Fly High! - Delapan

04:25

Fly High!




- Delapan -


Al merasa terharu ketika mendapat tepuk tangan meriah setelah menyelesaikan pertunjukannya bersama Oi. Ia membenarkan pendapat Oi tentang Meyra yang selalu melakukan yang terbaik untuk mereka. Sampai detik ini, apa yang dilakukan Meyra untuknya memang selalu memberi dampak positif.

Al merasa wajar jika Oi terkesan mengidolakan kakak sepupunya itu. Hari ini ia sadar jika Meyra memang keren dan patut jadi idola. Apa yang Meyra lakukan memang selalu keren. Hal sederhana seperti nama panggilannya dan Oi pun jadi terasa keren sekarang.
Meyra lah yang memberi nama panggilan Al untuk Alka dan Oi untuk Oriana. Meyra memanggil Alka dengan nama panggilan Al sejak gadis itu berusia tiga tahun. Sedang nama panggilan Oi, Meyra buat saat Oriana sering main di rumahnya dengan Al. Al merasa nyaman dengan nama panggilan itu. Oi pun sama. Hingga saat masuk SD, keduanya selalu memakai nama Al dan Oi saat memperkenalkan diri mereka. Uniknya, kedua orang tua Al dan Oi juga menyukai nama panggilan itu.
Sambutan penonton seperti ini bukan yang pertama bagi Al. Semasa ia kanak-kanak, setiap kali naik pentas sambutan penonton pun selalu meriah karena penampilannya dan Oi selalu berbeda. Pada umumnya untuk pertunjukan digunakan lagu yang sedang booming dalam masyarakat. Tapi, Meyra selalu menampilkan sesuatu yang berbeda. Walau Meyra menyukai segala sesuatu yang berbau Korea sejak tahun 2006, ia tak melulu menggunakan lagu Korea sebagai pengiring penampilan timnya. Tapi, beberapa kali Meyra memang menggunakan lagu dari negeri gingseng itu untuk penampilan timnya. Jadi, jauh sebelum kpop booming di Indonesia, Meyra sudah memperkenalkannya pada masyarakat di kampung halamannya.
Dalam tim Meyra, Al tidak hanya tampil bersama Oi. Kadang ia tampil berlima, namun seringnya bertiga bersama satu temannya yang bernama Gianina. Karena bersekolah di sekolah yang berbeda usai lulus SD, hubungan Al, Oi, dan Gianina jadi renggang. Dulu ketiganya dikenal sebagai trio AOG, Al, Oi, dan Gia. Setiap ada pentas, penampilan AOG selalu ditunggu karena keunikan mereka.
Al tersenyum mengenang masa kanak-kanaknya. Ia jadi merindukan masa itu. Masa ia rajin naik pentas. Ia pun jadi rindu pada Gia. Walau hubungannya renggang, namun Al tetap berteman dengan Gia di sosial media. Sering ia melihat postingan Gia. Teman masa kecilnya itu pun menyukai segala hal yang berbau Korea. Senada dengan Oi yang menjadi fans Wanna One garis keras, Gia juga mendeklarasikan dirinya sebagai Wannable.
Dari postingan yang dibagikan Gia, Al tahu jika Gia mengidolakan Kang Daniel dalam Wanna One. Menurutnya jika hingga sekarang Gia masih akrab dengannya dan Oi, bisa-bisa dua gadis itu selalu ribut karena memperebutkan Kang Daniel. Walau Oi bilang di Wanna One menyukai OngNiel 2Park—Ong Seongwoo, Kang Daniel, Park Jihoon, dan Park Woojin—tingkah Oi selalu menunjukkan kecenderungan pada Daniel. Dua fangirl dengan bias yang sama bisa berteman baik sekaligus bisa saling bermusuhan.
“Kalau lolos nanti, apa kalian akan menampilkan pertunjukan ini?” Suara Pak Agus membuyarkan lamunan Al.
Al tersadar jika ia masih berada di dalam aula. Duduk di atas panggung usai menyelesaikan pertunjukkannya. Wajahnya pun memanas karena ketahuan melamun.
“Iya, Pak. Tapi, karena ada jeda panjang untuk persiapan, kemungkinan kami akan memberikan penampilan lain.” Oi segera menjawab.
“Penampilan kalian bagus, tapi untuk kualitas instrumennya saya rasa kurang sempurna. Memotong lagu dan penggabungannya masih kasar.”
“Kami minta maaf karena menyiapkannya dengan terburu-buru dan memotong serta menggabungkannya sendiri. Tidak memakai jasa profesional. Tapi, jika seandainya kami lolos, kami akan memperbaikinya.”
“Terburu-buru saja bagus, bagaimana kalau dengan santai?” Pak Pri memuji. Membuat Al dan Oi kompak tersipu.
“Saran saya, kalau mau menampilkan versi akustik bagusnya dengan iringan gitar langsung. Di kelas kalian pasti ada yang bisa main gitar, kan?” Pak Agus memberi saran.
“Rekaman begitu juga bagus kok.” Pak Iskandar membesarkan hati Al dan Oi. “Kalau nanti kalian lolos dan ingin menampilkan pertunjukan ini, perbaiki saja rekamannya.”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Oi menyanggupi.
“Kalau saya lebih setuju dengan diiringi gitar langsung. Kesannya lebih syahdu. Semoga bisa menjadi pertimbangan kalau nanti kalian lolos.” Pak Agus kukuh pada usulannya.
“Terima kasih atas masukannya, Pak.” Oi berterima kasih.
“Terima kasih sudah mengikuti audisi SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat. Semoga lolos ya.” Ketua OSIS mengakhiri sesi tanya jawab.
Al dan Oi pun berterima kasih lalu turun panggung.

Saat keluar dari aula, Jia dan Nurul langsung menyambut Al dan Oi dengan heboh. Bersahutan, keduanya memuji penampilan Al dan Oi. Lalu, bersama Aning, Lila, dan Rina, mereka kembali ke kelas XI-IPA2. Para pemuda sudah lebih dulu kembali ke kelas. Rifqi menyambut kedatangan rombongan Al. Sama seperti Jia dan Nurul, Rifqi dan teman-temannya bergantian memuji penampilan Al dan Oi.
Saat kelas ribut, Arwan datang. Ia langsung menghampiri Al untuk memberikan kamera dan tripod Meyra yang dipasrahkan padanya. “Maaf ya kalau hasilnya kurang bagus.” Arwan meminta maaf.
“Nggak papa. Makasih ya udah bantuin.” Al berterima kasih.
“Aku rekam di hapeku juga kok. Nanti aku kirim ke kamu ya.”
“Liat dong rekamannya.” Pinta Rifqi.
“Aku tadi juga rekam di hapeku. Karena alasan itu aku diizinin masuk ke aula. Hehehe.” Jia meringis bangga.
“Wah! Makasih ya. Ntar kumpulin aja Al. Serahin ke Mey Eonni semuanya.” Oi girang. “Sayang aku nggak bawa laptop. Kalau bawa kan bisa sekalian di copy.”
“Mumpung di sekolah, ada wifi. Tak kirim ya. Lewat WhatsApp.” Jia kemudian sibuk dengan ponselnya.
“Eh iya ya. Kan di sekolah kita ada wifi.” Oi tertawa karena baru ingat tentang wifi di sekolahnya.
“Kalau gitu, ayo pindah duduk di deket laboratorium komputer atau deket kantor guru. Di sana sinyal wifi paling bagus.” Aning bangkit dari duduknya.
“Oke!” Jia langsung setuju.
Jia keluar kelas lebih dulu bersama Oi. Disusul Nurul dan Aning. Lalu, Rina dan Lila. Rifqi dan keenam temannya juga ikut. Paling akhir Al berjalan berdampingan dengan Arwan.
“Hari ini Fuad nggak dateng?” Al memulai obrolan.
“Nggak. Kenapa nyariin Fuad? Kamu naksir dia ya? Kalian sering ngobrol berdua di kelas.” Arwan sengaja memancing. Ia penasaran karena Al memang perhatian pada Fuad. Keduanya juga sering menghabiskan waktu bersama di kelas.
Al tersenyum dan menggeleng. “Fuad tuh dah aku anggep kayak masku ndiri. Dia baik kayak sosok seorang kakak.”
“Oh.” Arwan tersenyum, tak bisa menahan rasa senang yang menyeruak di dadanya. Ia lega Al tidak naksir Fuad, teman sebangkunya. “Dia pengen dateng, tapi tiba-tiba disuruh  nganter emaknya nggak tahu kemana gitu.”
“Mm.” Al bergumam.
“Penampilan kamu tadi keren, Al.”
“Makasih. Oi dong lebih keren. Padahal pas latihan dia bolak-balik lupa di bagian rap. Pas perform bisa lancar gitu. Salut aku.”
“Kamu juga keren. Kenapa sih selalu merasa Oi itu lebih keren dari kamu?”
“Emang gitu kan?”
“Kalian itu sama-sama keren tau! Punya ciri khas masing-masing. Jangan rendah diri gitu, Al. Kamu juga punya kelebihan.”
“Penyakit lama yang susah sembuh kata Mbak Mey.”
“Bukan berarti nggak bisa sembuh, kan? Oya, sampaiin terima kasihku ke Mbak Mey ya. Kameranya keren. Makasih udah mau percayain kameranya ke aku.”
“Ntar aku sampaiin.”
Oi dan Jia menggiring rombongannya ke bangku panjang di dekat ruang guru. Walau hari Sabtu, di sana cukup ramai murid berkumpul. Para pejuang wifi yang selalu datang ke sekolah walau hari libur demi mendapat akses internet gratis. Walau demikian, Oi dan Jia tetap duduk di sana untuk turut memperebutkan sinyal wifi terbaik di sekolah.
***

Al sudah menonton video hasil rekaman Arwan di kamera Meyra. Video hasil rekaman Arwan dan Jia juga sudah tersimpan di ponselnya. Dari ketiga video itu, rekaman dengan kamera Meyra yang terbaik. Pada rekaman dengan ponsel Jia kualitas gambar bagus, namun sayangnya video diambil dari sisi kiri depan dekat panggung.

Jia yang mendapat akses masuk aula tak berani masuk lebih dalam ke belakang kursi dewan juri. Ia berhenti di dekat pintu masuk yang letaknya dekat dengan panggung. Karenanya video hasil rekamannya menampilkan Al dan Oi dari samping. Karena terlalu dekat dengan sound system, suaranya pun terlalu berisik. Sepertinya Jia belum terbiasa merekam video dengan baik dari ponsel.
Sedang hasil rekaman di ponsel Arwan videonya goyang. Mungkin karena yang merekam memegang ponsel itu dengan tangan, dan mungkin memindahkan ponsel dari tangan satu ke tangan lainnya saat proses perekaman video. Walau menyorot dari depan panggung, menonton video yang terlalu banyak goyang bisa membuat kepala pusing.
Hasil rekaman dengan kamera Meyra bagus karena Meyra juga menyerahkan tripod miliknya pada Al untuk dibawa Arwan. Dengan begitu kamera bisa berdiri tenang saat merekam penampilan Al dan Oi. Karena itu rekaman dari kamera Meyra menghasilkan video yang bagus. Sepertinya Arwan sengaja melatih dirinya untuk merekam video dengan bagus saat membawa kamera Meyra. Dalam hati Al memuji hasil kerja Arwan. Ia yakin Meyra yang perfeksionis itu puas pada hasil kerja Arwan.
Hingga pukul sembilan malam Meyra belum pulang. Al menduga mungkin kakak sepupunya itu tidak akan pulang lagi. Belakangan ini Meyra sering menghilang dari rumah, terutama saat akhir pekan. Entah apa yang sedang dikerjakannya di luar sana. Jika Meyra tak bercerita, Al tak berani bertanya.
Al meletakkan kamera Meyra di kamar Meyra. Agar jika kakak sepupunya itu datang malam ini bisa langsung mengecek hasil rekaman Arwan. Selesai meletakkan kamera, Al pun kembali ke kamarnya.
Tak lama kemudian terdengar suara motor Meyra. Al hafal suara motor Meyra. Baginya seolah memiliki suara tersendiri. Al pun senang. Malam ini Meyra pulang. Artinya, ia bisa berbagi cerita dengan kakak sepupunya itu. Al sudah bangkit dari duduknya, tapi ia urung keluar kamar.
Kalau Mbak Mey capek kan kasihan. Ah, biarin dia ngaso dulu deh. Gumam Al dalam hati sembari kembali menghempaskan pantatnya ke atas kasur.
Tapi… pasti Mbak Mey juga penasaran tentang penampilan kami. Dia kan gitu orangnya. Gampang penasaran. Apa karena alasan itu dia pulang? Al memiringkan kepalanya.
Nungguin dia nyamperin aku ke kamar aja. Atau mungkin aja bentar lagi dia kirim pesan. Kan kamera udah aku taruh di kamarnya. Jadi, aku nunggu aja di sini.
Al memutuskan menunggu Meyra di kamarnya. Walau ia sebenarnya tak sabar ingin berbagi cerita dengan Meyra, tapi ia khawatir kakak sepupunya itu lelah. Karenanya ia memilih menunggu Meyra di kamarnya. Sambil terus berharap Meyra akan mengetuk pintu kamarnya dan bertanya tentang penampilan hari ini atau Meyra mengiriminya pesan dan memintanya datang ke kamar Meyra untuk berbagi cerita.
***

Al menunggu hingga satu jam lamanya, namun Meyra tak menghubunginya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk tidur. Keesokannya harinya ia bangun pagi-pagi, tapi kamar Meyra masih tertutup rapat. Sudah menjadi kebiasaan Meyra jika libur pasti akan terlambat bangun. Biasanya gadis itu akan bangun untuk sholat subuh, lalu tidur lagi.

Al memakluminya dan memilih menunggu. Paling siang biasanya Meyra akan keluar kamar pada pukul tujuh pagi. Karena itu, ia meminta dirinya sendiri untuk lebih bersabar menunggu Meyra.
“Mbak Mey belum bangun Budhe?” Al menyapa ibu Meyra yang sudah berada di dapur.
“Mbakmu agak nggak enak badan. Semalam badannya demam.”
“Mbak Mey sakit?”
“Flu kayaknya. Semalam demam. Keseringan kehujanan sih.”
Al menghela napas pelan. Ia merasa kasihan pada Meyra yang kondisi kesehatannya sedang menurun. Bersamaan dengan itu dia merasa lega karena semalam bisa menahan diri untuk tidak menghambur ke kamar Meyra.
“Padahal harusnya hari ini ada jadwal dia. Tapi, mau gimana lagi. Sakit gitu. Ya aku suruh pulang aja semalem.” Ibu Meyra menambahkan.
“Lagi sibuk apa sih Mbak Mey di luar Budhe?” Al memberanikan diri, mengorek informasi dari ibu Meyra.
“Sibuk ngurus jualannya aja. Kayaknya lagi banyak pesenan. Trus, kalau jadwal, nggak tahu. Palingan acara Korea-koreaan itu.”
Al teringat jika Meyra baru saja membuat proyek kaos bergambar chibi dari idol Korea dan tokoh drama yang sedang booming. Proyek itu juga baru saja selesai pre order. Karena itu Meyra sibuk dan sering menghilang dari rumah.
“Tapi, biasanya Mbak Mey kan tinggal duduk aja di rumah Budhe? Produksi kaos udah ada yang urus.” Setahu Al, Meyra memang mempercayakan produksi kaos-kaos dari proyeknya pada salah satu rekannya.
“Udah nggak. Sekarang diurus sendiri sama Mey. Temennya itu kalau ngambil bathi [1] terlalu banyak. Kasian Mey dong. Sekarang harga kaos banyak yang murah. Kalau Mey jual terlalu mahal kan bisa-bisa nggak laku.”
“Tapi, kan kualitas produk Mbak Mey bagus.”
“Iya. Tapi, karena si temennya yang biasa bantu urusin bikin kaos itu ambil untungnya kebanyakan, jadinya harga produksi mahal. Setelah dicari tempatnya, ternyata harga produksi nggak semahal itu. Jadinya sekarang Mey urus sendiri ke konveksinya.”
“Oh gitu. Mbak Mey terlalu baik sih. Terlalu percaya juga sama orang.”
“Mbakmu emang gitu. Padahal bisa naik motor. Urus sendiri kayak gini kan dapatnya lebih murah.”
“Pagi-pagi dah ngrasani[2].” Meyra tiba-tiba muncul di dapur.
“Udah baikan, Mbak?” Al menyambut. “Kata Budhe semalem mbak demam.”
“Udah minum obat kok. Udah reda demamnya.”
“Alhamdulillah.” Al lega. “Jangan kecapekan makanya.”
“Ini lagi urus kaos. Alhamdulillah dapet konveksi deketan sini yang kualitas kaos dan sablonnya bagus. Jadi, nggak perlu jauh-jauh ke Malang kota.”
Tempat tinggal Meyra memang terletak  jauh di pinggiran. Untuk mencapai Malang kota dibutuhkan waktu tiga puluh hingga empat puluh lima menit dengan naik motor. Karena jarak yang lumayan jauh itu lah Meyra sering menginap di rumah atau tempat kos temannya di Malang kota jika ada kegiatan di kota sampai malam.
“Mau aku buatin kopi, Mey?” Tanya ibu Meyra.
Cappucino aja.”
“Oke.”
Meyra duduk di kursi di dapur. Al yang duduk di seberang berhadapan dengannya sesekali melirik. Adik sepupunya itu sedang menikmati teh panas di hadapannya.
“Videonya bagus.” Ujar Meyra.
Mendengarnya Al merasa senang hingga bibirnya sedikit terangkat karena tersenyum.
“Semalem aku juga nonton di hape Al. Al sama Oi bagus ya penampilannya.” Ibu Meyra menyahut.
“Sudah kubilang kalian pasti bisa. Penampilan kalian kemarin, sempurna.”
Kali ini Al benar-benar tersenyum.
“Pak Pri nggak berubah ya.”
“Aku nggak nyangka Arwan rekam videonya dari awal sebelum kami perform sampai sesi tanya jawab berakhir.”
“Nggak papa. Ntar bisa di edit itu.”
“Emang mau diunggah, Mbak?”
“Iya lah. Kalau nggak ngapain aku susah-susah minta kamu bawa tripod sama kamera ke sekolah.”
Al tercenung menatap Meyra. Ibu Meyra menyuguhkan secangkir cappucino panas ke hadapan Meyra.
“Kenapa? Malu?” Tanya Meyra yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Al. “Jaraknya jauh. Muka kamu nggak keliatan jelas kok. Temenmu itu nggak kamu ajarin gimana cara zoom video?”
“Lupa.” Al nyengir.
“Keuntungannya muka kamu sama Oi jadi nggak keliatan banget.”
“Keliatan lah Mbak. Kan itu HD.”
“Keliatan kalau di zoom pas nonton. Kalau nggak ya biasa aja. Lagian kenapa malu? Cantik lho. Coba tanya Memes[3].”
“Iya cantik. Al itu kayak kamu dulu, Mey. Minderan.” Ibu Meyra setuju jika penampilan Al kemarin sempurna. “Heran aku, kamu itu kok bisa mirip Mey banget.”
“Mungkin waktu hamil, Bulek ngefans sama aku. Jadinya anaknya kayak gini. Mirip aku banget.” Meyra kemudian menyesap cappucino di hadapannya.
“Emang. Bulekmu itu dulu seneng banget sama kamu. Katanya, kamu itu ayu, pinter, kulitnya putih. Bulekmu ngarep kalau punya anak cewek anaknya kayak kamu. Ya tak suruh nyengiti kamu. Kalau wong hamil nyengit[4] kan biasae anaknya jadi kayak yang disengiti. Bukannya nyengit, Bulekmu malah ngefans sama kamu.”
Meyra menyunggingkan bibir mendengar penjelasan ibunya.
“Waktu lairan dan tau anaknya kulitnya putih langsung bilang, alhamdulillah anakku kayak Mey. Lucu bulekmu itu. Padahal dia sendiri kulitnya kan bersih. Untung aja Al kulitnya nurun bulekmu. Kalau nurun paklekmu lhak njitheng[5] dia.”
“Nggak papa item manis. Dengan mata belo gitu jadi mirip orang India dong dia.”
“Waktu kecil dulu kamu manggil Mey itu mama lho Al.”
“Iya. Saya masih inget Budhe.”
“Zaman kamu TK juga masih manggil Mey mama. Orang percaya kamu itu anaknya Mey. Rambutmu bergelombang, mirip Mey yang kribo. Trus, waktu rambut kamu dicat merah sama Mey, kamu dibilang kayak anake Londo. Inget nggak?”
“Saya inget waktu disemir itu Budhe. Sama Mbak Mey disuruh tiduran di bangku panjang pas mau dikeramasin.”
“Trus kamu nangis sambil teriak, Sakit Ma! Sakit Ma!” Meyra mengolok.
“Emang sakit disuruh tiduran di bangku kayu. Udah gitu disiram pakek air dingin pula.”
Nggak kroso bayek iki udah kelas dua SMA sekarang. Jadi, inget pas kamu nanya, Ma jurang itu apa sih? Karena bingung nggak tahu harus jelasinnya gimana, aku bawa deh kamu liat jurang beneran.”
Meyra dan Al tertawa bersama.
“Dulu kamu itu kalau dipacak-pacaki[6] sama Mey yang manut aja. Rambutmu dikeriting pakek batang daun waru, kamu juga manut.”
“Saya inget itu Budhe. Badan sampai gatel. Tapi, seneng rambut jadi mlungker-mlungker lucu kayak rambut cewek di majalah.”
“Kalau diajarin nari, kamu paling lincah. Itu kenapa kamu selalu ditaruh di tengah sama Mey.”
“Itu namanya center, Budhe.”
“Eh, masuk SMP malah nggak mau naik pentas lagi. Mey dulu juga gitu. Zaman SD rajin nyanyi di pentas. Masuk SMP, nggak mau lagi.”
“Kalau aku kan gara-gata tape kita rusak. Al fasilitas ada, cuman dianya aja yang malu.” Meyra memperjelas perbedaan dirinya dan Al.
“Tapi, sama-sama mandek saat masuk SMP kan? Pas SMP ada lomba karaoke, wali kelasnya Mey sampai dateng ke rumah biar Mey mau jadi wakil sekolah di lomba karaoke itu. Tapi, Mey nolak. Goblok ya mbakmu itu.”
“Malu lah. Itu udah setahun nggak nyanyi di pentas juga.”
“Tapi, aku sebel Budhe.”
“Sebel kenapa?” Ibu Meyra menatap Al. Meyra ikut menatap adik sepupunya itu.
“Masa kalau kami jalan bertiga, kami sering dibilang seumuran. Padahal kan beda jauh Budhe. Jarak umur kami beda 16 tahun, kan? Tapi, seringnya dibilang seumuran. Kan sebel jadinya.”
“Kamu sama Oi boros di muka tuh namanya.”
“Nggak ya!”
“Kalau gitu, emang aku yang nggak bisa tua.”
“Idih! Nggak juga. Mbak Mey udah tua tau! Kayak nenek-nenek.”
“Iya. Tapi, muka masih kayak ABG. Ya tho?”
Ibu Meyra tersenyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah Al dan Meyra. Suasana hening sejenak. Tiga perempuan itu menyesap minuman di hadapan masing-masing.
“Temen satu gengmu ada berapa?” Meyra bertanya pada Al. “Semuanya.”
“Semuanya? Hampir satu kelas akrab sih. Kecuali sama Eri dan gengnya. Tapi, yang akrab ya ada sekitar lima belas orang. Lima cewek, sepuluh cowok. Itu yang biasa maen bareng. Kenapa Mbak?”
“Rina sama Lila itu siapa?”
“Lumayan deket sih. Cuman mereka itu nggak bisa akrab sama Aning cs. Jadi, kalau aku sama Rina dan Lila, Aning cs nggak deket-deket. Kalau Oi bisa akrab sama semua.”
“Ajak semua temen kamu. Kita makan-makan. Sabtu ntar gimana?”
Al melongo. “Pengumuman audisinya masih Senin depan, Mbak.”
“Bukan buat rayain itu kok. Cuman mau bilang terima kasih ke mereka karena mereka udah dukung Al dan Oi. Enaknya makan di mana? Mie Ayam Bledek?  Kan tempat nongkrong anak sekolahan tuh.”
“Serius Mbak?”
“Emang aku keliatan bercanda?”
“Kami berlima belas lho! Kalau Rina sama Lila gabung, jadi tujuh belas.”
“Nggak bakalan habisin duit sejuta juga. Kamu mau ajak temen sekelasmu juga oke. Sabtu ntar ya. Mumpung aku luang. Kasih tau temen-temen kamu. Sekelas juga boleh. Trus, terserah kalian mau makan di mana. Deketan sekolah kalian kan banyak tempat nongkrong. Kamu sama temen-temen kamu yang tentuin. Aku ikut aja. Sabtu ntar pokoknya.”
Al yang masih terbengong pun menganggukan kepala. Mengiyakan permintaan Meyra.
***


[1] Keuntungan
[2] Bergosip
[3] Ibu dalam bahasa Malangan
[4] Membenci
[5] Berkulit hitam
[6] Didandanin

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews