden sekolah kita lho! Kalau rumor
itu sampai tersebar kan kasihan. Padahal belum tentu kayak gitu juga kan
faktanya?” Linda masih kukuh jika sikap Daerin salah.
“Iya
juga sih.” Guanlin setuju.
“Luna
Seonbae juga lumayan terkenal. Dan, tadi juga ada Park Jihoon yang deket sama
Luna Seonbae. Nggak kasihan ke Park Jihoon apa? Misal dia tersinggung? Cemburu
pastilah ya. Sampai tersedak gitu.” Linda diam sejenak. “Tapi, Kang Daniel,” ia
menatap Daniel yang berjalan di samping kanannya, “kenapa tadi kamu juga
tersedak?”
Guanlin
yang berjalan di samping kiri Linda ikut menatap Daniel.
“Kaget
aja. Orang sekeren Taemin Seonbae aja ditolak. Kaum biasa kayak kita, sudah
pasti tidak punya harapan.” Daniel tersenyum.
“Belum
tentu kok. Selera orang siapa tahu, kan? Eh? Jangan-jangan kamu naksir Luna
Seonbae ya?” Goda Guanlin.
Linda
mengerutkan dahi, masih memperhatikan Daniel.
“Sepertinya
hampir semua siswa di sekolah ini suka Luna Seonbaenim.”
“Iya,
aku juga suka. Tapi, aku tadi bilang naksir. Bukan suka.” Guanlin memperjelas
maksudnya.
Daniel
tercenung sejenak, lalu tersenyum. “Nggak lah. Mana berani aku naksir cewek
keren seperti Luna Seonbae.”
“Aku
duluan ya!” Linda mempercepat langkahnya. Meninggalkan Daniel dan Guanlin.
Guanlin
memiringkan kepala. Mengamati punggung Linda yang berjalan mendahului.
Daniel pun melanjutkan langkah. Berjalan menyusul Linda untuk kembali ke kelas.
Daniel pun melanjutkan langkah. Berjalan menyusul Linda untuk kembali ke kelas.
“Wah,
sepertinya ini situasi yang rumit.” Guanlin menggelengkan kepala.
***
Luna
merebahkan tubuh lelahnya di sofa. Hari yang cukup menguras tenaganya. Ia diam,
menatap langit-langit ruang tamu, mengingat semua kejadian di sekolah. Ia
menghela napas panjang.
“Kenapa
Taemin Seonbae tiba-tiba bergabung? Ya ampun! Itu membuatku merinding!” Luna
mengusuk kedua lengannya.
Ponselnya
bergetar. Luna pun mengeluarkan dan memeriksa ponselnya. Ada pesan dari Dinar
yang kembali mengingatkan Luna untuk segera mengunjungi keluarga kedua yang
sudah sampai di Korea.
“Ini
orang nggak ada kerjaan apa selain jadi alarm pengingat macem gini?” Luna
berbicara pada ponselnya. “Astaga!” Ia kaget saat ponselnya kembali bergetar
dan nama Park Jihoon muncul di layar untuk sebuah panggilan video.
“Park
Jihoon?” Luna berbisik. “Ada apa ya?” Ia pun menerima panggilan itu.
“Seonbae!”
Jihoon tersenyum menyambut Luna yang menerima panggilannya. “Seonbae sudah
sampai di rumah?”
“Mm.
Baru saja.” Luna mengamati Jihoon. Pemuda itu masih berada di dalam mobilnya. Jangan-jangan… batinnya, lalu
melanjutkan bertanya, “Wae?”
“Sabtu
nanti apa Seonbae ada acara?”
“Mm?
Apa ini ajakan kencan?”
Jihoon
tersenyum tersipu.
“Ya,
Park Jihoon! Apa kamu harus berakting sejauh itu?”
“Itu
wajar dilakukan oleh remaja yang sedang pacaran, kan?”
“Ya,
benar. Tapi, akan susah jika itu urusannya sama kamu. Dan, sayangnya Sabtu
nanti aku ada acara.”
“Klub
Anak Rantau ya?”
“Bukan.
Tapi… eum, apa ya. Acara keluarga.”
“Bersama
Ibu Kecil?”
“Nggak.
Ini keluarga dari Indonesia. Pengganti ayahku. Aku harus berkunjung karena
mereka sudah tiba di Korea. Oppaku terus mengingatkan akan kunjungan itu. Jadi,
aku harus segera berkunjung agar alarm berwujud oppaku itu berhenti.”
Jihoon
tersenyum melihat Luna.
“Wae??”
“Anee.
Seonbae tampak cute saat mengoceh
seperti itu.”
Luna
menyipitkan mata.
“Baiklah.
Maaf mengganggu waktu Seonbae. Lain kali saja kalau begitu.”
“Apa
ini karena Kang Daerin?”
“….”
Jihoon membeku.
“Seongwoo
menceritakannya padaku. Ia khawatir mungkin kamu akan berkeluh kesah akan hal
itu. Ia cerita sekaligus meminta maaf untuk sikap Daerin.”
“Maaf.
Sepertinya aku terbakar dan cemburu.”
Kening
Luna berkerut. Ia mengamti Jihoon yang tampak salah tingkah. “Hari Minggu, aku
mau ke toko buku. Kalau kamu mau bergabung.”
Jihoon
tampak terkejut. “Sama siapa?”
“Aku?”
Jihoon
mengangguk.
“Sendiri.”
Jihoon
berbinar. “Baiklah! Aku ikut!”
“Oke.”
“Terima
kasih Seonbae. Sampai ketemu hari Minggu.” Jihoon mengakhiri panggilan.
Luna
tercenung menatap ponselnya. “Terbakar dan cemburu?” Gumamnya masih menatap
layar ponselnya yang berubah hitam. “Apakah… nggak! Itu nggak mungkin! Park
Jihoon nggak boleh terbakar dan nggak boleh cemburu! Bagaimana ini?” Luna
menggigit bibir bawahnya.
***
0 comments