Perjalanan Ke Jogja Hari Kedua 7 Juli 2018.
06:30
Perjalanan Ke Jogja Hari Kedua 7 Juli 2018.
Pantai Parangtritis, Parangkusumo, Gumuk Pasir, dan Kampoeng
Mataraman.
Walau usai menempuh perjalanan selama 7
jam di kereta. Lalu, malam harinya jalan-jalan sampai pulang hampir tengah
malam. Tidurku juga lelap. Lalu, mungkin di otak udah terekam kudu bangun pagi,
pukul setengah empat pagi udah bangun. Selesai adzan subuh langsung keluar
kamar dan mandi. Coba kalau di Malang jam segitu, masih dingin. Di Jogja airnya
nggak dingin. Tidur aja nggak pakek selimut karena ongkep. Hehehe.
Tur pertama di hari kedua di Jogja
dimulai di pagi buta. Pukul lima pagi apa setengah enam gitu ya, lupa tepatnya.
Hehehe. Maaf. Kami udah memulai tur menuju Paris aka Parangtritis.
Senengnya bangun pagi di tempat asing
adalah melihat bagaimana kehidupan pagi di sana. Sepanjang perjalanan menikmati
suasana pagi itu. Hampir sama kayak di Malang sih. Jalan raya juga masih
lenggang. Dan, lagi-lagi sambil nostalgia perjalanan di tahun 2013.
Nyampek Parangtritis masih pagi banget.
Lalu, kami jalan kaki ke ujung... itu kalau nurut aku selatan. Yang pasti ke
sisi kiri dari pintu masuk pantai. Sepagi itu udah ramai lho. Banyak yang udah
main bahkan mandi di pantai. Basah-basahan. Tiba-tiba aku merasa dingin liat
orang main air di pagi buta.
Dengan bertelanjang kaki—sandalnya di
titipin ke ibu-ibu yang jualan minuman langganannya Mbak Ayu—kami berjalan
menyusuri pasir yang ya lumayan dingin terasa di kaki. Namanya anak gunung ya,
jalan-jalan pagi di pantai tentu saja jadi pengalaman pertama buatku dan Thata.
Ternyata jalan-jalan pagi di pantai sama sejuknya kayak jalan pagi di tempat
tinggal (baca: desa) kami di Malang.
Karena masih pagi, di tempat yang akan
kami tuju masih berkabut. Itu kelihatan dari tempat kami yang terus berjalan
mendekat. Lumayan jauh jalan kakinya. Kira-kira setengah jam lah. Itu kenapa
Mbak Ayu ngajak perginya pagi-pagi. Biar nggak panas. Kebayang kan gimana jalan
sejauh itu di tengah hari yang terik. Pagi hari di pantai sinar mataharinya
udah terik lho! Itu yang aku rasain pas perjalanan balik. Padahal baru pukul
setengah delapan pagi.
Lelah langsung hilang ketika sampai di
lokasi. Hening dan tenang, bahkan sedikit berkabut. Untungnya air sudah surut.
Jadi, kami mendekat ke lokasi yang kami inginkan. Bener kata Mbak Ayu, di
tempat itu sering digunakan untuk ritual. Saat kami sampai, ada kembang sisa
ritual. Aku pun segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual.
Thata jalan-jalan menjauh sama Buk Yah.
Aku ritual ditemenin Mbak Ayu. Emang sengaja minta didampingi. Karena ini pertama
kalinya ritual tanpa didampingi Tunjung. Jadi, rasa takut dan khawatir pasti
ada.
Aku pun duduk bersila di atas pasir
yang sedikit basah dan dingin. Di sini aku nyesel kenapa ke pantai pakek celana
panjang. Hehehe. Aku pun mulai bermeditasi seperti yang disarankan Nyai.
Meditasi di pinggir pantai di pagi yang
sejuk dan tenang, subhanallah. Nikmat banget. Nggak perlu bantuan musik
instrumental udah bisa cepet konsentrasi.
Ada pengalaman lucu nih. Pas meditasi,
fasenya masih atur napas dan mulai fokus. Ketika tubuh dan pikiranku mulai
tenang, samar-samar aku mendengar suara andong. Awalnya jauh. Tapi, lama-lama
makin dekat dan dekat. Konsentrasiku terganggu dong. Ini andong beneran apa
andong-andongan? Karena parno, aku segera membuka mata. Oh, ternyata andong
beneran. Wkwkwk.
Iya lah parno. Itu di pantai selatan
lho! Dan, lagi disuruh ritual sama Nyai. Tiba-tiba denger suara andong. Jelas
parno lah. Ternyata andong beneran. Hahaha. Padahal kayake sebelumnya ndak ada
andong yang nyampek ke titik itu. Tapi, nggak tahu juga sih. Sapa tahu bekas
roda andong dan kaki kudanya tersapu ombak. Bisa aja kan? Lagian ge-er banget
akunya. Berasa mau disamperin sapa aja naik kereta kuda. Heuheuheu.
Karena sempat terganggu pun mulai
proses meditasi dari awal. Ini pengalaman pertama meditasi yang bener-bener di
luar ruangan dan jauh dari tempurung kura-kura. Selama ini kan paling meditasi
di luar ya di atap markas. Kalau yang bener-bener di luar dan jauh dari
tempurung kura-kura juga markas ya baru pertama kali ini.
Sensasinya gimana? Subhanallah. Luar
biasa banget! Gampang konsentrasi karena dibantu musik alam berupa deburan
ombak. Pokoknya sensasinya luar biasa. Nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Hehehe. Biasanya di dalam tempurung kura-kura cuman sepuluh menit. Itu bisa
lebih. Semakin lama semakin damai rasanya. Subhanallah. Alhamdulillah banget
dikasih kesempatan nikmatin indahnya pagi di Parangtritis dan dikasih
kesempatan bermeditasi di sana.
Setelah meditasi, badan dan pikiranku
terasa ringan. Terasa plong. Kayak nggak ada beban. Kembali ku hirup udara pagi
dalam-dalam. Subhanallah. Bener-bener nikmat.
Buk Yah dan Thata kembali beberapa
menit setelah aku selesai meditasi. Thata nunjukin foto selca dia. Aduh, keren
banget. Aku jadi pengen foto juga. Karena beneran ritual, nggak ada foto pose
meditasi di tempat ritual yak. Hahaha. Iya, bener. Kalau foto pose meditasi di
hutan pinus itu cuman buat contoh ke temen-temen di grup. Contoh kalau meditasi
kayak gitu aku biasanya. Hehehe.
Kembali ke tempat Thata sebelumnya
foto-foto. Karena airnya udah surut, aku pun memberanikan diri mendekati batu
karang untuk berfoto di sana. Tentu aja permisi dulu. Di tempat itu view-nya
emang bagus banget. Tapi, nuansa magisnya juga terasa kental banget. Jadi, ya
gimana sopan santunnya kita. Apa-apa kudu nuwun sewu dulu.
Udah nyampek di batu karang dan siap
berpose. Tiba-tiba aku melihat ombak bergulung-gulung mendekat. Aku takut lah.
Lari ke pinggir, tapi kayak dikejar terus sampai mepet tebing dan yah nggak
bisa lari lagi. Ombak itu sukses membasahi kaki bahkan celanaku. Mungkin gini
kali ya, udah nyampek sini kok nggak nyentuh air jadi sini tak sentuh biar
basah. Hehehe.
Ombak pun datang bertubi-tubi. Karena
ombaknya makin gede, kami pun memutuskan kembali. Aku pun berterima kasih,
berpamitan lalu pergi.
Saat Tunjung ke markas, aku kasih liat
dia foto-foto pas di Parangtritis. Dia suka foto yang paling atas. Aku juga
suka sih. Kata Tunjung, “Ini lho di sampingmu ada ular gede. Dia jalan di
sampingmu.”
“Ha? Ular gede?”
“Iya. Ini lho!” Tunjung nunjuk foto,
jari telunjuknya meliuk-liuk menirukan bentuk ular yang katanya berjalan di
samping kiriku.
“Wuik! Jahat nggak? Ngapain jalan di
samping aku?”
“Nggak lah. Nggak jahat dia. Ya kayak,
say hello dan selamat datang gitu.”
“Wow. Warnanya apa? Ijo?”
"Bukan. Ungu."
"Ungu? Cantik dong?"
"Emang. Pokoknya di situ banyak
yang nyapa kamu andai kamu bisa liat."
"Cantik-cantik dong ya?"
"Iya lah. Ada yang putri."
"Ya ampun! Itu itu pas aku duduk
di tepi pantai, masa anginnya kenceng banget. Kayak kipas angin guede yang di
arahin ke kami."
"Ya itu pada nyapa."
"Atau emang pantai kalau pagi
anginnya gede gitu kali ya?"
"Bisa jadi."
"Hehehe."
"Beda tho ya kalau dateng dapat
undangan dan dateng dengan niat sendiri?"
"Iya. Itu kayak dimudahin gitu
segalanya."
"Ya gitu deh."
Waktu kami jalan balik, matahari udah
terbit. Itu rasanya pasir udah anget cenderung panas. Mataharinya juga udah
terasa terik. Padahal baru pukul setengah delapan seingatku. Jalan baliknya
justru terasa lebih lama dari pada pas berangkat.
"Sekarang saya tahu kenapa Cress
sampai kakinya luka-luka pas jalan di padang pasir. Ternyata jalan di pasir itu
nggak mudah. Itu Cress di novel Cress. Kakinya sampai luka jalan di gurun.
Ternyata emang nggak gampang jalan di atas pasir yang panas." Aku ngoceh
sendiri sambil terus berjalan.
"Ayo agak dekat ke pantai. Kan
pasirnya masih padat. Biar nggak terlalu capek." Mbak Ayu ngajak jalan
lebih deket ke pantai. Beneran, pasirnya masih agak basah dan padet. Jadi kayak
jalan di atas tanah biasa. Nggak terlalu capek.
Kami berhenti di ibu-ibu penjual
minuman langganannya Mbak Ayu. Yang lain pada ngopi, saya pesen teh anget.
Hehehe. Mbak Ayu juga nyewa tikar dan payung. Kami duduk menghadap laut. Aku
sambil menikmati teh anget dan cilok. Sambil berjemur juga. Habis jalan-jalan,
berjemur matahari pagi. Komplit dah. Andai deket, pengennya tiap hari kayak
gitu. Hehehe.
Saat kami duduk, ngopi dan ngeteh
sambil ngemil di tepi pantai. Suami dari ibu yang jualan minuman menghampiri
kami untuk menyapa. Keluarga kecil itu emang udah akrab sama Mbak Ayu. Lalu,
bapaknya cerita. Kata bapaknya, sekitar seminggu yang lalu—seminggu sebelum
kami datang—ada orang tenggelam lagi. Dua orang katanya. Bapak-bapak sama
anaknya. Bapaknya ketemu, tapi anaknya nggak.
Waktu kami di sana aja ombaknya emang
gede. Dan, sisa airnya itu sampai jauh ke daratan. Payung-payung yang biasa
disewakan sampai dibongkar dan dipasang jauh lebih mundur. Kata bapaknya
belakangan air pasangnya agak jauh menjorok ke darat.
Terlepas dari mitos adanya hal berbau
mistis yang jadi penyebab tenggelamnya pengunjung, ada penjelasan di salah satu
papan bahwa ada arus bawah laut atau apa gitu. Aku bacanya nggak begitu jelas,
soalnya dari atas mobil yang melaju pelan. Nah, arus itu yang kadang kalau
orang keseret udah nggak bisa lepas karena ada macem palung juga di dalamnya.
Makanya sebenernya di Parangtritis itu katanya nggak boleh mandi. Ya boleh lah
main air basah-basahan. Tapi, nggak boleh terlalu ke tengah.
Saat enak-enak duduk ini tiba-tiba
anginnya berhembus kenceng. Aku nggak tahu ya apa angin pagi di laut emang
kayak gitu. Makin lama makin kenceng. Apalagi kayak kipas angin gede yang di
arahin ke kami. Akhirnya kami memutuskan pergi, melanjutkan tur.
Selesai membersihkan diri di kamar
mandi tempat mobil parkir, kami pun melanjutkan perjalanan ke Parangkusumo. Di
catatan sebelumnya aku udah cerita kan kalau Mbak Ayu sempet dibikin KO. Nah,
itu pas Mbak Ayu sama Nyai bahas Parangkusumo.
Jadi gini, dari awal dikasih tahu
daftar tempat yang harus aku kunjungi saat di Jogja, aku udah merasa aduh
gimana ya, keberatan lah waktu baca ada Parangkusumo. Setahuku sih pantai ini
lebih wingit dari Parangtritis. Sering digunakan untuk ritual karena emang
pusat energi gaibnya, katanya hebat. Bahkan, katanya ada gerbang gaibnya juga.
Apalagi pas nonton Kak Ana Cikey di videonya yang di Parangkusumo, Kak Ana
kayak terseret gitu kan. Itu Kak Ana yang udah mumpuni aja hampir terseret.
Apalagi aku?
Akhirnya Nyai rundingan sama Mbak Ayu,
rencananya mau skip Parangkusumo. Nah, yang di Parangkusumo nggak terima.
"Udah ke sini kok nggak mampir," kira-kira begitulah protesnya.
Karena Nyai juga nggak tega melepas aku
sendiri di sana, akhirnya Nyai mencoba negosiasi. Alhamdulillah bisa. Tapi,
disuruh lewat sana dan ngucap salam. Tanpa turun ke pantainya.
Mobil melaju pelan saat melewati
Parangkusumo. Aku pun melakukan seperti apa yang diperintahkan Nyai. Di
Parangkusumo udah berubah. Tahun 2013 lalu nggak ada bangunan di tepi pantai.
Sekarang ada. Tapi, tetep mempesona. Alhamdulillah misi ke Parangtritis dan
Parangkusumo lancar. Tujuan berikutnya adalah Wisata Gumuk Pasir.
Sebenarnya banyak sekali titik gumuk
pasir. Dari perjalanan berangkat menuju Parangtritis, ada beberapa titik gumuk
pasir. Tapi, Mbak Ayu milih gumuk pasir yang ada taman bunga mataharinya. Woa!
Mau!!!
Mobil melaju di jalan yang dari jalan
itu kita masih bisa lihat pantai. Jadi keinget Sendang Lamongan. Hiks!
Kami pun tiba di gumuk pasir yang
dimaksud Mbak Ayu. Aku googling sih nemunya itu Gumuk Pasir, Parangkusumo.
Padang pasir yang memiliki taman bunga. Seingatku bayar parkir aja masuknya.
Tapi, kalau mau ke taman bunga bayar lagi. Rp. 5.000,- per orang.
Lagi-lagi jalan di atas pasir kering
itu tidak mudah sodara! Apalagi ini pasirnya bener-bener kering dan matahari
udah kerasa terik walau baru pukul sembilan pagi. Kami jalan, naik ke atas. Di
atas ada banyak pohon cemara. Nggak tahu cemara jenisnya apa. Pohonnya nggak
tinggi-tinggi amat.
Di hutan cemara itu ada gazebo dan
beberapa spot buatan yang selfieable. Trus ada menara bambu yang tinggi banget.
Kayaknya dari atas sana bisa liat laut yang luas. Sayangnya aku nggak jadi naik
karena Thata ngajak masuk ke taman bunga dan di foto dari atas menara.
Dari atas menara, taman bunga itu
terlihat jelas kalau bentuknya hati. Perpaduan bunga matahari dan bunga jengger
ayam berwarna kuning dan merah. Walau bunga mataharinya udah banyak yang
rontok, tapi masih cantik kok.
Turun lagi, bayar tiket masuk, dan
berjalan-jalan di tengah-tengah kebun bunga. Menyusuri jalan setapak di
tengah-tengah tanaman bunga matahari itu berasa kayak jalan di labirin. Hehehe.
Tapi, ini cuman searah. Jadi, nggak akan tersesat. Cuman kalau jalan hati-hati.
Aku kesandung saluran air yang digunakan untuk menyirami bunga-bunga karena
jalan sambil bikin video. Hehehe.
Puas bermain-main di gumuk pasir, kami
melanjutkan perjalanan. Dari gumuk pasir ini nglewatin jalan yang indah banget.
Melewati pantai Cemoro Sewu juga. Nah, setelah pantai Cermor Sewu ini jalannya
indah banget. Kanan dan kiri jalan pohon cemara hijau. Jalannya lurus di
tengah. Sumpah ini indah banget. Sayang aku nggak turun untuk foto dan saking
terkagum-kagumnya sampai lupa nggak ngambil fotonya dari dalam mobil. Jalannya
tuh kayak jalan-jalan di Inggris gitu. Jalan ke kastil. Ah, keren pokoknya!
Silahkan googling aja. Ada kok gambarnya. Hehehe.
Perjalanan berlanjut. Niatnya mampir ke
pasar ikan segar. Tapi, karena masih terlalu pagi jadi batal. Lanjut menuju
Kampoeng Mataraman untuk makan siang. Tadi sarapannya udah di Parangtritis. Teh
anget sama cilok plus ngemil kacang tanah rebus. Kenyang suer. Hehehe.
Kampoeng Mataraman ini rumah makan
konsep ndeso. Jadi, kita seolah-olah bertamu ke rumah orang Jogja, lalu
disuguhi makan di pawon mereka. Disuruh embuh (ngambil) nasi dan lauk sendiri.
Lokasinya asri dan namanya konsep ndeso pastilah sejuk. Masakan yang disajikan
pun khas ndeso. Para pramusaji pun dandan khas ndeso. Di sini sama ketemu
wedang jahe. Betapa senangnya.
Setelah ngambil menu makanan, kita
bebas mau duduk di mana. Kami milih duduk di meja dan bangku kayu di bawah
pohon yang menghadap ke kolam. Di dalam kolam, banyak bunga teratai berwarna
pink. Teratai ini yang menarik perhatianku saat mobil terparkir.
Di dekat meja kami ada jembatan kayu
yang selfieable banget. Karena kami datang di jam makan siang, suasana cukup
ramai. Di jembatan pun ramai orang gantian selfie. Kita mah bodo amat. Penting
makan. Hahaha. Thata yang foto di jembatan. Aku nggak. Panasnya terik banget.
Jadi, aku duduk aja sambil nikmatin wedang jahe.
Usai makan siang, perjalanan selanjutnya
adalah pulang dan istirahat. Di tengah perjalanan pulang, Mbak Ayu membelikan
kami rujak es krim. Wah, kayak gimana tuh? Kata Mbak Ayu sih rujak buah yang
dikasih es krim. Itu bumbu rujaknya ndadak nggerus lho alias fresh.
Nyampek rumah buka rujak es krimnya dan
setelah mencicipi, oh ternyata macem rujak gobet gitu trus atasnya dikasih es
krim. Enak banget. Fresh banget.
Selesai dengan rujak es krim, kami pun
istirahat. Jadwal tur berikutnya dimulai pukul tiga sore.
Pabrik Coklat Monggo, Kotagede - Yogyakarta.
Sebenarnya Pabrik Coklat Monggo ini
sebelumnya tidak masuk dalam daftar tempat wisata yang akan dikunjungi yang
disebutin Mbak Ayu. Coklat Monggo emang jadi oleh-oleh wajib, tapi biasanya
belinya di mall. Tiba-tiba Mbak Ayu ngajak ke tempat pembuatannya langsung di
Kotagede. Seneng dong aku. Hehehe.
Tempatnya nyempil. Beneran di dalam
kampung, lewat pasar tradisional dan jalan kampung. Nglewatin Makam Raja-raja
Mataram juga. Lalu, sampailah kami di Pabrik Coklat Monggo.
Tempatnya emang nyempil. Di pojokan.
Tapi, seru tempatnya. Asri dan tenang banget. Juga pasti selfiable. Kalau masuk
ke dalam, kayaknya bisa dapet free sample coklat. Aku kan duduk nungguin, nggak
ikut masuk. Itu waktu ada anak kecil masuk, dikasih coklat sama mbak-mbak
pramusaji. Tapi, Mbak Ayu nggak dapet. Hmm, mungkin khusus anak-anak aja kali
ya. Hehehe. Bangunan gerainya mungil, tapi unik. Di dalam juga selfiable.
Selesai memborong coklat, ini Mbak Ayu
yang memborong coklat. Hehehe. Perjalanan pun berlanjut ke Tebing Breksi.
Tebing Breksi.
Waktu istirahat, sempet googling
tentang Tebing Breksi. Tempatnya seru ternyata. Cocok untuk menikmati senja.
Aku bayanginnya mungkin ntar bakal kayak di Puncak Bidadari yang ada di Coban
Bidadari gitu. Antusias banget! Siapa sih yang nggak tertarik sama aktifitas
menangkap senja? Seru banget pastinya.
Usai perjalanan panjang dengan jalan
yang lumayan menanjak. Akhirnya kami sampai di lokasi Tebing Breksi.
Ternyata... tempatnya mirip GWK di Bali. Bukit kapur yang dikelola jadi tempat
wisata. Jadi keinget Sendang lagi. Heuheuheu...
Saat masuk area parkir, ada mbak-mbak
cantik yang menyambut. Untuk parkir tarif memang sudah ditentukan. Tapi, untuk
tiket masuk kita sendiri yang menentukan. Kata mbaknya, seikhlasnya. Keren ya.
Mungkin karena belum jadi 100% itu kali ya. Tapi, bangunan kafetaria udah
bagus. Toilet bagus. Udah ada mushola juga. Apa emang sistimnya dibikin gitu
ya? Keren dong kalau gitu.
Usai parkir mobil, kami jalan kaki
menuju kafetaria. Karena masih terik, niatnya duduk-duduk dulu di kafetaria.
Nunggu senja datang lalu naik ke atas bukit untuk menangkapnya.
Aku 100% baik saat dalam perjalanan
menuju Tebing Breksi hingga jalan kaki untuk mencapai kafetaria yang ada
di atas. Tapi, sesuatu terjadi ketika aku sampai di kafetaria. Tubuhku
tiba-tiba terasa ringan. Ada apa ini? Aku berusaha mengendalikan diriku.
Menggerak-gerakan jari-jari kakiku agar tetap stabil. Lalu, segera duduk.
Sambil duduk, aku mengatur napas.
Bagaimanapun juga aku harus tenang. Walau pandangan udah mulai kabur dan
telinga mulai berdenging. Aku mengeluarkan minyak kayu putih dan menghirupnya.
Masa iya aku anxie? Aku udah makan dan minum cukup lho sebelum pergi. Bukan ini
bukan anxie. Aku terus bersholawat dan berusaha mengendalikan diriku yang mulai
nggak fokus.
Ketika teh hangat pesananku tiba, aku
mulai menyesapnya pelan-pelan. Kalau emang itu anxie. Inshaa ALLOH kena teh
hangat manis bakalan membaik. Tapi, nggak ada perubahan. Muncul rasa mual dan
pusing. Aku merasa ada di ruangan terpisah walau sekitarku ramai. Aku denger
Mbak Ayu ngajak aku ngobrol, tapi aku makin nggak bisa fokus. Tuhan, tolong
aku.
Terus bersholawat, istighfar. Nggak
lupa juga meminta maaf kalau-kalau tingkahku kurang sopan. Mbak Ayu yang
khawatir lihat perubahanku, berusaha nelpon Nyai. Tapi, Nyai nggak kunjung
nerima panggilan Mbak Ayu.
Sambil duduk, terus berusaha menguasai
diri sendiri. Dengan pandangan blur, aku mengirim pesan pada Nyai. Terus meminum
teh hangat berharap kondisi akan segera membaik. Satu gorengan yang tersisa pun
aku embat. Walau pandangan masih blur dan nggak fokus, telinga denging, tetep
makan. Sapa tahu aku emang kurang glukosa. Tapi, nggak ada perubahan.
Aku memutuskan ke toilet. Di dalam
toilet, aku balurin perut sama minyak kayu putih. Kali aja aku masuk angin.
Tapi, badanku masih berasa nggak enak. Aku coba alihin dengan liat Thata yang
sibuk selfie. Lalu, karena nggak kuat. Aku memilih duduk di tangga, ditemani
Buk Yah. Mbak Ayu nemenin Thata selfie di ikon Tebing Breksi. Itu tu tangga
yang ada ular naganya. Ramai banget, jadi kalau mau selfie kudu ngantri.
Aku duduk aja. Jadi penonton. Kepala
masih sakit, mata juga masih blur, telinga kayak ketutup sesuatu. Aku di sana,
tapi rasanya nggak di sana. Walau sekitar ramai, aku merasa kayak ada sesuatu
yang membatasi aku dan sekitarku. Seolah berada di ruang kaca. Aku bisa melihat
dan mendegar apa-apa di sekitarku, tapi rasanya jauh banget.
Tiba-tiba ponselku bergetar, melihat
nama yang muncul aku lega. Nyai menghubungiku, sebuah panggilan video. Aku
segera menerimanya dan meluapkan semua keluhan. Nyai bertanya apa aku bawa air
putih. Untungnya selalu siap air putih di dalam tas.
Nyai memintaku membuka tutup botol air
mineral itu dan beberapa hal laiinya. Lalu, mengakhiri panggilan videonya.
Setelah selesai melakukan apa yang
diperintah Nyai, aku kembali menunggu. Lalu, ada panggilan video dari Nyai
lagi. Aku disuruh segera minum air putih itu.
Alhamdulillah beberapa menit kemudian
aku mulai membaik. Sebenernya pengan naik ke atas tebing dan menangkap senja.
Tapi, aku khawatir ntar di atas sana aku kumat lagi dan malah bikin repot Mbak
Ayu. Thata nggak berani naik karena takut ketinggian. Akhirnya setelah aku udah
lumayan membaik, kami memutuskan untuk turun dan melanjutkan perjalanan.
Melihat lokasinya, feeling ku ada yang
gangguin. Dan, feeling ku lagi tuh ya wujudnya orang-orang kerdil dengan wajah
seram. Feeling ku sih itu.
Suer Tebing Breksi ini keren banget.
View-nya pasti bagus banget kalau dilihat dari puncak tebing. Sayang seribu
sayang aku malah tepar waktu nyampek setengah perjalanan. Hiks.
Tebing Breksi ini katanya bekas tambang
batu kapur yang kemudian di bangun jadi tempat wisata. Banyak spot selfiable di
sana. Buat yang takut ketinggian emang tantangan banget. Buat yang nggak, surga
banget lah. Apalagi bagi para pecinta senja.
Karena penasaran, saat dalam perjalanan
turun aku pun bertanya pada Nyai ada apa sebenernya. Apa ada yang nempel dan
ikut aku.
"Tadi ada yang ikut ya,
Nyai?"
"Iya. Biasalah. Kamu kan
gitu."
"Apa yang ikut Nyai? Orang kerdil
dengan wajah seram kah? Telinga panjang dan gigi runcing?"
"Bukan."
"Lalu, apa Nyai?"
"Ular gede."
Aku langsung nyeletuk, "Ular
gede?!"
Aku pun menjelaskan pada semua yang ada
di mobil. Kami menduga itu ular yang dipahat di tebing.
"Ular yang dipahat di tebing itu
ya Nyai? Yang kayak naga itu? Guede gitu?"
"Iya gede banget. Bukan ular
pahatan itu. Tapi, kayak ular sanca gitu lho. Warnanya ya kayak ular sanca
gitu. Nah, dia itu melingkari tubuhmu."
Aku menelan ludah. Ngebayangin itu ular
super gede melilit tubuhku. Lalu, pas Nyai video call, kepala ular itu ikutan
ngintip dan Nyai bisa liat dia. Ah! Ini otak zodiak cancer masih sempet aja
ngayal.
Saat udah di Malang dan tatap muka sama
Nyai, dijelasin detailnya. Lagi-lagi salah paham. Ular itu ngira aku bisa liat
dan komunikasi sama dia. Makanya dia langsung, kalau kata Nyai sih merangkul,
menyapa, dan menemaniku jalan-jalan. Karena energi kami bergesekan, koleng lah
aku. Bayangin aja ular sanca super gede merangkul dan nemenin jalan-jalan.
Nggak heran kalau aku berujung koleng. Hehehe.
Seringnya kayak gini kasusnya.
Makhluk-makhluk astral itu ngira aku bisa liat mereka. Lalu, mereka ngajak
komunikasi. Tapi, akunya cuek. Kadang itu yang bikin mereka marah. Karena salah
paham itu.
Kata Nyai juga, di Tebing Breksi itu
penghuninya luar biasa. Beliau sendiri nggak nyangka kalau lokasinya kayak
gitu. Makanya waktu Mbak Ayu bilang mau ngajak kami ke sana, dikasih izin.
Nggak tahunya tempatnya wow keren.
Kata Mbak Ayu, positifnya Nyai jadi
nambah kenalan lagi. Wkwkwk.
Dari Tebing Breksi rencananya mau ke
Bukit Bintang buat makan malam. Tapi, karena Thata takut ketinggian, rencana
pun dibatalin. Akhirnya kami makan malam di Bebek Goreng Djogja.
Enak banget. Bebeknya empuk dan
bumbunya meresap sampai ke daging. Sambelnya juga oke. Cuman untuk lalapannya
kurang. Wkwkwk. Dasar embek satu ini dah. Walau lalapannya sedikir, tapi ada
sayur daun singkong yang menemani sajian. Enak banget dah.
Selesai makan malam, lanjut ke Hotel
Cailendra untuk nyamperin ibu sama Rara. Karena Hotel Cailendra ada di pinggir
jalan, kami langsung masuk dan nyari nomer kamar yang disebutin Ibu. Tapi,
nggak ada. Padahal kata bapak di depan itu bus rombongan dari Malang. Ternyata
eh ternyata, Hotel Cailendra ada dua. Yang di pinggir jalan itu yang prime.
Yang mewah lah. Nah, ibuku ada yang di Hotel Cailendra satunya. Yang masuk
gang. Hehehe.
Setelah jalan kaki, akhirnya ketemu
sama Ibu dan Rara. Kami duduk-duduk di kafetaria sambil ngobrol. Sebenernya
sore harinya, waktu kami naik ke Tebing Breksi, mobil kami papasan sama bus
yang tumpangi ibu yang turun dari Gua Pindul.
Puas ketemuan dan ngobrol, kami pun
pamit pulang. Masih ada tugas selanjutnya. Harus berangkat pagi-pagi juga. Kami
harus segera pulang dan istirahat.
Tur hari kedua alhamdulillah
dimudahkan. Walau sempat mengalami sedikit eror waktu berkunjung ke Tebing
Breksi, alhamdulillah masih bisa melanjutkan perjalanan.
Sampai di rumah, segera membersihkan
diri dan meditasi untuk menetralisir dan memulihkan kondisi. Mempersiapkan
fisik untuk perjalanan esok.
Sekian cerita tur di hari kedua di Jogja. Maaf jika ada
salah kata. Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 30 Juli 2018.
- shytUrtle -
0 comments