My 4D Seonbae - Episode #11 "Berkata Dan Bertindak Punya Tingkat Kesulitan Yang Hampir Sama"
05:15 "Berkata Dan Bertindak Punya Tingkat Kesulitan
Yang Hampir Sama"
Sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang suka sok membela
kebenaran. Terlebih jika tak ada hubungannya denganku. Tapi, ada kalanya rasa
penasaranku menyeretku pada beberapa masalah yang berujung pada tindakan
seperti sok membela kebenaran. Kebenaran dalam cara pandangku.
Dulu, saat kelas II SD aku pernah berkelahi dengan salah
seorang teman sekelas demi membela kakak kelasku. Hal itu membuatku dan Wirog
terkena skors. Kami dilarang bergaul dengan kakak kelas III selama satu
semester. Aku dan Wirog tidak punya teman di kelas dua. Karenanya kami berteman
dengan saudari sepupuku yang berada satu tingkat di atas kami.
Lebih tepatnya kasus waktu itu saudari sepupuku membelaku
dan Wirog yang terasing di kelas II. Kami pun terkena hukuman tak boleh bermain
bersama saat di sekolah. Hikmah dari peristiwa itu, kami menjadi dekat dengan
Cue, Siput, dan Onyet. Jadilah geng Pretty Soldier terbentuk. Sebagai geng—yang
katanya geng—anak-anak cantik dan pintar. Kami cukup disegani di sekolah.
Saat kelas VI, aku kembali membuat sekolah heboh. Aku
berkelahi dengan teman sekelasku. Murid laki-laki paling nakal di kelas. Aku
kesal karena temanku itu membuat keributan saat pelajaran Bahasa Inggris
berlangsung. Aku sangat menyukai Bahasa Inggris, tapi aku tidak bisa kosentrasi
karena tempat dudukku nomer dua dari belakang—nasib murid berpostur tinggi.
Sedang temanku itu duduk tepat di belakangku.
Kesal, aku pun menegurnya agar tak membuat keributan.
Temanku malah marah-marah. Anehnya, aku justeru tak gentar karena amarah murid
paling nakal di kelasku itu. Aku terus maju. Bahkan, ketika ia hendak
menempelengku, aku tak gentar sedikitpun.
Aku memukulkan penggaris plastikku ke meja hingga patah,
lalu aku gunakan untuk menyerang teman lelakiku hingga lengannya terluka. Aku
sudah siap jika temanku itu akan memukulku. Aku pasrah. Anehnya, dia hanya
berdiri tercengang menatapku, lalu kembali duduk tanpa berkata apa-apa.
Aku yang masih linglung usai melakukan tindakan penyerangan
itu, berjalan dengan langkah gontai ke depan kelas. Mendekati meja guru. Lalu,
aku meminta maaf karena kelas jadi ribut saat pelajaran Bahasa Inggris
berlangsung. Aku minta maaf kepada Bu Guru cantik itu karena tidak bisa membuat
teman-temanku diam. Guruku yang cantik memelukku dan menangis. Aku pun turut
menangis. Dan, seluruh murid perempuan yang jumlahnya hanya sepuluh orang—termasuk
aku—itu turut menangis.
Kabar itu sampai ke telinga Kepala Sekolah. Berujung seluruh
murid laki-laki di kelasku dikenai hukuman. Harus membuat surat pernyataan yang
di tanda tangani orang tua dan harus meminta maaf ke Guru Bahasa Inggris kami dengan
datang ke rumah Bu Guru cantik itu.
Setelah peristiwa itu, pelajaran Bahasa Inggris berlangsung
dengan tenang. Teman laki-laki yang terkenal sebagai murid paling nakal itu pun
tak berani menggangguku juga geng Pretty Soldier lagi.
Setiap kali mengingatnya, aku selalu bertanya-tanya, apakah
dalam diriku ini ada jiwa psikopat? Aku melukai lengan temanku hingga berdarah,
tapi aku sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan, ketika seluruh teman
laki-laki terkena hukuman—tanpa pandang bulu itu, murid baik atau nakal kena
hukuman—aku tersenyum puas.
Tidak! Aku bukan psikopat. Hanya saja temanku itu sudah
melampaui batas kesabaranku. Jadi, aku bertindak. Dan, karena ia menggertak
dengan mengangkat tangan kanan dan mengepalkannya tepat di depan wajahku. Aku
pun menggertaknya dengan sengaja mematahkan penggarisku dan menggunakannya
sebagai alat untuk menyerang.
Tunggu! Temanku hanya menggertak, tapi tidak menyerang.
Sedang aku, langsung menyerangnya. Tanpa ampun. Jadi, apakah benar aku memiliki
jiwa psikopat dalam diriku? Dan, rasa puas setelah melihat semua murid
laki-laki dihukum itu apa? Aku senang melihat mereka menderita.
Tidak! Psikopat tidak memiliki rasa iba. Kenapa aku merasa
kasihan pada Bae Jinyoung? Alih-alih ingin membuatnya semakin terasing, aku
malah ingin membuatnya terbebas dari segala tuduhan dan pandangan buruk itu.
Jadi, aku bukan psikopat kan?
Aku hanya melakukan apa yang hatiku ingin lakukan. Begitu
juga pada Bae Jinyoung. Dan, juga Park Jihoon. Kalau dipikir-pikir, Bae
Jinyoung dan Park Jihoon memiliki kesamaan walau mereka berbeda 180 derajat.
Itu menurutku. Atau Park Jihoon lebih mirip denganku? Karenanya, kami
dipertemukan?
Ah! Rasa penasaran itu selalu merepotkan! Dan, harus berkata
juga bertindak, tingkat kesulitannya sama. Untuk mencapai tujuan itu, aku harus
membangkitkan diriku yang dulu. Agar rasa penasaranku terjawab. Tentang hasil
akhirnya, kita lihat saja nanti. Mengangkatnya lebih tinggi, atau
menjatuhkannya hingga ia tak mampu berdiri lagi.
***
Kelas
XI-E berkumpul di aula untuk pementasan drama pendek yang merupakan tugas
kelompok dari pelajaran Bahasa Inggris. Luna dan teman-temannya duduk di bangku
penonton. Menunggu giliran tampil. Di atas panggung sedang berlangsung
pertunjukan drama dari salah satu kelompok.
Jika
Luna terlihat santai, tidak dengan keempat anggota kelompoknya. Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin terlihat gugup. Mereka tak konsentrasi pada
pertunjukan. Tapi, sibuk dengan naskah di tangan masing-masing. Terus berusaha
menghapal dialog dalam Bahasa Inggris itu.
Jisung
yang menjabat sebagai ketua kelompok terlihat paling tegang. Selama latihan,
Sungwoon dan Seongwoo sering melakukan kesalahan. Ketika ia atau Luna menegur,
keduanya kadang menjadikam teguran itu bahan candaan. Bahkan, pernah sekali
Luna sampai marah dan mengancam akan keluar dari kelompoknya jika Sungwoon dan
Seongwoo terus tak serius.
Walau
durasi pementasan hanya 10 menit, bagi Jisung waktu itu terasa sangat lama.
Terlebih ia takut lupa dialog saat di atas panggung nanti. Meskipun Luna tak
menuntut apa-apa, tapi menjadi satu kelompok dengan salah satu murid pintar di
sekolah itu benar terasa jadi beban baginya. Ia yakin Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin
juga merasakannya.
Kelompok
Luna dipanggil. Mereka diberi waktu mempersiapkan diri di belakang panggung
sebelum tampil. Jisung menatap satu per satu anggota kelompoknya. Mereka tak bisa
menutupi rasa gugup masing-masing. Walau Luna terlihat tenang, ia yakin gadis
itu pasti juga merasa gugup.
“Mari
kita berdoa.” Luna menggandeng tangan Seongwoo dan Woojin.
Jisung
menggandeng tangan Sungwoon, menyambung, bergandengan lalu masing-masing
menggandeng tangan Seongwoo dan Woojin yang bebas.
“Jangan
berharap menjadi pemenang. Tapi, mari berdoa untuk bisa menampilkan yang
terbaik yang kita bisa. Kita sudah berusaha dengan baik, aku yakin kita pasti
menampilkannya dengan baik hari ini.” Luna memberi semangat.
“Aku
takut lupa dialognya.” Kata Seongwoo.
“Aku
akan bantu. Selama kita melakukan kontak mata, kita akan saling bantu. Begitu
kan yang kita lakukan saat pementasan? Jisung?” Luna menatap Jisung.
“Benar
sekali. Aku juga berusaha menghafal semua dialog. Kita saling bantu saja.”
Jisung setuju.
“Aku
udah hafal. Cuman kalau di atas panggung karena gugup, bisa jadi lupa.” Ujar
Sungwoon.
“Nanti,
kita saling mengingatkan.” Woojin menenangkan.
Jisung
pun memimpin doa. Lalu ia dan kelompoknya naik ke atas panggung. Karena Luna
yang paling mahir berbahasa Inggris, sesi perkenalan kelompok diserahkan pada
Luna.
Pertunjukan
drama singkat yang ditampilkan kelompok Luna berjalan lancar. Jisung juga
keempat anggota kelompok itu merasa lega. Walau sempat gugup dan takut lupa
dialog, di atas panggung mereka sama sekali tak lupa dialog. Hanya saja
pengucapan bahasa Inggris mereka yang kurang sempurna. Kelemahan yang sama
dengan kelompok lain.
“Aku
lega, teman-teman yang lain setuju susunan kelompok yang dibuat Kim
Songsaengnim menjadi kelompok permanen untuk kelas kita.” Ujar Sungwoon dalam
perjalanan kembali ke kelas usai pelajaran bahasa Inggris di aula.
“Jadi,
kita akan terus jadi satu kelompok selama kelas sebelas?” Seongwoo berbinar.
“Iya.”
“Wah!
Aku senang. Aku sudah nyaman berada dalam kelompok ini.”
“Nanti
pulang sekolah kita ngumpul gimana?” Usul Sungwoon.
“Aku
nggak bisa. Harus kumpul untuk persiapan pemotretan.” Seongwoo berubah lesu.
“Ong
model sangat sibuk ya sekarang.”
“Kalau
pemotretan selesai, baru bisa sama-sama lagi.”
“Emangnya
belum nemu kata sepakat apa? Kan tinggal pakai seragam trus foto.”
“Kata
sepakat. Kita nggak lagi musyawarah tahu!”
“Aku
juga nggak bisa. Siang nanti ada pelajaran tambahan Bahasa Korea.” Ujar Jisung.
“Kenapa
kamu ngambil pelajaran tambahan bahasa Korea sih?” Tanya Sungwoon.
“Di
sana aku bisa interaksi sama murid asing.” Jisung tersenyum lebar. “Bisa belajar
tentang sastra Korea juga.”
“Kenapa
nggak gabung Klub Sastra Korea aja? Kan lebih mendetail?” Sela Woojin.
“Males.
Di sana kan kumpulan pecinta sastra. Aku bisa terlihat paling bodoh nanti.”
“Luna,
ada jadwal?” Sungwoon menatap Luna yang diam sepanjang perjalanan.
“Mm.”
Luna menganggukkan kepala.
“Kalau
sama Woojin aja males ah!” Sungwoon membatalkan usulan ngumpul setelah jam
sekolah selesai.
“Aku
ada kegiatan sama Klub Taekwondo hari ini.” Woojin pun menolak jika harus
berdua saja bersama Sungwoon.
“Bukannya
jadwal latihan Klub Taekwondo hari Jumat ya?” Tanya Jisung.
“Ada
pertemuan mendadak.” Jawab Woojin.
“Bilang
aja kalau nggak mau ngumpul berdua sama Sungwoon.” Ujar Seongwoo.
“Nggak
kok. Emang ada kegiatan.” Woojin melirik Luna yang acuh padanya.
“Ya
sudah. Kapan-kapan aja ngumpul. Tapi, ngumpul buat apa sih?” Tanya Jisung.
“Ya
ngumpul aja.”
“Males
lah kalau gitu aja.”
“Iya.”
Seongwoo setuju.
“Kirain
mau di traktir.” Sambung Woojin.
Mereka
memasuki kelas, lalu bersiap untuk pelajaran selanjutnya.
***
Jisung
memasuki kelas yang akan dijadikan sebagai tempat pelajaran tambahan untuk
Bahasa Korea. Ia merasa puas karena bisa jadi orang pertama yang tiba di sana.
Setelah tersenyum puas sambil mengamati seluruh sudut ruangan kelas itu, ia
terdiam.
“Sebenarnya
kenapa aku bergabung di kelas Bahasa Korea?” Jisung berbicara sendiri sambil
memiringkan kepalanya. “Kelas akan digabung dengan murid kelas X. Jadi, aku
harus mengulang pelajaran dasar? Ah... Yoon Jisung! Kenapa nggak ngambil EC
aja? Sama Luna. Atau Bahasa Jepang.”
Jisung
berjalan menuju sebuah kursi yang berada di tengah dan urutan nomer tiga dari
depan. “Tapi, di sini kita akan belajar Sastra Korea juga kan? Dan, pasti akan
banyak murid asing yang bergabung. Jadi, aku bisa memperkenalkan Sastra Korea
pada murid asing. Dan, berinteraksi dengan mereka akan sangat menyenangkan. Hah...
semoga saja.”
Jisung
kembali mengawasi kelas. Hanya ada dirinya di dalam sana. Peserta lain belum
datang. “Atau jangan-jangan hanya aku murid Korea yang daftar di pelajaran
tambahan ini? Tapi saat aku mendaftar dan bertanya, katanya ada murid asli Korea
yang bergabung. Jangan-jangan junior semua?” Ia mendadak panik. “Aku harus
bagaimana jika itu terjadi? Jika dari 25 murid, hanya aku aja yang dari kelas
XI?”
Dua
orang junior masuk ke dalam kelas. Jisung yang sangat perhatian pada lingkungan
sekitar tentu saja hafal yang mana senior, teman seangkatan, dan junior. Dua
junior itu bukan murid asing. Kedunya laki-laki. Usai memberi salam pada
Jisung, mereka duduk di bangku belakang.
“Rasanya
benar dugaanku. Hanya akan ada murid kelas X di sini. Apa sebaiknya aku mundur
saja? Atau, minta pindah ke kelas lain?” Jisung berbicara dengan dirinya
sendiri. Ia berusaha selirih mungkin.
Satu
per satu murid yang akan mengikuti pelajaran tambahan Bahasa Korea yang berada
satu kelas dengan Jisung memasuki kelas. Seperti yang ia duga, kelas itu di
dominasi murid asing.
Jisung
pun merasa lega karena ada empat murid yang satu tingkat dengannya yang juga
bergabung dalam kelas itu. Ia segera bergabung dengan empat rekan satu
angkatannya itu dan mengobrol sembari menunggu kelas penuh. Mereka membicarakan
konsep di kelas Bahasa Korea yang mungkin saja akan dibagi seperti kelompok
dalam kelas reguler yang terdiri dari lima murid. Bedanya di kelas ini
sepertinya satu senior akan berada satu kelompok dengan empat junior. Jisung dan
keempat temannya menyimpulkan seperti itu.
“Oh!”
Jisung terkejut melihat Linda dan Guanlin masuk ke dalam kelas. Ia berdiri dan
menghampiri keduanya. “Kalian bergabung di kelas Bahasa Korea?” Tanyanya
menyambut.
“Iye,
Seonbaenim.” Jawab Guanlin sopan. Sedang Linda hanya menganggukkan kepala. “Bahasa
Korea kami masih sangat buruk. Kami perlu belajar lebih giat lagi.” Guanlin menambahkan.
“Bagus!
Bagus!” Jisung tersenyum lebar. “Karena kita sekelas, mari kita belajar
bersama-sama.” Ia semakin antsusias.
“Mohon
bantuannya.” Guanlin membungkukkan badan. Linda melakukan hal yang sama.
“Silahkan
duduk!” Jisung mempersilahkan.
“Seonbae
duduk di mana?” Tanya Guanlin.
“Nee?”
Jisung menunjukkan ekspresi tak paham.
“Aku
rasa akan lebih nyaman jika kami duduk dekat Seonbae. Kami tidak akan merasa
sungkan kalau butuh bantuan dan meminta bantuan itu pada Seonbae.” Guanlin
malu-malu.
“Oh!
Nee. Nee. Karena tinggal kursi belakang yang kosong, aku akan mengikuti kalian.
Ayo!” Jisung mulai berjalan memimpin.
“Ya!
Yoon Jisung!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Jisung.
Jisung
menghentikan langkah, membalikan badan, dan menatap ke arah pintu depan. Tempat
suara berasal. “Kang Daerin?” Kedua pupil mata Jisung terbelalak.
Daerin
berdiri melipat tangan di ambang pintu yang terbuka. “Kenapa kau bergabung di
kelas Bahasa Korea?” Tanya Daerin dengan nada judes seperti biasa.
“Permisi!”
Jisung melewati Guanlin dan Linda. Ia berjalan mendekati Daerin dan membawa
gadis itu keluar kelas. “Aku butuh nilai tambahan. Karenanya aku ikut kelas
ini. Akan lebih mudah mendapat nilai dari bahasa kita sendiri, kan?”
Daerin
berdecak. Mengamati Jisung dengan curiga. “Atau hanya alasan untuk bisa dekat
dengan murid asing?”
Jisung
terkekeh. “Itu bonusnya. Bisa mengasah kemampuan Bahasa Inggrisku dan aku bisa
membantu mereka untuk Bahasa Korea.”
Daerin
memutar kedua bola matanya.
“Ada
apa mencariku?”
“Kita
pulang bareng!”
“Nee?
Tapi, kamu akan ada jadwal kumpul sama para model sekolah kan? Seongwoo bilang
begitu.”
“Iya.
Aku tahu kamu ikut kelas Bahasa Korea juga dari Seongwoo. Makanya aku ke mari.”
“Oh.
Seongwoo akan pulang dengan kita juga?”
Daerin
mengerutkan keningnya. “Kenapa harus sama Seongwoo?”
“Lho?
Kalian nggak pernah pulang bareng?”
“Arah
rumah kami kan nggak sama.”
“Arah
rumah kita juga nggak sama.”
Daerin
menatap kesal pada Jisung.
“Lagian
kayaknya aku bakal pulang lebih dulu dari kamu dan Seongwoo. Dan, kebetulan aku
ada urusan juga nanti.”
“Sama
Luna?!”
Jisung
melotot. Kaget mendengar ucapan Daerin yang lebih tajam dari sebelumnya.
“Anee.” ia menggeleng.
“Ya
sudah. Kapan-kapan aja pulang bareng!” Daerin langsung membalikan badan dan
berjalan pergi meninggalkan Jisung yang tertegun di tempatnya berdiri.
“Dia
itu. Selalu nggak bisa ditebak.” Jisung menggeleng pelan. Lalu, kembali masuk
ke dalam kelas.
Jisung
melihat Linda dan Guanlin sudah duduk di bangku paling belakang. Tersisa satu
bangku kosong di samping kanan Linda. Ia pun berjalan mendekat dan duduk di
bangku kosong itu.
***
Daehwi
kembali sibuk di perpustakaan usai jam sekolah berakhir. Ia sibuk dengan
komputer di meja penjaga perpustakaan.
“Permisi.”
Suara seorang gadis itu menyita perhatian Daehwi.
“Nee?”
Daehwi mengalihkan pandangannya. “Oh! Han Joohee!” Ia tersenyum lebar.
Joohee
terkejut melihat reaksi Daehwi. Menyadari perubahan ekspresi Joohee, Daehwi pun
menarik senyumnya dan berdehem, lalu bertanya, “Ada yang bisa aku bantu?”
“Aku
mau mengembalikan ini.” Joohee meletakkan empat buku yang sebelumnya ia pinjam
di atas meja.
“Oh!
Sudah mau di kembalikan?”
“Nee.
Sudah selesai.”
“Baiklah.
Sebentar.” Daehwi segera sibuk dengan buku-buku yang dibawa Joohee.
“Terima
kasih atas semua bantuannya. Termasuk mengatakannya pada Park Jihoon.” Joohee
berkata dengan sangat hati-hati.
“Hanya
kebetulan karena kami teman satu klub. Kartu Jihoon ada padaku. Jadi, setelah ini
aku bisa mengembalikannya.”
“Kau...
membawanya setiap hari?” Lagi-lagi Joohee berkata dengan sangat hati-hati.
“Nee.”
Daehwi tersenyum manis dan mengembalikan kartu milik Joohee. “Mau pinjam buku
lagi?”
Joohee
menerima kartu miliknya dari tangan Daehwi dan sibuk memasukannya ke dalam tas.
“Awal
pekan lalu datang banyak buku baru. Banyak novel juga. Kamu suka baca novel
tidak?” Daehwi melanjutkan.
“Maaf?”
Tanya Joohee setelah menaruh perhatian kembali pada Daehwi.
Daehwi
menghela napas. “Ada banyak buku baru, awal pekan lalu datang. Kamu nggak ingin
pinjam buku lagi? Ada banyak novel juga. Kamu suka baca novel kah?” Ia
mengulangi pertanyaannya.
“Benarkah?
Ada novel horor kah?” Joohee mendadak bersemangat.
Daehwi
terkejut mendengar pertanyaan Joohee. “Kamu... suka novel horor?”
Joohee
mengangguk antusias. Membuat Daehwi ternganga.
“Kalau
novel fantasi, ada juga?” Tanya Joohee. Nadanya masih penuh semangat.
“Sebentar.”
Daehwi mengecek katalog buku dalam komputer. “Ada beberapa novel fantasi
terjemahan. Novel horor juga ada beberapa.”
“Woa!”
Joohee terkagum-kagum.
Daehwi
mendongakkan kepala, menatap Joohee tanpa berkedip. “Kalau kamu mau pinjam, aku
kasih tahu tempatnya.” Ujarnya hati-hati.
“Nggak
usah. Aku hafal kok tempatnya.” Nada bicara Joohee terdengar riang. Tidak
malu-malu seperti sebelumnya. “Kamsahamnida.” Joohee membungkuk, lalu segera
pergi menuju rak tempat incarannya berada.
Daehwi
masih tertegun. Kemudian ia menggeleng cepat dan memperhatikan Joohee yang berjalan
menuju deretan rak buku.
“Kupikir
dia suka novel romantis. Ternyata penggemar novel horor dan fantasi. Kalau
fantasi itu wajar. Tapi, horor? Kontras sekali dengan penampilannya. Bukankah
ia lebih pantas menjadi pecinta novel romantis?” Daehwi mengoceh sendiri.
Kemudian menggeleng dan menghela napas. Lalu, ia kembali sibuk dengan komputer
di hadapannya.
Walau
berusaha konsentrasi penuh pada pekerjaannya, sesekali Daehwi menoleh ke arah
deretan rak buku. Memperhatikan murid-murid yang sibuk memilih dan
melihat-lihat buku. Ia tak seharusnya terlalu protektif seperti itu, karena ada
CCTV. Jadi, jika ada murid yang mencuri buku pasti akan terekam CCTV.
Ketika
Joohee kembali muncul, Daehwi kelincutan. Ia segera kembali fokus pada
pekerjaannya. Berpura-pura tak tahu jika Joohee berjalan ke arahnya.
“Oh!
Sudah selesai?” Sapa Daehwi saat Joohee tiba dan meletakannya di atas meja.
“Mm!”
Joohee mengangguk. Lalu, memberikan kartu anggota perpustakaan miliknya.
Daehwi memeriksa dua buku yang dibawa Joohee ke mejanya. Keduanya novel horor. “Nggak jadi pinjem yang fantasi?”
Daehwi memeriksa dua buku yang dibawa Joohee ke mejanya. Keduanya novel horor. “Nggak jadi pinjem yang fantasi?”
“Kebetulan
aku udah baca semua. Maksudku buku-buku fantasi yang baru tiba itu. Aku udah
baca.”
“Oh...
begitu.”
“Sebenarnya
itu kan udah terbit tahun lalu.”
“Iya
kah? Wah, pustakawan kita kurang update
tentang buku baru ya?”
Joohee
tersenyum. “Untuk keperluan tugas kan biasanya novel romance. Jadi, sepertinya novel fantasi kurang diperhitungkan.”
“Iya
juga sih. Lalu, dua novel horor ini kamu belum pernah baca?” Daehwi sambil
mencatat judul buku dan nomer buku yang akan dipinjam Joohee.
“Aku
baru tahu ada dua judul itu. Mau coba aja. Penulisnya juga baru. Sepertinya
begitu. Aku baru tahu nama mereka.”
“Selamat
membaca!” Daehwi memberikan buku sekaligus kartu anggota milik Joohee.
“Terima
kasih.” Joohee kemudian sibuk memasukan buku dan kartunya ke dalam tas.
“Han
Joohee.”
“Iya?”
“Jujur
aku tadi kaget waktu kamu nunjukin antusiasme pada novel horor. Aku pikir kamu
lebih suka romance.”
Joohee
tersenyum. “Aku suka semua genre. Dalam novel horor, kadang ada sisi
romantisnya juga kok. Nggak melulu segala sesuatu yang seram. Walau poin
pentingnya memang di sana.”
“Oh….”Daehwi
bergumam dan mengangguk-anggukan kepala.
“Terima
kasih. Aku permisi dulu.” Joohee menundukkan kepala, lalu pergi meninggalkan
perpustakaan.
Daehwi
menghela napas panjang. Seolah-olah sebelumnya ia tak bernapas. “Apa aku udah
melakukan hal yang benar?” Gumamnya. Ia pun kembali fokus pada komputer di
hadapannya.
***
Luna
duduk di bangku halte dan menghela napas. Menyelonjorkan kakinya yang lelah.
Jaehwan duduk di sampingnya. Pulang sekolah tadi mereka dua pergi bersama untuk
sebuah misi yang sudah direncanakan Luna sebelumnya. Misi untuk mencari tahu
segala sesuatu tentang Bae Jinyoung yang beberapa hari terakhir memenuhi
pikiran Luna. Membuat gadis itu penasaran.
“Kamu
kalau penasaran mengerikan juga ya? Buat apa sih kita sampai kayak gini?” Keluh
Jaehwan.
“Mencari
jawaban dari rasa penasaran itu.” Jawab Luna santai.
“Iya
tahu. Tapi, sampai begini banget?”
“Bukannya
tadi kamu bilang kita keren? Kayak detektif? Mending aku pergi sama Woojin deh.
Dia nggak bawel kayak kamu! Atau pergi sendiri lebih baik.”
“Nggak!
Nggak. Itu bahaya!”
“Bae
Jinyoung kan masih di sekolah. Sama Woojin.”
Jaehwan
diam sejenak, lalu meringis. “Iya juga sih. Bisa kebetulan gitu ya? Kita mau
menyelidiki Bae Jinyoung dan dia ada kegiatan di sekolah.”
“Kebetulan
itu bisa diciptakan.” Luna bangkit dari duduknya, karena melihat satu bus
mendekati halte.
“Bisa
diciptakan?” Jaehwan ikut bangkit dari duduknya.
“Iya.”
Luna naik ke atas bus.
Jaehwan
mengikuti di belakang Luna. Lalu keduanya duduk berdampingan.
“Bagaimana
menciptakan sebuah kebetulan?” Tanya Jaehwan saat bus kembali melaju.
“Penelitian
dan sebuah skenario.”
“Itu
aja?”
“Nggak
semudah itu juga sih.”
“Ya.
Ngomong emang gampang. Prakteknya yang susah.”
“Sama-sama
susah kok.”
Jaehwan
menoleh, menatap Luna dengan ekspresi tak paham.
“Bayangin
aja saat kamu harus ngomong sama orang yang kamu suka. Nggak mudah, kan? Jadi,
ngomong dan bertindak itu punya tingkat kesulitan yang sama.”
“Iya
juga sih.”
“Saat
aku mau ngomong ke kamu dan Woojin soal Bae Jinyoung, itu juga sangat sulit.”
“Tapi,
kalau dipikir ulang, tetap saja bertindak punya satu tingkat lebih sulit daripada
ngomong.”
“Eum...
iya ya. Kamu bener.”
Jaehwan
tersenyum lebar. Penuh kepuasan. “Oya, apa kabar Woojin? Misinya sukses?”
“Semoga
aja. Dia belum bales pesanku sih.”
“Jangan-jangan
misinya gagal? Dia ketahuan Bae Jinyoung dan….”
“Udah!
Jangan panjang angan-angan! Harusnya informasi yang kita dapat tadi bikin
penilaian kamu tentang Bae Jinyoung berubah.”
“Hehehe.
Habisnya anak itu auranya gelap sekali.”
“Emang
kamu bisa liat aura Bae Jinyoung yang sebenarnya?” Luna menatap lurus Jaehwan.
“Eng...
nggak sih. Tapi, liat aja. Penampilannya serem, kan? Kantung matanya yang
tebal. Sikapnya yang selalu diam. Ih! Ngeri banget!”
Luna
diam. Menatap Jaehwan. Ia lalu tersenyum. “Menurutku dia unik dan tampan.”
“Tampan??”
Pekik Jaehwan. Membuat penumpang bus lainnya menatapnya. Jaehwan tersenyum kikuk
dan segera meminta maaf. “Tampan katamu?!” Kali ini Jaehwan berkata lirih.
“Mm!”
Luna mengangguk.
“Ya!
Luna-ya! Kamu nggak sedang jatuh hati ke Bae Jinyoung, kan? Ingat! Kamu udah
ada Park Jihoon!”
“Kami
kan belum resmi pacaran.” Bantah Luna.
“Tapi,
publik sudah meresmikan kalian sebagai couple.
Jangan cari masalah. Kamu tahu kan siapa itu Park Jihoon?”
“Monster
berwajah imut?” Luna kemudian terdiam, lalu tersenyum. Mendadak ia teringat
pada Daniel. Ya, Daniel lah yang memberi julukan monster berwajah imut untuk
Jihoon.
“Ya.
Seperti itu lah. Makanya jangan bikin masalah. Nanti yang susah pasti Bae
Jinyoung. Kita tahu kan bagaimana ia di sekolah. Jika ditambah oleh masalah
yang mungkin kamu buat, nggak kebayang gimana hidupnya di sekolah.”
Luna
tersenyum menatap Jaehwan. “Terima kasih.”
“Eh?
Untuk apa?”
“Telah
mengkhawatirkan aku dan Bae Jinyoung. Terlebih Bae Jinyoung. Aku tahu kamu
peduli, hanya saja entah apa yang membuatmu enggan membantunya. Apa mungkin
karena kalian baru aja sekelas? Trus, gimana Minhyun?”
“Eh?
Kok Minhyun?”
“Dia
nggak care gitu sama Bae Jinyoung?
Bukannya dia tipe pahlawan yang gemar melindungi kaum lemah ya?”
“Kamu
ini ngomong apa sih Luna?”
Luna
tersenyum lebar. “Pokoknya terima kasih untuk hari Kim Jaehwan! Sekarang aku
makin yakin padamu!”
“Yakin?”
“Mm!
Kamu bisa diandalkan! Hehehe.” Luna lalu mengalihkan pandangan. Menatap keluar
jendela bus.
Jaehwan
menggeleng, masih menatap Luna yang sedang mengagumi pemandangan di luar bus.
“Sangat
sulit mencari teman yang bisa di andalkan. Bae Jinyoung pasti sangat kesepian.
Bagaimana ia bisa bertahan seperti itu hingga kini?” Ujar Luna tanpa
mengalihkan pandangannya.
“Mm.
Benar juga. Aku nggak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Dia pemuda yang
kuat. Bagaimana ia bisa hidup tenang dalam bayangan masa lalu yang hitam?”
Luna
kembali menatap Jaehwan. Senyumnya lebar, kedua matanya berkilat. Menunjukan
antusiasme yang kuat. “Karenanya, kamu harus bantu dia.”
“Aku??”
Jaehwan kembali menyita perhatian penumpang bus yang lain seperti sebelumnya.
Ia kembali tersenyum dan meminta maaf. “Kenapa aku?” Suara Jaehwan kembali
lirih.
“Karena,
kamu lelaki dan dekat dengan dia.”
“Nggak!
Cuman sekelas doang. Nggak dekat.”
“Lebih
dekat daripada aku, kan?”
“Tapi,
kebetulanmu dan dia. Oh tidak! Jangan-jangan….”
“Kamu
mikir apalagi?”
“Kamu
pernah dengar apa yang bisa bikin laki-laki luluh?”
“Mm??”
“Perempuan!”
“Ha??”
“Jangan-jangan
Bae Jinyoung itu sebenernya naksir kamu!”
“Eh?”
“Bisa
aja, kan?”
“….”
“Dan
pertemuannya denganmu adalah kebetulan yang ia ciptakan setelah mengadakan
penelitian tentangmu. Itu skenario yang ia tulis.”
Luna
menghela napas dan menggelengkan kepala sembari kembali menatap ke luar jendela
bus. “Dasar Kim Jaehwan!” Ujarnya lirih.
***
0 comments