My 4D's Seonbae - Episode #14 "Bukan Pahlawan"
05:34
Episode #14 "Bukan Pahlawan"
Annyeong, Seonbae. Ini aku, Daniel. Terima kasih
untuk nomernya, dan terima kasih untuk izinnya. Hari ini pasti sangat
melelahkan. Aku pun baru selesai dengan pekerjaanku. Mari kita beristirahat.
Sampai ketemu besok :)
Daniel
tersenyum puas usai mengirim pesan pertamanya pada Luna. Tak sabar ia menunggu
balasan dari Luna. Tapi, ia tak berharap banyak. Hari ini Luna menjalani hari
yang berat, jadi ia pikir mungkin gadis itu sudah tidur.
Daniel
hendak mematikan lampu kamarnya ketika ponselnya berdenting. Ia tak jadi
mematikan lampu dan kembali meraih ponselnya.
Gomawo.
Selamat istirahat :)
Luna
membalas pesannya. Daniel mengembangkan senyum seluas samudra. Ada rasa bahagia
membuncah di dalam dadanya. Ia hendak membalas pesan Luna, tapi
mengurungkannya. Lebih baik besok pagi saja. Ujarnya dalam hati. Ia pun mematikan lampu dan berusaha
untuk tidur.
Keesokan
harinya Daniel mengirim ucapan selamat pagi pada Luna. Lalu, seperti biasa ia
menunggu Luna untuk berangkat bersama.
“Bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak?” Daniel tersenyum,
menyambut Luna yang menuruni tangga.
Luna
mendesah. “Sepertinya aku tidak tidur. Tubuhku lelah, tapi otakku tak mau
berhenti berpikir.”
Daniel
menatap iba Luna. “Semoga hari ini berjalan lancar.”
“Aamiin….
Gomawo. Kaja!”
Daniel
dan Luna berjalan berdampingan. “Sudah ada kabar dari Lucy?” Tanya Daniel.
“Belum. Kata Hami malah belum dibaca. Di telepon pun tidak
aktif. Kenapa aku merasa ini pertanda buruk ya?”
“Menurutku
hanya imbas dari rasa khawatir Seonbae.” Daniel menenangkan.
“Semoga saja begitu.”
“Seonbae
jangan sering-sering mengunjungi akun komunitas sekolah. Walau banyak komentar
positif, tak sedikit pula komentar negatifnya.”
“Benar
sekali. Itu bikin stres aja! Aku jarang bahkan nggak pernah. Kadang tahu ada
perang komentar dari Jisung, Seongwoo, Sungwoon, atau Woojin.”
“Baguslah.”
“Daripada
mengkhawatirkan diriku sendiri, aku lebih mengkhawatirkan Bae Jinyoung dan
Lucy. Semoga aja mereka nggak main-main di akun komunitas sekolah. Kejam sekali
komentar haters.”
“Iya.
Semalam aku sempat melihatnya. Yang paling kejam itu mereka menuduh Bae
Jinyoung Seonbae menularkan virus kesialannya pada Seonbae.”
“Itu
dia. Kami harus menyelesaikan masalah ini. Agar Bae Jinyoung bersih dari
tuduhan.”
“Kami?
Sepertinya Seonbae bekerja sendiri.”
“Anee.
Ada Hwang Minhyun dan Taemin Seonbae yang jadi satu tim denganku. Walau Kim
Jaehwan berstatus saksi, dia banyak membantu. Song Hami juga membantuku. Kang
Mi Na sebagai saksi juga siap membantu.”
Ekspresi
Daniel sedikit berubah. Dari nama-nama itu, ada Hwang Minhyun dan Lee Taemin.
Sudah menjadi rahasia umum jika Hwang Minhyun adalah teman Luna semasa SMP yang
tiba-tiba menjauh entah karena apa. Yang Daniel tahu, karena tugas bersama yang
dihilangkan Luna. Tapi rumor yang beredar, Luna dan Minhyun berpisah karena
skandal asmara.
Banyak
yang mengamini spekulasi itu. Menurut mereka yang mendukung spekulasi itu,
tidak wajar jika pertemanan mereka putus hanya gara-gara tugas sekolah yang
dihilangkan Luna sedang Luna sudah mengganti tugas itu.
Satu
nama lainnya, Lee Taemin. Menurut informasi dari Daerin, Luna pernah menolak
cinta Taemin. Lalu, kali ini apa? Luna malah menjadi satu tim dengan Taemin.
Memikirkan semua itu, membuat Daniel menghela napas dengan kasar.
“Kenapa?” Tanya Luna saat mendengar desahan Daniel.
“Rumit ya?”
Luna
tersenyum lesu. “Sangat.”
“Luna
Seonbae, hwaiting!” Daniel menyemangati sambil bergaya cute.
Luna
tertawa dibuatnya. “Gomawo. Aku berharap hari ini takdir berpihak pada kami.”
Daniel
menganggukkan kepala. Mereka pun naik ke dalam bus dan duduk berdampingan.
***
Luna
terduduk lesu. Pagi tadi saat sampai di sekolah Hami menyambutnya. Memberi
kabar yang sebenarnya tidak ia harapkan. Lucy belum membaca pesan yang dikirim
Hami. Lalu saat ganti pelajaran, Daehwi mengirim pesan. Mengabarkan bahwa hari
ini Lucy tidak masuk sekolah.
Rasa
panik mulai menggerayangi tubuh Luna. Keyakinannya mulai goyah. Ia mulai
mempercayai dugaan jika benar terjadi sesuatu antara Bae Jinyoung dan Lucy.
Luna memeluk tubuhnya sendiri.
“Hi,
Luna!" Kang Mi Na menemui Luna yang duduk sendiri di Bangku Taman Milik
Luna. “Eh? Aku mengejutkanmu ya? Maaf.” Melihat reaksi kaget Luna, ia pun
meminta maaf, duduk di bangku seberang. Berhadapan dengan Luna.
“Nggak
kok.” Luna tersenyum.
“Bagaimana
perkembangannya?”
“Lucy
masih belum bisa ditemui. Kemarin dia menghilang dan hari ini nggak masuk
sekolah.”
“Wah!
Gawat! Bagaimana ini? Gara-gara aku ya?”
“Nggak
lah. Aku masih yakin kalau ini hanya salah paham.”
“Tapi,
Lucy? Kenapa dia menghilang dan sekarang nggak masuk sekolah?”
“Entahlah.
Kemarin kami sudah berusaha mencari tahu. Tapi, seperti yang kamu tahu sekarang.
Masih nihil. Maaf ya.”
“Anee.
Aku yang seharusnya minta maaf. Andai aja kemarin aku nggak panik. Sekarang aku
malah hanya berpangku tangan pada kalian.”
“Asal
kamu memberi kesaksian yang sebenarnya dan mempertahankan hal itu sampai kita
bisa menghubungi Lucy, itu sangat membantu kami. Tolong jangan terpengaruh sama
gosipan yang beredar di antara murid ya.”
“Karena
kamu, aku bakalan tetep percaya pada kalian.”
“Gomawo.”
Luna tersenyum tulus.
“Luna-ya,
benar Lucy tidak masuk hari ini?” Jaehwan datang bersama Minhyun.
Sejenak
Luna dan Minhyun saling menatap. “Nee.” Jawab Luna kemudian.
“Wah,
ada apa ya? Bagaimana dengan pesan Hami?”
“Belum
dibaca juga. Bae Jinyoung, bagaimana?”
“Lebih
tenang dari yang kami duga.”
“Syukurlah.”
“Lalu,
apa rencanamu? Tentang Lucy.”
“Entahlah.”
“Kita
ke rumahnya aja.”
“Aku
juga berpikir begitu. Tapi, aku tidak bisa. Hari ini, besok, dan lusa aku ada
jadwal.”
“Kami
yang akan pergi.” Minhyun menyela.
Luna
tertegun sejenak. “Jangan! Kalau tidak aku, paling tidak Hami. Kalau kalian,
bisa makin runyam nantinya.”
“Ah
ya! Kamu, Bae Jinyoung, dan Lucy kan memang ada benang merah.” Jaehwan
manggut-manggut. Merasa yakin pendapatnya benar.
“Benang
merah?” Minhyun menatap Jaehwan, lalu Luna.
“Anu
itu….” Jaehwan menggaruk kepalanya
“Ada
hubungan kan?” Minhyun penasaran. Ia kembali menatap Luna.
“Wah!
Wah! Tim penyelidik dan saksi berkumpul di sini rupanya.” Gadis yang kemarin menghalangi Luna datang
bersama gengnya. “Korban menghilang ya? Tampaknya semakin rumit. Seharusnya
kamu percaya sama apa yang aku katakan! Bae Jinyoung itu benar bermasalah.
Harusnya dia di keluarkan dari sekolah.”
“Pihak
sekolah mempercayakan penyelidikan pada OSIS. Kami akan melakukan yang
terbaik.” Minhyun merespon.
“Tapi,
kemarin korban menghilang. Lalu, sekarang tidak masuk sekolah. Besok dan lusa libur.
Bagaimana kalau hari Senin dia tidak kembali? Makanya jangan sok pahlawan!”
“Kami
bukan pahlawan.” Sanggah Minhyun.
“Bukan
pahlawan? Hagh! Usaha kalian untuk membela Bae Jinyoung sia-sia aja!”
“Pihak
sekolah pun tidak akan mengambil keputusan sembarangan. Dengan kesaksian Kang
Mi Na, sudah meringankan tuduhan. Jika Lucy membuktikan Bae Jinyoung nggak
salah. Mereka nggak bisa seenaknya mengeluarkan Bae Jinyoung.” Luna angkat
bicara.
“Begini
ya, surat pernyataan polisi itu bisa dipalsukan. Jadi, belum tentu dulu Bae
Jinyoung tidak bersalah.”
“Ya!
Kamu meragukan kepolisian Korea?” Sela Jaehwan. “Orang tua Bae Jinyoung bukan
tipikal orang yang bisa melakukan sabotase seperti itu.”
“Kalian
hanya tim penyelidik SMA. Yakin dengan itu semua?”
“Lalu
kamu apa?” Kang Mi Na yang kesal ikut bicara.
“Kamu
yang menyebabkan kehebohan ini kan? Sebaiknya kamu diam!”
Nyali
Kang Mi Na menciut mendengarnya.
“Lagi
pula korban sudah mati bunuh diri. Jadi, surat wasiat itu bisa aja palsu kan?”
“Ya
ampun! Anak ini!” Jaehwan kehabisan kata-kata.
Luna
bangkit dari duduknya. “Kalaupun harus memanggil arwah korban pemerkosaan itu,
akan aku lakukan. Aku akan membuktikan bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah.” Nada
bicara Luna datar. Tatapannya fokus dan tajam.
Semua
terdiam. Angin di sekitar mereka mendadak berhembus cukup kencang. Membuat bulu
kuduk berdiri. Gadis penentang tim penyelidik itu menatap Luna dengan tatapan
ngeri. Ia pun pergi bersama gengnya.
Luna,
Mi Na, Jaehwan, dan Minhyun kompak menghembuskan napas seolah sebelumnya mereka
menahan napas. Mereka merasa lega gadis itu pergi.
“Ya,
Luna-ya, memang arwah orang yang sudah meninggal bisa dipanggil?” Jaehwan
penasaran.
“Seharusnya
bisa. Aku nggak tahu kalau di Korea. Bisa kan, ya?” Jawab Luna santai.
Jaehwan,
Mi Na, dan Minhyun kompak menatap Luna. Luna pun tersenyum, meringis seolah ia
tak mengatakan apa-apa sebelumnya.
***
Woojin
dan Jinyoung selesai membersihkan lapangan basket usai kegiatan Klub Basket
selesai. Mereka merapikan alat kebersihan.
“Kadang
aku pikir, untuk apa gabung Klub Basket kalau lebih banyak jadi kacung kayak
gini?” Woojin memulai obrolan.
Jinyoung
hanya tersenyum menanggapinya.
“Padahal
permainan kita lumayan, kan? Kita juga ganteng dan postur tubuh juga bagus. Ada
apa dengan pelatih? Nggak bisa liat kelebihan kita?”
Mereka
selesai memasukan alat kebersihan di ruang penyimpanan. Mereka pun pergi ke
ruang ganti pakaian.
“Alasanmu
masuk Klub Basket apa? Kalau boleh tahu sih.”
“Karena
klub ini hanya khusus untuk murid laki-laki.” Jawab Jinyoung.
“Ah
iya. Murid perempuan nggak boleh gabung Klub Basket. Tapi, memangnya kenapa
kalau gabung klub yang ada ceweknya? Aigoo! Apa mereka begitu menggodamu?”
Woojin melirik nakal pada Jinyoung.
Jinyoung
diam, hanya menatap Woojin.
“Mian.”
Woojin tersenyum kikuk.
“Harusnya
kamu udah paham alasannya. Sekarang sedang jadi masalah kan.” Jinyoung duduk di
atas bangku di dalam ruang ganti.
“Ah,
itu ya? Aku dengar dari Luna hari ini Lucy tidak masuk.” Woojin duduk di
samping kanan Jinyoung.
“Aku
tidak tahu apa yang direncanakan anak itu. Kemarin benar-benar tidak terjadi
apa-apa. Kami berpapasan, wajahnya pucat sekali. Aku hanya diam menatapnya.
Tiba-tiba dia jatuh pingsan. Saat aku mendekatinya, Kang Mi Na melihat kami.
Dia panik dan berteriak.”
“Apes
sekali kamu.”
Jinyoung
tersenyum getir. “Seolah kejadian setahun yang lalu terulang lagi.”
Woojin
kehabisan kata-kata. Hanya bisa menatap iba pada Jinyoung. Pemuda itu
benar-benar pahlawan yang ketiban sial.
“Aku
bukan pahlawan atau mau bertindak sok pahlawan. Tapi, melihat perempuan
tergeletak tak berdaya, tak ada hal lain yang terpikirkan kecuali menolongnya.
Mana aku tahu dia korban perkosaan dan itu seperti jebakan pelaku.”
“….”
“Walau
pihak kepolisian sudah mengeluarkan pernyataan, tetap saja sulit. Tidak semua
orang percaya akan kenyataan yang aku ungkap. Bahkan, setelah pelaku
tertangkap. Sampai ada yang menuduhku sebagai komplotan pelaku.”
“Ya
ampun. Selama ini pasti sangat sulit bagimu. Maafkan aku. Harusnya lebih awal
aku mengajakmu ngobrol dan kita bisa berteman lebih dekat.”
Jinyoung
kembali mengembangkan senyum getir itu. “Semua ini, apa Luna yang memintamu?”
Woojin
terkejut. “Aa-anee. Maksudku tidak sepenuhnya tidak. Begini, sebenarnya ketika
tahu kamu gabung Klub Basket di tahun kedua kita, aku penasaran. Tapi, aku ragu
untuk maju. Sampai Luna meminta bantuanku.”
Jinyoung
mengangkat kepala. Menatap Woojin. “Apa tujuannya?”
“Tujuan?”
“Luna
memintamu mendekati aku. Itu sejak sebelum kasus ini, kan?”
“Luna
pikir, kamu pasti sangat kesepian. Mungkin karena dia murid asing, dia dulu
pernah mengalami apa yang kamu rasakan. Walau jelas latar belakangnya berbeda.
Dia hanya ingin, berteman dengan siapa aja. Termasuk kamu.”
Jinyoung
tertegun sejenak. “Jaehwan juga?”
“Jaehwan?”
“Mm.
Di kelas tiba-tiba Jaehwan juga berusaha mengajakku ngobrol. Kenapa teman-teman
Luna tiba-tiba mendekatiku?”
“Kamu
penasaran?”
“….”
“Kamu
nggak pernah merasa kesepian? Selalu terasingkan di sekolah, pasti sangat
menyiksa.”
“Aku
mulai terbiasa.”
“Tapi,
bukan berarti kamu nggak menderita kan?”
“….”
“Aku
pikir apa yang dikatakan Luna masuk akal. Lagi pula, tiba-tiba saja kalian
terhubung, kan?”
“Terhubung?”
“Kamu
dan Luna. Lalu, kamu, Luna, dan Lucy.”
“….”
“Baiklah.
Aku akan ceritakan. Terserah kamu percaya atau nggak. Tapi, Luna bertindak
bahkan sampai berani bertanggung jawab atas dirimu karena kalian tiba-tiba
terhubung satu sama lain.”
Woojin
pun menjelaskan seperti apa yang ia dengar dari Luna. Tentang Luna dan
Jinyoung. Juga tentang Luna, Jinyoung, dan Lucy yang tiba-tiba terhubung.
Jinyoung
diam. Menyimak penjelasan Woojin. Tiba-tiba ia merasa merinding. Setelah
mereka tak sengaja bertabrakan, sepertinya Luna sudah punya firasat jika hal
buruk akan terjadi. Dan, kemarin mimpi buruk itu benar menjadi kenyataan.
“Kalau
aku jadi kamu, aku akan percaya pada Luna.” Woojin menutup penjelasannya.
“Aku
nggak bilang aku nggak percaya dia, kan?”
“Iya
juga sih.” Woojin menggaruk kepalanya. “Semoga aja masalah ini lekas selesai.”
“Kuncinya
hanya Lucy.”
“Iya.
Lalu, kamu punya rencana?”
“Nggak
ada.”
“Kok
nggak ada?”
“Bukannya
aku mau berpangku tangan saja dan menggantungkan semuanya pada Luna. Tapi,
kalau aku bertindak, bisa jadi makin runyam.”
“Ah,
benar juga!”
“Aku
benar-benar menyesal karena menyeret Luna dalam masalahku.”
“Dia
pasti akan membantahnya dengan mengatakan itu terjadi karena dia mau dan Tuhan
menghendakinya.”
“Tolong
bantu dan dukung Luna. Ini tidak akan mudah baginya.”
“Tentu
saja. Aku akan selalu membantunya. Aku ini tim Luna!” Woojin membusungkan dada.
Jinyoung
bangkit dari duduknya dan menuju lokernya.
Woojin
menghembuskan napas melihat bagaimana reaksi Jinyoung. Ia pun bangkit dan
menuju lokernya untuk berkemas.
***
Saling
melapor dan mendiskusikan hasil penyelidikan bersama tim penyelidik. Lalu,
Taemin—yang tanpa ditunjuk sudah seperti menjadi ketua tim penyelidik—pun
melaporkannya kepada dua guru yang bertanggung jawab atas kasus Bae Jinyoung-Lucy.
Beliau berdua setuju untuk memberi kesempatan Luna melanjutkan pendekatan pada
Lucy. Jika hari Senin Lucy tak muncul, maka keduanya akan bertindak. Taemin pun
segera menginformasikannya pada anggota tim penyelidik.
Mendengarnya,
Luna tak punya pilihan lagi. Sepulang sekolah, ia pun memutuskan pergi ke rumah
Hami. Menggagalkan rencananya untuk membeli sesuatu yang akan ia bawa sebagai
buah tangan saat melakukan kunjungan ke rumah keluarga kedua esok. Berkat Hami,
mereka menemukan rumah Lucy. Tapi, rumah itu kosong. Mereka mengetuk dan
membunyikan bel. Tapi, tidak ada yang keluar.
“Masa
iya Lucy kabur?” Hami khawatir.
“Nurut
kamu dia ada bakat kabur?” Luna balik bertanya.
“Nggak
tahu. Kan aku nggak sedekat itu sama dia. Trus gimana sekarang?”
“Ponselnya
masih nggak aktif?”
“Kayaknya
gitu.”
Luna
mengamati kanan dan kirinya. Hanya ada lorong panjang yang kosong. Tidak ada
seorang pun yang bisa ditanyai tentang keluarga Lucy. “Aku akan mengetuk rumah
di sampingnya.” Ujarnya.
“Eh?”
Hami kaget. “Luna!” Ia menyusul Luna yang sudah berjalan ke arah kanan.
Usai
menimbang dalam hati memilih kanan apa kiri, Luna akhirnya memilih rumah
sebelah kanan dari rumah Lucy. Ia pun mengetuknya.
“Annyeong
hasimnika.” Luna membungkuk sopan saat seorang ajumma membuka pintu rumah yang
ia ketuk. “Saya teman Lucy. Maaf, apa Lucy ada di rumah?” Tak hanya suara yang
lembut, Luna juga memasang senyum di wajahnya.
Ajumma
yang sebelumnya menatap sinis itu pun berujar, “Oh! Temannya Lucy ya. Kamu
salah rumah, Nak.”
“Oh!”
Luna pura-pura kaget. “Salah rumah? Aduh maaf.” Ia membungkukan badan. “Lalu,
rumah Lucy yang mana ya?”
Ajumma
itu keluar dari rumahnya. “Itu!” Ia menuding rumah di sebelah kiri rumahnya.
“Ah!
Terima kasih. Aduh, saya jadi malu. Mohon maaf karena salah mengetuk pintu
rumah.” Luna membungkuk dalam-dalam.
Hami
tertegun menatap adegan yang tersaji di depannya.
“Tapi,
sepertinya rumah itu kosong.” Ujar Ajumma tetangga Lucy.
“Lho?
Kosong?” Kali ini Luna benar-benar terkejut. Bukan berakting terkejut seperti
sebelumnya.
“Surat
izinnya tidak sampai ke sekolah ya?”
“Sampai.
Karena itu kami kemari. Ada tugas kelompok yang harus kami kerjakan. Karena
Lucy tidak masuk hari ini, jadi kami memutuskan ke mari.”
“Sepertinya
Lucy di rumah sakit.”
“Rumah
sakit? Lucy sakit?” Hami tiba-tiba menyela.
“Bukan
Lucy, tapi neneknya. Kemarin saat Lucy pulang, ia menemukan neneknya pingsan di
dapur. Lalu, ia meminta tolong. Kami bergegas membawanya ke rumah sakit.”
“Maaf,
kalau boleh tahu dirawat di rumah sakit mana ya?” Tanya Luna. “Kami akan ke
rumah sakit saja. Agar bisa bertemu Lucy.”
Ajumma
itu menyebutkan nama salah satu rumah sakit.
“Nama
pasiennya siapa?”
Ajumma
itu menyebutkan nama nenek Lucy.
Luna
selesai mencatat informasi di ponselnya. “Terima kasih atas bantuannya. Maaf
karena menganggu waktu Anda. Sekali lagi terima kasih.” Luna membungkuk
dalam-dalam.
Luna
dan Hami berada di dalam bus yang akan membawa mereka ke rumah sakit tempat
nenek Lucy dirawat.
“Anak
teater gitu ya?” Hami tiba-tiba bicara setelah diam sejak keluar dari rumah
susun tempat tinggal Lucy. “Pinter akting. Idenya juga banyak.”
“Nggak
juga. Tadi itu kebetulan aja.”
“Luna-ya,
kenapa kamu sampai seperti ini untuk membantu Jinyoung?”
“Memenuhi
tanggung jawabku aja. Kamu sendiri sebagai anak PMR, kalau liat anak pingsan
trus cuman ditonton aja, apa nggak bakal lakuin kayak yang aku lakuin?”
“Lihat
situasi sih. Tapi, kayaknya bakal lakuin kayak yang kamu lakuin deh.”
“Trus
ngapain tanya?”
“Hehehe.
Ternyata penyelidikan itu nggak gampang ya? Menyita waktu, tenaga, pikiran,
juga materi.”
“Banget!
Makanya nanti aku nggak mau jadi detektif atau polisi.”
“Tapi,
misal nanti kasus ini selesai. Rasa puas itu pasti bikin ketagihan.”
Apa
yang dikatakan Hami benar. Rasa puas setelah penasaran terjawab itu memang
membuat ketagihan.
“Semoga
kita bisa menemukan Lucy di rumah sakit.”
Aamiin…. Luna mengamini
dalam hati.
Sebelum
masuk ke rumah sakit, Luna mengajak Hami mampir ke swalayan yang letaknya tak
jauh dari rumah sakit. Di Indonesia membawa buah tangan ketika menjenguk orang
sakit adalah tradisi, bahkan sebuah keharusan. Karena ini pertama kalinya ia
menjenguk orang sakit di Korea, ia tak tahu bagaimana tradisinya. Tapi, Luna
berpikir pasti sama saja. Karenanya ia mampir ke swalayan untuk membeli sedikit
buah tangan untuk Lucy.
Keduanya
langsung menghampiri meja resepsionis untuk bertanya kamar tempat nenek Lucy
dirawat. Setelah mendapat informasi, Luna dan Hami pun pergi mencari kamar
tempat nenek Lucy dirawat.
Luna
dan Hami kompak melongo. Mereka kecewa. Ketika sampai di ruang rawat inap, Lucy
tak ada di sana. Ibunya mengatakan, Lucy baru saja pulang. Setelah ngobrol
sejenak, Luna dan Hami pun pamit.
Di
dalam bus, Luna dan Hami yang duduk berdampingan dan terdiam. Mereka
menyandarkan kepala pada punggung bangku bus. Ekspresi mereka tampak putus asa.
“Aku
sangat lapar.” Keluh Hami.
“Maaf.”
Luna yang merasa tak enak meminta maaf.
“Ini
kebetulan apa skenario Lucy? Apa untungnya mempermainkan kita? Atau, dia bisa
melihat masa depan? Lalu, mempermainkan kita?”
Luna
tersenyum. “Kamu kebanyakan nonton drama!”
“Sebentar!”
Hami meraih ponselnya dan mulai sibuk dengan benda itu. “Kalau lapar, aku jadi
pengen marah.”
“Hami,
apa yang akan kamu lakukan?” Luna menegakan punggung dan menatap Hami yang
duduk di samping kirinya.
“Hanya
mengirim pesan pada Lucy. Dia pulang, kan? Semoga dia nanti sempat
menengok ponselnya dan membaca semua pesanku.” Hami mengetik pesan dengan
semangat.
“Semalas-malasnya
bermain ponsel, paling tidak sehari sekali masih menengok ponsel, kan? Anggap
saja kemarin dan hari ini dia sibuk dengan neneknya di rumah sakit. Lalu, ada
kesempatan pulang. Aku harap kita mendapat satu persen keberuntungan itu.” Hami
menambahkan.
“Ya,
semoga.” Luna kembali menyandarkan punggungnya pada punggung bangku bus.
“Ngomong-ngomong
besok kamu sibuk ya?”
“Iya.
Kebetulan yang membuatku merasa sangat tak beruntung. Andai tidak ada janji,
besok aku pasti akan mengejar Lucy sampai dapat.”
“Jangan
khawatir. Akan aku lakukan untukmu.”
Luna
menoleh, menatap heran pada Hami.
“Jangan
menatapku seperti itu. Aku juga kesal tau! Tapi, sesibuk apa pun kamu besok,
tolong tetap pantau ponselmu ya. Sedikit apa pun itu informasi yang aku dapat,
akan aku kirim padamu.”
Luna
mengerjapkan kedua matanya, lalu tersenyum. “Baiklah. Terima kasih.”
“Aku
senang jadi bagian dari penyelidikan ini. Hehehe.”
Luna
tersenyum dan menggeleng pelan.
***
Sesampainya
di rumah, Luna langsung membersihkan diri. Lalu, menyempatkan diri untuk makan
malam. Kemudian ia membaca pesan-pesan dalam ponselnya. Ia mengutamakan pesan
dari Woojin, Jaehwan, dan Hami. Ada pesan dari Dinar dan Aro. Luna lebih
tertarik pada pesan Aro. Segera ia membukanya dan membalas pesan Aro.
Jihoon
juga mengirim pesan. Meminta Luna untuk tetap menjaga kondisi. Luna tersenyum
membaca pesan itu. “Aktingmu sudah keterlaluan Park Jihoon!” Ia berbicara pada
ponselnya.
Selesai
membalas semua pesan, Luna berbaring di atas ranjangnya. Menatap langit-langit
kamarnya sambil berpikir tentang Jinyoung dan Lucy. Lalu, ia pun terlelap.
Sabtu
pagi Luna buru-buru pergi untuk melanjutkan tugas yang tidak bisa ia kerjakan
kemarin. Ia pergi untuk membeli buah tangan yang akan ia bawa untuk mengunjungi
rumah keluarga kedua. Usai membeli buah tangan, Luna langsung pergi ke rumah
keluarga kedua. Ia berada di sana hingga sore.
Luna
kembali ke rooftop-nya untuk
memulangkan barang-barang yang ia bawa dari rumah keluarga kedua. Usai
membersihkan diri dan berganti pakaian, Luna pun pergi untuk menghadiri
pertemuan Klub Anak Rantau.
Pertemuan
Klub Anak Rantau selesai pada pukul delapan malam. Karena merasa lelah, Luna
memutuskan untuk segera pulang. Tapi, di tengah jalan Hami menghubunginya dan
meminta bertemu. Luna pun pergi untuk menemui Hami.
Setelah
hari yang panjang itu, Luna pulang ke rooftop-nya.
Ia tak pernah merasa selelah itu di akhir pekan. Sedang esok ia masih ada janji
dengan Jihoon.
Luna
menjatuhkan tubuhnya dengan frustasi ke atas ranjang. “Aku benar-benar nggak pengen
jadi polisi dan detektif."”Ujarnya dengan tatapan tertuju pada
langit-langit kamar. Tak lama kemudian, ia pun terlelap.
***
Jihoon
berlari kecil, menghampiri Luna yang sedang duduk di sebuah bangku di tepi
jalan. Ia mengamati Luna yang duduk sambil melamun. Gadis itu terlihat
kelelahan.
“Seonbae,
baik-baik aja kan?” Sapa Jihoon.
“Oh!”
Luna tersadar dari lamunannya. “Jihoon-aa, kapan sampai?”
“Baru
aja. Wah, Seonbae benar melamun.”
Luna
tersenyum lesu. “Mian.”
“Lelah
sekali?”
“Mm.”
Luna mengangguk.
“Apa
sebaiknya kita pulang dan menghabiskan waktu di rooftop aja?”
“Nggak
papa kok. Aku juga butuh udara segar. Tapi, nggak jadi ke toko buku.”
“Lho?
Kenapa?”
“Waktu
kita bisa habis di sana. Bukan ide baik mengajakmu ke toko buku. Sekarang, apa
yang akan kita lakukan?”
“Apa
yang akan kita lakukan?”
“Mm!”
Luna mengangguk. “Aku terserah kamu.”
Jihoon
jadi bingung. Tidak tahu harus mengajak Luna melakukan apa. Sebelumnya ia
berpikir pasti akan seru mengajak Luna bermain-main di game zone. Tapi, saat sampai di tempat janjian, ia jadi memikirkan
ulang rencananya itu.
“Enaknya
ngapain ya?” Jihoon balik bertanya.
“Terserah
kamu aja.” Luna pasrah.
“Mm,
karena sudah sampai di sini, bagaimana kalau kita nonton? Bioskop udah buka.”
“Boleh.”
“Baiklah.
Kita nonton. Lalu, memikirkan rencana selanjutnya sambil jalan.”
“Oke.”
Luna bangkit dari duduknya.
“Oke.
Ayo!”
Jihoon
dan Luna berjalan berdampingan menuju bioskop. Sambil jalan mereka ngobrol
tentang film apa yang akan mereka tonton. Tak lupa Jihoon menanyakan tentang
perkembangan penyelidikan. Saat itu Luna kembali mengeluh jika ia tak ingin
menjadi polisi atau detektif karena dua pekerjaan itu sangat menyita tenaga,
waktu, materi, dan pikirannya. Jihoon tersenyum mendengar alasan Luna.
Mereka
pun sampai di bioskop. Jihoon dan Luna melihat-lihat poster film yang tayang
hari ini. Ada 30 menit tersisa sebelum film dimulai. Usai memilih satu judul
film, Jihoon pun membeli tiket. Luna yang menunggu terlihat sibuk dengan
ponselnya.
Jihoon
menghampiri Luna dengan membawa dua tiket, satu cup popcorn, dan dua gelas minuman. Luna membantu membawa gelas dan popcorn. Keduanya pun masuk ke dalam
bioskop. Hari ini mereka sepakat menonton sebuah film horor barat.
Jihoon
antusias. Ia memempersilahkan Luna duduk di bangku yang dekat dengan tembok.
Lalu ia duduk di samping kiri Luna.
“Sebenarnya
aku takut hantu lho!” Luna yang sudah duduk di bangkunya.
“Eh?
Tapi, beberapa tulisan Seobae itu?” Jihoon merasa ada yang salah pada
pernyataan Luna.
“Kamu
baca?”
“Iya.
Kan ada yang Bahasa Inggris. Jadi, aku baca.”
“Fiksi
kok itu.”
“Benaran?
Kok banyak yang komentar itu kisah nyata?”
“Berarti
aku sukses nulisnya. Iya, kan? Sampai-sampai pembaca percaya itu kisah nyata.”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk.
“Nanti
kalau aku ketakutan, jangan kaget kalau aku tiba-tiba memukulmu ya.” Luna
memperingatkan.
“Eh?”
Jihoon kaget. “Mm, nggak papa. Seonbae bisa gunakan lenganku. Aku kan pria yang
kuat.”
“Janji
nggak menyesal?”
“Iya.”
“Oke.”
Luna setuju. Ia tersenyum dan meminum coklat pemberian Jihoon.
Jihoon
menghembuskan napas. Ia harus siap jika nanti lengan kanannya menjadi sasaran
ketakutan Luna.
Film
pun dimulai. Jihoon dan Luna sama-sama fokus pada layar bioskop. Karena genre
horor, tak jarang penonton turut menjerit saat ada adegan yang mengejutkan.
Jihoon menoleh ke arah kanan, memperhatikan Luna. Gadis itu sama sekali tak
menyentuh lengan kanannya yang sudah ia serahkan secara suka rela.
Luna
fokus menatap layar bioskop, tapi kedua tangannya menutup kedua telinga.
Ekspresi gadis itu berubah ketika ada adegan mengejutkan dalam film. Tapi,
hanya ekspresinya. Kedua tangannya tak beralih dari menutup telinga.
Jihoon
tersenyum melihat tingkah Luna. Hingga film selesai, lengan kanannya aman dari
serangan Luna.
“Masih
ada waktu?” Tanya Jihoon.
“Mm.”
Luna mengangguk.
“Kita
jalan-jalan?”
“Oke.”
Selanjutnya
Jihoon dan Luna berjalan-jalan saja. Menyusuri jalanan yang ramai pejalan kaki di
akhir pekan. Mereka membahas film yang usai mereka tonton.
“Sebenarnya
yang bikin kaget kan efek suaranya. Itu kenapa aku menutup kedua telingaku.
Jadi, aman. Tinggal merem aja kalau takut.” Luna menjelaskan alasan kenapa ia
menutup kedua telinganya hampir sepanjang waktu ketika menonton film. “Apalagi
kalau di bioskop.”
“He’em.
Benar juga. Lega rasanya. Lenganku selamat.” Jihoon bermaksud bercanda.
“Hehehe.
Aku tidak sefrontal itu. Tapi, kalau film komedi, sudah pasti aku akan menyusahkan
orang di sekitarku.”
“Kenapa?”
“Saat
aku tertawa, pasti aku menepuk, ah lebih tepatnya memukul seseorang yang ada di
sampingku. Kedua oppaku sampai jengkel kalau nonton film komedi bersama.”
“Wah,
kalau begitu aku harus menghindari film komedi saat nonton bersama Seonbae.”
“Betul
sekali!”
Jihoon
dan Luna masuk ke sebuah kafe. Mereka maju ke meja konter kafe, untuk memesan.
Keduanya sedang merundingkan ingin pesan apa ketika seorang pelayan kafe
menghampiri.
“Mau
pesan apa? Oh, Seonbae?” Daniel yang berada di balik meja konter terkejut
melihat Luna.
“Oh!
Kang Daniel? Wah, jadi di sini ya kerja paruh waktunya?” Luna mengamati kafe
tempat Daniel bekerja paruh waktu. “Woa! Keren!”
Daniel
tersenyum melihat Luna. Ia lalu menatap Jihoon yang berdiri di samping kanan
Luna. Pemuda itu menatapnya dengan datar. “Kalian berkencan?”
“An—“
“Iya.”
Luna
dan Jihoon menjawab bersama. Daniel tersenyum dibuatnya.
“Hanya
jalan-jalan.” Luna meralat.
Daniel
tersenyum. “Kencan pun tidak apa-apa. Toh kalian memang pasangan, kan?” ia
menggoda Luna.
Luna
tersenyum kikuk. “Oya, minuman terbaik di sini apa? Aku bingung harus pesan
apa.”
“Mm,
Seonbae suka yang berbau coklat kan? Coba saja ini.” Daniel menunjuk daftar
menu yang ada di atas meja konter.
“Baik.
Aku coba itu. Jihoon, kamu mau pesan apa?”
Jihoon
menatap buku menu, lalu menentukan pilihannya. Ia memesan minuman untuk dirinya
dan dua cake untuknya dan Luna.
“Kali
ini biar aku!” Luna hendak mengambil alih tugas membayar. Tapi, Jihoon
menahannya.
“Aku
yang ngajak Seonbae jalan. Jadi, semua harus aku yang tanggung. Bukankah pria
harus seperti itu?”
Daniel
yang mendengarnya pun tersenyum.
“Aku
lebih suka gantian. Laki-laki atau perempuan kan sama aja.” Luna berkomentar.
“Seonbae
harus hemat. Kan hidup jauh dari orang tua.”
“Aku
nggak seboros itu kali!”
“Baiklah.
Lain kali gantian. Tapi, untuk hari ini aku aja ya.” Jihoon membayar tagihan.
“Terima
kasih. Silahkan tunggu di meja, nomer berapa?” Tanya Daniel.
Luna
mengamati bagian dalam kafe, mencari meja yang kosong. “Nomer sebelas.”
“Baiklah.
Silahkan tunggu di meja nomer sebelas. Kami akan mengantar pesanannya.”
“Terima
kasih.” Luna dengan nada riang lengkap dengan senyum ketika mengucap terima
kasih pada Daniel.
“Nee.”
Daniel membalas senyum.
Jihoon
dan Luna berjalan menuju meja nomer sebelas. Mereka duduk dan menunggu pesanan.
“Jihoon-aa,
apa kita sebaiknya mentraktir Kang Daniel?” Tanya Luna.
“Nee?”
Jihoon kaget mendengar pertanyaan Luna. Ia bahkan tak bisa menjawabnya.
Luna
pun tersenyum. “Mana bisa dia duduk-duduk dan minum bersama kita. Dia kan lagi
kerja. Aku tadi hanya teringat salah satu adegan dalam drama Cheese in Trap.”
“Eh?
Drama?”
“He’em.
Saat Yoojung bertemu Seol di kafe tempat Seol bekerja. Yoojung membeli dua
gelas minuman. Satunya diberikan pada Seol. Lucu ya.”
Jihoon
mengulas sebuah senyum. Senyum yang jelas tak tulus. "”eonbae suka nonton
drama juga?”
“Karena
geng Pretty Soldier ramai
membicarakan drama itu di chat grup. Aku jadi penasaran. Nonton deh. Mereka
tergila-gila pada Baek In Ho.”
Jihoon
tersenyum. Ia menghela napas, masih menatap Luna. “Seonbae, kenapa memilih
nomer sebelas?”
“Mm??”
“Meja
ini.”
“Memangnya
kenapa kalau nomer sebelas? Angka sialmu ya?”
“Anee.
Angka sebelas adalah angka favoritku. Aku pikir Seonbae memilihnya karena
Seonbae tahu itu angka favoritku.”
“Oh!”
Luna tertegyn sejenak. “Tapi, maaf. Bukan karena itu. Aku nggak tahu kalau
angka sebelas adalah angka favoritmu. Aku memilih meja ini karena posisinya
nyaman. Mian.”
Jihoon
tersenyum manis. “Gwaenchana. Ini kebetulan yang membuatku sangat senang.
Gomawo.”
Luna
melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Wah,
sebentar lagi!” ekspresinya antusias.
Jihoon
ikut mengamati sekitar. Lalu, menghela napas.
***
Jihoon
mengantar Luna pulang. Ia turun dari mobil yang membawa mereka. Mengantar Luna
sampai ke depan rooftop.
“Terima
kasih untuk hari ini.” Luna membungkukan badan. “Maaf jika tadi entah sengaja
atau tidak, aku mungkin membuatmu kesal. Karena, hari ini tak berjalan sesuai
rencanamu.”
“Anee.
Aku sangat senang hari ini.” Jihoon masih dengan wajah berseri-seri itu. “Hari
ini hari yang penuh kejutan. Terima kasih sudah mengizinkan aku menjadi bagian
dari hari ini.”
“Mm?”
“Seonbae
bersedia menghabiskan waktu denganku hari ini. Dan, kita menghabiskan waktu
bersama. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Seonbae. Untuk kita.”
Luna
tersenyum.
“Lain
kali boleh kita pergi bersama lagi?”
“Mm.
Boleh.”
“Ke
toko buku. Kan tadi gagal.”
Luna
mengangguk.
“Baiklah.
Aku pergi. Seonbae lekas istirahat. Bersiap untuk besok.”
“Hari
Senin ya? Benar. Harus mengisi baterai sampai full malam ini. Kamu juga, saat sampai di rumah lekas istirahat.”
“Nee.”
Jihoon
masih berdiri di depan Luna. Luna pun diam di depan Jihoon. Ia bingung kenapa
pemuda itu tak kunjung pergi. Suasana jadi kikuk.
Luna
menatap Jihoon, memberi isyarat apa pemuda itu akan berdiri saja di sana.
Jihoon
tersenyum malu-malu. “Baiklah. Aku pulang.”
Luna
merasa lega mendengarnya. “Oke.”
Jihoon
menatap Luna. Lalu, ia mencium pipi kiri Luna.
Luna
terkejut ketika Jihoon tiba-tiba mencium pipi kirinya. Ia membeku di tempatnya
berdiri. Namun, tubuhnya tiba-tiba terasa hangat. Jantungnya pun berdetub dua
kali lebih cepat.
Jihoon
menegakan badannya. Ia tersenyum melihat wajah Luna yang dihiasi semburat
merah.
“Aku
pergi. Semoga mimpi indah.” Jihoon tersenyum pada Luna, lalu membalikan badan,
dan berjalan pergi. Meninggalkan Luna yang masih berdiri mematung di depan
pintu masuk rooftop.
***
0 comments