My 4D Seonbae - Episode #10 "Rasa Penasaran Itu Selalu Merepotkan"
06:02 "Rasa Penasaran Itu Selalu Merepotkan"
Usai
membersihkan diri, Luna merebahkan tubuh lelahnya di sofa. Hari yang panjang
dan melelahkan. Ia ingin terlelap barang sejenak saja. Tapi, wajah-wajah itu
berseliweran di otaknya. Daniel, Jihoon, Daehwi, Jaehwan, Minhyun, Bae
Jinyoung, Lucy. Ia mendesah dengan kasar. Untuk saat seperti ini, ia jadi
membenci otaknya yang terlampau aktif.
Luna
tipe orang yang gampang penasaran, hanya saja ia pandai menyembunyikan rasa
itu. Dan, sebenarnya ia tak suka jika sudah dibuat penasaran pada suatu hal.
Terlebih jika ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas rasa pensaran itu.
Ia juga tipe orang yang lebih banyak menggunakan otaknya dibanding fisiknya.
Walau ada kalanya ia terlampau aktif menggunakan fisiknya, otaknya jauh lebih
aktif.
Daniel
muncul pertama kali di otaknya karena saat pulang tadi ia lega tak melihat
pemuda itu persimpangan jalan. Ia sudah bersiap marah jika Daniel muncul dan
menunggunya di sana, seperti kemarin. Luna menatap langit-langit kamarnya.
Mencoba mengingat kapan ia pertama kali bertemu Daniel sebelum pemuda itu
menyelamatkannya dari kejaran Bogi. Saat itu Daniel mengatakan jika Luna pernah
menolongnya. Tapi, Luna sama sekali tidak ingat kapan dan di mana.
“Biasanya
ingatanku tak seburuk ini,” keluhnya. “Mungkin saja di sekolah. Tapi, kapan?
Saat hari pertama masuk sekolah?” Luna terus berusaha mengingat pertemuan
pertamanya dengan Daniel. “Atau kejadiannya bukan di pertemuan yang pertama?
Ah! Kenapa aku jadi begini penasaran? Bukankah menolong seseorang nggak boleh
diingat-ingat?”
Luna
bergerak gusar. Membenahi posisinya agar lebih nyaman. “Ada rahasia dibalik
setiap peristiwa. Tapi, kali ini apa? Aku, Daniel, Jihoon, Bae Jinyoung. Jihoon
... apa yang mendorongnya bertindak terlampau jauh? Apa dia memang haus
perhatian dan ketenaran? Lalu, Bae Jinyoung. Kenapa aku selalu tabrakan sama
dia sih setiap kali ketemu?!”
Luna
kembali diam. Reka adegan pertemuannya dengan Bae Jinyoung kembali terputar di
otaknya. “Masa iya Bae Jinyoung seperti itu? Keliatannya sih nggak. Lagian
tubuh kami nggak saling menyentuh saat tabrakan. Setidaknya tidak sepenuhnya
saling menyentuh.” Tiba-tiba Luna menyilangkan tangan di dada. Memeluk dirinya
sendiri, membuat perlindungan untuk dirinya sendiri.
“Polisi
sudah memberi pernyataan bahwa dia bersih, kan? Dari kasus itu. Tapi, wajar
kalau orang masih curiga padanya. Sambil terus mengingat masa lalunya, pasti
orang masih berpikir ah ya Bae Jinyoung memang gitu. Dia pasti sangat kesepian,
karena dikucilkan.” Luna mengusuk lengannya sendiri. Lalu, ia teringat pada
Lucy. Bagaimana junior itu menatapnya, lalu menatap Bae Jinyoung, dan berlanjut
pada luka di lengannya.
“Gawat!”
Luna tiba-tiba bangkit dan duduk. “Itu bisa jadi salah paham! Lucy bisa aja
mikir luka itu ulah Bae Jinyoung. Dan, citra Bae Jinyoung yang malang itu akan
semakin suram. Bagaimana ini?” Ia mendadak panik sendiri.
“Bae
Jinyoung ... Lucy ....” Luna berpikir keras. “Jaehwan kan sekelas sama Bae
Jinyoung. Dan, Daehwi sekelas sama Lucy. Aaa!!! Apa sih ini! Aw!” Luna
menjatuhkan kepalanya terlalu keras ke sandaran lengan pada sofa hingga ia
memekik karena sakit terbentur sandaran lengan pada sofa.
“Apa
yang harus aku lakukan?” Luna yang sudah terbaring kembali bicara. “Lee Daehwi
juga. Anak itu! Aku harus bagaimana?”
Ponsel
Luna yang tergeletak di atas meja bergetar. Luna meraihnya. Sebuah pesan masuk.
Guanlin:
Apa kamu sudah di rumah?
Luna
membaca isi pesan dari Guanlin. Lalu, terdiam sejenak. Ia menduga-duga apakah
Guanlin mengirim pesan karena Daniel. Mengingat selama berteman Guanlin tak
pernah berbasa-basi seperti itu. Pemuda itu mengirim pesan seperlunya dan
selalu to the point.
Kenapa?
Balas
Luna singkat. Ia menunggu balasan Guanlin dengan sedikit tidak sabar. Ponselnya
kembali bergetar. Sesuai harapan Luna, balasan dari Guanlin tiba. Pesan yang
lumayan panjang. Seperti yang ia duga, Guanlin mengirim pesan karena Daniel.
Pemuda itu memberi bonus Luna sebuah ceramah cukup panjang yang intinya
sebaiknya Luna memberi Daniel nomer ponselnya. Karena Guanlin tidak mau lagi
jadi “Pak Pos” bagi keduanya.
“Dih!
Pak Pos!” Luna memaki ponselnya. Ia kembali terdiam. Kali ini pikirannya
terfokus pada Daniel. Ia menimbang, haruskah memberi pemuda itu nomer
ponselnya.
Luna
termasuk tipe yang pilih-pilih dalam memberikan kontak pribadinya. Orang-orang
yang memiliki nomer ponselnya hanyalah orang-orang pilihan atau orang-orang
yang beruntung seperti Jisung cs yang kebetulan jadi satu kelompok dengannya.
Jisung beralibi agar lebih mudah berkomunikasi saat membahas tugas kelompok,
membuat Luna akhirnya menyerah dan memberikan nomer ponselnya. Dengan syarat
Jisung dan tiga anggota kelompoknya yang lain tidak boleh memberikan nomer ponselnya
pada sembarang orang.
“Ah!
Lebih baik aku menyanyi saja!” Luna bangkit dari tidurnya dan mengambil gitar.
“Let the music heal your soul ...” ia
bersenandung menyanyikan lagu Let The
Music Heal Your Soul, single dari
Bravo All Stars yang dirilis pada
tahun 1998. Ia mengenal lagu itu dari Aro, kakak sulungnya.
Luna
kembali duduk di sofa. Menyetel gitar akustik di pangkuannya, lalu
memainkannya. Luna menggenjreng gitarnya. Lalu, kembali diam.
“Apa
sebaiknya direkam sekarang? Lalu, di upload
seperti yang aku janjikan pada Jihoon? Tapi, situasi masih keruh. Tapi
kalau aku nggak nyebut namanya seperti yang aku janjikan apa dia akan baik-baik
aja? Atau dia akan ngamuk? Bodo amat ah! Ribet banget kucing satu ini!”
Luna
memaki dirinya sendiri, lalu bergegas menyiapkan kamera ponselnya. Menyesuaikan
posisi, mengatur sudut yang pas untuk dirinya terekam dalam kamera. Setelah
yakin posisi itu pas, Luna menekan tombol merah pada layar ponselnya. Proses
rekaman pun dimulai. Seperti biasa, nantinya ia akan mengunggah video itu ke Instagram dan kanal Youtube miliknya.
Karena
kebiasaannya itulah—menyanyikan lagu Korea yang sedang populer dengan lirik
dalam bahasa Indonesia—Luna mendapatkan banyak followers di Instagram
dan juga mendapat banyak subcribe di
kanal Youtube miliknya. Buah dari usahanya
sendiri, di samping bantuan kakak keduanya yang seorang artis dan gemar
menyebut nama akunnya di Instagram.
Dinar
yakin jika Luna melakukan semua itu dengan serius, Luna bisa menjadi Youtuber terkenal dan Selebgram. Sayangnya, Luna melakukan
hobi itu hanya untuk bersenang-senang yang murni bersenang-senang. Tanpa ada
tujuan untuk meraup keuntungan dari sana. Video yang ia unggah pun tanpa editan
sama sekali. Luna malas untuk melakukan editing yang bisa mempercantik tampilan
videonya.
Luna
memberi salam dan berbasa-basi sejenak. Lalu ia mulai menggenjreng gitarnya,
memainkan sebuah melodi. Luna menyanyikan lagu I.P.U (I Promise You) milik
Wanna One versi akustik dengan lirik dalam bahasa Indonesia.
Saat
sakura mulai gugur
Pertama
ku jumpa kamu
Saat
kurasakan adanya getar itu tak asing untukku
Sekarang
kan ku katakana
Aku
sangat ketakutan
Kupikir
saat itu saat terakhir ku melihat dirimu
Kau
peluk aku saat ku sedih
Kau
peluk aku saat ku tak baik
Ku
masih ingat tatapan matamu itu
Akan
kusimpan di hatiku selamanya
Ku
berjanji takkan kulupakan
Kau
yang buatku hidup kembali
I
promise you I promise you
Aku
kan jadi yang terbaik
Ku
berjanji takkan ku tinggalkan
Dirimu
yang buatku bersinar
I
promise you I promise you
Di
musim semi yang cerah ini
I
promise you
Saat
ku berharap kan ada seseorang
Yang
mau tinggal di sisiku
Walau
dunia meragukanku
Hanya
dirimu percayai ku
Seperti
bunga yang tak mekar
Dan
ku mulai menyerah
Tapi
hanya kau yang lihat aku
Memelukku
saat ku mulai goyah
Hari-hari
yang kulalui sangatlah berharga
Seperti
hadiah yang selalu buatku bahagia
Seperti
bulan dalam pelukan sang mentari
Kau
yang paling cantik dan bersinar selamanya
Ku
berjanji takkan kulupakan
Kau
yang buatku hidup kembali
I
promise you I promise you
Di
musim semi yang cerah ini
I
promise you
Setelah
musim-musim berlalu
Bahkan
waktu kita pun berlalu
Tolong
jangan lupakan awal kita
I
promise you baby
Ingat
slalu...
Walau
ku tak tahu diriku
Tapi
kau kenali aku
Karena
dirimu
Di
sinilah aku
Jangan
ragu I remember
Selamanya
I remember
Forever
and ever
I
promise you
Berjanjilah
kau takkan berubah
Kan
tetap begini sampai akhir
I
promise you I promise you
Di
musim semi yang cerah ini
I
promise you
Uh
oh oh oh oh
Uh
oh oh oh oh
I
promise you
Uh
oh oh oh oh
Uh
oh oh oh oh
Di
depanmu
Ku
berjanji
Luna
melambai ke kamera dan mengakhiri rekaman. Kemudian, ia memeriksa video rekaman
yang ia buat. Untuk ukuran amatir, permainan gitarnya boleh dibilang lumayan.
Modal yang Luna miliki hanyalah percaya diri. Ya, percaya diri untuk
mempublikasikan video-video cover song
yang ia buat. Walau penampilannya jauh dari kata sempurna.
Bukannya
tak terpengaruh oleh komentar pada postingannya. Baik komentar negatif, juga
positif pasti mempengaruhi Luna yang lebih banyak menggunakan otak daripada
fisik. Tapi, ia selalu kembali pada prinsipnya; semua itu untuk menyenangkan
dirinya sendiri, terserah apa kata orang. Toh selama ini yang ia buat bukanlah
hal negatif.
Setelah
yakin videonya tanpa cela—menurut standar penilaiannya sendiri, Luna mengunggah
video tersebut pada kanal Youtube-nya.
Kemudian, ia memotong video itu untuk diunggah ke Instagram sebagai langkah promosi.
Selesai
dengan itu semua, Luna kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Bernyanyi memang
selalu membuatnya merasa lebih baik. Selanjutnya, Luna pun jatuh tertidur di
atas sofa. Menutup hari yang amat melelahkan baginya.
***
Karena
tidur di sofa, Luna merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat bangun. Ia
berjalan dengan malas menuruni tangga. Dan seperti yang ia duga, Daniel sudah
menunggunya.
“Selamat
pagi!” Sapa Luna.
“Selamat
pagi!” Balas Daniel lengkap dengan senyum manisnya. Keduanya pun berjalan
beriringan.
“Senangnya
hari ini nggak perlu lari-lari.” Daniel memulai obrolan.
“Benar
sekali. Kemarin adalah hari yang melelahkan.”
“Bagaimana
kaki Seonbae?”
“Udah
nggak sakit.”
“Syukurlah.”
Keduanya
kembali terdiam. Berjalan dalam diam membuat Daniel bosan. Sesekali ia melirik
Luna.
“Seonbae,
tahu apa yang terjadi di komunitas sekolah pagi ini?” Tanya Daniel, kembali
memulai obrolan.
“Nggak.
Aku jarang kunjungi komunitas sekolah. Pagi ini kenapa?”
“Ada
yang membagikan link video yang Seonbae unggah semalam.”
“Benar
kah?” Luna sampai menghentikan langkah.
Daniel
yang juga menghentikan langkah, mengangguk mantab.
“Apa-apaan
sih mereka itu.” Luna kembali berjalan.
Daniel
turut kembali melangkah. “Aku juga udah nonton.”
Luna
serta merta menoleh. Ia kaget mendengar pengakuan Daniel. Wajahnya tiba-tiba
terasa panas. Luna menggerakan kepalanya, kembali menatap ke arah depan. Ia tak
mau Daniel melihat wajahnya yang memerah. “Gomawo. Aku heran apanya yang menarik
sampai kalian menontonnya.”
“Bukannya
tujuan dari di upload-nya video itu,
biar ditonton orang, kan?”
“Hehehe.
Iya sih. Tapi ... ah sudahlah. Walau aku bilang itu hanya untuk
bersenang-senang, tetap saja tujuan akhirnya disimpulkan begitu.”
Daniel
tersenyum melihat tingkah Luna. Ia jadi membenarkan komentar yang menyebut Luna
gadis aneh.
Luna
beralih ke samping kanan Daniel ketika melewati rumah merah maroon tempat Bogi
tinggal. Walau Bogi menggonggong dari dalam pagar yang tertutup rapat, Luna
tetap merasa takut. Terlebih melihat tingkah anjing itu yang berjalan
kesana-kemari, lalu melompat-lompat berusaha keluar dari pagar.
Daniel
tertawa, lalu menyapa Bogi tanpa menghampiri dan mengelus puncak kepala anjing
berbulu coklat itu. Luna ngeri melihatnya. Manusia berakrab-akraban dengan
anjing masih menjadi hal yang mengerikan baginya.
Daniel
dan Luna tiba di halte. Mereka naik bus dan duduk berdampingan. Tapi, Luna
masih diam. Sejak melewati rumah Bogi, gadis itu diam. Hingga sampai di halte
dan naik bus. Daniel bertanya-tanya, ada apa gerangan. Tapi, ia tak berani
bertanya. Karena mungkin Luna memang sedang tak ingin mengobrol.
Bukan
karena Bogi, Luna diam karena memikirkan kemungkinan yang akan ia temui saat ia
tiba di sekolah. Efek dari video yang di unggahnya semalam. Tiba-tiba ia merasa
menyesal karena terburu-buru menggunggah video itu. Sedang masalah postingannya
di komunitas sekolah belum redam.
Memang
ia tak punya tujuan khusus. Ia hanya melakukan apa yang ia ingin lakukan saat
itu. Tapi, seperti yang dikatakan Daehwi, persepsi tiap orang berbeda. Daehwi?
Ketika nama itu muncul dalam ingatannya, Luna tersentak. Daniel yang duduk di
sampingnya sampai bisa merasakan reaksi tubuh Luna itu.
“Seonbae,
baik-baik saja?” Tanya Daniel.
“Ah,
iya. Aku baik-baik saja. Hanya teringat sebuah tugas yang hampir aku lupakan.”
Kilah Luna.
“Tugas
sekolah?”
“Mm!”
Luna mengangguk.
“Semoga
saja tidak jadi masalah besar. Bukan guru killer,
kan?”
“Nggak
sih. Cuman bawel.”
“Oh.
Sama parahnya.”
“Mm.”
Luna tersenyum lesu.
Keduanya
kembali diam hingga bus sampai di halte di dekat sekolah. Luna turun lebih
dulu, lalu Daniel menyusul di belakangnya. Luna yang sudah berjalan tiga
langkah, tiba-tiba berhenti. Daniel yang berjalan di belakangnya turut
berhenti. Luna menghela napas, menggeleng pelan, lalu berjalan dengan langkah
lebih cepat.
Daniel
yang masih bertahan di posisinya memandang punggung Luna yang berjalan semakin
menjauhinya. Daniel tersenyum getir, lalu kembali melangkah. Menyusul Luna
menuju sekolah.
***
“Nggak
papa.” Jihoon tersenyum manis. “Itu demi kelompok kita. Kebetulan aku sama
Daehwi berada di klub yang sama. Kemarin dia udah bawa kartu anggotaku. Lain
kali, kamu bisa bilang padaku atau yang lain jika butuh sesuatu.”
“Gomawoyo.”
Joohee membungkukan badan.
“Bilang
terima kasih pada Daehwi juga. Dia yang membantumu, kan?”
“Nee.”
Joohee mengangguk dan tersenyum. Ia senang melihat Jihoon yang begitu ramah
padanya pagi ini. Bahkan pemuda itu tak mempermasalahkan ide Daehwi yang meminjam
kartu anggotanya tanpa izin dulu.
“Nanti
kita akan berkumpul dan membahas materi yang udah kita rangkum. Lalu, kita
bikin laporannya sama-sama. Ntar tinggal siapa yang bersedia ngetik.”
Joohee
hanya menganggukan kepala.
Jihoon
pun kembali tersenyum. Lalu, ia mengalihkan pandangannya. Senyum yang lebih
lebar terkembang di wajah tampannya. Joohee mengikuti arah pandangan Jihoon.
Ternyata pemuda itu sedang menatap Luna yang berjalan menuju kelasnya. Gadis
itu berjalan dengan langkah cepat dan kepala tertunduk.
Kenapa gadis setenar dia jalan sambil menundukkan kepala? Gumam Joohee dalam hati.
Jihoon
mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Joohee memperhatikan apa yang sedang
dilakukan Jihoon. Pemuda itu segera sibuk dengan ponselnya. Jihoon mengetik
sebuah pesan di ponselnya. Pesan untuk Luna.
Terima kasih untuk videonya. Aku nggak nyangka
Seonbae menyanyikannya dalam Bahasa Indonesia. Padahal waktu itu menyanyikan
dalam bahasa asli, kan? Aku sangat suka lagu ini. Mewakili apa yang aku alami.
Aku harus rajin-rajin mengunjungi akun Seonbae. Jika tidak ada yang membaginya
di grup, aku nggak akan tahu kalau video itu sudah dibuat dan diunggah.
Seonbae, jjang! :)
Jihoon
tersenyum puas usai mengirim pesan yang ia ketik pada Luna. Lalu, ia tampak
terkejut saat melihat Joohee masih berdiri di hadapannya. Dia masih di sini? Batinnya.
Joohee
tersenyum. “Aku ke kelas dulu.” Pamitnya.
“Oke.”
Jihoon menggaruk kepalanya dengan canggung ketika Joohee berjalan pergi
meninggalkannya. Kedua matanya menangkap sosok Daehwi yang berdiri melipat
tangan dan menatapnya lurus dari jarak yang agak jauh dari tempatnya berada. Jihoon
menyunggingkan senyum di wajahnya. Lalu melangkah pergi.
***
Daehwi
sengaja berangkat lebih awal. Lalu, ia berhenti tak jauh dari gerbang sekolah
dan menunggu di sana. Tak lama kemudian ia melihat Jihoon datang. Ia hampir
melambaikan tangan, tapi ia urungkan. Karena pemuda itu segera melengos,
membuang muka.
Daehwi
masih memperhatikan Jihoon ketika Joohee tiba-tiba menghentikan Jihoon. Ia
menyipitkan mata, mengamati Jihoon dan Joohee. Daehwi memutar kedua bola
matanya melihat Jihoon tersenyum dan beramah-tamah dengan Joohee. Tapi, ia
merasa lega Jihoon tak marah pada Joohee perihal kartu anggota perpustakaan
itu.
Luna
melintas, menyela pengintaian Daehwi. “Seon—“ Daehwi hendak memanggil Luna,
tapi ia urungkan. Ia teringat Jihoon yang ada di seberang sana. Dan, tepat seperti
dugaannya, pemuda itu langsung memandang Luna dengan ekspresi khas seseorang
yang sedang jatuh cinta.
Bibir
Daehwi mengerucut, ekspresinya sewot melihat tingkah Jihoon. Ia melipat tangan,
menatap lurus pada Jihoon. Saat Jihoon menatapnya, ia bergeming. Ia melihat
cibiran itu sebelum Jihoon beranjak dari tempatnya.
Daehwi
mendengus. Menurunkan kedua tangannya, lalu berjalan menuju kelasnya. Sesampainya
di kelas, tatapan Daehwi tertuju pada Lucy yang sedang duduk di mejanya. Gadis
itu duduk di bangku paling depan, tepat di sebelah jendela. Kepalanya sedang
tertunduk. Di atas mejanya terdapat sebuah buku yang sedang terbuka. Sepertinya
gadis itu sedang membaca.
Daehwi
menghela napas. Berjalan memasuki kelas, melewati Lucy dan duduk di bangkunya
yang berada dua baris di belakang Lucy. “Tindakan selalu lebih sulit,” keluhnya
sembari menatap keluar jendela.
***
Daehwi
membawa nampan berisi menu makan siang. Ia berdiri mengawasi suasana kantin
yang ramai, mencari bangku kosong untuknya duduk. Kemudian, ia berjalan
menyusuri deretan meja panjang yang di kedua sisinya terdapat kursi-kursi.
Rata-rata kursi dari meja-meja itu sudah terisi.
Daehwi
menghentikan langkahnya, hanya ada satu kursi di meja itu. Ia tidak punya
pilihan lagi. Usai menghela napas panjang, ia pun berjalan menuju meja itu.
“Permisi.
Saya bergabung di sini ya.” Daehwi meletakan nampannya dan duduk.
Jaehwan
mengangkat kepala. “Oh, Lee Daehwi!” Sapanya usai melihat siapa yang minta izin
untuk duduk di hadapannya
“Oh,
Seonbaenim!” Daehwi tersenyum lega melihat Jaehwan. Lalu ia melihat ke arah
kanan, melihat orang yang duduk di samping kiri Jaehwan. “Seonbae,” Daehwi
menyapa Minhyun.
Minhyun
tersenyum tulus. “Silahkan makan. Jangan sungkan.” Ujarnya.
“Nee.
Kamsahamnida. Selamat makan.” Daehwi pun mulai makan.
“Kemarin
apa yang kalian lakukan?” Jaehwan tiba-tiba menyerang Daehwi.
“Mm?”
Daehwi mengangkat kepalanya, menaruh perhatian pada Jaehwan.
“Kau,
Jihoon, dan Luna.”
Daehwi
seketika menghentikan gerak mulutnya yang sedang mengunyah makanan dan melirik
Minhyun. Dia dan juga Jaehwan tahu jika Luna adalah musuh lama bagi Minhyun.
Tapi, kenapa Jaehwan malah membahas Luna di tempat yang Minhyun juga ada di
sana.
“Itu….”
Daehwi ragu.
“Saat
kami datang, kalian sudah di sana. Selesai rapat, kalian pun pergi sama-sama.
Itu mencurigakan.” Jaehwan melanjutkan interogasinya.
“Bukan
kah Kim Jaehwan Seonbaenim dekat dengan Luna Seobaenim. Kenapa nggak nanya ke
Luna Seonbaenim langsung?” Daehwi kembali melirik Minhyun. Pemuda itu terlihat
tak terusik. Tetap khidmat memakan menu makan siangnya.
“Kenapa
semua beranggapan aku dekat dengan Luna? Dulu, saat kelas X kebetulan tempat
duduk kami berdekatan. Itu saja. Kami tidak sedekat itu. Luna itu tipe orang
yang sulit dibaca dan dipahami. Dia bahkan jarang berinteraksi dengan orang
lain. Saat kelas X, ke mana-mana ia hanya bersama Song Hami. Tapi, belakangan aku
lihat dia berubah.”
“Seonbae
sangat memperhatikan Luna Seonbae. Apa Luna Seonbae tahu?”
“Kenapa
dia harus tahu?”
Daehwi
kembali melirik Minhyun, lalu menatap Jaehwan lagi. “Mungkin saja Seonbae
menyukai Luna Seonbae,” Daehwi mencondongkan tubuhnya ke depan. Berbicara lirih
pada Jaehwan.
“Mwo??”
Mulut Jaehwan membulat.
Minhyun
yang turut mendengar ucapan Daehwi menahan tawa.
“Nggak
lah!” Bantah Jaehwan. “Kami memang dekat, tapi sebatas teman”
“Tadi
katanya nggak terlalu dekat.”
“Itu…
Pokoknya nggak seperti itu!”
“Oke.”
Jawab Daehwi santai. “Lagian udah ada Park Jihoon di sisi Luna Seonbae.”
Minhyun
tiba-tiba tersedak. Membuat Jaehwan dan Daehwi kompak menoleh dan menatapnya.
Minhyun tetap cuek, meminum air putih dalam gelas tanpa mengalihkan pandangan.
Jaehwan dan Daehwi kembali fokus pada menu makan siang mereka.
“Luna
nggak komentar soal hasil rapat kemarin?” Jaehwan kembali memulai obrolan.
“Nggak.”
“Lalu,
kalian pergi untuk apa?”
“Seonbae
pengen tahu banget sih!”
“Aku
penasaran. Luna kenapa nolak jadi kandidat ketua klub.”
“Ya
tanya aja sendiri.”
Jaehwan
menatap Daehwi dengan gemas. “Udah jiplak jawabanku saat tes masuk, sekarang
begini sikap kamu.”
“Jiplak?”
Pupil Daehwi melebar saat menatap Jaehwan. “Oh itu! Aku nggak tahu menahu soal
Seonbae sebelumnya. Alasan mirip wajar aja kan? Aku merasa tidak bisa menonjol
kalau bergabung Klub Musik. Di sana pasti banyak orang mahir bermusik. Tapi di
Klub Teater, aku bisa jadi lebih berguna. Karena, di sana nggak semua bisa main
alat musik.”
“Itu
dulu juga alasanku masuk Klub Teater. Karena aku yang lahir duluan, jadi kamu
yang jiplak!”
“Terserah
apa kata Seonbae lah.”
“Orang
memiliki pemikiran yang hampir sama itu wajar.” Minhyun tiba-tiba berkomentar.
Membuat Daehwi kaget hingga melongo.
“Pikiran
kita tak terbatas, jadi wajar aja kalau menangkap sebuah ide yang sama. Seperti
yang terjadi pada kalian.” Imbuh Minhyun.
“Itu
mirip jawaban Luna Seonbae. Saat di seleksi penerimaan, dan kami debat seperti
barusan. Daebak!” Daehwi menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Minhyun
tersenyum. “Bukti dari apa yang aku jelaskan barusan, kan?”
“Iya.
Intinya sama.” Daehwi mengamini.
“Kau
tahu? Kadang aku juga berpikir begitu, Minhyun dan Luna sangat mirip. Tapi,
kenapa mereka bisa berantem dan nggak akur sampai sekarang? Betah banget!”
Jaehwan menyela.
Daehwi
menatap Minhyun. Pemuda itu hanya tersenyum menanggapi ocehan Jaehwan. “Orang
yang mirip dalam banyak hal terlebih dalam hal pemikiran, kadang egonya
sama-sama tinggi. Aku rasa pada kasus Luna Seonbae dan Minhyun Seonbae seperti
itu.”
Lagi-lagi
Minhyun hanya tersenyum.
“Padahal
cuman karena tugas dan Luna sudah menggantinya.” Jaehwan menggeleng heran.
“Oh!” Mulut Jaehwan kembali membulat. “Jihoon ke kantin dengan seorang gadis.”
Daehwi
dan Minhyun mengikuti arah pandangan Jaehwan. Jihoon ke kantin bersama Joohee.
“Oh,
itu teman sekelasnya, sekaligus teman satu kelompoknya.” Daehwi memberi penjelasan.
“Reaksi Seonbae seperti itu, apa mau menciptakan gosip baru?”
Jaehwan
terkekeh. “Bukannya seru kalau ada bumbu-bumbu seperti itu dalam cerita? Luna
dan Jihoon adem ayem aja. Bikin bosan.”
“Seonbae
pikir kita sedang main drama apa?”
“Jaehwan
emang kayak gitu orangnya.” Ujar Minhyun.
“Mungkin
ada kabel yang konslet di otak Jaehwan Seonbaenim.” Komentar Daehwi, membuat
Minhyun terbahak.
“Aku
setuju sama kamu.” Minhyun di sela tawanya.
“Awas
kamu ya! Berani mem-bully senior.” Ancam Jaehwan.
Daehwi
menjulurkan lidah. Ia lalu memperhatikan Minhyun yang berusaha menghentikan
tawanya. Ia tersenyum, lalu melanjutkan makan.
***
Luna
menyipitkan mata. Sedang Guanlin terus mengoceh di depannya. Keduanya sedang
berada di dalam kelas, bersiap untuk mengikuti pelajaran tambahan English Conversation (EC). Walau
keduanya boleh dibilang mahir dalam berbahasa Inggris, keduanya tetap memilih EC
sebagai pelajaran tambahan.
Luna
ingin memperdalam kemampuan bahasa Inggris-nya. Karena itu ia memilih EC.
Sedang Guanlin, entah karena alasan apa. Mengingat kemampuan bahasa Koreanya
yang masih minim, harusnya pemuda itu mengambil pelajaran tambahan bahasa Korea
khusus untuk murid asing. Seperti yang dilakukan Luna di tahun pertamanya
menempuh pendidikan di SMP. Tapi, pemuda itu justeru memilih EC.
“Intinya,
kamu harus ngasih nomer hape kamu ke Daniel. Aku capek jadi pak pos buat
kalian.” Saat berdua saja dengan Luna, Guanlin selalu memakai bahasa Inggris
yang tidak mengikat mereka sebagai senior dan junior. Seperti setiap kali dalam
pertemuan Klub Anak Rantau. “Lagian niat Daniel kan baik. Dia nepatin janjinya
ke kamu. Dia anak yang baik kok. Atau, kalau dia macam-macam, bilang aja ke
aku. Aku akan hajar dia!”
Luna
berdecak. “Badan aja gedean Daniel, mau sok-sok hajar dia.” Oloknya.
“Kecil-kecil
gini aku kuat lho!” Guanlin mengangkat kedua lengannya ala-ala atlet binaraga.
“Kamu
cuman menang tinggi aja dari Daniel. Jangan sok-sokan gitu dah.”
“Aku
kuat tahu!”
“Jadi,
dia ceritain semua ke kamu?”
“He’em.
Mulai dari insiden dikejar anjing itu sampai kesanggupan dia nemenin kamu tiap
pulang.”
Luna
diam. Merenungi penjelasan Guanlin. “Sebenernya dia pernah minta langsung ke
aku.”
“Nah!
Trus, kenapa nggak dikasih?”
Luna
diam tak menjawab.
“Dia
bisa aja minta ke aku. Tapi, dia nggak lakuin itu. Artinya dia sangat
menghormati kamu.”
Luna
masih diam.
“Tapi,
semua terserah kamu sih. Sebenernya waktu dia nungguin kamu, dia sempet kirim
pesan ke akunmu di komunitas sekolah. Tapi, kamu nggak bales. Karena itu dia
nanya aku. Karena dia tahu kita deket. Aku sih yang cerita kalau kita lumayan
deket.”
“Annyeong!”
Hami masuk ke dalam kelas XI-F yang akan digunakan sebagai kelas EC. Ia
tersenyum lebar, lalu berjalan mendekati Luna. “Sekarang berdua-duaan sama
Guanlin? Eh! Kamu Guanlin, kan?”
“Nee.”
Jawab Guanlin lengkap dengan senyum manisnya.
Hami
membalas senyum.
“Kamu
ngapain di sini?” Tanya Luna.
“Aku
kan ikut EC.”
“Eh?”
“Nggak
usah kaget gitu lah!” Hami duduk di bangku di samping kanan Luna. “Kamu kenapa
tiba-tiba nanya soal Lucy?”
“Cuman
penasaran.”
“Kenapa
penasaran sama cewek sih? Kamu normal? Ah ya! Normal! Buktinya kamu dalam
proses mau pacaran sama Jihoon. Atau udah pacaran? Atau hubunganmu sama Jihoon
cuman sandiwara buat nutupin ketidaknormalanmu?”
Luna
menatap sinis pada Hami. Sedang Guanlin melongo, mendengar ocehan Hami.
Tawa
nyaring Hami memenuhi kelas. “Bercanda. Aku tahu kamu normal. Tapi, maaf. Aku
nggak terlalu dekat sama Lucy walau kami satu ekskul PMR. Setahuku dia itu anak
yang pendiam dan penyendiri. Tapi, dia bisa mengikuti jalannya ekskul dengan
baik.”
“Jadi,
selalu diam dan memperhatikan?”
“Betul!
Kalau disuruh maju ke depan, dia sedikit kikuk memang. Tapi, dia menguasai
materi dan bisa mempraktekannya dengan baik.”
Luna
diam. Berpikir tentang Lucy usai mendengar penjelasan Hami.
Pintu
kelas kembali terbuka, Daniel muncul dari balik pintu. Masuk ke dalam kelas
dengan senyum manisnya.
“Wah!
Siapa dia? Senyumnya manis sekali!” Komentar Hami.
“Teman
sekelas saya. Namanya Kang Daniel.” Jawab Guanlin.
Daniel
berjalan mendekat dan memberi salam pada kedua seniornya.
“Kamu
gabung EC juga?” Sambut Guanlin.
“Nee.
Banyak orang salah duga karena namaku. Mereka berpikir aku orang asing atau
berdarah campuran. Aku pikir aku harus belajar bahasa Inggris dengan baik. Agar
aku tak mengecewakan mereka.” Daniel kemudian tersenyum kikuk sambil melirik
Luna.
Luna
tersenyum samar. Daniel melihat senyum itu dan ikut tersenyum.
“Alasanmu
lucu. Aku Song Hami. Kelas XI-A. Dan dia, kamu pasti sudah tahu siapa dia.
Mezzaluna yang terkenal itu, dari kelas XI-E.” Hami memperkenalkan diri dan
Luna.
Satu
per satu murid peserta EC masuk. Guru pembimbing pun datang. Guru pembimbing
meminta murid menata bangku menjadi melingkar. Lalu, pelajaran pun dimulai.
Luna
berjalan pelan, keluar dari area sekolah. Ia merasa lelah, tapi ia masih harus
melakukan satu hal lagi. Daniel yang menunggunya tak jauh dari gerbang melihat
Luna berjalan ke arah berlawanan. Ia ingin memanggil Luna, tapi ia tak bisa.
Walau sebenarnya beramah tamah dengan sesama murid itu normal, tapi Daniel
sudah berjanji akan bersikap seperti sebelumnya—tak saling bertegur sapa—saat
di sekolah.
“Dia
mau ke mana?” Gumam Daniel sambil memiringkan kepala.
Guanlin
keluar tak lama setelah Luna. Ia melihat Daniel yang berdiri mematung, menatap
ke arah kiri. Ia pun menoleh ke arah kiri dan menemukan Luna yang sedang
berjalan sendirian. Guanlin menggeleng, lalu berteriak, “Luna Seonbaenim!”
Daniel
kaget karena teriakan Guanlin. Luna pun menghentikan langkah dan berbalik.
“Seonbae
mau ke mana? Kok berjalan ke arah sana? Halte kan ada di sana?” Guanlin
menunjuk arah kanan.
Luna
melihat Guanlin, lalu Daniel yang berdiri di sana. “Belajar kelompok.”
Jawabnya.
Guanlin
tersenyum. Ia yakin Daniel juga mendengarnya. “Baiklah. Hati-hati di jalan.
Jangan sampai kelelahan. Ingat, kaki Seonbae baru pulih dari cidera. Aku pulang
dulu!” Guanlin melambaikan tangan pada Luna. Ia sempat menoleh dan tersenyum
pada Daniel sebelum pergi.
Daniel
dan Luna saling menatap dalam jarak yang lumayan jauh itu. Luna tersenyum, lalu
membalikan badan dan kembali berjalan. Daniel menghela napas. Lalu berjalan ke
arah yang berlawanan dengan Luna.
***
Luna
masuk ke dalam kedai ramen yang letaknya tak jauh dari sekolah. Ia celingukan
mengamati sekitar. Park Woojin melambaikan tangan padanya. Ia sudah duduk di
kursi yang mengitari meja nomer 8. Luna tersenyum, lalu mendekati Woojin yang
tak sendirian di meja nomer 8. Ada Jaehwan bersamanya.
“Kalian
belum pesan?” Tanya Luna seraya duduk bergabung.
“Nungguin
kamu.” Jawab Woojin.
“Ya
udah. Pesan sekarang.” Perintah Luna.
“Kenapa
ngajak ketemu di sini?” Tanya Jaehwan. “Kamu bilang kamu duduk di meja nomer
delapan. Saat aku tiba, udah ada dia.” Ia menunjuk Woojin.
“Sudah
kubilang aku juga menerima pesan yang sama!” Woojin membela diri.
“Benar
kok. Aku memang mau ketemu sama kalian berdua.” Luna menengahi. Membuat Woojin
dan Jaehwan kompak menatapnya. “Aku pengen ngobrol santai sama kalian.”
Woojin
dan Jaehwan saling memandang dalam diam.
“Buruan
pesan makanan dulu. Kalian nggak laper apa?” Perintah Luna.
Woojin
selesai menyerahkan pesanan. Ia kembali duduk, bergabung bersama Jaehwan dan
Luna.
“Sebenernya
pengen ngobrol apa sih? Sampai bikin jebakan kayak gini?” Tanya Woojin. “Aku
kayak kena jebakan kencan buta. Eh, yang duduk di meja nomer delapan ternyata
cowok!”
Luna
tersenyum mendengarnya. “Emang kamu ngarepnya siapa yang duduk di sini?”
“Ya
kamu lah!”
“Kan
udah aku tulis, siapapun itu yang datang lebih dulu, duduk di meja nomer
delapan ya. Kalau meja itu udah ada orangnya, duduk di meja yang dekat sama
meja nomer delapan.”
“Dan,
sialnya aku yang datang duluan. Trus harap-harap cemas nungguin kamu. Eh, yang
muncul ternyata Park Woojin!” Jaehwan kesal.
“Maaf,
maaf. Ternyata seru ya. Yuk, kapan-kapan kita coba metode ini. Buat jodohin
sapa gitu.” Usul Luna riang.
“Kamu
sama Minhyun?” Celetuk Jaehwan yang sukses membuat senyum di wajah Luna sirna.
Woojin
menatap Luna dengan khawatir. Ia segera menendang kaki Jaehwan.
“Palingan
dia langsung kabur begitu liat aku!” Jawab Luna. Nadanya terdengar santai.
“Jadi gini, aku ngajak kalian ketemu di sini karena aku ingin dengar banyak hal tentang….” Luna menatap Jaehwan, lalu Woojin. Dua pemuda itu menaruh perhatian penuh padanya. “Bae Jinyoung!” Luna menyelesaikan kalimatnya.
“Jadi gini, aku ngajak kalian ketemu di sini karena aku ingin dengar banyak hal tentang….” Luna menatap Jaehwan, lalu Woojin. Dua pemuda itu menaruh perhatian penuh padanya. “Bae Jinyoung!” Luna menyelesaikan kalimatnya.
“Bae
Jinyoung?” Pekik Jaehwan kaget.
“Kenapa
Bae Jinyoung?Ada apa dengan Bae Jinyoung?” Woojin yang sebenarnya juga kaget
lebih bisa menguasai emosinya. Tergambar dari nada suaranya yang tetap tenang.
“Kim
Jaehwan teman sekelas Bae Jinyoung, dan Park Woojin teman satu klub Bae
Jinyoung di Klub Basket. Apa pilihanku salah?”
“Kenapa
kamu tiba-tiba tertarik sama Bae Jinyoung?” Tanya Woojin.
“Iya.
Kamu tahu kan gimana dia?” Sambung Jaehwan.
“Ada
yang bilang pasti ada rahasia di balik sebuah peristiwa. Ketika seseorang
datang dalam kehidupanmu, pasti ada rahasia di balik peristiwa itu.”
“Bae
Jinyoung datang ke dalam kehidupanmu?” Tanya Woojin.
“Aku
nggak bilang gitu.”
“Itu
tadi—“ Woojin tak melanjutkan ucapannya karena pemilik kedai datang dan
menyajikan pesanan. Ketiganya berterima kasih pada pemilik kedai.
“Silahkan
makan!” Luna mempersilahkan. “Ah, kenapa aku suka sekali pada segala sesuatu
yang berbau mie?” Ia mulai mengaduk-aduk hidangan di hadapannya.
Woojin
dan Jaehwan juga sibuk dengan makanan di hadapan mereka.
“Ketika
seseorang datang dalam kehidupanmu, pasti ada rahasia di balik peristiwa itu.
Jadi, Bae Jinyoung datang ke kehidupanmu?” Woojin mengulang pertanyaannya yang
sempat terjeda.
“Mm!”
gumam Luna sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya. “Aku hanya penasaran.”
“Ya!
Penasaran pada Bae Jinyoung sebaiknya dihentikan!” Jaehwan menyela.
“Kenapa?
Dia teman kita juga kan?”
“Kalau
kau bosan pada Park Jihoon, kau boleh cari yang lain. Tapi, jangan Bae
Jinyoung!” Jaehwan kukuh.
“Ini
nggak ada hubungannya sama Park Jihoon!”
“Cewek
yang udah punya pacar kenapa penasaran sama cowok lain? Itu aneh tau!”
“Cara
pandangmu hanya sebatas itu?”
Jaehwan
tak bisa berkata-kata.
“Polisi
menyatakan Bae Jinyoung tidak bersalah. Surat wasiat yang ditinggalkan korban
sebelum bunuh diri pun menyatakan bahwa Bae Jinyoung bukanlah pelaku. Tapi,
kenapa orang-orang masih berpikiran buruk tentangnya? Bae Jinyoung yang malang.”
“Kamu
tidak tahu betapa mengerikannya dia.” Ujar Jaehwan.
“Emang
kamu pernah diapain sama dia?”
“Ya…
nggak pernah sih.”
“Pernah
nggak kamu mikir seandainya kamu di posisi dia?”
Jaehwan
terdiam. Menatap Luna. Begitu juga Woojin. Luna menghela napas. Lalu kembali
makan.
“Sebenarnya
aku gabung Klub Basket hanya iseng. Klub itu berisi orang-orang keren. Tapi, di
sana aku lebih banyak jadi kacung pelatih.” Woojin mulai bicara. “Aku nggak
nyangka Bae Jinyoung milih Klub Basket. Sedang reputasinya di sekolah seperti
itu. Kupikir, dia cari mati saja.”
Luna
makan sambil menyimak ocehan Woojin. Jaehwan pun sama.
“Kami
sering bersama karena sama-sama sering jadi kacung pelatih.” Woojin
melanjutkan. “Sangat canggung memang. Apalagi di awal-awal. Tapi sebenarnya
kalau di ajak ngobrol, dia bisa merespon juga kok. Maksudku nggak melulu jadi
pendengar. Dia emang nggak banyak bicara. Kadang kami bercanda saat
membersihkan lapangan atau merapikan bola usai latihan. Menurutku dia hanya
terlalu takut untuk memulai.”
“Lalu,
bagaimana kesehariannya di kelas?” Luna beralih pada Jaehwan.
“Sama
seperti yang dikatakan Woojin. Dia amat sangat jarang sekali pakek banget
bicara. Kalau tidak ada yang bertanya padanya, seharian pun dia bisa diam di
kelas. Aku satu kelompok dengannya. Jika tidak ditanya, dia akan diam saja.
Diberi bagian apa pun akan dia terima. Walau itu hal sulit, dia nggak pernah
menolak.” Jaehwan menjabarkan kebiasaan Bae Jinyoung sejauh yang ia tahu.
“Kenapa
kamu tiba-tiba penasaran sama Bae Jinyoung? Maksudku kenapa baru sekarang? Kita
kan udah satu tahun jadi teman seangkatannya.” Woojin kembali bicara.
“Saat
kelas sepuluh, kita masih junior. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan
kecuali belajar. Tentang apa pun itu. Bukan hanya tentang pelajaran, tapi
tentang teman-teman, sekolah, dan guru. Mungkin kita hanya terfokus pada teman
sekelas saja di awal. Tapi, semakin lama berkembang pada teman seangkatan dan
senior. Tapi walau ada rasa penasaran, kita akan menahan diri.” Luna diam
sejenak.
Woojin
dan Jaehwan menunggu.
“Harusnya
pakai kata aku, bukan kita kan? Karena, itu semua yang aku rasakan. Entah yang
lain bagaimana.” Luna melanjutkan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
“Aku
juga gitu kok.” Woojin berkomentar. “Itu mengapa aku hanya diam dan
mengawasimu. Kelas sebelas kita satu kelas dan satu kelompok. Aku senang.”
“Kamu
penasaran padaku?” Luna tak percaya mendengar pengakuan Woojin.
“Aku
rasa bukan aku aja. Tapi, banyak siswa lain juga.”
“Tapi,
di antara semua kenapa Bae Jinyoung? Apa benar cerita dalam novel?” Jaehwan
menyela.
“Kenapa
cerita dalam novel?” Tanya Luna.
“Good girl always falling in love with bad
boy.”
“Bae
Jinyoung bad boy?” Giliran Woojin bertanya.
“Definisi
bad boy kan beragam. Bukan pemuda
berandalan yang gemar tawuran aja. Tapi, bisa jadi pemuda dengan masa lalu
kelam seperti Bae Jinyoung.”
“Ya,
Kim Jaehwan. Penasaran itu bukan berarti jatuh cinta. Tapi, kalau jatuh cinta
sudah pasti penasaran. Dan, satu hal yang sama dari keduanya. Penasaran itu
selalu merepotkan!” Luna menyanggah tebakan Jaehwan yang menduga dirinya jatuh
cinta pada Bae Jinyoung.
“Jika
publik sampai tahu, pasti akan heboh. Karena selama ini Luna dan Jihoon adem
ayem aja. Tapi, tiba-tiba muncul Bae Jinyoung. Bagaimana jika cerita ini sampai
ke telinga publik?” Goda Jaehwan.
“Dasar
tukang gosip!” Maki Luna.
“Tapi,
aku nggak akan berani lakuin itu. Nyebarin gosip Jihoon-Luna-Jinyoung. Sama aja
aku bunuh diri.” Jaehwan terkekeh.
“Baiklah.
Aku akan jujur pada kalian. Jujur alasanku kenapa tiba-tiba bertanya tentang
Bae Jinyoung pada kalian.”
Woojin
dan Jaehwan langsung menaruh perhatiannya pada Luna. Luna pun menceritakan
semuanya, tentang dirinya dan Bae Jinyoung. Tanpa ada yang disembunyikan.
“Aku
percaya kalian. Jika masalah ini sampai bocor, berarti pelakunya salah satu
dari kalian.” Luna menutup penjelasannya.
“Gawat
juga kalau Lucy sampai berpikiran seperti yang kamu prediksikan. Dia mengira
Bae Jinyoung yang melukai lenganmu.” Komentar Woojin.
“Lalu,
kita harus bagaimana?” Tanya Jaehwan.
“Mengawasi
dan bersiap melakukan misi penyelamatan.” Jawab Luna.
“Wah!
Kita seperti detektif aja.” Jaehwan tiba-tiba tersenyum dan wajahnya bersemu
merah.
“Kontrol
emosi dan ekspresimu Kim Jaehwan!” Luna menegur. “Mulai sekarang kalian adalah
sekutuku. Aku ingin kita melakukan ini sama-sama. Kita tidak mungkin tutup mata
dan tutup telinga jika Bae Jinyoung mengalami hal yang semakin buruk lagi kan
di sekolah?”
Woojin
dan Jaehwan sama-sama terdiam menatap Luna.
“Oke.
Aku ralat. Aku nggak mungkin tutup mata dan tutup telinga lagi. Karena aku
nggak mampu lakuin misi ini sendirian, aku minta bantuan kalian untuk jadi
sekutuku.”
“Aku
pria bebas seperti burung camar. Aku siap membantumu.” Woojin tersenyum lebar.
“Ini
terdengar keren. Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Sambung Jaehwan.
Luna
tersenyum menatap Woojin, lalu Jaehwan.
***
Hari
sudah gelap saat Luna berjalan pulang. Ia merasa lelah. Terlebih karena tak ada
Daniel bersamanya, ia harus memilih gang lain dan memutar demi menghindari
Bogi. Ia menaiki tangga dengan pelan dan langsung merebahkan tubuh di sofa
ketika sampai di rooftop-nya. Satu per satu kejadian hari ini terputar ulang
dalam ingatannya. Luna menimbang apakah yang ia lakukan sudah benar. Mencari
jawaban untuk memuaskan rasa penasarannya.
Ponsel
dalam saku seragam Luna bergetar. Membuyarkan lamunannya. Ia pun mengeluarkan
ponsel itu dan melihat nama Dinar muncul di layar untuk sebuah panggilan video.
Luna pun menerima panggilan video dari kakak keduanya itu.
“Kok
masih pakek seragam?” Tanya Dinar saat wajahnya muncul di layar.
“Baru
pulang. Tadi ada tugas kelompok.”
“Udah
makan?”
“Udah.”
Jeda
hening sejenak.
“Besok
keluarga kedua akan terbang ke Korea.” Dinar kembali bicara.
“Besok
ya?”
“Emang
kamu nggak dapet kabar?”
“Dapet
kok. Dari Bunda.”
Dinar
memiringkan kepala. “Kok kayaknya nggak seneng gitu?”
“Canggung
pasti lah. Empat tahun nggak ketemu mereka.”
“Iya
juga sih. Apalagi kamu dasarnya pemalu. Walau sekarang malu-maluin.”
Luna
mendelik menatap layar ponselnya. Dinar tertawa melihatnya.
“Yang
pasti kamu harus berkunjung. Ada banyak titipan buat kamu. Oya, aku udah liat
video terbarumu. Permainan gitarmu makin bagus. Gimana kalau ntar kamu balik ke
Indo kita bikin band?” Dinar kembali menawarkan bisnis di dunia hiburan pada
Luna. “Ah! Pasti seru! Kita bakal tenar dengan mudah. Karena, kamu udah lumayan
tenar sekarang.”
Luna
mendengus, merespon ocehan Dinar.
“Mas
Aro nitip salam. Makasih produknya udah kamu pakai di video cover terbaru kamu.”
“Desainnya
makin bagus. Sekarang nggak dominan warna hitam?”
“Nggak.
Warnanya mulai bervariasi. Desainnya juga. Kamu udah liat foto yang aku kirim
kan? Banner kita full body yang dipasang distro. Kita memang cocok jadi model.”
“Stop
deh! Aku nggak minat jadi artis!”
“Nggak
minat, tapi apa-apa yang dilakuin dah kayak artis. Artis Youtube sama Instagram.”
“Udahan?
Aku capek!”
“Hmmm….”
Luna
memberengut.
“Ya
udah. Buruan istirahat sana. Jangan lupa mengunjungi keluarga kedua.”
“Ntar
kalau mereka udah kelar beberes.”
“Kenapa
kamu nggak bantuin beberes?”
“Gue
di sini nggak nganggur!”
Dinar
terbahak. “Ya ya ya. Oke. Met istirahat adekku sayang. Mimpi indah ya.”
Luna
tersenyum menatap ponselnya setelah Dinar mengakhiri panggilan videonya. Ia pun
bangkit dari duduknya dan membersihkan diri, bersiap untuk istirahat.
Saat
berbaring di ranjang, Luna kembali mengecek ponselnya. Ada pesan dari Dinar. Ia
meminta Luna mengecek akun Instagramnya. Luna buru-buru membuka Instagram. Dinar kembali usil. Ia
mengunggah screenshot video call-nya
bersama Luna. Wajah Luna terlihat kuyu dalam gambar itu.
“Mas
Dinar! Ah! Lagi-lagi usil!” Luna kesal. Segera mengetik pesan panjang,
meluapkan amarahnya pada Dinar.
***
0 comments