My 4D Seonbae - Episode #13 “Walau Tidak Mudah, Aku Ingin Jadi Teman Bagi Semua Orang”
07:02 Episode #13 “Walau Tidak Mudah, Aku Ingin Jadi Teman Bagi Semua Orang”
Daniel
menatap ponselnya. Luna Seonbae. Nama dari nomer kontak itu terpampang di layar
ponselnya. Ia telah mengetik pesan, tapi ragu untuk mengirimkannya pada Luna. Ketika
ia menyimpan nomer ponsel Luna, beberapa akun SNS Luna langsung muncul. Foto
dari semua akun milik Luna menggunakan foto Luna dari anime Sailormoon. Satu
foto Luna si kucing hitam untuk semua akun.
Benar-benar,
begitu komentar Daniel ketika melihat akun SNS Luna yang kesemuanya sama. Ia
sampai menggelengkan kepala karena heran. Mungkin itu ciri khas yang sengaja
dibuat oleh Luna.
Ini
bukan kali pertama sejak Daniel mendapatkan nomer Luna; mengetik pesan namun
urung mengirimkannya. Ia masih menggunakan perjanjian 30 menit setiap kali
menunggu Luna. Kemudian ia teringat ucapan Daerin saat makan siang bersama
tadi.
Daniel
menghela napas dan menghapus pesannya. “Luna Seonbae menolak pernyataan cinta
Taemin Seonbae? Masa iya?” Ia berbicara sendiri. “Jadi, dia lebih suka tipikal
cowok imut seperti Jihoon? Tapi, Taemin Seonbae juga imut.”
Daniel
memiringkan kepala, kembali menghela napas, dan merebahkan tubuhnya. Ia menatap
langit-langit kamarnya. “Sebenarnya apa tujuanku? Kenapa aku berusaha dekat
dengannya? Kalau untuk mengucap terima kasih kan waktu itu aku sudah bilang
terima kasih. Tapi, gadis yang tidak takut serangga dan hantu itu kan keren.
Ah, molla!”
Daniel
menutup muka dengan bantal dan berusaha untuk tidur.
***
Hari
ini sekolah berjalan seperti sebelumnya. Murid-murid pun hampir sama seperti
sebelumnya—belajar dan kadang membicarakan hal-hal tak penting seperti bahasan
yang sedang panas-panasnya tentang makan siang bersama Luna dengan Hyuri,
Myungsoo, dan Taemin. Komentar dukungan dan kebencian tak bisa dihindari.
Luna
dibuat heran oleh murid-murid dengan tipe seperti itu—gemar membicarakan murid
lain entah dari segi positif atau negatif—yang sepertinya tak pernah merasa
bosan juga lelah. Menurutnya hal seperti itu hanya buang-buang waktu, tenaga,
dan pikiran.
Luna
pun berpikir betapa mengerikannya komentar orang-orang yang membencinya ketika
berkumpul di tempat rahasia mereka. Luna bergidik. Ia sendiri kadang merasa
muak dengan tak bosannya mereka yang terus membicarakan bahkan mengangkat
hal-hal kecil dan tak penting yang ia kerjakan sebagai topik bergosip. Ia
sering merasa muak akan hal itu.
Luna
sedang duduk berdiam memikirkan itu semua di Bangku Taman Milik Luna ketika Jaehwan tiba-tiba menarik tangannya
sambil berkata, “Ini gawat! Masalah serius!”
Napas
Jaehwan terengah-engah karena ia berlari. Lalu tanpa Luna sempat menjawab,
Jaehwan sudah membawanya berlari. Luna pun tak menolak. Ia turut berlari di
belakang Jaehwan dengan pemuda itu masih menggandeng tangan kanannya.
Jaehwan
membawa Luna membelah kerumunan beberapa murid di koridor yang akan membawa
siapa saja yang menyusurinya ke bagian belakang sekolah. Mata bulat Luna
terbelalak ketika sampai di depan kerumunan. Ada Lucy yang terbaring tak
sadarkan diri di atas lantai dan Bae Jin Young yang berdiri di samping Lucy
yang tergeletak.
“Ada
apa ini?” Tanya Luna. Mendadak ia merasakan kepanikan menggerayangi tubuhnya.
“Seorang
siswi kelas XI menemukan Bae Jinyoung berjongkok di dekat Lucy yang pingsan. Ia
menjerit karena takut dan membuat kehebohan.” Jaehwan menerangkan di sela
napasnya yang masih terengah-engah.
“Aku
yakin dia pasti akan berbuat buruk pada gadis itu!” Ujar seorang siswi yang
berada di samping kanan Luna.
Luna
mengamati kerumunan dengan cepat. Ada Minhyun juga di sana. Mungkin tadi ia
tiba di sana dengan Jaehwan. Anehnya pemuda itu hanya berdiri diam. Tak
melakukan tindakan apa pun. Luna menghembuskan napas dengan kasar lalu maju
mendekati Lucy dan Bae Jinyoung.
“Ya!
Luna! Apa yang akan kau lakukan?!” Seorang siswi menegur. “Jangan merusak TKP!”
“Merusak
TKP gundulmu!” Luna tiba-tiba mengumpat dalam Bahasa Indonesia. Membuat semua
yang ada di sana terkejut walau mereka tak paham apa yang dikatakannya. “Maksudku
aku nggak akan ngrusak TKP. Toh pelakunya, anu maksudku Bae Jinyoung di sini,
nggak kabur. Apa kita akan tetap mendiamkan korban? Maksudku Lucy, gadis yang
pingsan ini?”
Luna
memiringkan kepala. “Apaan sih aku ini! Pelaku dan korban!” Ia bergumam memaki
dirinya sendiri.
“Bae
Jinyoung!” Luna menatap Jinyoung. “Kamu bisa bantu aku angkat dia?”
Bae
Jinyoung mengangguk.
“Baiklah!
Kita bawa dia ke UKS!” Luna berjongkok di dekat Lucy.
Bae
Jinyoung mengangguk. Lalu, turut berjongkok di samping kanan Luna.
“Ya!
Mezzaluna!” Siswi itu kembali menegur.
“Kim
Jaehwan! Bantu aku!” Luna mengabaikan teguran itu.
Jaehwan
pun maju. “Aku harus bagaimana?”
“Kamu
di sini! Menopang bagian atas tubuh Lucy. Aku akan menopang bagian tengah dan
Bae Jinyoung bagian kaki.” Luna memberi intruksi. “Kita angkat bersama ke ruang
UKS.”
“Oke.
Oke.” Jaehwan mengangguk paham dan langsung siap di posisinya.
Jaehwan,
Luna, Jinyoung sudah siap di posisinya. Luna pun memberi aba-aba, lalu dengan
kompak mereka mengangkat tubuh Lucy. Gadis yang menegur Luna menghalangi
bersama beberapa temannya.
“Ya!
Beri kami jalan!” Bentak Jaehwan.
“Kamu
mau tanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Lucy? Kita tidak tahu kenapa dia
pingsan. Bagaimana kalau dia butuh penanganan serius? Kamu mau tanggung jawab
jika kita terlambat melakukannya?” Luna menyambung. “Aku yang akan bertanggung
jawab atas masalah ini.”
Gadis
itu bergeming. Tak mau memberi jalan.
Minhyun
berjalan dan berhenti di depan Luna. Ia memunggungi Luna dan menghadap pada
rekan seangkatannya yang menghalangi langkah Luna. “Beri mereka jalan. Aku akan
bertanggung jawab!” Pintanya dengan suara datar dan tegas.
Luna
terkejut mendengarnya. Begitu juga Jaehwan. Keduanya menatap punggung Minhyun
dengan tatapan tak percaya.
“Hwang
Minhyun….” Gadis itu menatap Minhyun yang menatapnya dengan tatapan dingin. Ia
mendesah dan minggir. Memberi jalan untuk Luna.
Minhyun
mengikuti Luna di belakang. Turut mengantar Lucy ke ruang UKS.
Minhyun,
Jinyoung, dan Jaehwan duduk di ruang pengurus UKS. Luna membantu Hami menangani
Lucy.
“Ini
pasti akan jadi kehebohan lagi. Ya, bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya Hami.
“Bagaimana
apanya?” Luna balik bertanya.
“Lucy
dan Bae Jinyoung.”
“Mana
aku tahu! Sampai di sana Lucy udah pingsan dan Bae Jinyoung ada di dekatnya.
Beberapa murid juga sudah berkumpul di sana.”
“Lalu,
sekarang apa Bae Jinyoung sedang di interogasi? Ah, anak itu malang sekali.
Dengan kenyataan masa lalunya yang kelam karena salah tuduh itu, kejadian ini
bisa jadi malapetaka baru baginya.”
Luna
menatap Lucy yang masih belum sadarkan diri. “Benar sekali. Hami, apa kamu
percaya Bae Jinyoung akan melakukan sesuatu yang buruk pada Lucy?”
“Aku?”
Hami kemudian diam sejenak. “Entahlah. Aku sama sekali nggak kenal dia. Bisa
jadi mereka menyimpulkan Bae Jinyoung melakukan hal itu karena dia udah
berstatus senior tingkat dua yang dihormati junior. Kebetulan yang miris, kan?
Lucy murid kelas X. Ini kasus yang rumit.”
Luna
mengamati Hami yang tampak serius berpikir. “Lalu, kamu mau melindungi yang
mana?”
“Nee?”
Luna
menatap Lucy yang terbaring di ranjang dan belum sadarkan diri. “Aku ingin
melindungi keduanya. Karena, aku yakin apa yang terjadi nggak seperti yang
dibayangin mereka.”
Hami
mengangkat kepala, menatap Luna. “Begitu ya? Aku percaya Luna. Karenanya, aku
akan bantu Luna.”
Luna
tersenyum tulus. “Gomawo.”
“Kebetulan
sekali ya? Kamu lagi penasaran sama Lucy, eh sekarang kamu bakal deket-deket
sama dia. Karena kasus ini.”
“Kasus?”
Luna menahan tawa melihat Hami.
***
Luna
berada di ruang OSIS bersama Jaehwan dan Bae Jinyoung. Saksi yang melihat Bae
Jinyoung berada di dekat Lucy yang pingsan pun ada sana. Minhyun yang tak lain
adalah wakil ketua OSIS juga berada di ruang yang sama. Selain mereka, ada
Taemin si ketua OSIS. Ada guru selaku pembina OSIS dan salah satu guru yang
menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah yang turut menghadiri rapat mendadak di
ruang OSIS itu.
Walau
tak sampai di unggah ke akun komunitas sekolah, berita tentang Bae Jinyoung dan
Lucy segera menyebar ke seantero sekolah. Siswi yang menghalangi Luna lah yang
melapor ke pihak tim Tata Tertib Sekolah. Karenanya pembina OSIS dan tim Tata Tertib
Sekolah segera mengambil tindakan. Mereka mengumpulkan pengurus utama OSIS dan
murid yang terlibat di ruang OSIS untuk melakukan investigasi.
Bae
Jinyoung bungkam. Siswi yang menjadi saksi menjelaskan tentang apa yang ia
lihat saat ia melintas di koridor dan kenapa ia menjerit karena takut. Lainnya
menyimak. Luna turut dipanggil karena ia mengatakan akan bertanggung jawab atas
masalah Bae Jinyoung dan Lucy. Jaehwan di posisikan sebagai saksi.
Setelah
saksi bicara, giliran Bae Jinyoung diberi kesempatan bicara. Pemuda yang duduk
tepat di samping kanan Luna itu mengangkat kepala. Tapi, cepat-cepat menunduk
lagi.
Luna
kesal melihatnya. Kenapa kamu bersikap
kayak gitu sih? Angkat kepalamu dan bicara dengan lantang! Aku yakin kamu nggak
salah! Luna mengoceh dalam hati.
“Saya….”
Jinyoung mulai bicara. Semua diam, menaruh perhatian padanya.
“Saya
baru kembali, lalu dia melintas. Saya melihat wajahnya pucat. Sebelum saya
sempat bertanya, dia jatuh pingsan. Saya hanya ingin menolong. Tapi, datang
seorang siswi yang langsung menjerit. Tiba-tiba murid berkumpul. Saya tidak
tahu harus berbuat apa.” Jinyoung bicara dengan sangat hati-hati.
Guru
selaku pembina OSIS menghembuskan napas panjang. “Mendengarnya, aku yakin ini
hanya salah paham. Tapi, maafkan kami Bae Jinyoung. Karena catatan masa lalumu,
tentu saja hal itu berkembang menjadi masalah yang ya seperti yang kita tahu
sekarang.”
Jinyoung
kembali menundukan kepala.
“Karena
Lucy belum sadar, kita belum bisa meminta keterangan darinya. Jadi,
bertahanlah.”
“Kita
tidak bisa menyimpulkan sesuatu hanya karena sebuah keyakinan.” Ujar guru yang
menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah. “Kita tidak tahu yang sebenarnya
terjadi. Dengan catatan masa lalu Bae Jinyoung, tentu saja masalah ini
meresahkan para siswi.”
Luna
mengerutkan dahi. Menatap dengan pandangan tak suka pada guru yang menjadi
anggota tim Tata Tertib Sekolah itu. Ia memang tak pernah bermasalah dengan
guru itu. Tapi, sudah menjadi rahasia umum di kalangan murid jika guru itu
sangat menyebalkan. Ia tak menyangka jika guru itu yang diberi tanggung jawab
untuk masalah Jinyoung. Tiba-tiba ia merasa kesal karena guru itu memojokan
Jinyoung.
“Saya
tahu,” Guru Pembina OSIS kembali bicara. “Maksud Anda penyelidikan harus tetap
dilakukan, kan? Walau kata itu bagi saya sedikit berlebihan.”
“Benar
sekali!” Guru anggota tim Tata Tertib Sekolah itu membenarkan. “Bagaimanapun
juga catatan masa lalu Jinyoung itu akan berpengaruh sangat besar pada kasus
ini.”
Catatan masa lalu? Kasus? Apa-apaan ini?! Luna protes dalam hati. Baginya kata-kata itu terlalu
kasar. Dan, pasti menyinggung perasaan Bae Jinyoung.
“Saya
paham. Bagaimana kalau hal ini kita serahkan pada murid saja? Bukankah ini
masalah antar murid? Biarkan mereka yang menyelesaikan.”
“Lalu,
kita angkat tangan?”
“Tentu
saja tidak. Kita akan tetap mengawasi. Lagi pula tidak ada hal yang menurut
saya sangat mencurigakan hingga kita merasa pantas bahkan harus memposisikan
Bae Jinyoung sebagai tersangka, kan? Oh! Maafkan aku Bae Jinyoung.” Guru
pembina OSIS segera meminta maaf pada Jinyoung.
Ya ampun! Aku tadi juga menyebutnya tersangka! Luna menggigit bibir bawahnya. Nanti, aku harus minta maaf.
“Begini saja, karena Hwang Minhyun
dan Mezzaluna mengatakan akan bertanggung jawab akan hal ini, maka kita
serahkan saja pada mereka. Hwang Minhyun adalah wakil ketua OSIS. Sedang
Mezzaluna murid berprestasi. Saya rasa mereka bisa mereka benar bisa
bertanggung jawab atas masalah ini.”
Luna
dan Minhyun spontan saling menatap. Jaehwan yang duduk di samping kiri Luna
tiba-tiba mengulas sebuah senyuman.
“Bagaimana
Lee Taemin?” Guru pembina OSIS meminta pendapat Taemin.
“Saya
setuju. Saya juga akan bergabung untuk membantu. Lalu, saya yang akan melapor
kepada tim Tata Tertib Sekolah.” Taemin menyetujui usul pembina OSIS.
“Nah,
begini lebih baik. Biarkan para murid menyelesaikan masalah mereka. Jika kalian
membutuhkan kami, jangan sungkan meminta bantuan.” Guru pembina OSIS itu
tersenyum. Mengabaikan rekannya yang tampak tak puas dengan keputusan itu.
Luna
dan Minhyun kembali saling memandang. Lalu, Minhyun membuang muka lebih dulu.
Dua
guru telah pergi. Di ruang OSIS tersisa para murid saja. Hening. Taemin duduk
berdampingan dengan Minhyun. Berhadapan dengan siswi yang menjadi saksi,
Jaehwan, Luna, dan Bae Jinyoung.
“Bagaimana
ya….” Taemin memecah kebisuan. “Aku juga yakin ini hanya salah paham. Tapi,
terlanjur jadi begini rumit.”
“Jeosonghamnida,
Seonbaenim.” Siswi yang menjadi saksi meminta maaf. “Semua ini karena saya.”
“Sudah
terlanjur sih. Jadi, mau bagaimana lagi? Minta maaf saja pada Bae Jinyoung.”
“Maafkan
aku, Bae Jinyoung.” Siswi itu pun meminta maaf pada Jinyoung.
Jinyoung
menganggukan kepala.
“Tapi,
kita harus tetap seolah melakukan penyelidikan ya?” Taemin kembali bicara. “Bagaimanapun,
meredam kehebohan di luar sana adalah tanggung jawab kita sekarang.”
Benar
yang dikatakan Taemin. Mereka lah yang harus bertanggung jawab untuk meredam
kehebohan para murid.
“Saya
rasa setelah Lucy sadar dan menceritakan yang sebenarnya, masalah akan beres.
Tapi, tetap saja Bae Jinyoung yang paling dirugikan.” Minhyun angkat bicara.
“Begitu
adanya. Semoga saja Lucy segera sadar dan mau bercerita dengan jujur. Dia
tipikal cewek intovert, kan? Bisa
agak susah nantinya.” Taemin kemudian menatap Luna. “Mezzaluna, kenapa kamu mau
bertanggung jawab atas masalah ini?”
“Saya
kesal melihat mereka hanya diam tak kunjung menolong Lucy yang pingsan. Dan,
menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang dilihat bukan hal yang bijak, kan?”
Luna mengungkapkan alasannya.
Siswi
yang menjadi saksi segera menundukan kepala.
“Tapi,
saya tidak menyalahkan tindakan, maaf nama kamu siapa?” Luna bertanya pada
saksi.
“Kang
Mi Na.” Jawab siswi yang menjadi saksi.
“Saya
tidak menyalahkan tindakan Kang Mi Na. Reaksi setiap orang pada sebuah
peristiwa berbeda-beda, kan?” Luna melanjutkan penjelaskan. “Sebagai teman
seangkatan, saya hanya ingin membantu. Salah paham ini tidak boleh dibiarkan.
Karena, akan sangat merugikan bukan hanya Bae Jinyoung, tapi juga Lucy.”
Taemin
mengerutkan kening. “Bagaimana Lucy bisa dirugikan juga?”
“Aku
juga ingin bertanya tentang itu,” Jaehwan bersuara.
Luna
menatap Jinyoung sejenak. “Sebelumnya maafkan aku, Bae Jinyoung.” Ia meminta
maaf sebelum melanjutkan penjelasan. “Dengan cerita masa lalumu yang sempat
dituduh sebagai pelaku pemerkosaan karena kamu nggak sengaja ada bersama korban
saat saksi menemukanmu, peristiwa tadi akan kembali memposisikanmu sama seperti
saat itu.
“Sekali
lagi maaf, di sini kamu kembali di posisikan sebagai tersangka. Mata awam pasti
mengabaikan klarifikasi polisi jika kamu nggak salah. Kamu tetaplah
mantan tersangka kasus pemerkosaan. Lalu, ditemukan Lucy yang tak sadarkan diri
bersamamu. Otomatis mata awam akan menyimpulkan bahwa kamu akan melakukan
tindakan kriminal itu lagi.
“Dan,
Lucy akan disebut sebagai korban tindak kriminal percobaan pemerkosaan. Itu
sama buruknya dengan dituduh sebagai pelaku. Mungkin pemikiranku terlalu jauh.
Tapi, bukankah itu wajar saja terjadi?” Luna menutup penjelasannya.
“Wah,
benar juga.” Jaehwan menyetujui ulasan Luna.
“Masuk
akal.” Taemin pun sama.
Minhyun
hanya diam dan menatap Luna, lalu Jinyoung yang masih menundukan kepala.
“Ini
semua gara-gara aku. Ottokhae?” Mi Na mendadak panik.
“Semua
ini nggak akan terjadi kalau Tuhan nggak berkehendak. Yang kita butuhkan
sekarang adalah bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Seperti yang
dikatakan Lee Taemin Seonbae.” Luna menenangkan Mi Na.
Taemin
tersenyum. Tatapannya terfokus pada Luna.
Minhyun
menyadari bagaimana Taemin menatap Luna. Ia tampak tak menyukai hal itu. “Yang kita
butuhkan adalah kerjasama.” Ujarnya.
“Benar
sekali!” Jaehwan dengan antusias.
“Kita
tunggu Lucy sadar dahulu. Lalu mendengar kesaksiannya. Baru kita bisa mengambil
langkah selanjutnya.”
“Apa
yang dikatakan Minhyun benar. Jadi, tolong bekerja sama. Agar kita bisa segera
menyelesaikan masalah ini.” Taemin meminta dengan sungguh-sungguh.
***
“Aku
minta maaf karena tadi, di depan banyak orang telah menyebutmu tersangka. Mohon
maafkan aku.” Luna membungkuk dalam-dalam di depan Jinyoung.
“Jangan
begitu. Aku baik-baik aja kok.” Jinyoung kikuk.
Luna
menegakkan badan dan menatap Jinyoung yang berdiri di depannya. Melihat
Jinyoung yang tampak kikuk di depannya, ia pun tersenyum. “Aku percaya sama apa
yang kamu bilang.”
“Terima
kasih.”
“Aku
akan membantumu. Sampai masalah ini selesai. Jadi, tolong bertahan ya.”
Jinyoung
memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap Luna. Gadis itu tersenyum
padanya. “Terima kasih.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan.
“Seharusnya
kamu selalu mengangkat kepala seperti ini. Aku tahu menunduk itu memang baik.
Katanya itu menunjukan kerendahan hati. Tapi, jika kamu merasa kamu tidak
pantas untuk direndahkan oleh orang lain. Angkat kepalamu. Tuhan saja tidak
pernah merendahkan makhluk-Nya. Jadi, apa kuasa mereka hingga boleh
merendahkanmu?”
Jinyoung
diam. Masih menatap Luna.
“Bagaimanapun
juga bertahanlah. Kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Hwaiting!” Luna
tersenyum lebih lebar. “Aku pergi dulu.” Ia pun pamit dan meninggalkan
Jinyoung.
Jinyoung
beridiri diam di tengah koridor. Menatap punggung Luna yang berjalan meninggalkannya.
Ia tersenyum samar lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Luna.
Luna
kembali ke ruang UKS. Jam istirahat sudah selesai. Semua murid kembali
disibukan dengan pelajaran. Karena malas kembali ke kelas, ia memilih pergi ke
UKS. Ia berharap Lucy sudah sadar dan mau menemuinya.
Luna
menemui perawat yang bertugas menjaga ruang UKS. Menanyakan tentang Lucy.
“Dia
sudah sadar. Tadi dua guru yang bertanggung jawab atas masalah itu juga sudah
ke sini.” Lee Young Eun, perawat yang bertanggung jawab atas ruang UKS meladeni
Luna yang datang menemuinya. Ia bahkan mempersilahkan Luna duduk di kursi
kosong di hadapannya.
“Nggak
ada masalah serius kok. Dia hanya ada dalam masa periodenya. Hari pertama.” Young
Eun menambahkan.
“Jadi,
Lucy lagi dapet?” Celetuk Luna dalam Bahasa Indonesia. Membuat Young Eun
melebarkan mata sipitnya. “Anu, itu periode hari pertama. Pasti sakit. Trus
pingsan ya?”
“Betul.
Pada beberapa gadis memang seperti itu, kan? Sakitnya tak tertahankan.”
Luna
tersenyum lega. “Lalu, apa yang dia katakan pada dua guru tadi?”
“Nggak
ada. Beliau berdua hanya menjenguk tanpa mengajukan pertanyaan apa-apa tentang
masalah itu. Kasihan sekali ya Bae Jinyoung itu. Setelah ini dia pasti akan
semakin terasing.”
“Eonni
harus turut memberi saksi dan membantunya.”
“Oiya,
kamu yang bertanggung jawab ya? Hm, boleh-boleh. Katakan saja kalau kamu butuh
bantuan.”
“Tentu
saja. Aku pasti akan minta bantuan Eonni. Eonni….”
“Iya?”
“Menurut
Eonni, apakah Lucy mau bekerja sama? Maksudku berkata apa adanya. Dia sering
bertugas di sini, kan?”
“Iya.
Dia anak PMR. Dia itu pendiam sekali. Tapi, jika kamu yang bicara. Aku yakin
dia pasti mau.”
“Eh?”
“Kamu
kan pandai memenangkan hati orang.”
“Nggak
gitu juga.”
“Coba
aja temui dia. Tadi pas dia sadar aku udah cerita kok kalau kamu, Jaehwan, dan
Jinyoung yang membawanya ke mari.”
“Harus
sekarang ya?”
“Mau
kapan lagi?”
“Emosinya
kan masih labil karena dia lagi dalam masa periodenya.”
“Tapi,
kamu satu-satunya anak perempuan yang menolong dia. Apalagi dia tahu kamu teman
Hami, kan? Temui aja dia. Ajak ngobrol yang ringan. Lagi pula, tujuanmu kemari
adalah dia kan?”
“Iya.
Selain karena malas balik ke kelas.”
“Ya
udah! Sana!”
“Baiklah.”
Luna tersenyum dan bangkit dari duduknya. Menuju ruang rawat, tempat Lucy di
rawat.
Ruang
UKS terdiri dari ruang jaga yang juga merupakan ruang kerja bagi perawat. SMA
Hak Kun hanya mempekerjakan satu perawat. Di dalam ruang rawat terdapat satu
lemari dua pintu tempat obat dan peralatan disimpan dan ada empat ranjang. Lucy
berada di ranjang kedua yang paling dekat dengan pintu masuk.
Luna
berjalan pelan menuju ranjang tempat Lucy berbaring. Tapi ketika sampai,
ranjang itu kosong. Lucy tak ada di sana. Selimut pun sudah terlipat rapi. Luna
yakin Lucy membereskan ranjang lebih dulu sebelum pergi.
“Lucy
pergi, Eonni nggak tahu?” Luna kembali ke ruang jaga.
“Eh?
Masa?” Young Eun terkejut mendengar laporan Luna.
“Ranjangnya
sudah rapi.”
“Wah,
sayang sekali. Maaf ya. Aku nggak tahu kalau Lucy pergi.”
“Nggak
papa. Tapi, boleh kan aku tetap di sini? Aku malas kembali ke kelas.”
“Tentu
saja. Senang sekali punya teman ngobrol.”
“Tapi,
aku ingin istirahat di ruang rawat.”
“Oh!
Iya. Silahkan.”
“Terima
kasih.” Luna tersenyum dan kembali ke ruang rawat untuk menyendiri.
***
To Jaehwan: Tolong sampaikan pada Minhyun agar
disampaikan pada Taemin Seonbae, Lucy pergi saat aku sampai di UKS. Belum ada
informasi. Terima kasih.
Luna
mengirim pesan pada Jaehwan. Lalu, ia kembali ke kelas saat pergantian jam
pelajaran. Jisung, Seongwoo, Sungwoon, dan Woojin langsung menyambutnya. Tapi,
Luna menanggapinya dengan dingin. Ia bisa merasakan jika seisi kelas XI-E
merasa ingin tahu. Tapi, ia terlalu lelah untuk berinteraksi. Luna langsung
duduk di kursinya dan menyibukan diri dengan mempersiapkan buku untuk pelajaran
selanjutnya.
Jisung,
Woojin, Sungwoon, dan Seongwoo segera mengerumuni meja Luna saat pelajaran
berakhir. Bergantian mereka melontarkan pertanyaan tentang Bae Jinyoung, Lucy,
dan juga dirinya. Sementara teman sekelas Luna yang lain berusaha menguping.
“Harus
kah aku maju ke depan kelas dan bercerita?” Komentar Luna.
“Ay!
Udah pasti semua penasaran. Bagaimana kamu bisa terlibat? Emang kamu kenal sama
Bae Jinyoung? Ah ya! Kenal sih. Maksudku kenapa sampai sebegitunya kamu belain
dia? Atau ini demi Lucy?” Jisung mengoceh.
“Kamu
kembali tapi ekspresimu itu, sepertinya tidak berjalan dengan baik ya?” Sambung
Sungwoon.
“Jaehwan
membawaku ke lokasi kejadian. Aku kesal melihat mereka yang hanya berkerumun,
nggak segera nolong Lucy. Jadi, aku katakan saja aku akan tanggung jawab.” Luna
memberi penjelasan dengan malas.
“Trus
trus, Minhyun maju membela karena ada siswi yang berusaha menghalangimu?”
Jisung antusias.
Luna
mengangguk.
“Wah,
apa ini pertanda kalian akan baikan? Aku dengar guru yang bertanggung jawab
menyerahkan urusan ini pada kalian. Jadi, kamu dan Minhyun satu tim?”
“Begitulah.”
“Jaehwan
juga?” Woojin menyela.
“Statusnya
saksi. Jaehwan jadi saksi.”
“Jadi,
ada kamu, Minhyun, dan Taemin Seonbae?” Sungwoon penasaran.
“Mm.”
Luna mengangguk. “Semua ini membuat kepalaku sakit!”
“Ada
kami. Katakan saja jika kamu butuh bantuan.” Sungwoon menawarkan diri secara
halus.
“Jihoon
tadi mengirim pesan padaku. Dia mengkhawatirkanmu.” Ujar Seongwoo.
Luna
diam. Menatap Seongwoo. “Oh….” ia hanya bergumam.
“Cek
aja ponselmu. Siapa tahu dia juga mengirim pesan padamu.” Saran Jisung.
Benar
yang dikatakan Jisung. Jihoon memang mengirim pesan. Luna sudah tahu akan hal
itu. Tapi, ia belum membaca pesan itu. Ia tahu Jihoon pasti khawatir. Tapi,
bukan itu yang lebih penting sekarang. Baginya, untuk saat ini yang pantas
dikhawatirkan adalah Jinyoung dan Lucy. Tapi, tentu saja Jihoon tidak akan
paham.
“Nanti
aja. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.” Luna akhirnya menjawab saran
Jisung.
Murid-murid
kembali ke tempat duduknya. Karena, guru yang akan mengisi pelajaran
selanjutnya sudah tiba. Bersamaan dengan itu ponsel Luna bergetar. Ia segera
mengeceknya.
Pesan sudah disampaikan! Pesan balasannya, oke.
Itu saja. Sepertinya Taemin Seonbae menyerahkan semua pada kita. Maksudku
padamu dan Minhyun.
Luna
membaca pesan balasan dari Jaehwan. Ia mengehala napas, menyimpan ponselnya,
dan fokus ke depan kelas.
***
“Guanlin,
apa Luna Seonbae itu selalu seperti itu?” Linda sembari berkemas. Di kelas
hanya menyisakan dirinya, Guanlin, dan Daniel.
“Seperti
itu? Maksudnya?” Guanlin tak paham.
“Eum,
apa ya? Sok peduli? Bagaimana dia bisa terlibat masalah itu? Bae Jinyoung
Seonbae dan Lucy.”
Daniel
diam saja. Berkemas sambil mendengarkan obrolan Linda dan Guanlin.
“Dia
itu sebenarnya bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Aku
sendiri nggak tahu bagaimana sampai dia terlibat bahkan mengatakan akan
tanggung jawab atas masalah itu. Tapi, yang aku tahu dia bukan tipe orang sok
peduli. Dia memang peduli. Kamu tahu kan bedanya?”
Linda
diam dan berpikir. “Apa dia caper?” Ia bergumam dalam Bahasa Indonesia.
“Pasti
kamu mikir dia cari perhatian ya? Mentang-mentang dia tenar? Ah, aku rasa kamu
udah teracuni sama apa yang kamu dengar kemarin.”
“Apa?
Eh? Kamu paham Bahasa Indonesia?” Linda kaget.
“Sedikit.”
Jawab Guanlin sembari tersenyum.
Wajah
Linda terasa panas. Ia malu karena Guanlin paham apa yang ia katakan dalam
Bahasa Indonesia.
“Itu
sih urusan kamu. Aku nggak bakal maksa kamu untuk punya pemikiran yang sama
denganku. Tapi, bagiku Luna itu baik. Setiap tindakannya selalu punya alasan
dan sudah diperhitungkan. Sejauh aku mengenalnya sih begitu.”
“Mm,
gitu ya?”
“Kalau
di sini murid perempuan jadi lebih menonjol kan wajar.” Daniel tiba-tiba
berkomentar. “Atau murid perempuan didekati banyak pria juga wajar.
Perbandingan murid perempuan dan laki-laki di sini 1:5. Wajar, kan?”
Linda
menatap Daniel. Wajahnya semakin terasa panas. Ia merasa malu. Dua temannya itu
ternyata lebih membela Luna dan tidak membenarkan pemikirannya.
Linda
sempat berpikir sikap Daerin berlebihan. Tapi, setelah ia mencari tahu tentang
Luna dengan cara menstalking komunitas sekolah. Ia jadi punya kesimpulan beda.
Bisa jadi Daerin bersikap seperti itu karena muak pada sikap para pendukung
Luna yang selalu mengelu-elukan Luna. Karenanya Daerin bersikap antipati pada
Luna.
Selain
itu, menurutnya apa yang dikatakan orang tentang Luna terlalu sempurna. Mana
ada orang benar-benar baik di dunia ini? Begitu pikir Linda. Citra Luna yang
terlalu sempurna itu janggal menurutnya.
“Sepertinya
kamu perlu membaca buku itu lebih dalam. Kalau sampul dan daftar isi saja, itu
tidak cukup.” Guanlin kembali bersuara. Membawa Linda kembali dari lamunan.
“Tapi,
balik lagi ya. Semua terserah padamu. Tapi, kalian kan berasal dari negara yang
sama. Pasti lebih bisa memahami bagaimana Luna dibanding kami, kan?” Guanlin
menambahkan.
Ya kali gue kenal dia udah lama gitu? Sama-sama orang Indo
kan tetep aja sifat dan latar belakang beda.
Linda mengomel dalam hati.
“Pulang
yuk?” Daniel selesai berkemas.
Daniel,
Linda, dan Guanlin keluar kelas. Ketiganya melihat Luna berjalan ke arah mereka
di koridor. Daniel tersenyum. Sedang Linda merasa merinding. Baru saja mereka
membahas Luna. Tiba-tiba saja gadis itu muncul.
“Seonbae?”
Sambut Guanlin.
“Oh,
Edward! Mau pulang?” Luna memanggil nama internasional Guanlin, membalas dengan
ramah sapaan pemuda itu.
“Tumben
ke kelas X?”
“Ah!
Kelasku dulu.” Luna menatap ruang kelas di samping kirinya. Ia tersenyum,
mengenang saat ia berada di kelas X-F. “Kamu pasti sudah tahu tentang kehebohan
saat istirahat tadi, kan?”
“Lucy
ya?”
“Yap.
Apa dia masih ada di kelasnya, ya?”
“Mau
aku antar?”
“Seonbae?”
Jihoon yang keluar dari kelas X-G melihat Luna yang berada di depan kelas X-F.
Ia pun berjalan cepat menghampiri Luna.
“Kebetulan.
Tolong tanyakan pada Daehwi, apa Lucy masih di kelas.” Luna langsung memberi
perintah pada Jihoon.
Jihoon
pun langsung sibuk dengan ponselnya. Mengetik pesan untuk Daehwi.
Linda
mengamati Luna. Apa dia nggak bisa lakuin
itu sendiri? Sampai merintah Jihoon gitu? Batinnya.
“Tadi
aku kirim pesan belum dibalas sama Daehwi. Mungkin kalau kamu akan di respon.”
Luna kembali bicara.
Linda
terkejut. Ia seolah mendapat sindiran tajam. Baru saja ia membicarakan Luna
dalam hatinya. Tapi, tiba-tiba gadis itu mengucap kalimat yang seolah menjawab
protes yang ia layangkan dalam hati.
“Nggak
direspon juga.” Jihoon menatap ponselnya dan menggeleng. “Kita ke kelasnya aja.
Oh! Itu Daehwi!”
Daehwi
keluar dari kelas X-E. Ia bergegas mendekati Luna. “Seonbae.” Sapanya sembari
tersenyum.
“Seonbae
mengirim pesan padamu!” Jihoon menegur. Ia cemberut, kesal melihat bagaimana
ekspresi Daehwi saat mendekati Luna.
“Iya
kah? Ah, maaf. Ponselku aku silent
dan aku taruh dalam tas. Soal Lucy ya?” Daehwi langsung paham kenapa Luna
mencarinya.
“Mm.”
Luna mengangguk.
“Dia
tadi sempat kembali dan mengikuti pelajaran. Tapi, kemudian minta izin balik
lagi ke UKS.”
“Tapi,
dia nggak ada di sana. Aku sudah ke UKS. Karena dia nggak ada, aku minta Hami
tetap di UKS dan aku ke sini.”
“Wah,
dia ke mana ya?” Daehwi berpikir.
“Teman
dekatnya di kelas, siapa?”
“Lucy?”
“Mm.”
“Nggak
punya. Dia itu penyendiri banget. Teman-teman jadi enggan mendekati.”
Daniel,
Linda, Guanlin, dan Jihoon diam. Menyimak obrolan Daehwi dan Luna.
“Seperti
saran Seonbae, aku berusaha mendekatinya. Tapi, responnya hanya… yah
begitulah.”
Linda
menyipitkan mata. Saran seonbae?
Mendekatinya? Ia bertanya dalam hati.
“Baiklah.
Terima kasih atas kerjasamanya.” Luna berterima kasih pada Daehwi.
“Trus,
Seonbae mau ke mana sekarang?”
“Kantor
Tata Tertib. Mungkin saja ia di sana atau tadi dia ke sana. Mungkin Lucy
meminta surat izin untuk pulang lebih dulu.”
“Wah,
bisa jadi.”
“Mau
aku temani?” Jihoon menawarkan diri.
“Nggak
usah. Terima kasih semuanya.” Luna pamit dan pergi.
Daniel,
Linda, Guanlin, Daehwi, dan Jihoon diam. Menatap Luna yang berjalan menjauh.
“Kasihan.
Seonbae pasti sangat sibuk.” Daehwi memecah keheningan. “Jihoon-aa, kita ke basecamp?”
Jihoon
mengangguk.
“Kami
pergi dulu ya.” Daehwi pamit.
Jihoon
dan Daniel sempat saling memandang sebelum Jihoon pergi bersama Daehwi.
“Pulang
yuk!” Ajak Guanlin.
Daniel,
Linda, dan Guanlin pun kembali berjalan.
Orang yang gemar menyusahkan diri sendiri demi orang lain.
Dasar bodoh! Membuang waktu saja. Linda
bicara dalam hati. Mengomentari Luna yang harus terlempar ke sana ke mari hanya
demi mencari Lucy.
***
Luna
pergi ke kantor Tata Tertib. Ia lega karena Kim Songsaengnim yang berjaga di
sana. Dengan mudah ia pun bertanya tentang apakah Lucy meminta surat ijin untuk
pulang lebih awal.
Kim
Songsaengnim mengatakan tidak ada catatan permintaan izin pulang lebih awal
hari ini. Luna pun kecewa.
“Sayang
sekali ya. Padahal Luna sudah bekerja keras hari ini.” Kim Songsaengnim turut
menyesal.
Luna
tersenyum. “Investigasi memang tidak mudah ya. Tapi, saya akan berusaha.”
“Menurut
Luna, apa yang terjadi? Setelah yakin semua hanya salah paham, tapi ternyata
Lucy terkesan melarikan diri. Jika tidak ada catatan izin pulang lebih dulu, di
mana ia berada dua jam terakhir?”
Luna
diam dan berpikir. “Kembali ke ruang UKS mungkin? Atau basecamp PMR. Lalu, pulang lebih awal ketika bel berdering.”
“Begitu
ya. Jadi, setelah ini Luna akan melanjutkan penyelidikan?”
“Sepertinya
iya.”
“Wah,
semangat ya. Semoga kerja keras Luna membuahkan hasil.”
“Terima
kasih, Songsaengnim.” Luna menunduk sopan.
“Ngomong-ngomong
ada murid baru lho. Dari Indonesia.”
“Eh?
Iya kah?”
“Iya.
Anak perempuan. Kebetulan sekali dia masuk kelas XI-B. Artinya dia akan masuk
di kelas yang sama dengan Bae Jinyoung.”
Dahi
Luna berkedut. Kenapa harus ada murid
baru di saat seperti ini? Ujarnya dalam hati.
“Bagaimana
ya… kalau dengar desas-desus tentang Bae Jinyoung, bisa jadi tidak baik kan?”
“Iya.”
“Karena
sesama orang Indonesia, Luna pasti bisa membantunya kan?”
Luna
mengangkat kepala dan membalas tatapan Kim Songsaengnim. “Nee. Saya akan
berusaha.”
“Ah,
lega rasanya. Luna memang baik dan bisa diandalkan. Jika sesama murid dan
kebetulan berasal dari negara yang sama, pasti akan lebih mudah.” Kim
Songsaengnim tersenyum lebar.
Tiba-tiba
Luna membatin, Ah guru ini memang tampan.
Pantas saja banyak yang tergila-gila.
“Kalau
begitu saya pamit.” Luna minta izin pergi.
“Ah,
silahkan! Harus melanjutkan penyelidikan ya? Semangat!”
“Nee.
Kamsahamnida, Songsaengnim.” Luna pun meninggalkan kantor tata tertib.
Karena
untuk urusan Bae Jinyoung telah ia serahkan pada Minhyun dengan Jaehwan sebagai
perantara, maka untuk urusan Lucy ia tangani sendiri. Dari kantor Tata Tertib,
Luna kembali ke ruang UKS. Hami masih menunggunya di sana.
Lucy
tak muncul di UKS. Ketika Luna bertanya tentang basecamp PMR, Hami meyakinkan bahwa tidak mungkin Lucy bersembunyi
di sana selama 2 jam terakhir. Karena kunci basecamp
ada di kantor guru. Sedang duplikatnya ada pada Hami yang sejak tahun ajaran
baru ini menjabat sebagai ketua PMR.
“Tapi,
aku udah ngirim pesan ke dia kok. Jadi, nanti begitu ponselnya aktif, dia
langsung menerima pesan itu.” Hami menutup penjelasannya.
“Wah,
terima kasih ya. Maaf jadi merepotkanmu, Hami.”
“Aku
senang kok terlibat dalam penyelidikan ini. Hehehe.”
“Mungkin
dia masih malu. Makanya untuk sementara memilih melarikan diri.” Young Eun
mengeluarkan dugaannya.
“Iya.
Aku juga mikir gitu. Soalnya Lucy itu tertutup banget orangnya. Tapi, dua jam
terakhir dia sembunyi di mana ya? Aku jadi penasaran.” Hami mengelus dagunya.
“Sama.
Tapi, banyak tempat untuk sembunyi di sekolah ini. TKP itu sendiri misalnya.
Karena ada kasus ini, TKP jadi dihindari, kan?” Luna mengatakan analisisnya.
“Ah
iya! Bisa juga. Tapi, tahan sekali dia di sana lama-lama.” Hami heran.
“Bagi
gadis penyendiri, tempat sepi adalah surga.” Ujar Young Eun.
“Benar
sekali!” Luna membenarkan. “Kami punya surga sendiri.” Ia bergumam.
“Atau
bisa jadi dia di perpustakaan? Menghabiskan waktu di sana dengan satu alasan
pasti di izinkan oleh pustakawan sekolah.”
“Tapi,
Lucy sedang jadi topik teratas di sekolah hari ini Eonni. Dia nggak mungkin
ambil resiko dengan sembunyi di perpustakaan. Dengan membaca tag namanya saja,
sudah pasti pustakawan sekolah tahu tentang apa yang membawa Lucy ke sana.” Hami
menyanggah analisis Young Eun.
“Justeru
karena itu alasan yang sebenarnya, Lucy merasa tak perlu repot-repot berbohong
kan? Pustakawan sekolah kita bisa jadi merasa iba dan memberi tempat
perlindungan.”
“Masuk
akal juga. Baiklah, aku akan ke perpustakaan untuk memastikan.” Luna bangkit
dari duduknya.
“Aku
temani!” Hami penuh semangat.
“Oke.
Kalau hasil di perpustakaan nihil, kita langsung ke pos satpam dan akhiri saja
untuk hari ini.”
“Oke.”
“Semangat
ya!” Young Eun menyemangati Hami dan Luna.
Lucy
tidak berada di perpustakaan. Pustakawan sekolah sampai menunjukan catatan
pengunjung perpustakaan. Seperti rencana, Luna dan Hami langsung menuju pos
satpam. Luna langsung bertanya tentang dugaan Lucy menjadi murid yang keluar
sekolah lebih dulu.
Satpam
yang berjaga mengatakan murid yang keluar pertama adalah dua siswa kelas XI.
Bukan gadis dengan ciri yang disebutkan Luna dan Hami. Satpam pun mengusulkan
agar Luna dan Hami memeriksa rekaman CC TV saja di ruang keamanan.
Luna
dan Hami tak berpikir sampai sejauh itu; mengecek rekaman CC TV. Tapi, dengan
usul satpam itu, mereka pun berpikir perlu melakukan itu. Karena masalah Lucy
berkaitan dengan Bae Jinyoung yang memiliki masa lalu kelam.
Luna
dan Hami pun bergegas menuju ruang keamanan. Ternyata di sana sudah ada Jaehwan
dan Minhyun. Mereka juga mengecek rekaman CC TV sekolah untuk mencari tahu
kejadian yang sebenarnya.
Bae
Jinyoung yang terekam CC TV tak menunjukan sikap aneh. Sayangnya di tempat
kejadian tidak ada CC TV. Jadi, mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di
sana.
Selanjutnya
petugas memeriksa video rekaman CC TV untuk mencari keberadaan Lucy. Gadis itu
terakhir kali terlihat dua jam sebelum jam pulang. Saat ia meninggalkan kelas.
Lucy sempat terekam kamera di beberapa titik.
Luna,
Hami, Jaehwan, dan Minhyun bersama-sama keluar dari ruang keamanan. Untuk
sementara mereka menyimpulkan jika Lucy bersembunyi di tempat kejadian perkara.
Seperti yang di ungkap Luna di ruang UKS. Jaehwan dan Minhyun kembali ke ruang
OSIS. Sedang Luna dan Hami memilih pulang. Mereka berpisah di depan gerbang.
***
Luna
berjalan dengan terus memikirkan Lucy. Jika
tidak terjadi sesuatu, kenapa ia bersembunyi? Jangan-jangan memang terjadi
sesuatu? Atau Lucy hanya butuh menenangkan diri saja? Atau ada pihak yang
membuatnya takut?
“Sudah
selesai ya?”
Suara
itu membuyarkan lamunan Luna. Ia menoleh ke sebelah kiri. Tempat suara berasal.
“Daniel??” Ia terkejut melihat Daniel sudah berjalan di samping kirinya.
Daniel
tersenyum lebar. “Berbahaya berjalan sambil melamun.”
“Kelak,
jika temanmu membuat masalah, jangan sampai kamu bilang mau tanggung jawab. Itu
melelahkan dan membuat kepala sakit.” Luna tersenyum lesu.
“Seonbae
merasa keputusan yang Seonbae ambil salah?” Daniel berhenti di halte.
Luna
pun turut berhenti halte. “Entahlah. Aku pikir akan mudah. Ternyata sulit sekali.”
Daniel
dan Luna duduk berdampingan di halte. Menunggu bus.
“Aku
hanya kesal karena mereka hanya diam menatap Lucy yang terbaring tak sadarkan
diri. Apa yang ada di pikiran mereka?” Luna mengungkap alasan kenapa ia
mengambil tindakan. “Lagi pula nama Bae Jinyoung kan sudah dibersihkan. Kenapa
masih menganggap buruk dia?”
Daniel
diam. Berpikir harus berkata apa untuk menghibur Luna.
Bus
datang. Keduanya pun naik. Karena bus penuh, Daniel kembali memposisikan Luna
di depannya. Ia berdiri di belakang Luna untuk melindungi gadis itu. Di dalam
bus yang penuh hingga mereka berdiri dari tempat berangkat hingga tujuan
terakhir, Daniel dan Luna pun diam sepanjang perjalanan. Keduanya turun dan berjalan kaki menuju komplek tempat tinggal
mereka. Sesekali Daniel menoleh, menatap Luna yang terlihat sangat lelah.
“Lelah
sekali ya?” Daniel membuka obrolan.
“Iya.
Aku nggak mau jadi polisi atau detektif. Kerjaannya menguras tenaga dan pikiran
banget.”
Daniel
tersenyum mendengar celetukan Luna. Mereka sampai di depan rumah merah maroon.
Sang pemilik sedang berada di gerbang.
“Lama
tidak melihat Bogi.” Daniel menyapa.
Benar juga. Batin
Luna. Ia juga tak melihat Bogi selama beberapa hari. Tepatnya setelah ia
dikejar-kejar Bogi bersama Jaehwan dan Woojin. Berapa hari yang lalu ya? Ia berpikir keras untuk mengingatnya.
Si
pemilik rumah maroon mendesah. Wajahnya berubah lesu. “Bogi sudah mati.”
“Mwo??”
Daniel kaget mendengarnya. Luna pun sama. “Bagaimana bisa? Bogi mati?”
“Sepertinya
seseorang sengaja meracuninya.’
Kejam sekali! Luna
berkata dalam hati. Walau Bogi sering membuatnya ketakutan, bahkan pernah
membuatnya cidera. Mendengar Bogi mati dibunuh, membuat Luna mengutuk perbuatan
kejam itu.
“Kasihan
sekali Bogi.” Daniel sedih.
“Memang
banyak yang tak menyukai Bogi. Tapi, aku tak menduga tindakannya sampai sejauh
ini.” Pemilik rumah merah maroon menatap Luna. “Oh! Nona yang waktu itu ya?
Tolong maafkan Bogi ya. Dua kali dia mengejar Nona. Lalu, teman Nona yang jatuh
ke selokan bagaimana? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia
baik-baik saja. Saya turut menyesal tentang Bogi.” Luna menundukkan kepala.
Daniel
dan Luna melanjutkan perjalanan.
“Siapa
yang masuk ke selokan?” Daniel yang penasaran sejak mendengar obrolan dengan
pemilik Bogi akhirnya bertanya.
“Kim
Jaehwan.”
“Kim
Jaehwan Seonbaenim? Bagaimana bisa?”
Luna
pun menjelaskan bagaimana kejadian hari itu. Sisa perjalanan menuju rumah pun
jadi lebih ceria daripada sebelumnya. Daniel tak hentinya tertawa mendengar
cerita Luna. Mereka pun sampai di rumah Luna.
“Istirahat
lah. Hari ini Seonbae sudah bekerja keras.” Daniel sebelum pergi.
“Mm.
Gomawo.”
“Nanti
boleh kah aku menghubungi Seonbae?”
“Mm?”
Luna menatap tak paham pada Daniel.
“Anu,
itu pesan. Nomer ponsel.”
“Oh.
Silahkan.”
Daniel
tersenyum lebar. “Terima kasih, Seonbae.”
Luna
tersenyum dan mengangguk. “Aku naik.”
“Nee.”
Daniel menatap Luna yang menaiki tangga. Sampai gadis itu menghilang dari
jangkauan pandangnya. Ia tersenyum dan menghela napas. Merasa lega. Ia pun
melanjutkan perjalanannya untuk pulang.
***
0 comments