My 4D Seonbae - Episode #13 “Walau Tidak Mudah, Aku Ingin Jadi Teman Bagi Semua Orang”

07:02

                    Episode #13 “Walau Tidak Mudah, Aku Ingin Jadi Teman Bagi Semua Orang”




Daniel menatap ponselnya. Luna Seonbae. Nama dari nomer kontak itu terpampang di layar ponselnya. Ia telah mengetik pesan, tapi ragu untuk mengirimkannya pada Luna. Ketika ia menyimpan nomer ponsel Luna, beberapa akun SNS Luna langsung muncul. Foto dari semua akun milik Luna menggunakan foto Luna dari anime Sailormoon. Satu foto Luna si kucing hitam untuk semua akun.
Benar-benar, begitu komentar Daniel ketika melihat akun SNS Luna yang kesemuanya sama. Ia sampai menggelengkan kepala karena heran. Mungkin itu ciri khas yang sengaja dibuat oleh Luna.
Ini bukan kali pertama sejak Daniel mendapatkan nomer Luna; mengetik pesan namun urung mengirimkannya. Ia masih menggunakan perjanjian 30 menit setiap kali menunggu Luna. Kemudian ia teringat ucapan Daerin saat makan siang bersama tadi.
Daniel menghela napas dan menghapus pesannya. “Luna Seonbae menolak pernyataan cinta Taemin Seonbae? Masa iya?” Ia berbicara sendiri. “Jadi, dia lebih suka tipikal cowok imut seperti Jihoon? Tapi, Taemin Seonbae juga imut.”
Daniel memiringkan kepala, kembali menghela napas, dan merebahkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamarnya. “Sebenarnya apa tujuanku? Kenapa aku berusaha dekat dengannya? Kalau untuk mengucap terima kasih kan waktu itu aku sudah bilang terima kasih. Tapi, gadis yang tidak takut serangga dan hantu itu kan keren. Ah, molla!”
Daniel menutup muka dengan bantal dan berusaha untuk tidur.
***


Hari ini sekolah berjalan seperti sebelumnya. Murid-murid pun hampir sama seperti sebelumnya—belajar dan kadang membicarakan hal-hal tak penting seperti bahasan yang sedang panas-panasnya tentang makan siang bersama Luna dengan Hyuri, Myungsoo, dan Taemin. Komentar dukungan dan kebencian tak bisa dihindari.
Luna dibuat heran oleh murid-murid dengan tipe seperti itu—gemar membicarakan murid lain entah dari segi positif atau negatif—yang sepertinya tak pernah merasa bosan juga lelah. Menurutnya hal seperti itu hanya buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran.
Luna pun berpikir betapa mengerikannya komentar orang-orang yang membencinya ketika berkumpul di tempat rahasia mereka. Luna bergidik. Ia sendiri kadang merasa muak dengan tak bosannya mereka yang terus membicarakan bahkan mengangkat hal-hal kecil dan tak penting yang ia kerjakan sebagai topik bergosip. Ia sering merasa muak akan hal itu.
Luna sedang duduk berdiam memikirkan itu semua di Bangku Taman Milik Luna ketika Jaehwan tiba-tiba menarik tangannya sambil berkata, “Ini gawat! Masalah serius!”
Napas Jaehwan terengah-engah karena ia berlari. Lalu tanpa Luna sempat menjawab, Jaehwan sudah membawanya berlari. Luna pun tak menolak. Ia turut berlari di belakang Jaehwan dengan pemuda itu masih menggandeng tangan kanannya.
Jaehwan membawa Luna membelah kerumunan beberapa murid di koridor yang akan membawa siapa saja yang menyusurinya ke bagian belakang sekolah. Mata bulat Luna terbelalak ketika sampai di depan kerumunan. Ada Lucy yang terbaring tak sadarkan diri di atas lantai dan Bae Jin Young yang berdiri di samping Lucy yang tergeletak.
“Ada apa ini?” Tanya Luna. Mendadak ia merasakan kepanikan menggerayangi tubuhnya.
“Seorang siswi kelas XI menemukan Bae Jinyoung berjongkok di dekat Lucy yang pingsan. Ia menjerit karena takut dan membuat kehebohan.” Jaehwan menerangkan di sela napasnya yang masih terengah-engah.
“Aku yakin dia pasti akan berbuat buruk pada gadis itu!” Ujar seorang siswi yang berada di samping kanan Luna.
Luna mengamati kerumunan dengan cepat. Ada Minhyun juga di sana. Mungkin tadi ia tiba di sana dengan Jaehwan. Anehnya pemuda itu hanya berdiri diam. Tak melakukan tindakan apa pun. Luna menghembuskan napas dengan kasar lalu maju mendekati Lucy dan Bae Jinyoung.
“Ya! Luna! Apa yang akan kau lakukan?!” Seorang siswi menegur. “Jangan merusak TKP!”
“Merusak TKP gundulmu!” Luna tiba-tiba mengumpat dalam Bahasa Indonesia. Membuat semua yang ada di sana terkejut walau mereka tak paham apa yang dikatakannya. “Maksudku aku nggak akan ngrusak TKP. Toh pelakunya, anu maksudku Bae Jinyoung di sini, nggak kabur. Apa kita akan tetap mendiamkan korban? Maksudku Lucy, gadis yang pingsan ini?”
Luna memiringkan kepala. “Apaan sih aku ini! Pelaku dan korban!” Ia bergumam memaki dirinya sendiri.
“Bae Jinyoung!” Luna menatap Jinyoung. “Kamu bisa bantu aku angkat dia?”
Bae Jinyoung mengangguk.
“Baiklah! Kita bawa dia ke UKS!” Luna berjongkok di dekat Lucy.
Bae Jinyoung mengangguk. Lalu, turut berjongkok di samping kanan Luna.
“Ya! Mezzaluna!” Siswi itu kembali menegur.
“Kim Jaehwan! Bantu aku!” Luna mengabaikan teguran itu.
Jaehwan pun maju. “Aku harus bagaimana?”
“Kamu di sini! Menopang bagian atas tubuh Lucy. Aku akan menopang bagian tengah dan Bae Jinyoung bagian kaki.” Luna memberi intruksi. “Kita angkat bersama ke ruang UKS.”
“Oke. Oke.” Jaehwan mengangguk paham dan langsung siap di posisinya.
Jaehwan, Luna, Jinyoung sudah siap di posisinya. Luna pun memberi aba-aba, lalu dengan kompak mereka mengangkat tubuh Lucy. Gadis yang menegur Luna menghalangi bersama beberapa temannya.
“Ya! Beri kami jalan!” Bentak Jaehwan.
“Kamu mau tanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Lucy? Kita tidak tahu kenapa dia pingsan. Bagaimana kalau dia butuh penanganan serius? Kamu mau tanggung jawab jika kita terlambat melakukannya?” Luna menyambung. “Aku yang akan bertanggung jawab atas masalah ini.”
Gadis itu bergeming. Tak mau memberi jalan.
Minhyun berjalan dan berhenti di depan Luna. Ia memunggungi Luna dan menghadap pada rekan seangkatannya yang menghalangi langkah Luna. “Beri mereka jalan. Aku akan bertanggung jawab!” Pintanya dengan suara datar dan tegas.
Luna terkejut mendengarnya. Begitu juga Jaehwan. Keduanya menatap punggung Minhyun dengan tatapan tak percaya.
“Hwang Minhyun….” Gadis itu menatap Minhyun yang menatapnya dengan tatapan dingin. Ia mendesah dan minggir. Memberi jalan untuk Luna.
Minhyun mengikuti Luna di belakang. Turut mengantar Lucy ke ruang UKS.

Minhyun, Jinyoung, dan Jaehwan duduk di ruang pengurus UKS. Luna membantu Hami menangani Lucy.
“Ini pasti akan jadi kehebohan lagi. Ya, bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya Hami.
“Bagaimana apanya?” Luna balik bertanya.
“Lucy dan Bae Jinyoung.”
“Mana aku tahu! Sampai di sana Lucy udah pingsan dan Bae Jinyoung ada di dekatnya. Beberapa murid juga sudah berkumpul di sana.”
“Lalu, sekarang apa Bae Jinyoung sedang di interogasi? Ah, anak itu malang sekali. Dengan kenyataan masa lalunya yang kelam karena salah tuduh itu, kejadian ini bisa jadi malapetaka baru baginya.”
Luna menatap Lucy yang masih belum sadarkan diri. “Benar sekali. Hami, apa kamu percaya Bae Jinyoung akan melakukan sesuatu yang buruk pada Lucy?”
“Aku?” Hami kemudian diam sejenak. “Entahlah. Aku sama sekali nggak kenal dia. Bisa jadi mereka menyimpulkan Bae Jinyoung melakukan hal itu karena dia udah berstatus senior tingkat dua yang dihormati junior. Kebetulan yang miris, kan? Lucy murid kelas X. Ini kasus yang rumit.”
Luna mengamati Hami yang tampak serius berpikir. “Lalu, kamu mau melindungi yang mana?”
“Nee?”
Luna menatap Lucy yang terbaring di ranjang dan belum sadarkan diri. “Aku ingin melindungi keduanya. Karena, aku yakin apa yang terjadi nggak seperti yang dibayangin mereka.”
Hami mengangkat kepala, menatap Luna. “Begitu ya? Aku percaya Luna. Karenanya, aku akan bantu Luna.”
Luna tersenyum tulus. “Gomawo.”
“Kebetulan sekali ya? Kamu lagi penasaran sama Lucy, eh sekarang kamu bakal deket-deket sama dia. Karena kasus ini.”
“Kasus?” Luna menahan tawa melihat Hami.
***

Luna berada di ruang OSIS bersama Jaehwan dan Bae Jinyoung. Saksi yang melihat Bae Jinyoung berada di dekat Lucy yang pingsan pun ada sana. Minhyun yang tak lain adalah wakil ketua OSIS juga berada di ruang yang sama. Selain mereka, ada Taemin si ketua OSIS. Ada guru selaku pembina OSIS dan salah satu guru yang menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah yang turut menghadiri rapat mendadak di ruang OSIS itu.
Walau tak sampai di unggah ke akun komunitas sekolah, berita tentang Bae Jinyoung dan Lucy segera menyebar ke seantero sekolah. Siswi yang menghalangi Luna lah yang melapor ke pihak tim Tata Tertib Sekolah. Karenanya pembina OSIS dan tim Tata Tertib Sekolah segera mengambil tindakan. Mereka mengumpulkan pengurus utama OSIS dan murid yang terlibat di ruang OSIS untuk melakukan investigasi.
Bae Jinyoung bungkam. Siswi yang menjadi saksi menjelaskan tentang apa yang ia lihat saat ia melintas di koridor dan kenapa ia menjerit karena takut. Lainnya menyimak. Luna turut dipanggil karena ia mengatakan akan bertanggung jawab atas masalah Bae Jinyoung dan Lucy. Jaehwan di posisikan sebagai saksi.
Setelah saksi bicara, giliran Bae Jinyoung diberi kesempatan bicara. Pemuda yang duduk tepat di samping kanan Luna itu mengangkat kepala. Tapi, cepat-cepat menunduk lagi.
Luna kesal melihatnya. Kenapa kamu bersikap kayak gitu sih? Angkat kepalamu dan bicara dengan lantang! Aku yakin kamu nggak salah! Luna mengoceh dalam hati.
“Saya….” Jinyoung mulai bicara. Semua diam, menaruh perhatian padanya.
“Saya baru kembali, lalu dia melintas. Saya melihat wajahnya pucat. Sebelum saya sempat bertanya, dia jatuh pingsan. Saya hanya ingin menolong. Tapi, datang seorang siswi yang langsung menjerit. Tiba-tiba murid berkumpul. Saya tidak tahu harus berbuat apa.” Jinyoung bicara dengan sangat hati-hati.
Guru selaku pembina OSIS menghembuskan napas panjang. “Mendengarnya, aku yakin ini hanya salah paham. Tapi, maafkan kami Bae Jinyoung. Karena catatan masa lalumu, tentu saja hal itu berkembang menjadi masalah yang ya seperti yang kita tahu sekarang.”
Jinyoung kembali menundukan kepala.
“Karena Lucy belum sadar, kita belum bisa meminta keterangan darinya. Jadi, bertahanlah.”
“Kita tidak bisa menyimpulkan sesuatu hanya karena sebuah keyakinan.” Ujar guru yang menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah. “Kita tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Dengan catatan masa lalu Bae Jinyoung, tentu saja masalah ini meresahkan para siswi.”
Luna mengerutkan dahi. Menatap dengan pandangan tak suka pada guru yang menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah itu. Ia memang tak pernah bermasalah dengan guru itu. Tapi, sudah menjadi rahasia umum di kalangan murid jika guru itu sangat menyebalkan. Ia tak menyangka jika guru itu yang diberi tanggung jawab untuk masalah Jinyoung. Tiba-tiba ia merasa kesal karena guru itu memojokan Jinyoung.
“Saya tahu,” Guru Pembina OSIS kembali bicara. “Maksud Anda penyelidikan harus tetap dilakukan, kan? Walau kata itu bagi saya sedikit berlebihan.”
“Benar sekali!” Guru anggota tim Tata Tertib Sekolah itu membenarkan. “Bagaimanapun juga catatan masa lalu Jinyoung itu akan berpengaruh sangat besar pada kasus ini.”
Catatan masa lalu? Kasus? Apa-apaan ini?! Luna protes dalam hati. Baginya kata-kata itu terlalu kasar. Dan, pasti menyinggung perasaan Bae Jinyoung.
“Saya paham. Bagaimana kalau hal ini kita serahkan pada murid saja? Bukankah ini masalah antar murid? Biarkan mereka yang menyelesaikan.”
“Lalu, kita angkat tangan?”
“Tentu saja tidak. Kita akan tetap mengawasi. Lagi pula tidak ada hal yang menurut saya sangat mencurigakan hingga kita merasa pantas bahkan harus memposisikan Bae Jinyoung sebagai tersangka, kan? Oh! Maafkan aku Bae Jinyoung.” Guru pembina OSIS segera meminta maaf pada Jinyoung.
Ya ampun! Aku tadi juga menyebutnya tersangka! Luna menggigit bibir bawahnya. Nanti, aku harus minta maaf.
Begini saja, karena Hwang Minhyun dan Mezzaluna mengatakan akan bertanggung jawab akan hal ini, maka kita serahkan saja pada mereka. Hwang Minhyun adalah wakil ketua OSIS. Sedang Mezzaluna murid berprestasi. Saya rasa mereka bisa mereka benar bisa bertanggung jawab atas masalah ini.”
Luna dan Minhyun spontan saling menatap. Jaehwan yang duduk di samping kiri Luna tiba-tiba mengulas sebuah senyuman.
“Bagaimana Lee Taemin?” Guru pembina OSIS meminta pendapat Taemin.
“Saya setuju. Saya juga akan bergabung untuk membantu. Lalu, saya yang akan melapor kepada tim Tata Tertib Sekolah.” Taemin menyetujui usul pembina OSIS.
“Nah, begini lebih baik. Biarkan para murid menyelesaikan masalah mereka. Jika kalian membutuhkan kami, jangan sungkan meminta bantuan.” Guru pembina OSIS itu tersenyum. Mengabaikan rekannya yang tampak tak puas dengan keputusan itu.
Luna dan Minhyun kembali saling memandang. Lalu, Minhyun membuang muka lebih dulu.

Dua guru telah pergi. Di ruang OSIS tersisa para murid saja. Hening. Taemin duduk berdampingan dengan Minhyun. Berhadapan dengan siswi yang menjadi saksi, Jaehwan, Luna, dan Bae Jinyoung.
“Bagaimana ya….” Taemin memecah kebisuan. “Aku juga yakin ini hanya salah paham. Tapi, terlanjur jadi begini rumit.”
“Jeosonghamnida, Seonbaenim.” Siswi yang menjadi saksi meminta maaf. “Semua ini karena saya.”
“Sudah terlanjur sih. Jadi, mau bagaimana lagi? Minta maaf saja pada Bae Jinyoung.”
“Maafkan aku, Bae Jinyoung.” Siswi itu pun meminta maaf pada Jinyoung.
Jinyoung menganggukan kepala.
“Tapi, kita harus tetap seolah melakukan penyelidikan ya?” Taemin kembali bicara. “Bagaimanapun, meredam kehebohan di luar sana adalah tanggung jawab kita sekarang.”
Benar yang dikatakan Taemin. Mereka lah yang harus bertanggung jawab untuk meredam kehebohan para murid.
“Saya rasa setelah Lucy sadar dan menceritakan yang sebenarnya, masalah akan beres. Tapi, tetap saja Bae Jinyoung yang paling dirugikan.” Minhyun angkat bicara.
“Begitu adanya. Semoga saja Lucy segera sadar dan mau bercerita dengan jujur. Dia tipikal cewek intovert, kan? Bisa agak susah nantinya.” Taemin kemudian menatap Luna. “Mezzaluna, kenapa kamu mau bertanggung jawab atas masalah ini?”
“Saya kesal melihat mereka hanya diam tak kunjung menolong Lucy yang pingsan. Dan, menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang dilihat bukan hal yang bijak, kan?” Luna mengungkapkan alasannya.
Siswi yang menjadi saksi segera menundukan kepala.
“Tapi, saya tidak menyalahkan tindakan, maaf nama kamu siapa?” Luna bertanya pada saksi.
“Kang Mi Na.” Jawab siswi yang menjadi saksi.
“Saya tidak menyalahkan tindakan Kang Mi Na. Reaksi setiap orang pada sebuah peristiwa berbeda-beda, kan?” Luna melanjutkan penjelaskan. “Sebagai teman seangkatan, saya hanya ingin membantu. Salah paham ini tidak boleh dibiarkan. Karena, akan sangat merugikan bukan hanya Bae Jinyoung, tapi juga Lucy.”
Taemin mengerutkan kening. “Bagaimana Lucy bisa dirugikan juga?”
“Aku juga ingin bertanya tentang itu,” Jaehwan bersuara.
Luna menatap Jinyoung sejenak. “Sebelumnya maafkan aku, Bae Jinyoung.” Ia meminta maaf sebelum melanjutkan penjelasan. “Dengan cerita masa lalumu yang sempat dituduh sebagai pelaku pemerkosaan karena kamu nggak sengaja ada bersama korban saat saksi menemukanmu, peristiwa tadi akan kembali memposisikanmu sama seperti saat itu.
“Sekali lagi maaf, di sini kamu kembali di posisikan sebagai tersangka. Mata awam pasti mengabaikan klarifikasi polisi jika kamu nggak salah.  Kamu tetaplah mantan tersangka kasus pemerkosaan. Lalu, ditemukan Lucy yang tak sadarkan diri bersamamu. Otomatis mata awam akan menyimpulkan bahwa kamu akan melakukan tindakan kriminal itu lagi.
“Dan, Lucy akan disebut sebagai korban tindak kriminal percobaan pemerkosaan. Itu sama buruknya dengan dituduh sebagai pelaku. Mungkin pemikiranku terlalu jauh. Tapi, bukankah itu wajar saja terjadi?” Luna menutup penjelasannya.
“Wah, benar juga.” Jaehwan menyetujui ulasan Luna.
“Masuk akal.” Taemin pun sama.
Minhyun hanya diam dan menatap Luna, lalu Jinyoung yang masih menundukan kepala.
“Ini semua gara-gara aku. Ottokhae?” Mi Na mendadak panik.
“Semua ini nggak akan terjadi kalau Tuhan nggak berkehendak. Yang kita butuhkan sekarang adalah bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Seperti yang dikatakan Lee Taemin Seonbae.” Luna menenangkan Mi Na.
Taemin tersenyum. Tatapannya terfokus pada Luna.
Minhyun menyadari bagaimana Taemin menatap Luna. Ia tampak tak menyukai hal itu. “Yang kita butuhkan adalah kerjasama.” Ujarnya.
“Benar sekali!” Jaehwan dengan antusias.
“Kita tunggu Lucy sadar dahulu. Lalu mendengar kesaksiannya. Baru kita bisa mengambil langkah selanjutnya.”
“Apa yang dikatakan Minhyun benar. Jadi, tolong bekerja sama. Agar kita bisa segera menyelesaikan masalah ini.” Taemin meminta dengan sungguh-sungguh.
***

“Aku minta maaf karena tadi, di depan banyak orang telah menyebutmu tersangka. Mohon maafkan aku.” Luna membungkuk dalam-dalam di depan Jinyoung.
“Jangan begitu. Aku baik-baik aja kok.” Jinyoung kikuk.
Luna menegakkan badan dan menatap Jinyoung yang berdiri di depannya. Melihat Jinyoung yang tampak kikuk di depannya, ia pun tersenyum. “Aku percaya sama apa yang kamu bilang.”
“Terima kasih.”
“Aku akan membantumu. Sampai masalah ini selesai. Jadi, tolong bertahan ya.”
Jinyoung memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap Luna. Gadis itu tersenyum padanya. “Terima kasih.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan.
“Seharusnya kamu selalu mengangkat kepala seperti ini. Aku tahu menunduk itu memang baik. Katanya itu menunjukan kerendahan hati. Tapi, jika kamu merasa kamu tidak pantas untuk direndahkan oleh orang lain. Angkat kepalamu. Tuhan saja tidak pernah merendahkan makhluk-Nya. Jadi, apa kuasa mereka hingga boleh merendahkanmu?”
Jinyoung diam. Masih menatap Luna.
“Bagaimanapun juga bertahanlah. Kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Hwaiting!” Luna tersenyum lebih lebar. “Aku pergi dulu.” Ia pun pamit dan meninggalkan Jinyoung.
Jinyoung beridiri diam di tengah koridor. Menatap punggung Luna yang berjalan meninggalkannya. Ia tersenyum samar lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Luna.


Luna kembali ke ruang UKS. Jam istirahat sudah selesai. Semua murid kembali disibukan dengan pelajaran. Karena malas kembali ke kelas, ia memilih pergi ke UKS. Ia berharap Lucy sudah sadar dan mau menemuinya.
Luna menemui perawat yang bertugas menjaga ruang UKS. Menanyakan tentang Lucy.
“Dia sudah sadar. Tadi dua guru yang bertanggung jawab atas masalah itu juga sudah ke sini.” Lee Young Eun, perawat yang bertanggung jawab atas ruang UKS meladeni Luna yang datang menemuinya. Ia bahkan mempersilahkan Luna duduk di kursi kosong di hadapannya.
“Nggak ada masalah serius kok. Dia hanya ada dalam masa periodenya. Hari pertama.” Young Eun menambahkan.
“Jadi, Lucy lagi dapet?” Celetuk Luna dalam Bahasa Indonesia. Membuat Young Eun melebarkan mata sipitnya. “Anu, itu periode hari pertama. Pasti sakit. Trus pingsan ya?”
“Betul. Pada beberapa gadis memang seperti itu, kan? Sakitnya tak tertahankan.”
Luna tersenyum lega. “Lalu, apa yang dia katakan pada dua guru tadi?”
“Nggak ada. Beliau berdua hanya menjenguk tanpa mengajukan pertanyaan apa-apa tentang masalah itu. Kasihan sekali ya Bae Jinyoung itu. Setelah ini dia pasti akan semakin terasing.”
“Eonni harus turut memberi saksi dan membantunya.”
“Oiya, kamu yang bertanggung jawab ya? Hm, boleh-boleh. Katakan saja kalau kamu butuh bantuan.”
“Tentu saja. Aku pasti akan minta bantuan Eonni. Eonni….”
“Iya?”
“Menurut Eonni, apakah Lucy mau bekerja sama? Maksudku berkata apa adanya. Dia sering bertugas di sini, kan?”
“Iya. Dia anak PMR. Dia itu pendiam sekali. Tapi, jika kamu yang bicara. Aku yakin dia pasti mau.”
“Eh?”
“Kamu kan pandai memenangkan hati orang.”
“Nggak gitu juga.”
“Coba aja temui dia. Tadi pas dia sadar aku udah cerita kok kalau kamu, Jaehwan, dan Jinyoung yang membawanya ke mari.”
“Harus sekarang ya?”
“Mau kapan lagi?”
“Emosinya kan masih labil karena dia lagi dalam masa periodenya.”
“Tapi, kamu satu-satunya anak perempuan yang menolong dia. Apalagi dia tahu kamu teman Hami, kan? Temui aja dia. Ajak ngobrol yang ringan. Lagi pula, tujuanmu kemari adalah dia kan?”
“Iya. Selain karena malas balik ke kelas.”
“Ya udah! Sana!”
“Baiklah.” Luna tersenyum dan bangkit dari duduknya. Menuju ruang rawat, tempat Lucy di rawat.

Ruang UKS terdiri dari ruang jaga yang juga merupakan ruang kerja bagi perawat. SMA Hak Kun hanya mempekerjakan satu perawat. Di dalam ruang rawat terdapat satu lemari dua pintu tempat obat dan peralatan disimpan dan ada empat ranjang. Lucy berada di ranjang kedua yang paling dekat dengan pintu masuk.
Luna berjalan pelan menuju ranjang tempat Lucy berbaring. Tapi ketika sampai, ranjang itu kosong. Lucy tak ada di sana. Selimut pun sudah terlipat rapi. Luna yakin Lucy membereskan ranjang lebih dulu sebelum pergi.
“Lucy pergi, Eonni nggak tahu?” Luna kembali ke ruang jaga.
“Eh? Masa?” Young Eun terkejut mendengar laporan Luna.
“Ranjangnya sudah rapi.”
“Wah, sayang sekali. Maaf ya. Aku nggak tahu kalau Lucy pergi.”
“Nggak papa. Tapi, boleh kan aku tetap di sini? Aku malas kembali ke kelas.”
“Tentu saja. Senang sekali punya teman ngobrol.”
“Tapi, aku ingin istirahat di ruang rawat.”
“Oh! Iya. Silahkan.”
“Terima kasih.” Luna tersenyum dan kembali ke ruang rawat untuk menyendiri.
***

To Jaehwan: Tolong sampaikan pada Minhyun agar disampaikan pada Taemin Seonbae, Lucy pergi saat aku sampai di UKS. Belum ada informasi. Terima kasih.

Luna mengirim pesan pada Jaehwan. Lalu, ia kembali ke kelas saat pergantian jam pelajaran. Jisung, Seongwoo, Sungwoon, dan Woojin langsung menyambutnya. Tapi, Luna menanggapinya dengan dingin. Ia bisa merasakan jika seisi kelas XI-E merasa ingin tahu. Tapi, ia terlalu lelah untuk berinteraksi. Luna langsung duduk di kursinya dan menyibukan diri dengan mempersiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.
Jisung, Woojin, Sungwoon, dan Seongwoo segera mengerumuni meja Luna saat pelajaran berakhir. Bergantian mereka melontarkan pertanyaan tentang Bae Jinyoung, Lucy, dan juga dirinya. Sementara teman sekelas Luna yang lain berusaha menguping.
“Harus kah aku maju ke depan kelas dan bercerita?” Komentar Luna.
“Ay! Udah pasti semua penasaran. Bagaimana kamu bisa terlibat? Emang kamu kenal sama Bae Jinyoung? Ah ya! Kenal sih. Maksudku kenapa sampai sebegitunya kamu belain dia? Atau ini demi Lucy?” Jisung mengoceh.
“Kamu kembali tapi ekspresimu itu, sepertinya tidak berjalan dengan baik ya?” Sambung Sungwoon.
“Jaehwan membawaku ke lokasi kejadian. Aku kesal melihat mereka yang hanya berkerumun, nggak segera nolong Lucy. Jadi, aku katakan saja aku akan tanggung jawab.” Luna memberi penjelasan dengan malas.
“Trus trus, Minhyun maju membela karena ada siswi yang berusaha menghalangimu?” Jisung antusias.
Luna mengangguk.
“Wah, apa ini pertanda kalian akan baikan? Aku dengar guru yang bertanggung jawab menyerahkan urusan ini pada kalian. Jadi, kamu dan Minhyun satu tim?”
“Begitulah.”
“Jaehwan juga?” Woojin menyela.
“Statusnya saksi. Jaehwan jadi saksi.”
“Jadi, ada kamu, Minhyun, dan Taemin Seonbae?” Sungwoon penasaran.
“Mm.” Luna mengangguk. “Semua ini membuat kepalaku sakit!”
“Ada kami. Katakan saja jika kamu butuh bantuan.” Sungwoon menawarkan diri secara halus.
“Jihoon tadi mengirim pesan padaku. Dia mengkhawatirkanmu.” Ujar Seongwoo.
Luna diam. Menatap Seongwoo. “Oh….” ia hanya bergumam.
“Cek aja ponselmu. Siapa tahu dia juga mengirim pesan padamu.” Saran Jisung.
Benar yang dikatakan Jisung. Jihoon memang mengirim pesan. Luna sudah tahu akan hal itu. Tapi, ia belum membaca pesan itu. Ia tahu Jihoon pasti khawatir. Tapi, bukan itu yang lebih penting sekarang. Baginya, untuk saat ini yang pantas dikhawatirkan adalah Jinyoung dan Lucy. Tapi, tentu saja Jihoon tidak akan paham.
“Nanti aja. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.” Luna akhirnya menjawab saran Jisung.
Murid-murid kembali ke tempat duduknya. Karena, guru yang akan mengisi pelajaran selanjutnya sudah tiba. Bersamaan dengan itu ponsel Luna bergetar. Ia segera mengeceknya.

Pesan sudah disampaikan! Pesan balasannya, oke. Itu saja. Sepertinya Taemin Seonbae menyerahkan semua pada kita. Maksudku padamu dan Minhyun.

Luna membaca pesan balasan dari Jaehwan. Ia mengehala napas, menyimpan ponselnya, dan fokus ke depan kelas.
***

“Guanlin, apa Luna Seonbae itu selalu seperti itu?” Linda sembari berkemas. Di kelas hanya menyisakan dirinya, Guanlin, dan Daniel.
“Seperti itu? Maksudnya?” Guanlin tak paham.
“Eum, apa ya? Sok peduli? Bagaimana dia bisa terlibat masalah itu? Bae Jinyoung Seonbae dan Lucy.”
Daniel diam saja. Berkemas sambil mendengarkan obrolan Linda dan Guanlin.
“Dia itu sebenarnya bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Aku sendiri nggak tahu bagaimana sampai dia terlibat bahkan mengatakan akan tanggung jawab atas masalah itu. Tapi, yang aku tahu dia bukan tipe orang sok peduli. Dia memang peduli. Kamu tahu kan bedanya?”
Linda diam dan berpikir. “Apa dia caper?” Ia bergumam dalam Bahasa Indonesia.
“Pasti kamu mikir dia cari perhatian ya? Mentang-mentang dia tenar? Ah, aku rasa kamu udah teracuni sama apa yang kamu dengar kemarin.”
“Apa? Eh? Kamu paham Bahasa Indonesia?” Linda kaget.
“Sedikit.” Jawab Guanlin sembari tersenyum.
Wajah Linda terasa panas. Ia malu karena Guanlin paham apa yang ia katakan dalam Bahasa Indonesia.
“Itu sih urusan kamu. Aku nggak bakal maksa kamu untuk punya pemikiran yang sama denganku. Tapi, bagiku Luna itu baik. Setiap tindakannya selalu punya alasan dan sudah diperhitungkan. Sejauh aku mengenalnya sih begitu.”
“Mm, gitu ya?”
“Kalau di sini murid perempuan jadi lebih menonjol kan wajar.” Daniel tiba-tiba berkomentar. “Atau murid perempuan didekati banyak pria juga wajar. Perbandingan murid perempuan dan laki-laki di sini 1:5. Wajar, kan?”
Linda menatap Daniel. Wajahnya semakin terasa panas. Ia merasa malu. Dua temannya itu ternyata lebih membela Luna dan tidak membenarkan pemikirannya.
Linda sempat berpikir sikap Daerin berlebihan. Tapi, setelah ia mencari tahu tentang Luna dengan cara menstalking komunitas sekolah. Ia jadi punya kesimpulan beda. Bisa jadi Daerin bersikap seperti itu karena muak pada sikap para pendukung Luna yang selalu mengelu-elukan Luna. Karenanya Daerin bersikap antipati pada Luna.
Selain itu, menurutnya apa yang dikatakan orang tentang Luna terlalu sempurna. Mana ada orang benar-benar baik di dunia ini? Begitu pikir Linda. Citra Luna yang terlalu sempurna itu janggal menurutnya.
“Sepertinya kamu perlu membaca buku itu lebih dalam. Kalau sampul dan daftar isi saja, itu tidak cukup.” Guanlin kembali bersuara. Membawa Linda kembali dari lamunan.
“Tapi, balik lagi ya. Semua terserah padamu. Tapi, kalian kan berasal dari negara yang sama. Pasti lebih bisa memahami bagaimana Luna dibanding kami, kan?” Guanlin menambahkan.
Ya kali gue kenal dia udah lama gitu? Sama-sama orang Indo kan tetep aja sifat dan latar belakang beda. Linda mengomel dalam hati.
“Pulang yuk?” Daniel selesai berkemas.

Daniel, Linda, dan Guanlin keluar kelas. Ketiganya melihat Luna berjalan ke arah mereka di koridor. Daniel tersenyum. Sedang Linda merasa merinding. Baru saja mereka membahas Luna. Tiba-tiba saja gadis itu muncul.
“Seonbae?” Sambut Guanlin.
“Oh, Edward! Mau pulang?” Luna memanggil nama internasional Guanlin, membalas dengan ramah sapaan pemuda itu.
“Tumben ke kelas X?”
“Ah! Kelasku dulu.” Luna menatap ruang kelas di samping kirinya. Ia tersenyum, mengenang saat ia berada di kelas X-F. “Kamu pasti sudah tahu tentang kehebohan saat istirahat tadi, kan?”
“Lucy ya?”
“Yap. Apa dia masih ada di kelasnya, ya?”
“Mau aku antar?”
“Seonbae?” Jihoon yang keluar dari kelas X-G melihat Luna yang berada di depan kelas X-F. Ia pun berjalan cepat menghampiri Luna.
“Kebetulan. Tolong tanyakan pada Daehwi, apa Lucy masih di kelas.” Luna langsung memberi perintah pada Jihoon.
Jihoon pun langsung sibuk dengan ponselnya. Mengetik pesan untuk Daehwi.
Linda mengamati Luna. Apa dia nggak bisa lakuin itu sendiri? Sampai merintah Jihoon gitu? Batinnya.
“Tadi aku kirim pesan belum dibalas sama Daehwi. Mungkin kalau kamu akan di respon.” Luna kembali bicara.
Linda terkejut. Ia seolah mendapat sindiran tajam. Baru saja ia membicarakan Luna dalam hatinya. Tapi, tiba-tiba gadis itu mengucap kalimat yang seolah menjawab protes yang ia layangkan dalam hati.
“Nggak direspon juga.” Jihoon menatap ponselnya dan menggeleng. “Kita ke kelasnya aja. Oh! Itu Daehwi!”
Daehwi keluar dari kelas X-E. Ia bergegas mendekati Luna. “Seonbae.” Sapanya sembari tersenyum.
“Seonbae mengirim pesan padamu!” Jihoon menegur. Ia cemberut, kesal melihat bagaimana ekspresi Daehwi saat mendekati Luna.
“Iya kah? Ah, maaf. Ponselku aku silent dan aku taruh dalam tas. Soal Lucy ya?” Daehwi langsung paham kenapa Luna mencarinya.
“Mm.” Luna mengangguk.
“Dia tadi sempat kembali dan mengikuti pelajaran. Tapi, kemudian minta izin balik lagi ke UKS.”
“Tapi, dia nggak ada di sana. Aku sudah ke UKS. Karena dia nggak ada, aku minta Hami tetap di UKS dan aku ke sini.”
“Wah, dia ke mana ya?” Daehwi berpikir.
“Teman dekatnya di kelas, siapa?”
“Lucy?”
“Mm.”
“Nggak punya. Dia itu penyendiri banget. Teman-teman jadi enggan mendekati.”
Daniel, Linda, Guanlin, dan Jihoon diam. Menyimak obrolan Daehwi dan Luna.
“Seperti saran Seonbae, aku berusaha mendekatinya. Tapi, responnya hanya… yah begitulah.”
Linda menyipitkan mata. Saran seonbae? Mendekatinya? Ia bertanya dalam hati.
“Baiklah. Terima kasih atas kerjasamanya.” Luna berterima kasih pada Daehwi.
“Trus, Seonbae mau ke mana sekarang?”
“Kantor Tata Tertib. Mungkin saja ia di sana atau tadi dia ke sana. Mungkin Lucy meminta surat izin untuk pulang lebih dulu.”
“Wah, bisa jadi.”
“Mau aku temani?” Jihoon menawarkan diri.
“Nggak usah. Terima kasih semuanya.” Luna pamit dan pergi.
Daniel, Linda, Guanlin, Daehwi, dan Jihoon diam. Menatap Luna yang berjalan menjauh.
“Kasihan. Seonbae pasti sangat sibuk.” Daehwi memecah keheningan. “Jihoon-aa, kita ke basecamp?”
Jihoon mengangguk.
“Kami pergi dulu ya.” Daehwi pamit.
Jihoon dan Daniel sempat saling memandang sebelum Jihoon pergi bersama Daehwi.
“Pulang yuk!” Ajak Guanlin.
Daniel, Linda, dan Guanlin pun kembali berjalan.
Orang yang gemar menyusahkan diri sendiri demi orang lain. Dasar bodoh! Membuang waktu saja. Linda bicara dalam hati. Mengomentari Luna yang harus terlempar ke sana ke mari hanya demi mencari Lucy.
***

Luna pergi ke kantor Tata Tertib. Ia lega karena Kim Songsaengnim yang berjaga di sana. Dengan mudah ia pun bertanya tentang apakah Lucy meminta surat ijin untuk pulang lebih awal.
Kim Songsaengnim mengatakan tidak ada catatan permintaan izin pulang lebih awal hari ini. Luna pun kecewa.
“Sayang sekali ya. Padahal Luna sudah bekerja keras hari ini.” Kim Songsaengnim turut menyesal.
Luna tersenyum. “Investigasi memang tidak mudah ya. Tapi, saya akan berusaha.”
“Menurut Luna, apa yang terjadi? Setelah yakin semua hanya salah paham, tapi ternyata Lucy terkesan melarikan diri. Jika tidak ada catatan izin pulang lebih dulu, di mana ia berada dua jam terakhir?”
Luna diam dan berpikir. “Kembali ke ruang UKS mungkin? Atau basecamp PMR. Lalu, pulang lebih awal ketika bel berdering.”
“Begitu ya. Jadi, setelah ini Luna akan melanjutkan penyelidikan?”
“Sepertinya iya.”
“Wah, semangat ya. Semoga kerja keras Luna membuahkan hasil.”
“Terima kasih, Songsaengnim.” Luna menunduk sopan.
“Ngomong-ngomong ada murid baru lho. Dari Indonesia.”
“Eh? Iya kah?”
“Iya. Anak perempuan. Kebetulan sekali dia masuk kelas XI-B. Artinya dia akan masuk di kelas yang sama dengan Bae Jinyoung.”
Dahi Luna berkedut. Kenapa harus ada murid baru di saat seperti ini? Ujarnya dalam hati.
“Bagaimana ya… kalau dengar desas-desus tentang Bae Jinyoung, bisa jadi tidak baik kan?”
“Iya.”
“Karena sesama orang Indonesia, Luna pasti bisa membantunya kan?”
Luna mengangkat kepala dan membalas tatapan Kim Songsaengnim. “Nee. Saya akan berusaha.”
“Ah, lega rasanya. Luna memang baik dan bisa diandalkan. Jika sesama murid dan kebetulan berasal dari negara yang sama, pasti akan lebih mudah.” Kim Songsaengnim tersenyum lebar.
Tiba-tiba Luna membatin, Ah guru ini memang tampan. Pantas saja banyak yang tergila-gila.
“Kalau begitu saya pamit.” Luna minta izin pergi.
“Ah, silahkan! Harus melanjutkan penyelidikan ya? Semangat!”
“Nee. Kamsahamnida, Songsaengnim.” Luna pun meninggalkan kantor tata tertib.

Karena untuk urusan Bae Jinyoung telah ia serahkan pada Minhyun dengan Jaehwan sebagai perantara, maka untuk urusan Lucy ia tangani sendiri. Dari kantor Tata Tertib, Luna kembali ke ruang UKS. Hami masih menunggunya di sana.
Lucy tak muncul di UKS. Ketika Luna bertanya tentang basecamp PMR, Hami meyakinkan bahwa tidak mungkin Lucy bersembunyi di sana selama 2 jam terakhir. Karena kunci basecamp ada di kantor guru. Sedang duplikatnya ada pada Hami yang sejak tahun ajaran baru ini menjabat sebagai ketua PMR.
“Tapi, aku udah ngirim pesan ke dia kok. Jadi, nanti begitu ponselnya aktif, dia langsung menerima pesan itu.” Hami menutup penjelasannya.
“Wah, terima kasih ya. Maaf jadi merepotkanmu, Hami.”
“Aku senang kok terlibat dalam penyelidikan ini. Hehehe.”
“Mungkin dia masih malu. Makanya untuk sementara memilih melarikan diri.” Young Eun mengeluarkan dugaannya.
“Iya. Aku juga mikir gitu. Soalnya Lucy itu tertutup banget orangnya. Tapi, dua jam terakhir dia sembunyi di mana ya? Aku jadi penasaran.” Hami mengelus dagunya.
“Sama. Tapi, banyak tempat untuk sembunyi di sekolah ini. TKP itu sendiri misalnya. Karena ada kasus ini, TKP jadi dihindari, kan?” Luna mengatakan analisisnya.
“Ah iya! Bisa juga. Tapi, tahan sekali dia di sana lama-lama.” Hami heran.
“Bagi gadis penyendiri, tempat sepi adalah surga.” Ujar Young Eun.
“Benar sekali!” Luna membenarkan. “Kami punya surga sendiri.” Ia bergumam.
“Atau bisa jadi dia di perpustakaan? Menghabiskan waktu di sana dengan satu alasan pasti di izinkan oleh pustakawan sekolah.”
“Tapi, Lucy sedang jadi topik teratas di sekolah hari ini Eonni. Dia nggak mungkin ambil resiko dengan sembunyi di perpustakaan. Dengan membaca tag namanya saja, sudah pasti pustakawan sekolah tahu tentang apa yang membawa Lucy ke sana.” Hami menyanggah analisis Young Eun.
“Justeru karena itu alasan yang sebenarnya, Lucy merasa tak perlu repot-repot berbohong kan? Pustakawan sekolah kita bisa jadi merasa iba dan memberi tempat perlindungan.”
“Masuk akal juga. Baiklah, aku akan ke perpustakaan untuk memastikan.” Luna bangkit dari duduknya.
“Aku temani!” Hami penuh semangat.
“Oke. Kalau hasil di perpustakaan nihil, kita langsung ke pos satpam dan akhiri saja untuk hari ini.”
“Oke.”
“Semangat ya!” Young Eun menyemangati Hami dan Luna.

Lucy tidak berada di perpustakaan. Pustakawan sekolah sampai menunjukan catatan pengunjung perpustakaan. Seperti rencana, Luna dan Hami langsung menuju pos satpam. Luna langsung bertanya tentang dugaan Lucy menjadi murid yang keluar sekolah lebih dulu.
Satpam yang berjaga mengatakan murid yang keluar pertama adalah dua siswa kelas XI. Bukan gadis dengan ciri yang disebutkan Luna dan Hami. Satpam pun mengusulkan agar Luna dan Hami memeriksa rekaman CC TV saja di ruang keamanan.
Luna dan Hami tak berpikir sampai sejauh itu; mengecek rekaman CC TV. Tapi, dengan usul satpam itu, mereka pun berpikir perlu melakukan itu. Karena masalah Lucy berkaitan dengan Bae Jinyoung yang memiliki masa lalu kelam.
Luna dan Hami pun bergegas menuju ruang keamanan. Ternyata di sana sudah ada Jaehwan dan Minhyun. Mereka juga mengecek rekaman CC TV sekolah untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya.
Bae Jinyoung yang terekam CC TV tak menunjukan sikap aneh. Sayangnya di tempat kejadian tidak ada CC TV. Jadi, mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana.
Selanjutnya petugas memeriksa video rekaman CC TV untuk mencari keberadaan Lucy. Gadis itu terakhir kali terlihat dua jam sebelum jam pulang. Saat ia meninggalkan kelas. Lucy sempat terekam kamera di beberapa titik.
Luna, Hami, Jaehwan, dan Minhyun bersama-sama keluar dari ruang keamanan. Untuk sementara mereka menyimpulkan jika Lucy bersembunyi di tempat kejadian perkara. Seperti yang di ungkap Luna di ruang UKS. Jaehwan dan Minhyun kembali ke ruang OSIS. Sedang Luna dan Hami memilih pulang. Mereka berpisah di depan gerbang.
***

Luna berjalan dengan terus memikirkan Lucy. Jika tidak terjadi sesuatu, kenapa ia bersembunyi? Jangan-jangan memang terjadi sesuatu? Atau Lucy hanya butuh menenangkan diri saja? Atau ada pihak yang membuatnya takut?
“Sudah selesai ya?”
Suara itu membuyarkan lamunan Luna. Ia menoleh ke sebelah kiri. Tempat suara berasal. “Daniel??” Ia terkejut melihat Daniel sudah berjalan di samping kirinya.
Daniel tersenyum lebar. “Berbahaya berjalan sambil melamun.”
“Kelak, jika temanmu membuat masalah, jangan sampai kamu bilang mau tanggung jawab. Itu melelahkan dan membuat kepala sakit.” Luna tersenyum lesu.
“Seonbae merasa keputusan yang Seonbae ambil salah?” Daniel berhenti di halte.
Luna pun turut berhenti halte. “Entahlah. Aku pikir akan mudah. Ternyata sulit sekali.”
Daniel dan Luna duduk berdampingan di halte. Menunggu bus.
“Aku hanya kesal karena mereka hanya diam menatap Lucy yang terbaring tak sadarkan diri. Apa yang ada di pikiran mereka?” Luna mengungkap alasan kenapa ia mengambil tindakan. “Lagi pula nama Bae Jinyoung kan sudah dibersihkan. Kenapa masih menganggap buruk dia?”
Daniel diam. Berpikir harus berkata apa untuk menghibur Luna.

Bus datang. Keduanya pun naik. Karena bus penuh, Daniel kembali memposisikan Luna di depannya. Ia berdiri di belakang Luna untuk melindungi gadis itu. Di dalam bus yang penuh hingga mereka berdiri dari tempat berangkat hingga tujuan terakhir, Daniel dan Luna pun diam sepanjang perjalanan. Keduanya turun dan berjalan kaki menuju komplek tempat tinggal mereka. Sesekali Daniel menoleh, menatap Luna yang terlihat sangat lelah.
“Lelah sekali ya?” Daniel membuka obrolan.
“Iya. Aku nggak mau jadi polisi atau detektif. Kerjaannya menguras tenaga dan pikiran banget.”
Daniel tersenyum mendengar celetukan Luna. Mereka sampai di depan rumah merah maroon. Sang pemilik sedang berada di gerbang.
“Lama tidak melihat Bogi.” Daniel menyapa.
Benar juga. Batin Luna. Ia juga tak melihat Bogi selama beberapa hari. Tepatnya setelah ia dikejar-kejar Bogi bersama Jaehwan dan Woojin. Berapa hari yang lalu ya? Ia berpikir keras untuk mengingatnya.
Si pemilik rumah maroon mendesah. Wajahnya berubah lesu. “Bogi sudah mati.”
“Mwo??” Daniel kaget mendengarnya. Luna pun sama. “Bagaimana bisa? Bogi mati?”
“Sepertinya seseorang sengaja meracuninya.’
Kejam sekali! Luna berkata dalam hati. Walau Bogi sering membuatnya ketakutan, bahkan pernah membuatnya cidera. Mendengar Bogi mati dibunuh, membuat Luna mengutuk perbuatan kejam itu.
“Kasihan sekali Bogi.” Daniel sedih.
“Memang banyak yang tak menyukai Bogi. Tapi, aku tak menduga tindakannya sampai sejauh ini.” Pemilik rumah merah maroon menatap Luna. “Oh! Nona yang waktu itu ya? Tolong maafkan Bogi ya. Dua kali dia mengejar Nona. Lalu, teman Nona yang jatuh ke selokan bagaimana? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja. Saya turut menyesal tentang Bogi.” Luna menundukkan kepala.

Daniel dan Luna melanjutkan perjalanan.
“Siapa yang masuk ke selokan?” Daniel yang penasaran sejak mendengar obrolan dengan pemilik Bogi akhirnya bertanya.
“Kim Jaehwan.”
“Kim Jaehwan Seonbaenim? Bagaimana bisa?”
Luna pun menjelaskan bagaimana kejadian hari itu. Sisa perjalanan menuju rumah pun jadi lebih ceria daripada sebelumnya. Daniel tak hentinya tertawa mendengar cerita Luna. Mereka pun sampai di rumah Luna.
“Istirahat lah. Hari ini Seonbae sudah bekerja keras.” Daniel sebelum pergi.
“Mm. Gomawo.”
“Nanti boleh kah aku menghubungi Seonbae?”
“Mm?” Luna menatap tak paham pada Daniel.
“Anu, itu pesan. Nomer ponsel.”
“Oh. Silahkan.”
Daniel tersenyum lebar. “Terima kasih, Seonbae.”
Luna tersenyum dan mengangguk. “Aku naik.”
“Nee.” Daniel menatap Luna yang menaiki tangga. Sampai gadis itu menghilang dari jangkauan pandangnya. Ia tersenyum dan menghela napas. Merasa lega. Ia pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang.
***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews