My 4D Seonbae - Episode #8 “Ladang Bernama Hati, Tempat Bunga Bernama Cinta Tumbuh”
05:10 My
4D Seonbae - Episode #8 “Ladang Bernama Hati, Tempat Bunga Bernama Cinta
Tumbuh”
Ada pepatah Jawa yang berbunyi, witing tresno jalaran soko
kulino. Artinya, cinta bisa tumbuh karena terbiasa. Jadi, sebenarnya cinta itu
bisa tumbuh di hati siapa saja kan? Atau, kita bisa menanam benihnya di hati
siapa saja. Asal kita sabar dan telaten menyiraminya dengan kebiasaan-kebiasaan
yang manis. Sebuah perhatian kecil namun penuh ketulusan yang diberikan setiap
hari misalnya. Kemungkinan besar benih cinta itu bisa tumbuh dan berkembang
dengan baik.
Memendam rasa suka kepada seseorang itu memang menyiksa,
menyesakan dada. Karenanya, lebih baik katakan saja tentang apa yang kau
rasakan. Masalah diterima atau ditolak, pasrahkan saja. Setidaknya kau sudah
berbuat jujur untuk dirimu sendiri. Dan, rasa sesak karena memendam rasa suka
itu bisa kau atasi.
Nasib sepenuhnya jadi milik kita, sedang takdir itu urusan
Tuhan. Jika nasibmu baik, maka rasamu pasti akan berbalas. Atau kita bisa
mengubah nasib buruk kita menjadi baik dengan usaha dan doa. Tapi, jika
takdirmu tak tertulis untuk bersama orang yang kau sukai, berlapang dadalah.
Percayalah, Tuhan tidak memberi apa yang kau minta bukan karena Dia tak sayang
padamu. Tapi, Dia akan menggantinya dengan memberi apa yang benar kau butuhkan.
Berlaku tidak hanya pada urusan cinta, tapi pada semua segi kehidupan.
P.S: Ini adalah bunga Clover yang memiliki arti semoga
berhasil. Ya, semoga berhasil atas segala apa yang kalian usahakan. Fighting!!
^^
Untuk
pertama kalinya Luna membuat postingan sejak menjadi murid SMA Hak Kun dan
menjadi anggota di grup komunitas khusus murid SMA Hak Kun. Ia memposting
sebuah foto bunga clover kuning disertai sebuah tulisan tentang pepatah Jawa
yang saat istirahat tadi ia ceritakan pada anggota kelompoknya.
Postingan
yang dikirim oleh akun bernama Mezzaluna58
lima belas menit setelah jam pulang sekolah itu pun segera mendapat respon dari
anggota grup komunitas SMA Hak Kun. Di grup komunitas SMA Hak Kun tidak boleh
menggunakan nama samaran, karenanya semua akun di sana menggunakan nama asli.
Para murid biasanya menggunakan kombinasi angka pada nama akun mereka.
Kebanyakan menggunakan kombinasi angka dari tanggal, bulan, dan tahun lahir.
Sama seperti anggota yang lain, Luna juga menambahkan kombinasi angka di
belakang namanya. Ia memilih angka 58 untuk ditambahkan di belakang nama
Mezzaluna.
Karena
Luna cukup terkenal di sekolah dan baru pertama kalinya membuat postingan di
komunitas sekolah, ia pun mendapat banyak respon. Foto yang ia posting mendapat
banyak like dan komentar. Sayangnya
tak semua memberi komentar positif pada postingan Luna.
***
Seongwoo
berdiri di tepi koridor, menghadap pada jendela koridor yang terbuka. Kedua
tangannya yang sibuk dengan ponsel berpangku pada tembok yang membingkai
jendela. Ia sedang memantau postingan Luna yang terus dibanjiri komentar. Tapi,
ia dan ketiga rekannya—Jisung, Sungwoon, dan Woojin, belum memberi komentar ataupun
like pada postingan Luna.
Jisung,
Sungwoon, dan Woojin bersama Luna. Sedang dalam perjalanan membeli keperluan
untuk praktikum Biologi esok. Sedang Seongwoo, masih tinggal di sekolah untuk
mengikuti pertemuan bagi model sekolah baru. Mereka akan dipertemukan bersama
fotografer untuk membahas tentang konsep dan jadwal pemotretan.
Seongwoo
kembali menatap ponselnya, lalu menatap keluar jendela. “Jadi, ungkapkan saja?”
Gumamnya lirih. “Tapi, apa aku bisa?” Imbuhnya kemudian mendesah.
Seongwoo
mengalihkan pandangan, menoleh ke arah kiri. Ia tersentak kaget, mendapati
seseorang berdiri sambil mengamatinya. “Rap-rapunzel?” Ujarnya terbata.
Gadis
cantik berpostur tinggi itu bergeming, berdiri dengan tangan terlipat di dada
dan kedua mata terfokus pada Seongwoo.
“Sejak
kapan kamu di sana?” Seongwoo terdengar lebih santai dari sebelumnya.
“Ya!
Kenapa kau menanggilku Rapunzel?” Bukannya menjawab, gadis itu malah mengajukan
sebuah pertanyaan pada Seongwoo.
“Rambutmu
itu,” Seongwoo menuding gadis yang berdiri jarak dua kaki darinya, “Semakin
panjang. Kayak Rapunzel aja.”
Gadis
itu tersenyum dan menurunkan kedua tangannya yang terlipat. Tag nama di
seragamnya tertulis Kang Daerin. Ia berjalan mendekati Seongwoo sambil membelai
rambut coklat panjangnya yang ia biarkan terurai.
“Apa
dayaku, Omma tak memberi ijin ketika aku ingin memotongnya.” Ujar Daerin yang
kemudian berhenti di dekat Seongwoo.
Seongwoo
tersenyum. “Nggak papa. Keren kok panjang gitu. Kayak Rapunzel.”
“Hidup
Rapunzel kan ngenes. Terkurung di atas menara, lalu jatuh hati ke pencuri.
Bukan pangeran.” Daerin keberatan disamakan dengan Rapunzel.
Seongwoo
tersenyum menanggapinya. “Kita pergi sekarang?” Ajaknya. Ia pun kemudian berjalan
berdampingan dengan Daerin.
“Kamu
tadi ngapain? Ngelamun di deket jendela kayak gitu?” Tanya Daerin. “Latihan
pose ala model?”
“He’em!”
Seongwoo mengiyakan. “Sebentar lagi aku harus berpose sama dua orang hebat.
Jadi, aku harus melatih diri agar bisa tampil alami.”
“Dih!
Siapa yang hebat?”
“Kamu
dan Jihoon.”
“Jihoon
iya hebat, aku apa?”
“Kenapa
sih selalu merendahkan diri kayak gitu? Dari SMP nggak berubah! Padahal sekarang
udah jadi model juga.”
“Itu
cuman nolongin saudara ommaku. Entah kenapa bisa jadi heboh dan pada bilang aku
model yang baru merintis karir.”
“Kalau
emang iya kan nggak papa. Kamu cocok kok jadi model. Tinggi dan cantik.”
“Whaterver! Tapi, aku lega karena salah
satu modelnya kamu.”
“Aku
masih nggak percaya. Kenapa pihak sekolah milih aku?”
“Sama.
Dan, jadi perdebatan. Aku berharap, dalam pertemuan ini aku akan diberi tahu
kalau posisiku digantikan murid lain.”
“Apa
karena model pendampingnya aku?” Seongwoo bermaksud bercanda.
“Iya.
Kenapa bukan Jisung?” Daerin membalas.
“Ey!
Jisung nggak ada aura model sama sekali.”
Daerin
menoleh, memiringkan kepala, mengamati Seongwoo. “Trus, kalau kamu ada aura
model gitu?”
“Buktinya
aku terpilih, jadi iya kan?”
“Hahaha.”
Daerin tergelak. “Ya. Ya. Percaya diri emang kunci dasar untuk maju.”
“Aniya,
aniya. Sebenarnya ini sangat membebaniku.”
Seongwoo,
Daerin, dan Jisung menjadi satu sekolah sejak SMP. Tiga tahun berada di kelas
yang sama membuat ketiganya menjadi akrab. Sayang saat masuk SMA Hak Kun,
mereka bertiga tak pernah menjadi teman sekelas lagi. Di kelas XI, hanya
Seongwoo dan Jisung yang beruntung menjadi teman sekelas.
“Aku
rasa karena kita akan bekerja sama dengan Park Jihoon. Dia tuh hebat.
Karenanya, kita sama-sama terbebani.” Daerin mengutarakan pendapatnya.
“Mm!”
Seongwoo mengangguk. “Tapi, dibandingkan dengannya, aku lebih merasa tertekan
karena harus bekerja sama denganmu.”
Langkah
Seongwoo dan Daerin terhenti di depan ruang tamu yang berada di dalam bangunan
kantor sekolah.
“Kenapa
gitu?” Tanya Daerin.
Seongwoo
mengangkat kedua bahunya.
Daerin
menghela napas. “Kira-kira di dalam sudah ada siapa aja?” ia berbisik.
Seongwoo
tersenyum dan mengetuk pintu. Setelah mendengar perintah untuk masuk, ia pun
membuka pintu dan masuk ke dalam ruang tamu bersama Daerin. Di dalam sana sudah
ada Jihoon bersama beberapa staf sekolah.
***
“Lebih
baik katakan saja? Memang semudah itu?” Daehwi menggerutu hingga bibirnya
mengerucut. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk dengan buku-buku di hadapannya.
Selain
menjadi anggota Klub Teater, Daehwi juga mendaftarkan diri sebagai relawan
perpustakaan. Jika luang, ia akan menghabiskan waktunya di perpustakaan. Membantu
petugas perpustakaan.
Seperti
sore ini, ia sibuk mengembalikan buku-buku ke dalam rak. Walau sudah ada aturan
tertulis tentang harus mengembalikan buku pada tempatnya usai membaca, masih
banyak murid bandel yang meninggalkan buku di meja atau di sembarang tempat di
dalam perpustakaan.
Petugas
perpustakaan hanya dua orang. Mereka sering kualahan dalam mengerjakan tugas.
Karenanya mereka membuka lowongan bagi murid untuk menjadi relawan. Walau
peminatnya tak banyak, tapi masih ada saja yang mendaftar. Lee Daehwi
contohnya.
Selesai
mengembalikan buku-buku pada rak, Daehwi duduk untuk merapikan kartu anggota
yang tertata di dalam kotak di dekat meja penjaga. Hanya ada dirinya di sana.
Daehwi
menghentikan aktifitasnya ketika seseorang meletakkan empat buah buku di atas
meja. Ia mengangkat kepala dan terkejut. Ia lalu berdehem, dan berusaha
bersikap wajar. Ia meraih kartu anggota yang diletakan di tumpukan buku teratas
dan membacanya.
“Han
Joohee?” Daehwi sambil membaca kertu anggota perpustakaan di tangannya.
“Iya.”
Jawab Han Joohee, gadis yang berdiri di hadapannya.
Daehwi
ganti memeriksa empat buku yang dibawa Joohee. “Kamu ingin meminjam semuanya?”
Tanyanya sembari memeriksa buku-buku pilihan Joohee.
“Iya.”
Joohee menjawab dengan singkat. Sama seperti sebelumnya.
Daehwi
mengangkat kepala. “Kamu tahu aturannya, kan? Setiap murid hanya diizinkan
meminjam maksimal dua buku dalam seminggu.”
Joohee
menatap Daehwi dalam diam, selama beberapa detik. “Aku... aku butuh untuk
tugas.”
“Semua
murid yang meminjam buku non fiksi alasannya pasti gitu. Apalagi di musim tugas
kelompok kayak gini.”
Joohee
terdiam.
“Atau,
kamu bisa meminjamnya dengan dua kartu. Maksudku, kartu anggota milik temanmu.
Yang satu kelompok denganmu.”
Joohee
masih terdiam.
“Astaga!
Jangan katakan jika anggota kelompokmu membebankan semuanya padamu??”
“An-anee...”
Bantah Joohee. “Ini bagianku saja. Kami sudah membicarakannya saat istirahat
tadi.”
“Sisanya
cari di internet saja. Bagaimana?”
Ekspresi
Joohee berubah kesal. “Tidak ada yang sebaik buku sebagai sumber informasi.”
Daehwi
menatap Joohee sejenak, dalam diam. Lalu ia mendesah dan berkata, “Kamu benar.
Buku memang yang terbaik.”
Joohee
tersenyum samar. Merasa mendapat dukungan dari Daehwi.
“Kamu
benar membutuhkan semuanya?”
“Iya.
Tadi, aku sudah mencatat beberapa. Tapi, ada bagian yang kurang. Jadi, aku
harus membawanya pulang.”
Daehwi
mendesah. “Tapi, kamu hanya bisa meminjam dua buku saja.”
“Tidak
bisakah aku mendapat dispensasi?” Joohee dengan lirih dan hati-hati dalam
mengajukan permohonannya.
“Maaf.
Tidak bisa.” Daehwi menggeleng.
Ekspresi
Joohee berubah lesu.
“Kamu
hubungi saja anggota kelompokmu. Pinjam kartu anggota mereka.” Daehwi memberi
solusi.
Joohee
menatapnya dengan kedua mata melebar.
“Wae??”
Daehwi merasa diadili dengan tatapan itu.
“Aku...
tidak bisa.” Joohee menggeleng , lalu menundukkan kepala dalam-dalam.
“Kamu
nggak seharusnya malu. Kan, ini demi kelompokmu juga.” Daehwi lalu terdiam dan
berpikir. Ia mengamati sekitarnya. “Ya, siapa saja kelompokmu?” Tanyanya lirih.
Joohee
kembali menaruh perhatian pada Daehwi. “Park Jihoon, Kim—“
“Park
Jihoon!” Potong Daehwi.
Joohee
terkejut dibuatnya. Ia menatap Daehwi yang sibuk dengan kartu anggota yang
tertata di dalam kotak, yang dibedakan sesuai kelas.
“Park
Jihoon!” Daehwi tersenyum lebar menemukan kartu anggota dengan nama Park
Jihoon. “Dua buku akan aku tulis di kartu Park Jihoon. Dua lainnya di kartumu.
Tapi, besok kamu harus membawa kartu Park Jihoon padaku. Aku harus menulis data
di kartu miliknya.”
Joohee
tertegun sejenak, lalu mengerjapkan kedua matanya, dan segera mengangguk.
“Jangan
sampai hal ini tersebar ke murid lain. Aku bisa kena masalah.” Daehwi sibuk
menulis judul dan nomer seri buku yang akan dipinjam Joohee. Dua di kartu Joohee,
dua lagi di kartu Jihoon.
“Nee.”
Joohee mengangguk. Walau Daehwi yang sedang sibuk menulis itu tak bisa melihat
anggukannya.
Daehwi
memberikan kartu anggota perpustakaan milik Joohee. “Jangan lupa, besok bawa
kartu milik Jihoon padaku. Bisa kan?”
“Nee.
Aku akan berkata jujur padanya.”
“Kalau
dia marah, katakan saja aku yang merencanakan penipuan ini.”
Joohee
tercenung menatap Daehwi.
“Hehehe.
Bercanda! Tapi, kita memang sedang melakukan penipuan, kan?” Daehwi meringis.
“Kamsahamnida.”
Joohee membawa keempat buku yang ia pinjam, membungkukkan badan, lalu bergegas
meninggalkan perpustakaan.
“Woah!”
Daehwi menghela napas dan menjatuhakan punggungnya ke punggung kursi. Ia
kembali mengamati sekitarnya. “Aku berbuat kejahatan. Maafkan aku. Semoga tidak
ketahuan. Apa yang aku lakukan ini benar? Kalau Park Jihoon marah bagaimana?
Dia itu kan pemuda yang mengerikan. Ya Tuhan! Dia kenapa tiba-tiba muncul di
depanku sih? Ah! Nan molla!” Daehwi melempar bolpoint di tangannya ke meja.
Lalu terdiam sejenak. “Aku harus bertemu Luna Seonbae dan mengatakan semuanya.
Segera!” Ia bertekad.
***
Luna
berjalan pelan, menyusuri jalanan menuju komplek tempat ia tinggal. Kaki
kirinya terasa sedikit ngilu karena sepulang sekolah tadi ia banyak berjalan
kaki saat harus belanja keperluan praktikum bersama Jisung, Sungwoon, dan
Woojin.
Sambil
berjalan, Luna terus menimbang, memilih lewat gang sebelah mana. Ia sudah
sangat lelah dan ingin segera sampai di rumahnya. Tapi, ia khawatir akan
dikejar anjing lagi. Terlebih ia pulang sendirian.
Tadi
pagi Daniel memang berjanji akan pulang bersama, tapi karena ia harus belanja
dahulu, Luna pun tak menemui Daniel di halte. Pemuda itu sudah pasti
meninggalkannya. Ia yakin tak mungkin Daniel menunggunya di halte dekat
sekolah. Hanya orang bodoh yang akan melakukan itu. Luna yakin Daniel pasti
tahu kalau ia pergi bersama teman-temannya saat pulang sekolah tadi.
Luna
sampai di persimpangan dan menghentikan langkah. Ia terkejut melihat Daniel
berdiri di dekat gang dan tersenyum padanya. Luna mengerjapkan kedua matanya,
ia merasa dirinya sedang berfantasi. Tapi, sosok itu tetap ada di sana.
Berdiri, menatap, dan tersenyum padanya.
“Kang
Daniel?” Luna berjalan mendekati Daniel.
“Nee.”
Jawab Daniel lengkap dengan senyuman lebarnya. Senyuman yang tulus dan manis.
“Ngapain
kamu di sini?”
“Menunggu
Seonbae.”
“Mwo??
Menungguku??”
“Mm!”
Daniel mengangguk. “Kita janji pulang bersama, kan? Jadi, aku menunggu Seonbae
di sini.”
“Baboya??
Kalau aku nggak pulang gimana? Kamu akan terus berdiri dan menunggu di sini?”
“Seonbae
pergi bersama Jisung Seonbae, Sungwoon Seonbae, dan Woojin Seonbae. Jadi, nggak
mungkin jika Seonbae nggak pulang.”
“Kamu
tahu? Ya, Kang Daniel! Kamu ini stalker
ya?”
“Kita
janji pulang bersama, tapi Seonbae nggak kunjung muncul. Karena nggak punya
nomer Seonbae, aku nanya Guanlin. Guanlin tadi menelpon Seonbae, kan?”
Luna
diam. Benar, tadi Guanlin memang menelponnya. Bertanya ia ada di mana.
“Guanlin
bilang, Seonbae sedang bersama ‘Squad
Moon Kingdom’. Jadi, aku pulang
lebih dulu.” Daniel melanjutkan penjelasannya.
“Trus,
ngapain kamu di sini?”
“Menunggu
Seonbae. Masalahnya di sini kan? Gang kanan, atau kiri.” Daniel tersenyum
lebar.
“Babo!”
Luna kembali berjalan. Memilih gang sebelah kanan. Daniel berlari kecil,
menyusul, dan berjalan di samping kanan Luna.
“Nggak
kerja?” Tanya Luna. Memulai obrolan.
“Masuk
malam.”
“Nggak
capek apa? Kerja sampai jam berapa?”
“Sebelas
malam. Sama kayak anak-anak yang ngambil bimbel kan?”
“Iya
sih. Kerja sama belajar sama-sama capeknya.”
“Tergantung
bagaimana menikmatinya juga, kan?”
“Mm.”
Luna bergumam dan mengangguk.
“Postingan
Seonbae, benar itu yang pertama?”
“Iya.”
Luna terseyum. Teringat bagaimana hebohnya Jisung, Sungwoon, dan Woojin saat
mereka makan bersama di kedai ramen usai berbelanja keperluan praktikum.
“Tadi
mungkin aku sedang kerasukan atau apa. Tiba-tiba muncul keinginan untuk membuat
postingan itu. Dan, aku melakukannya.” Luna tersenyum—lebih tepatnya
menertawakan dirinya sendiri.
“Kerasukan??
Tapi, bagus kok. Kata-katanya memotivasi.”
“Kalau
nanti ada gerakan mari nyatakan perasaan kita, bagaimana? Aku udah melakukan
provokasi.”
Daniel
tertawa melihat ekspresi Luna.
“Ya!
Kau menertawakanku?!” Protes Luna.
“Maaf.”
Daniel berusaha menghentikan tawanya. “Aku penasaran pada angka 58 pada username Seonbae. Aku tahu itu bukan tanggal
atau tahun lahir Seonbae.” Tanya Daniel setelah tawanya reda.
“Benar
kau ini stalker ya? Jangan-jangan kau ini psikopat? Dan, aku targetmu?”
Daniel
kembali tergelak oleh lawakan garing Luna.
“5
jumlah anggota keluargaku, dan 8 angka favoritku. Tadi, Woojin juga bertanya
tentang itu.” Luna memberi penjelasan.
“Kan?
Bukan hanya aku yang penasaran. Rata-rata murid menggunakan tanggal, bulan,
tahun lahir di belakang nama mereka. Tapi, Seonbae memikirkan angka lain. Itu
unik.”
“Pasti
bukan aku aja. Pasti ada yang seperti itu juga.”
“Wae?
Nggak suka dibilang unik?”
“Aku
emang beda dan unik.”
Luna
dan Daniel sama-sama tertawa kecil.
“Foto
profil kucing hitam itu juga unik. Cute.”
Imbuh Daniel.
“Luna.
Kucingnya Sailormoon. Di Indonesia aku dipanggil Kucing. Karena aku punya geng Pretty Soldier, tapi aku nggak mau jadi
Usagi. Aku lebih memilih Luna si kucing hitam dari planet Mau daripada Usagi si
putri bulan.”
“Kenapa
gitu? Padahal Usagi tokoh utama, kan?”
“Entahlah.
Aku nggak suka aja.”
“Aku
suka kucing." Daniel bergumam.
Keduanya
menghentikan langkah karena sudah sampai di tempat tinggal Luna.
“Gomawo.
Karena sudah menepati janji.” Luna tersenyum tulus.
“Seorang
pria nggak boleh ingkar janji kan?” Jawab Daniel.
Luna
mengerutkan kening. Daniel tertawa melihatnya.
“Semoga
saja kau benar pria yang seperti itu. Pria yang nggak suka ingkar janji. Aku
pegang kata-katamu.”
“Nee.
Oh ya, bagaimana kaki Seonbae?”
“Agak
ngilu. Mungkin karena aku tadi banyak jalan. Sebentar lagi akan aku rendam
dengan air hangat dan garam.”
Daniel
mengangguk dan kembali diam selama beberapa detik. “Kalau begitu aku pergi.”
“Mm.”
Luna tersenyum dan mengangguk.
Daniel
nampak enggan beranjak.
“Ada
lagi yang ingin kamu katakan?”
“Tidak
bisakah aku mendapatkan nomer ponsel Seonbae? Agar aku bisa bertanya langsung
jika Seonbae tak kunjung datang seperti tadi. Menunggu membuatku bosan dan
sedikit kelelahan.”
“Tapi,
kamu melakukannya dengan baik.”
Daniel
tercenung sejenak, lalu tersenyum. “Ah iya. Aku melakukannya dengan baik.” Ia
menutupi rasa kecewanya dengan senyuman. Kecewa karena Luna tak memberikan
nomer ponselnya. “Aku pergi.”
“Mm.
Gomawo. Semangat untuk kerja paruh waktumu!”
“Nee.”
Daniel tersenyum, lalu membalikkan badan, dan berjalan meninggalkan Luna.
Luna
menatap punggung Daniel yang berjalan semakin menjauh darinya. Luna menghela
napas, membalikan badan, dan mulai menaiki tangga.
Daniel
menghentikan langkahnya dan membalikan badan. Luna sudah tak berada di sana.
Walau ia sudah berjalan lumayan jauh, jarak pandang kedua matanya masih bisa
menjangkau posisi terakhir Luna berada.
Daniel
menghela napas. “Aku sudah melakukannya dengan baik.” Ia tersenyum getir dan
kembali menatap ke tempat di mana Luna sebelumnya berada. “Tenang saja, aku
nggak akan ingkar janji. Aku akan selalu melakukan dengan baik.”
Daniel
tersenyum lebih tulus. Ia membalikan badan dan melanjutkan perjalanan menuju
rumahnya.
***
Usai
membersihkan diri, Luna merendam kakinya ke dalam bak berisi air hangat yang
dicampuri garam. Saat jam istirahat tadi, Nyonya Jang menelponnya. Karena tahu
Luna tak ada di rumah, Nyonya Jang panik. Walau sempat mengomel, akhirnya
wanita itu mengakhiri panggilan setelah tahu Luna berada di sekolah. Luna
tersenyum mengingat perhatian yang diberikan Nyonya Jang padanya.
“Lain
kali aku akan menempelkan memo di pintu. Agar Ibu Kecil nggak panik.” Ujar
Luna. Ia kembali diam, menikmati rasa celekat-celekit yang menggereyangi kedua
kakinya.
“Hari
ini tidak terlalu buruk. Tapi... Kang Daniel, dia menungguku di halte dan di
persimpangan jalan.” Luna memiringkan kepala. “Haruskah aku memberikan nomer
ponselku padanya? Dia pernah bilang aku menolongnya, tapi kapan? Di mana?”
Ponsel
yang tergeletak di atas meja bergetar. Luna meraihnya. Ada sebuah panggilan
video. “Mas Aro?” Gumam Luna lalu menerima panggilan video itu. Kening Luna
berkerut. Bukan Aro, kakak sulungnya yang muncul di layar. Melainkan Dinar,
kakak laki-lakinya yang kedua.
“Annyeong!!!”
Sapa Dinar riang sambil melambaikan tangan.
“Nggak
usah lebay deh, Mas!” Respon Luna ketus.
Senyum
di wajah Dinar sirna. “Sambutannya nggak bete gitu bisa nggak sih? Ini masmu
lho yang vicol!”
“Ngapain
pakek hape Mas Aro?”
“Aku
sama Mas Aro, kok!” Dinar menggeser posisi ponsel. Aro turut muncul di layar,
tersenyum pada Luna.
“Aku
lagi di distronya Mas Aro. Pemotretan. Produk terbaru udah dikirim. Jangan lupa
endorsnya ya. Sebentar lagi kan musim panas. Kamu pasti butuh banyak kaos.”
Dinar lanjut mengoceh.
Luna
hanya diam, menatap layar ponselnya. Kadang ia masih tak percaya jika kakak
keduanya yang super iseng itu adalah artis yang banyak dipuja kaum hawa di
Indonesia. Dinar memang tampan, tapi sikapnya selalu membuat Luna kesal. Jika
bersama, mereka selalu cek-cok. Aro sampai menjuluki keduanya Tom and Jerry.
Dinar
semakin tenar sekembalinya dari Korea. Selama dua tahun di Korea, ia
menghabiskan satu setengah tahun waktunya untuk menjadi trainee di sebuah agensi ternama Korea. Ia menyerah dan memilih
kembali ke Indonesia untuk melanjutkan karirnya.
Pengalamannya
yang pernah menjajal jalan menuju idol Korea Selatan itu lah yang turut
mendongkrak popularitasnya. Strategi yang tepat menurut Luna. Di balik sikapnya
yang usil itu, Dinar memiliki pemikiran yang matang untuk karirnya di dunia
hiburan. Walau sering dibuat kesal, Luna sangat membanggakan kakak keduanya
itu.
“Cing!
Kenapa bengong?” Suara Dinar membuyarkan lamunan Luna.
Luna
mengerjapkan mata, menatap kembali layar ponselnya, namun memilih bungkam.
Aro
muncul sepenuhnya di layar. “Kamu baik-baik aja, Dek?”
Mendengar
pertanyaan itu, jantung Luna berdebar kencang sepersekian detik. “Baik, kok.”
Jawabnya kemudian. Tapi, ia tahu Aro tak begitu saja mempercayai ucapannya.
Terbukti pemuda itu masih menatapnya lurus dalam diam.
Luna
mendesah. “Habis jatuh karena dikejar anjing.” Ia pun akhirnya mengakui insiden
yang membuat kaki kirinya cidera.
Aro,
si sulung memiliki kepribadian lebih tenang dari Dinar. Ia jarang mengomeli
Luna seperti yang Dinar lakukan. Tapi, perhatiannya pada Luna sama besarnya
seperti Dinar.
Jika
di depan Dinar masih bisa berbohong, di depan Aro, Luna tak pernah berani
berbohong. Hal itu karena Aro berbeda darinya juga Dinar. Aro memiliki
kemampuan melihat kejadian masa depan dan masa lalu. Pemuda kalem itu juga bisa
melihat makhluk-makhluk astral yang tak bisa dilihat oleh kasat mata.
Cerita
Aro lah yang sering Luna tulis dalam blog pribadinya. Namun, karena
kepandaiannya meramu kata, para pembaca banyak yang mengira jika apa yang
ditulis Luna adalah pengalaman Luna sendiri. Itulah alasan kenapa banyak yang
menganggapnya bisa melihat hantu.
Pernah
sekali Luna berbohong di depan ibunya. Lalu, Aro menemuinya untuk bertanya
tentang kebenaran dari apa yang di ungkap Luna di depan sang ibu. Luna
bersikeras mengelak, tapi Aro mengatakan sebuah kejadian yang sama persis
seperti yang di alami Luna. Aro mengatakan bisa melihat itu semua dari sorot
mata Luna. Sejak saat itu, Luna tidak berani berbohong di depan Aro. Karena,
sekuat apa pun ia berusaha, Aro pasti bisa melihat kenyataannya.
“Dikejar
anjing?” Dinar kembali muncul di layar. “Trus, kamu nggak papa kan, Dek?” Ia
berubah panik. Ketika panik, Dinar akan memanggil Luna dengan panggilan 'Dek',
bukan 'Cing' seperti yang ia lakukan bersama geng Pretty Soldier.
Luna
tersenyum samar. Ia senang dikhawatirkan kakaknya yang superstar itu. “Sempet
bengkak. Tapi, udah baikan kok. Tadi, juga udah sekolah. Ibu Kecil udah bawa
aku ke dokter. Tapi, tolong jangan bilang Bunda ya. Aku nggak mau Bunda
kepikiran.”
Dinar
menghembuskan napas dengan kasar. “Keluarga kedua akan segera datang. Sebaiknya
kamu tinggal sama mereka aja.”
Tatapan
Luna berubah sinis mendengarnya. “Ogah!” Tolaknya.
Dinar
tak kalah sinis menatap Luna. “Kamu ini keras kepala banget sih! Si bungsu
keluarga kedua ada bersama kami. Apa salahnya kamu tinggal sama mereka? Tukar
anak bungsu! Lagian, itu dulu juga rumah kita.”
“Tukar
anak bungsu?? Mas Dinar??” Luna tidak bisa menelaah pernyataan Dinar. Tapi,
pemuda itu malah meringis ketika merespon reaksinya.
“Rumahku
ya di sini! Nggak enak nebeng orang tau!” Luna kukuh pada pendiriannya.
“Bukannya
sekarang kamu juga nebeng di rumah orang? Tinggal sama keluarga kedua bunnya lebih
enak daripada hidup sendirian? Kamu bukan Mas Aro yang biasa hidup sendirian.”
“Dan,
aku juga bukan Mas Dinar yang kadang masih kayak anak mama!”
“Luna!!!”
Luna
mendengus, mengolok Dinar.
“Dasar,
Kucing!”
Aro
kembali muncul di layar. “Jangan lupa berkunjung saat mereka tiba.”
Luna
mengangguk.
Aro
tersenyum. “Mas yakin kamu bisa jaga diri.”
“Makasih,
Mas.”
Dinar
kembali muncul di layar. “Hari ini pertama kali posting di komunitas sekolah?”
“Mas
tahu?”
“Masmu
ini kan detektif handal.” Dinar membusungkan dada.
Luna
menyunggingkan bibirnya, mencibir tingkah Dinar.
“Baguslah.
Kamu mulai berani bersosialisasi di komunitas sekolah. Dumay sekarang bisa
lebih menguntungkan dari duta. Tergantung bagaimana kita menggunakannya.”
“Sok
bijak banget deh. Oya, bisa nggak sih berhenti pos foto-fotoku di akun IG,
Mas?”
“Hahaha.”
Dinar tergelak. “Aku kan lagi nyiapin debutmu. Kalau kamu balik ke Indonesia,
kamu bisa debut jadi artis. Yang penting aku kenalin kamu ke publik dulu.”
“Dih!
Sapa yang mau jadi artis?!”
“Kamu
dong! Kan sekarang udah lumayan pemes!”
“Duh!
Nggak usah pakek bahasa fangirl gitu
deh!”
Dinar
terbahak. “Ya udah, istirahat sana. Selamat malam Kucingku sayang. Mimpiin masmu
yang ganteng ini ya. Muach!”
“Huwek!”
Luna pura-pura, membuat Dinar kembali terbahak.
“Kalau
ada apa-apa, jangan ragu buat bilang ke mas ya.” Gantian Aro bicara.
“Mm!”
Luna mengangguk.
Luna
mengakhiri panggilan video dari kedua kakaknya. Ia mengangkat kaki dari dalam
bak yang airnya mulai mendingin. Ia membuang air ke dalam bak cuci, lalu
kembali duduk di sofa. Ia kembali memeriksa ponselnya. Chat menumpuk di grup chat
Moon Kingdom.
“Cowok-cowok
ini! Demen banget ngegosip!” Gumam Luna sembari membuka chat grup Moon Kingdom. Ia membaca satu per satu
pesan dalam ruang chat yang beranggotakan lima orang itu. Mata bulat Luna
membelalak, ketika ia membaca screenshot
yang dikirim Seongwoo.
“Park
Jihoon!” Gumamnya dengan ekspresi geram. "Kamu udah bertindak terlalu
jauh!" Luna kembali menatap layar ponselnya.
***
0 comments