My 4D Seonbae - Episode #11 "Berkata Dan Bertindak Punya Tingkat Kesulitan Yang Hampir Sama"

05:15

                      "Berkata Dan Bertindak Punya Tingkat Kesulitan Yang Hampir Sama"





Sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang suka sok membela kebenaran. Terlebih jika tak ada hubungannya denganku. Tapi, ada kalanya rasa penasaranku menyeretku pada beberapa masalah yang berujung pada tindakan seperti sok membela kebenaran. Kebenaran dalam cara pandangku.

Dulu, saat kelas II SD aku pernah berkelahi dengan salah seorang teman sekelas demi membela kakak kelasku. Hal itu membuatku dan Wirog terkena skors. Kami dilarang bergaul dengan kakak kelas III selama satu semester. Aku dan Wirog tidak punya teman di kelas dua. Karenanya kami berteman dengan saudari sepupuku yang berada satu tingkat di atas kami.

Lebih tepatnya kasus waktu itu saudari sepupuku membelaku dan Wirog yang terasing di kelas II. Kami pun terkena hukuman tak boleh bermain bersama saat di sekolah. Hikmah dari peristiwa itu, kami menjadi dekat dengan Cue, Siput, dan Onyet. Jadilah geng Pretty Soldier terbentuk. Sebagai geng—yang katanya geng—anak-anak cantik dan pintar. Kami cukup disegani di sekolah.

Saat kelas VI, aku kembali membuat sekolah heboh. Aku berkelahi dengan teman sekelasku. Murid laki-laki paling nakal di kelas. Aku kesal karena temanku itu membuat keributan saat pelajaran Bahasa Inggris berlangsung. Aku sangat menyukai Bahasa Inggris, tapi aku tidak bisa kosentrasi karena tempat dudukku nomer dua dari belakang—nasib murid berpostur tinggi. Sedang temanku itu duduk tepat di belakangku.

Kesal, aku pun menegurnya agar tak membuat keributan. Temanku malah marah-marah. Anehnya, aku justeru tak gentar karena amarah murid paling nakal di kelasku itu. Aku terus maju. Bahkan, ketika ia hendak menempelengku, aku tak gentar sedikitpun.

Aku memukulkan penggaris plastikku ke meja hingga patah, lalu aku gunakan untuk menyerang teman lelakiku hingga lengannya terluka. Aku sudah siap jika temanku itu akan memukulku. Aku pasrah. Anehnya, dia hanya berdiri tercengang menatapku, lalu kembali duduk tanpa berkata apa-apa.

Aku yang masih linglung usai melakukan tindakan penyerangan itu, berjalan dengan langkah gontai ke depan kelas. Mendekati meja guru. Lalu, aku meminta maaf karena kelas jadi ribut saat pelajaran Bahasa Inggris berlangsung. Aku minta maaf kepada Bu Guru cantik itu karena tidak bisa membuat teman-temanku diam. Guruku yang cantik memelukku dan menangis. Aku pun turut menangis. Dan, seluruh murid perempuan yang jumlahnya hanya sepuluh orang—termasuk aku—itu turut menangis.

Kabar itu sampai ke telinga Kepala Sekolah. Berujung seluruh murid laki-laki di kelasku dikenai hukuman. Harus membuat surat pernyataan yang di tanda tangani orang tua dan harus meminta maaf ke Guru Bahasa Inggris kami dengan datang ke rumah Bu Guru cantik itu.

Setelah peristiwa itu, pelajaran Bahasa Inggris berlangsung dengan tenang. Teman laki-laki yang terkenal sebagai murid paling nakal itu pun tak berani menggangguku juga geng Pretty Soldier lagi.

Setiap kali mengingatnya, aku selalu bertanya-tanya, apakah dalam diriku ini ada jiwa psikopat? Aku melukai lengan temanku hingga berdarah, tapi aku sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan, ketika seluruh teman laki-laki terkena hukuman—tanpa pandang bulu itu, murid baik atau nakal kena hukuman—aku tersenyum puas.

Tidak! Aku bukan psikopat. Hanya saja temanku itu sudah melampaui batas kesabaranku. Jadi, aku bertindak. Dan, karena ia menggertak dengan mengangkat tangan kanan dan mengepalkannya tepat di depan wajahku. Aku pun menggertaknya dengan sengaja mematahkan penggarisku dan menggunakannya sebagai alat untuk menyerang.

Tunggu! Temanku hanya menggertak, tapi tidak menyerang. Sedang aku, langsung menyerangnya. Tanpa ampun. Jadi, apakah benar aku memiliki jiwa psikopat dalam diriku? Dan, rasa puas setelah melihat semua murid laki-laki dihukum itu apa? Aku senang melihat mereka menderita.

Tidak! Psikopat tidak memiliki rasa iba. Kenapa aku merasa kasihan pada Bae Jinyoung? Alih-alih ingin membuatnya semakin terasing, aku malah ingin membuatnya terbebas dari segala tuduhan dan pandangan buruk itu. Jadi, aku bukan psikopat kan?

Aku hanya melakukan apa yang hatiku ingin lakukan. Begitu juga pada Bae Jinyoung. Dan, juga Park Jihoon. Kalau dipikir-pikir, Bae Jinyoung dan Park Jihoon memiliki kesamaan walau mereka berbeda 180 derajat. Itu menurutku. Atau Park Jihoon lebih mirip denganku? Karenanya, kami dipertemukan?

Ah! Rasa penasaran itu selalu merepotkan! Dan, harus berkata juga bertindak, tingkat kesulitannya sama. Untuk mencapai tujuan itu, aku harus membangkitkan diriku yang dulu. Agar rasa penasaranku terjawab. Tentang hasil akhirnya, kita lihat saja nanti. Mengangkatnya lebih tinggi, atau menjatuhkannya hingga ia tak mampu berdiri lagi.

***


Kelas XI-E berkumpul di aula untuk pementasan drama pendek yang merupakan tugas kelompok dari pelajaran Bahasa Inggris. Luna dan teman-temannya duduk di bangku penonton. Menunggu giliran tampil. Di atas panggung sedang berlangsung pertunjukan drama dari salah satu kelompok.

Jika Luna terlihat santai, tidak dengan keempat anggota kelompoknya. Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin terlihat gugup. Mereka tak konsentrasi pada pertunjukan. Tapi, sibuk dengan naskah di tangan masing-masing. Terus berusaha menghapal dialog dalam Bahasa Inggris itu.

Jisung yang menjabat sebagai ketua kelompok terlihat paling tegang. Selama latihan, Sungwoon dan Seongwoo sering melakukan kesalahan. Ketika ia atau Luna menegur, keduanya kadang menjadikam teguran itu bahan candaan. Bahkan, pernah sekali Luna sampai marah dan mengancam akan keluar dari kelompoknya jika Sungwoon dan Seongwoo terus tak serius.

Walau durasi pementasan hanya 10 menit, bagi Jisung waktu itu terasa sangat lama. Terlebih ia takut lupa dialog saat di atas panggung nanti. Meskipun Luna tak menuntut apa-apa, tapi menjadi satu kelompok dengan salah satu murid pintar di sekolah itu benar terasa jadi beban baginya. Ia yakin Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin juga merasakannya.

Kelompok Luna dipanggil. Mereka diberi waktu mempersiapkan diri di belakang panggung sebelum tampil. Jisung menatap satu per satu anggota kelompoknya. Mereka tak bisa menutupi rasa gugup masing-masing. Walau Luna terlihat tenang, ia yakin gadis itu pasti juga merasa gugup.

“Mari kita berdoa.” Luna menggandeng tangan Seongwoo dan Woojin.

Jisung menggandeng tangan Sungwoon, menyambung, bergandengan lalu masing-masing menggandeng tangan Seongwoo dan Woojin yang bebas.

“Jangan berharap menjadi pemenang. Tapi, mari berdoa untuk bisa menampilkan yang terbaik yang kita bisa. Kita sudah berusaha dengan baik, aku yakin kita pasti menampilkannya dengan baik hari ini.” Luna memberi semangat.

“Aku takut lupa dialognya.” Kata Seongwoo.

“Aku akan bantu. Selama kita melakukan kontak mata, kita akan saling bantu. Begitu kan yang kita lakukan saat pementasan? Jisung?” Luna menatap Jisung.

“Benar sekali. Aku juga berusaha menghafal semua dialog. Kita saling bantu saja.” Jisung setuju.

“Aku udah hafal. Cuman kalau di atas panggung karena gugup, bisa jadi lupa.” Ujar Sungwoon.

“Nanti, kita saling mengingatkan.” Woojin menenangkan.

Jisung pun memimpin doa. Lalu ia dan kelompoknya naik ke atas panggung. Karena Luna yang paling mahir berbahasa Inggris, sesi perkenalan kelompok diserahkan pada Luna.

Pertunjukan drama singkat yang ditampilkan kelompok Luna berjalan lancar. Jisung juga keempat anggota kelompok itu merasa lega. Walau sempat gugup dan takut lupa dialog, di atas panggung mereka sama sekali tak lupa dialog. Hanya saja pengucapan bahasa Inggris mereka yang kurang sempurna. Kelemahan yang sama dengan kelompok lain.

“Aku lega, teman-teman yang lain setuju susunan kelompok yang dibuat Kim Songsaengnim menjadi kelompok permanen untuk kelas kita.” Ujar Sungwoon dalam perjalanan kembali ke kelas usai pelajaran bahasa Inggris di aula.

“Jadi, kita akan terus jadi satu kelompok selama kelas sebelas?” Seongwoo berbinar.

“Iya.”

“Wah! Aku senang. Aku sudah nyaman berada dalam kelompok ini.”

“Nanti pulang sekolah kita ngumpul gimana?” Usul Sungwoon.

“Aku nggak bisa. Harus kumpul untuk persiapan pemotretan.” Seongwoo berubah lesu.

“Ong model sangat sibuk ya sekarang.”

“Kalau pemotretan selesai, baru bisa sama-sama lagi.”

“Emangnya belum nemu kata sepakat apa? Kan tinggal pakai seragam trus foto.”

“Kata sepakat. Kita nggak lagi musyawarah tahu!”

“Aku juga nggak bisa. Siang nanti ada pelajaran tambahan Bahasa Korea.” Ujar Jisung.

“Kenapa kamu ngambil pelajaran tambahan bahasa Korea sih?” Tanya Sungwoon.

“Di sana aku bisa interaksi sama murid asing.” Jisung tersenyum lebar. “Bisa belajar tentang sastra Korea juga.”

“Kenapa nggak gabung Klub Sastra Korea aja? Kan lebih mendetail?” Sela Woojin.

“Males. Di sana kan kumpulan pecinta sastra. Aku bisa terlihat paling bodoh nanti.”

“Luna, ada jadwal?” Sungwoon menatap Luna yang diam sepanjang perjalanan.

“Mm.” Luna menganggukkan kepala.

“Kalau sama Woojin aja males ah!” Sungwoon membatalkan usulan ngumpul setelah jam sekolah selesai.

“Aku ada kegiatan sama Klub Taekwondo hari ini.” Woojin pun menolak jika harus berdua saja bersama Sungwoon.

“Bukannya jadwal latihan Klub Taekwondo hari Jumat ya?” Tanya Jisung.

“Ada pertemuan mendadak.” Jawab Woojin.

“Bilang aja kalau nggak mau ngumpul berdua sama Sungwoon.” Ujar Seongwoo.

“Nggak kok. Emang ada kegiatan.” Woojin melirik Luna yang acuh padanya.

“Ya sudah. Kapan-kapan aja ngumpul. Tapi, ngumpul buat apa sih?” Tanya Jisung.

“Ya ngumpul aja.”

“Males lah kalau gitu aja.”

“Iya.” Seongwoo setuju.

“Kirain mau di traktir.” Sambung Woojin.

Mereka memasuki kelas, lalu bersiap untuk pelajaran selanjutnya.

***


Jisung memasuki kelas yang akan dijadikan sebagai tempat pelajaran tambahan untuk Bahasa Korea. Ia merasa puas karena bisa jadi orang pertama yang tiba di sana. Setelah tersenyum puas sambil mengamati seluruh sudut ruangan kelas itu, ia terdiam.

“Sebenarnya kenapa aku bergabung di kelas Bahasa Korea?” Jisung berbicara sendiri sambil memiringkan kepalanya. “Kelas akan digabung dengan murid kelas X. Jadi, aku harus mengulang pelajaran dasar? Ah... Yoon Jisung! Kenapa nggak ngambil EC aja? Sama Luna. Atau Bahasa Jepang.”

Jisung berjalan menuju sebuah kursi yang berada di tengah dan urutan nomer tiga dari depan. “Tapi, di sini kita akan belajar Sastra Korea juga kan? Dan, pasti akan banyak murid asing yang bergabung. Jadi, aku bisa memperkenalkan Sastra Korea pada murid asing. Dan, berinteraksi dengan mereka akan sangat menyenangkan. Hah... semoga saja.”

Jisung kembali mengawasi kelas. Hanya ada dirinya di dalam sana. Peserta lain belum datang. “Atau jangan-jangan hanya aku murid Korea yang daftar di pelajaran tambahan ini? Tapi saat aku mendaftar dan bertanya, katanya ada murid asli Korea yang bergabung. Jangan-jangan junior semua?” Ia mendadak panik. “Aku harus bagaimana jika itu terjadi? Jika dari 25 murid, hanya aku aja yang dari kelas XI?”

Dua orang junior masuk ke dalam kelas. Jisung yang sangat perhatian pada lingkungan sekitar tentu saja hafal yang mana senior, teman seangkatan, dan junior. Dua junior itu bukan murid asing. Kedunya laki-laki. Usai memberi salam pada Jisung, mereka duduk di bangku belakang.

“Rasanya benar dugaanku. Hanya akan ada murid kelas X di sini. Apa sebaiknya aku mundur saja? Atau, minta pindah ke kelas lain?” Jisung berbicara dengan dirinya sendiri. Ia berusaha selirih mungkin.

Satu per satu murid yang akan mengikuti pelajaran tambahan Bahasa Korea yang berada satu kelas dengan Jisung memasuki kelas. Seperti yang ia duga, kelas itu di dominasi murid asing.

Jisung pun merasa lega karena ada empat murid yang satu tingkat dengannya yang juga bergabung dalam kelas itu. Ia segera bergabung dengan empat rekan satu angkatannya itu dan mengobrol sembari menunggu kelas penuh. Mereka membicarakan konsep di kelas Bahasa Korea yang mungkin saja akan dibagi seperti kelompok dalam kelas reguler yang terdiri dari lima murid. Bedanya di kelas ini sepertinya satu senior akan berada satu kelompok dengan empat junior. Jisung dan keempat temannya menyimpulkan seperti itu.

“Oh!” Jisung terkejut melihat Linda dan Guanlin masuk ke dalam kelas. Ia berdiri dan menghampiri keduanya. “Kalian bergabung di kelas Bahasa Korea?” Tanyanya menyambut.

“Iye, Seonbaenim.” Jawab Guanlin sopan. Sedang Linda hanya menganggukkan kepala. “Bahasa Korea kami masih sangat buruk. Kami perlu belajar lebih giat lagi.” Guanlin menambahkan.

“Bagus! Bagus!” Jisung tersenyum lebar. “Karena kita sekelas, mari kita belajar bersama-sama.” Ia semakin antsusias.

“Mohon bantuannya.” Guanlin membungkukkan badan. Linda melakukan hal yang sama.

“Silahkan duduk!” Jisung mempersilahkan.

“Seonbae duduk di mana?” Tanya Guanlin.

“Nee?” Jisung menunjukkan ekspresi tak paham.

“Aku rasa akan lebih nyaman jika kami duduk dekat Seonbae. Kami tidak akan merasa sungkan kalau butuh bantuan dan meminta bantuan itu pada Seonbae.” Guanlin malu-malu.

“Oh! Nee. Nee. Karena tinggal kursi belakang yang kosong, aku akan mengikuti kalian. Ayo!” Jisung mulai berjalan memimpin.

“Ya! Yoon Jisung!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Jisung.

Jisung menghentikan langkah, membalikan badan, dan menatap ke arah pintu depan. Tempat suara berasal. “Kang Daerin?” Kedua pupil mata Jisung terbelalak.

Daerin berdiri melipat tangan di ambang pintu yang terbuka. “Kenapa kau bergabung di kelas Bahasa Korea?” Tanya Daerin dengan nada judes seperti biasa.

“Permisi!” Jisung melewati Guanlin dan Linda. Ia berjalan mendekati Daerin dan membawa gadis itu keluar kelas. “Aku butuh nilai tambahan. Karenanya aku ikut kelas ini. Akan lebih mudah mendapat nilai dari bahasa kita sendiri, kan?”

Daerin berdecak. Mengamati Jisung dengan curiga. “Atau hanya alasan untuk bisa dekat dengan murid asing?”

Jisung terkekeh. “Itu bonusnya. Bisa mengasah kemampuan Bahasa Inggrisku dan aku bisa membantu mereka untuk Bahasa Korea.”

Daerin memutar kedua bola matanya.

“Ada apa mencariku?”

“Kita pulang bareng!”

“Nee? Tapi, kamu akan ada jadwal kumpul sama para model sekolah kan? Seongwoo bilang begitu.”

“Iya. Aku tahu kamu ikut kelas Bahasa Korea juga dari Seongwoo. Makanya aku ke mari.”

“Oh. Seongwoo akan pulang dengan kita juga?”

Daerin mengerutkan keningnya. “Kenapa harus sama Seongwoo?”

“Lho? Kalian nggak pernah pulang bareng?”

“Arah rumah kami kan nggak sama.”

“Arah rumah kita juga nggak sama.”

Daerin menatap kesal pada Jisung.

“Lagian kayaknya aku bakal pulang lebih dulu dari kamu dan Seongwoo. Dan, kebetulan aku ada urusan juga nanti.”

“Sama Luna?!”

Jisung melotot. Kaget mendengar ucapan Daerin yang lebih tajam dari sebelumnya. “Anee.” ia menggeleng.

“Ya sudah. Kapan-kapan aja pulang bareng!” Daerin langsung membalikan badan dan berjalan pergi meninggalkan Jisung yang tertegun di tempatnya berdiri.

“Dia itu. Selalu nggak bisa ditebak.” Jisung menggeleng pelan. Lalu, kembali masuk ke dalam kelas.

Jisung melihat Linda dan Guanlin sudah duduk di bangku paling belakang. Tersisa satu bangku kosong di samping kanan Linda. Ia pun berjalan mendekat dan duduk di bangku kosong itu.

***


Daehwi kembali sibuk di perpustakaan usai jam sekolah berakhir. Ia sibuk dengan komputer di meja penjaga perpustakaan.

“Permisi.” Suara seorang gadis itu menyita perhatian Daehwi.

“Nee?” Daehwi mengalihkan pandangannya. “Oh! Han Joohee!” Ia tersenyum lebar.

Joohee terkejut melihat reaksi Daehwi. Menyadari perubahan ekspresi Joohee, Daehwi pun menarik senyumnya dan berdehem, lalu bertanya, “Ada yang bisa aku bantu?”

“Aku mau mengembalikan ini.” Joohee meletakkan empat buku yang sebelumnya ia pinjam di atas meja.

“Oh! Sudah mau di kembalikan?”

“Nee. Sudah selesai.”

“Baiklah. Sebentar.” Daehwi segera sibuk dengan buku-buku yang dibawa Joohee.

“Terima kasih atas semua bantuannya. Termasuk mengatakannya pada Park Jihoon.” Joohee berkata dengan sangat hati-hati.

“Hanya kebetulan karena kami teman satu klub. Kartu Jihoon ada padaku. Jadi, setelah ini aku bisa mengembalikannya.”

“Kau... membawanya setiap hari?” Lagi-lagi Joohee berkata dengan sangat hati-hati.

“Nee.” Daehwi tersenyum manis dan mengembalikan kartu milik Joohee. “Mau pinjam buku lagi?”

Joohee menerima kartu miliknya dari tangan Daehwi dan sibuk memasukannya ke dalam tas.

“Awal pekan lalu datang banyak buku baru. Banyak novel juga. Kamu suka baca novel tidak?” Daehwi melanjutkan.

“Maaf?” Tanya Joohee setelah menaruh perhatian kembali pada Daehwi.

Daehwi menghela napas. “Ada banyak buku baru, awal pekan lalu datang. Kamu nggak ingin pinjam buku lagi? Ada banyak novel juga. Kamu suka baca novel kah?” Ia mengulangi pertanyaannya.

“Benarkah? Ada novel horor kah?” Joohee mendadak bersemangat.

Daehwi terkejut mendengar pertanyaan Joohee. “Kamu... suka novel horor?”

Joohee mengangguk antusias. Membuat Daehwi ternganga.

“Kalau novel fantasi, ada juga?” Tanya Joohee. Nadanya masih penuh semangat.

“Sebentar.” Daehwi mengecek katalog buku dalam komputer. “Ada beberapa novel fantasi terjemahan. Novel horor juga ada beberapa.”

“Woa!” Joohee terkagum-kagum.

Daehwi mendongakkan kepala, menatap Joohee tanpa berkedip. “Kalau kamu mau pinjam, aku kasih tahu tempatnya.” Ujarnya hati-hati.

“Nggak usah. Aku hafal kok tempatnya.” Nada bicara Joohee terdengar riang. Tidak malu-malu seperti sebelumnya. “Kamsahamnida.” Joohee membungkuk, lalu segera pergi menuju rak tempat incarannya berada.

Daehwi masih tertegun. Kemudian ia menggeleng cepat dan memperhatikan Joohee yang berjalan menuju deretan rak buku.

“Kupikir dia suka novel romantis. Ternyata penggemar novel horor dan fantasi. Kalau fantasi itu wajar. Tapi, horor? Kontras sekali dengan penampilannya. Bukankah ia lebih pantas menjadi pecinta novel romantis?” Daehwi mengoceh sendiri. Kemudian menggeleng dan menghela napas. Lalu, ia kembali sibuk dengan komputer di hadapannya.

Walau berusaha konsentrasi penuh pada pekerjaannya, sesekali Daehwi menoleh ke arah deretan rak buku. Memperhatikan murid-murid yang sibuk memilih dan melihat-lihat buku. Ia tak seharusnya terlalu protektif seperti itu, karena ada CCTV. Jadi, jika ada murid yang mencuri buku pasti akan terekam CCTV.

Ketika Joohee kembali muncul, Daehwi kelincutan. Ia segera kembali fokus pada pekerjaannya. Berpura-pura tak tahu jika Joohee berjalan ke arahnya.

“Oh! Sudah selesai?” Sapa Daehwi saat Joohee tiba dan meletakannya di atas meja.

“Mm!” Joohee mengangguk. Lalu, memberikan kartu anggota perpustakaan miliknya.
Daehwi memeriksa dua buku yang dibawa Joohee ke mejanya. Keduanya novel horor. “Nggak jadi pinjem yang fantasi?”

“Kebetulan aku udah baca semua. Maksudku buku-buku fantasi yang baru tiba itu. Aku udah baca.”

“Oh... begitu.”

“Sebenarnya itu kan udah terbit tahun lalu.”

“Iya kah? Wah, pustakawan kita kurang update tentang buku baru ya?”

Joohee tersenyum. “Untuk keperluan tugas kan biasanya novel romance. Jadi, sepertinya novel fantasi kurang diperhitungkan.”

“Iya juga sih. Lalu, dua novel horor ini kamu belum pernah baca?” Daehwi sambil mencatat judul buku dan nomer buku yang akan dipinjam Joohee.

“Aku baru tahu ada dua judul itu. Mau coba aja. Penulisnya juga baru. Sepertinya begitu. Aku baru tahu nama mereka.”

“Selamat membaca!” Daehwi memberikan buku sekaligus kartu anggota milik Joohee.

“Terima kasih.” Joohee kemudian sibuk memasukan buku dan kartunya ke dalam tas.

“Han Joohee.”

“Iya?”

“Jujur aku tadi kaget waktu kamu nunjukin antusiasme pada novel horor. Aku pikir kamu lebih suka romance.”

Joohee tersenyum. “Aku suka semua genre. Dalam novel horor, kadang ada sisi romantisnya juga kok. Nggak melulu segala sesuatu yang seram. Walau poin pentingnya memang di sana.”

“Oh….”Daehwi bergumam dan mengangguk-anggukan kepala.

“Terima kasih. Aku permisi dulu.” Joohee menundukkan kepala, lalu pergi meninggalkan perpustakaan.

Daehwi menghela napas panjang. Seolah-olah sebelumnya ia tak bernapas. “Apa aku udah melakukan hal yang benar?” Gumamnya. Ia pun kembali fokus pada komputer di hadapannya.

***


Luna duduk di bangku halte dan menghela napas. Menyelonjorkan kakinya yang lelah. Jaehwan duduk di sampingnya. Pulang sekolah tadi mereka dua pergi bersama untuk sebuah misi yang sudah direncanakan Luna sebelumnya. Misi untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Bae Jinyoung yang beberapa hari terakhir memenuhi pikiran Luna. Membuat gadis itu penasaran.

“Kamu kalau penasaran mengerikan juga ya? Buat apa sih kita sampai kayak gini?” Keluh Jaehwan.

“Mencari jawaban dari rasa penasaran itu.” Jawab Luna santai.

“Iya tahu. Tapi, sampai begini banget?”

“Bukannya tadi kamu bilang kita keren? Kayak detektif? Mending aku pergi sama Woojin deh. Dia nggak bawel kayak kamu! Atau pergi sendiri lebih baik.”

“Nggak! Nggak. Itu bahaya!”

“Bae Jinyoung kan masih di sekolah. Sama Woojin.”

Jaehwan diam sejenak, lalu meringis. “Iya juga sih. Bisa kebetulan gitu ya? Kita mau menyelidiki Bae Jinyoung dan dia ada kegiatan di sekolah.”

“Kebetulan itu bisa diciptakan.” Luna bangkit dari duduknya, karena melihat satu bus mendekati halte.

“Bisa diciptakan?” Jaehwan ikut bangkit dari duduknya.

“Iya.” Luna naik ke atas bus.

Jaehwan mengikuti di belakang Luna. Lalu keduanya duduk berdampingan.

“Bagaimana menciptakan sebuah kebetulan?” Tanya Jaehwan saat bus kembali melaju.

“Penelitian dan sebuah skenario.”

“Itu aja?”

“Nggak semudah itu juga sih.”

“Ya. Ngomong emang gampang. Prakteknya yang susah.”

“Sama-sama susah kok.”

Jaehwan menoleh, menatap Luna dengan ekspresi tak paham.

“Bayangin aja saat kamu harus ngomong sama orang yang kamu suka. Nggak mudah, kan? Jadi, ngomong dan bertindak itu punya tingkat kesulitan yang sama.”

“Iya juga sih.”

“Saat aku mau ngomong ke kamu dan Woojin soal Bae Jinyoung, itu juga sangat sulit.”

“Tapi, kalau dipikir ulang, tetap saja bertindak punya satu tingkat lebih sulit daripada ngomong.”

“Eum... iya ya. Kamu bener.”

Jaehwan tersenyum lebar. Penuh kepuasan. “Oya, apa kabar Woojin? Misinya sukses?”

“Semoga aja. Dia belum bales pesanku sih.”

“Jangan-jangan misinya gagal? Dia ketahuan Bae Jinyoung dan….”

“Udah! Jangan panjang angan-angan! Harusnya informasi yang kita dapat tadi bikin penilaian kamu tentang Bae Jinyoung berubah.”

“Hehehe. Habisnya anak itu auranya gelap sekali.”

“Emang kamu bisa liat aura Bae Jinyoung yang sebenarnya?” Luna menatap lurus Jaehwan.

“Eng... nggak sih. Tapi, liat aja. Penampilannya serem, kan? Kantung matanya yang tebal. Sikapnya yang selalu diam. Ih! Ngeri banget!”

Luna diam. Menatap Jaehwan. Ia lalu tersenyum. “Menurutku dia unik dan tampan.”

“Tampan??” Pekik Jaehwan. Membuat penumpang bus lainnya menatapnya. Jaehwan tersenyum kikuk dan segera meminta maaf. “Tampan katamu?!” Kali ini Jaehwan berkata lirih.

“Mm!” Luna mengangguk.

“Ya! Luna-ya! Kamu nggak sedang jatuh hati ke Bae Jinyoung, kan? Ingat! Kamu udah ada Park Jihoon!”

“Kami kan belum resmi pacaran.” Bantah Luna.

“Tapi, publik sudah meresmikan kalian sebagai couple. Jangan cari masalah. Kamu tahu kan siapa itu Park Jihoon?”

“Monster berwajah imut?” Luna kemudian terdiam, lalu tersenyum. Mendadak ia teringat pada Daniel. Ya, Daniel lah yang memberi julukan monster berwajah imut untuk Jihoon.

“Ya. Seperti itu lah. Makanya jangan bikin masalah. Nanti yang susah pasti Bae Jinyoung. Kita tahu kan bagaimana ia di sekolah. Jika ditambah oleh masalah yang mungkin kamu buat, nggak kebayang gimana hidupnya di sekolah.”

Luna tersenyum menatap Jaehwan. “Terima kasih.”

“Eh? Untuk apa?”

“Telah mengkhawatirkan aku dan Bae Jinyoung. Terlebih Bae Jinyoung. Aku tahu kamu peduli, hanya saja entah apa yang membuatmu enggan membantunya. Apa mungkin karena kalian baru aja sekelas? Trus, gimana Minhyun?”

“Eh? Kok Minhyun?”

“Dia nggak care gitu sama Bae Jinyoung? Bukannya dia tipe pahlawan yang gemar melindungi kaum lemah ya?”

“Kamu ini ngomong apa sih Luna?”

Luna tersenyum lebar. “Pokoknya terima kasih untuk hari Kim Jaehwan! Sekarang aku makin yakin padamu!”

“Yakin?”

“Mm! Kamu bisa diandalkan! Hehehe.” Luna lalu mengalihkan pandangan. Menatap keluar jendela bus.

Jaehwan menggeleng, masih menatap Luna yang sedang mengagumi pemandangan di luar bus.

“Sangat sulit mencari teman yang bisa di andalkan. Bae Jinyoung pasti sangat kesepian. Bagaimana ia bisa bertahan seperti itu hingga kini?” Ujar Luna tanpa mengalihkan pandangannya.

“Mm. Benar juga. Aku nggak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Dia pemuda yang kuat. Bagaimana ia bisa hidup tenang dalam bayangan masa lalu yang hitam?”

Luna kembali menatap Jaehwan. Senyumnya lebar, kedua matanya berkilat. Menunjukan antusiasme yang kuat. “Karenanya, kamu harus bantu dia.”

“Aku??” Jaehwan kembali menyita perhatian penumpang bus yang lain seperti sebelumnya. Ia kembali tersenyum dan meminta maaf. “Kenapa aku?” Suara Jaehwan kembali lirih.

“Karena, kamu lelaki dan dekat dengan dia.”

“Nggak! Cuman sekelas doang. Nggak dekat.”

“Lebih dekat daripada aku, kan?”

“Tapi, kebetulanmu dan dia. Oh tidak! Jangan-jangan….”

“Kamu mikir apalagi?”

“Kamu pernah dengar apa yang bisa bikin laki-laki luluh?”

“Mm??”

“Perempuan!”

“Ha??”

“Jangan-jangan Bae Jinyoung itu sebenernya naksir kamu!”

“Eh?”

“Bisa aja, kan?”

“….”

“Dan pertemuannya denganmu adalah kebetulan yang ia ciptakan setelah mengadakan penelitian tentangmu. Itu skenario yang ia tulis.”

Luna menghela napas dan menggelengkan kepala sembari kembali menatap ke luar jendela bus. “Dasar Kim Jaehwan!” Ujarnya lirih.

***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews