AWAKE - Rigel Story

06:50

AWAKE - Rigel Story









Prolog

Ia berjalan terburu-buru menembus gelapnya malam. Digenggamnya erat-erat senter kecil di tangan kanannya. Salah satu siswa peserta jurit malam hilang. Laporan itu mengejutkannya. Kegiatan malam ini berada di bawah tanggung jawabnya yang memiliki jabatan tertinggi sebagai ketua Dewan Senior. Hanya ada satu kalimat di benaknya; Aku harus menemukan siswa itu!

Ia hafal dengan jalan yang dilaluinya. Jalan beraspal di tengah-tengah perkebunan tebu itu adalah jalur yang sering digunakan untuk lari sebagai bagian dari pemanasan ketika pelajaran olah raga. Tampilannya terlihat semakin angker di malam hari karena tak adanya lampu penerang jalan. Di jalur itu hanya ada satu lampu penerang jalan. Letaknya di jembatan yang kira-kira berjarak seratus meter dari tempatnya berada kini.

Ia mempercepat langkahnya. Mempercayai intuisi yang menuntunnya menuju tempat siswa yang hilang berada. Berjalan sendirian di jalan bak lorong panjang nan gelap itu juga membuatnya sedikit ngeri. Ia ingin segera lepas dari kengerian itu. Dan, tentu saja berharap intuisinya tak salah.

Ia menghentikan langkahnya di puncak jalan. Senyum lebar merekah di wajahnya. Ia menghela napas penuh kelegaan. Bukan hanya karena ia menemukan cahaya di tengah lorong panjang. Tapi, juga karena ia melihat siswa peserta jurit malam yang ia cari tengah berjongkok di bawah tiang lampu penerang jalan. Ia bergegas menapaki jalan menurun itu, untuk menjemput siswa yang hilang.

“Jangan takut. Ini aku, Rue!” ujarnya ketika sampai di dekat siswa yang terlihat ketakutan itu. “Tetaplah dekat padaku. Aku akan berusaha membuatmu aman,” imbuhnya sembari mengulurkan tangan.

Ia tersentak oleh ucapannya sendiri. Tiba-tiba ia merasa deja vu. Ia merasa pernah mengalami kejadian yang sama seperti malam ini. Lamunannya buyar ketika ia merasakan sebuah tangan menyentuh tangan kanannya yang terulur. Ia pun tersenyum. Menyambut tangan itu, menggenggamnya erat dan menariknya. Membantu siswa yang berjongkok itu untuk berdiri.

“Terima kasih, Kak Rue.” suara siswa itu terdengar gemetar.

“Kau aman sekarang. Mari kita pulang.”

Senyum kaku terkembang di wajah siswa itu. Ia membalas senyum. Lalu, masih dengan menggandeng tangan siswa itu, ia berjalan menaiki jalan menanjak dan lorong panjang nan gelap untuk kembali ke sekolah mereka SMA Horison.
***




Bab I

Pertanyaan untuk Rigel.

Q: Apakah kau percaya pada hantu? Apa kau takut pada mereka?
Hanjoo: Iya. Aku percaya. Aku tidak takut. Mereka adalah temanku.
Byungjae: Aku percaya mereka ada. Sebenarnya aku takut. Tapi, mereka menyukaiku. Aku harus bagaimana?
Dio: Aku percaya. Bersama Rigel, aku jadi lebih dekat dengan mereka. Iya… kadang aku takut. Bersyukur aku tidak bisa melihat wujud mereka.
Rue: Aku percaya. Mereka sering membuatku terkejut. Tapi, mereka bisa jadi teman ngobrol juga… kadang-kadang.
***


Tiga buah kamera sudah terpasang di posisi masing-masing. Dari ketiganya, seluruh sisi jalan bisa diabadikan. Satu di sisi kanan jalan, satu di sisi kiri jalan. Satu lainnya diletakan agak jauh di sisi kanan jalan untuk mengabadikan jalan dari bagian depan.
Rue membetulkan posisi kamera yang menyorot dirinya sendiri. Kamera yang baru saja ia letakan di posisi agak jauh dari dua kamera lainnya. Ia mengamati kamera sejenak, lalu tersenyum.
“Hai! Aku Rue. Malam ini, kami, Rigel sedang berada di lokasi kecelakaan beruntun yang terjadi minggu lalu. Kami ada di sini malam ini untuk memenuhi permintaan kalian. Orion kami tercinta.” Rue kembali tersenyum pada kamera. “Baiklah. Mari kita menunggu. Apa yang akan kita dapatkan malam ini. Orion, serukanlah: selamat berjuang Rigel!”
Setelah tersenyum pada kamera, Rue menyingkir dari depan kamera. Ia mengelus rambut keriting panjangnya yang malam ini ia kepang di sisi kanan kepalanya. Sambil berjalan menuju tiga anggota Rigel lainnya yang sudah duduk di trotoar tak jauh dari kamera yang baru saja ditinggalkannya.
Rue duduk di samping kanan Hanjoo. Pemuda Korea berambut coklat yang menurut Rue memiliki senyuman seperti anak kucing. Itu alasan kenapa Rue sering memanggilnya Kitten Joo.
Di samping kiri Hanjoo, ada Dio. Member Rigel yang juga berjenis kelamin sama dengan Rue; perempuan. Dio, gadis asal Venezuela itu tersenyum menyambut Rue. Di samping kirinya ada Byungjae. Pemuda yang juga berdarah Korea, sama seperti Hanjoo.
Byungjae melihat jam di tangan kirinya dan berdecak. “Baru jam sembilan, tapi jalan sudah begini sepi.”
“Apa jalan ini pernah ramai di malam hari?” Dio mengomentari ocehan Byungjae. “Apalagi setelah kecelakaan maut minggu lalu.”
“Dan, kita adalah empat pemuda nekat yang memilih jalan ini sebagai tempat nongkrong. Demi Orion! Ya ampun!” Byungjae menggelengkan kepalanya.
“Kamu bisa diam nggak sih?” Dio protes. “Rue sedang berkonsentrasi!” sambil melirik Rue yang duduk terhalang Hanjoo di sebelah kanannya.
Byungjae dan Hanjoo kompak menoleh ke arah kanan. Mengikuti Dio menatap Rue yang duduk bersila di trotoar dengan tatapan lurus ke depan.
“Rue, apa kau melihat sesuatu?” Byungjae berbisik.
Dio dan Hanjoo diam. Menatap Rue. Menunggu jawaban.
“Rue??”
Dio menyikut Hanjoo dan berbisik, “Apa Rue baik-baik saja?”
Hanjoo memegang tengkuknya dan menggeleng.
“Rue??” Byungjae kembali memanggil Rue. “Apa kau melihat sesuatu? Salah satu korban atau…??”
Rue mengedipkan mata bulatnya. Bulu matanya yang lentik ikut bergerak. Namun, ia tak mengalihkan pandangannya.
“Rue?” gatian Hanjoo yang bertanya. “Aku merasakan…” ia memijat-mijat tengkuknya. Tak melanjutkan ucapannya.
Rue menelan ludah. “Salah satu korban kecelakaan, sedang duduk di sampingku. Dia menatapku sekarang,” ujarnya dengan suara lirih.
Hanjoo, Dio, dan Byungjae kompak melotot ke arah Rue. Lalu seperti di komando beralih menengok ke samping kanan Rue. Memang tidak ada apa-apa di sana ketika mereka melihatnya. Tapi, melihat ekspresi Rue. Mereka yakin sesuatu yang sangat mengerikan—dan tak ingin mereka lihat—sedang berada di sana. Dekat di samping Rue.
Sosok perempuan dengan wajah dipenuhi darah itu bertahan duduk di samping kanan Rue. Menghadap pada Rue. Menatap Rue tajam. Rue tetap bertahan. Menatap lurus ke depan. Menatap jalan yang tampak hitam memanjang tanpa adanya satu kendaraan yang melintasinya. Ia tak mau menoleh. Terlebih ke arah kanan. Sosok itu sangat mengerikan. Mukanya yang pucat pasi dan berlumuran darah benar-benar membuat Rue merasa mual karena bau anyirnya.
Rue mengepalkan kedua tangan dalam pangkuannya. Lalu, ia memejamkan mata. Bibirnya bergerak merapalkan mantra. Ia berharap sosok itu segera menghilang dari sisinya. Setelah memejamkan mata selama beberapa detik, Rue kembali membuka matanya. Ia tersentak kaget, bahkan sampai terlonjak dari posisi duduknya. Sosok mengerikan itu tak menghilang. Tapi, beralih duduk tepat di depannya. Masih menatapnya dengan tajam.
***

Byungjae, Dio, dan Hanjoo berdiri di trotoar di dekat pintu masuk terminal. Mereka memperhatikan satu per satu angkutan umum yang lewat memasuki terminal. Kota yang mereka tinggali memang kota kecil. Kota kecil di sebuah negara tropis. Kota kecil yang didominasi orang Asia Timur. Terutama orang Korea seperti Byungjae dan Hanjoo.
Byungjae melihat jam tangannya dengan gusar. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. “Kita bisa terlambat!” keluhnya.
“Itu dia!” Hanjoo menuding Rue yang baru saja keluar dari angkutan umum dan sedang berjalan cepat ke arah mereka.
Thanks, God!” Dio mengucap syukur. “Oh, Rue! Kau baik-baik saja, kan?” ia menyambut Rue. Meraih tangan kiri Rue dan menggenggamnya penuh simpati.
“Semalaman aku tak bisa tidur. Apa aku terlihat buruk?” Rue meminta Dio menilai penampilannya pagi ini.
“Mata pandamu makin parah!” Byungjae fokus pada lingkar hitam di kedua mata Rue yang semakin kentara.
“Kan sudah kubilang, semalaman aku tak bisa tidur!” Rue bersungut-sungut. Kesal pada Byungjae.
“Sebaiknya kita jalan.” Hanjoo menyela. “Ketua Dewan Senior telat di hari pertama MPLS[1] adalah bencana.”
“Ya, aku tahu.” Rue mulai berjalan. Dio berjalan di samping kirinya. Sedang Byungjae dan Hanjoo berjalan di belakangnya.
“Dia meminta bantuanmu?” Dio tak bisa membendung rasa penasarannya. Usai perburuan semalam, Rue lebih banyak diam dan terlihat gusar.
“Iya.” Jawab Rue singkat.
“Dia ikut kamu pulang?” Sahut Byungjae yang berjalan tepat di belakang Dio.
Rue menjawabnya dengan sebuah anggukan kepala.
“Sudah kubilang, berburu penampakan di jalan itu bukanlah ide brilian. Tapi, kau katakan itu demi Orion kita. Aku bisa apa?” Byungjae mengangkat kedua tangannya. Lalu, menjatuhkannya dengan pasrah. “Kejadiannya minggu lalu. Masih hangat sekali. Dan, yah… kita tetap ke sana. Untung nggak ada yang menempel padaku.”
“Kamu sudah menyelesaikan permintaannya?” Hanjoo yang berjalan tepat di belakang Rue ikut bertanya.
“Aku harap secepatnya. Dia… wanita cantik yang malang.” Ekspresi Rue meredup sejenak. Lalu, buru-buru ia menggelengkan kepala. “Sebenarnya semalam itu adalah malam curhat bersama salah satu korban.”
“Malam curhat?” pekik Dio kaget mendengar pengakuan Rue. “Oh, Rue! Untung aku tak menjadi bagian dari sesi curhat itu.”
“Aku juga. Siapa mau mendengar curhatan wanita dengan wajah berlumuran darah? Hi!!!” Byungjae menggelengkan kepala. Merasa ngeri hanya dengan membayangkan sesi curhat bersama arwah salah satu korban kecelakaan.
Seutas senyum muncul di wajah pucat Rue. “Dia wanita yang cantik. Sudah aku bilang, kan?”
“Ya, ya. Tapi, tetap saja ketika pertama muncul wajahnya berlumuran darah, kan? Karena itu kondisi terakhirnya saat ia meninggal.” bantah Byungjae.
Rue menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Lalu, bantuan apa yang dia minta?” tanya Hanjoo.
“Sebuah janji pada seseorang. Aku sudah coba menghubungi yang bersangkutan.”
“Semoga segera selesai.” Dio memanjatkan harapan terbaik untuk arwah korban kecelakaan yang meminta bantuan Rue.
“Sobat, apa kalian tidak gugup menghadapi hari ini?” Byungjae mengalihkan topik obrolan dalam perjalanan menuju sekolah itu. “Kalian sudah baca postingan di halaman Rigel? Banyak Orion yang masuk SMA Horison. Hah! Aku sangat gugup menghadapi hari ini.” Byungjae meletakkan tangan kanan di atas dada.
“Mungkin itu juga yang menjadi alasan hingga Rue bertanya, Apa aku terlihat buruk?” Dio mengulangi pertanyaan Rue saat baru sampai di terminal. “Tadi pagi, di depan cermin pun aku berpikir. Apa sebaiknya aku memakai make up tipis? Astaga! Lalu, aku sadar jika aku terlalu genit. Aku bukan Pearl dan geng mutiaranya itu. Yang gemar memakai make up ke sekolah dan tak pernah mendapat teguran Tim Tata Tertib.”
Byungjae dan Hanjoo kompak tersenyum mendengar ocehan Dio.
“Tanpa make up, kamu sudah cantik, Dio.” Hanjoo memuji kecantikan alami Dio.
Dio memang sangat cantik. Tapi, ia tidak memiliki ciri sebagai gadis cantik kebanyakan dari rasnya. Namun, di situlah letak nilai lebihnya. Ia mempunyai kulit yang putih. Rambut lurus hitamnya menjadi mahkota sempurna untuk wajah ayunya. Ia memiliki sepasang mata lebar yang cantik. Walau berasal dari Venezuela, Dio memiliki wajah seperti orang Asia. Sayang rambut hitam panjangnya kini ia pangkas menjadi sangat pendek. Hingga penampilannya terlihat seperti laki-laki.
“Hehehe.” Dio tersipu. “Terima kasih.”
“Kalau Rue ke sekolah dengan make up gothic yang kerap kali ia gunakan saat kita syuting. Bukan ide yang bagus juga.” gantian Byungjae berkomentar. “Lagi pula, mata panda itu kan ciri khas Rue. Jadi, kenapa kamu jadi khawatir pada penampilanmu? Omo! Jangan katakan kau akan tebar pesona pada murid baru?” Byungjae menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.
“Pastilah. Pemuda yang lebih muda itu lebih menggiurkan.” Rue mengibaskan kepangan rambutnya. Pagi ini ia menata rambut keriting panjangnya dengan kuncir ekor kuda yang kemudian di kepang.
“Berhenti bercanda!” Hanjoo mengingatkan ketika mereka berempat sampai di jalan yang berada di sebelah barat sekolah mereka, SMA Horison.
Byungjae, Dio, Rue, dan Hanjoo berjalan beriringan dalam diam. Menempuh beberapa meter lagi untuk sampai di jalan utama di depan sekolah mereka. Setiap harinya, mereka harus berjalan kaki selama lima belas menit dari terminal ke sekolah. Mereka tak pernah menempuh rute melalui jalan utama. Mereka memilih melewati lapangan dan jalan kecil di tengah perkampungan. Rute itu sering dilalui murid SMA Horison yang lain juga. Karena lebih aman, tak lewat trotoar di tepi jalan utama yang ramai kendaraan. Dan, juga lebih teduh di saat jam pulang sekolah.
Omo!” Byungjae terkejut ketika sampai di ujung jalan.
Di depan gerbang SMA Horison telah berkumpul beberapa murid yang mengenakan seragam putih-hitam yang menandai bahwa mereka adalah murid baru yang hendak mengikuti MPLS. Melihat Byungjae, Dio, Rue, dan Hanjoo muncul dari arah barat. Mereka bersorak menyambut. Mengangkat tulisan—nama anggota Rigel yang mereka idolakan—yang sengaja mereka buat, sambil meneriakkan nama idola masing-masing.
“What this? I feel like I’m a Kpop Idol!” gumam Dio sambil nyengir dekat di telinga Rue.
Rue hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman.
“Wow! Aku benar-benar jadi idola sekarang!” Byungjae membetulkan kerah bajunya.
Byungjae, Dio, Rue, dan Hanjoo berhenti di depan para junior yang sengaja menunggu mereka di depan gerbang SMA Horison. Mereka menyapa murid-murid baru itu. Lalu meminta mereka segera masuk.
Beberapa dari Orion yang berkumpul di depan gerbang, berusaha untuk berkomunikasi langsung dengan member Rigel yang mereka idolakan. Mereka saling bersahutan membuat keempat member Rigel hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepala sambil menggiring para junior itu masuk ke area sekolah.
Rigel. Hanjoo yang mengusulkan nama itu sebagai nama geng mereka. Rue, Dio, dan Byungjae langsung setuju. Hanjoo menyebut para pendukung Rigel dengan Orion. Karena Rigel adalah bintang paling terang di rasi Orion. Hanjoo mengambil kedua nama itu untuk gengnya dan juga para pendukung gengnya.
Awal terbentuknya Rigel adalah dari hobi Rue yang gemar menulis tentang pengalaman mistisnya di blog pribadinya. Hanjoo yang pandai menggambar sering membuat gambar penampakan-penampakan makhluk astral yang dilihat Rue. Gambar-gambar itu disertakan dalam tulisan Rue.
Semua itu bermula saat Rue kelas dua SMP, dan usai mengenal Dio. Dio lah yang mendorong Rue untuk mempublikasikan pengalaman-pengalaman mistisnya. Ketika naik ke kelas tiga, Rue dan ketiga rekannya menemukan hobi baru; berburu penampakan. Hal itu bermula dari ketidaksengajaan mereka yang berhasil mengabadikan penampakan hantu di sekolah mereka ke dalam sebuah video. Sejak saat itu mereka berempat kecanduan berburu penampakan karena respon dari video pertama yang mereka unggah ke Youtube sungguh luar biasa.
Rue, Dio, Byungjae, dan Hanjoo jadi terkenal di dunia maya dan memiliki penggemar. Hal itu yang membuat Hanjoo mencari nama untuk kelompok mereka dan juga para pendukungnya. Hingga terbentuklah Rigel dan Orion.
Ketenaran Rigel semakin melonjak ketika mereka masuk ke SMA Horison yang terkenal angker dan Rue terpilih menjadi Ketua Dewan Senior atau sering disebut juga sebagai Presiden Sekolah.
Selama Rue menjabat sebagai Ketua Dewan Senior, tingkat murid kesurupan di SMA Horison menurun drastis. Rue yang diketahui memiliki kemampuan di atas manusia normal disebut-sebut telah berhasil melakukan perjanjian dengan para hantu yang juga menghuni SMA Horison. Perjanjian itulah yang menyebabkan penuruan secara drastis gangguan dari hantu-hantu pada murid SMA Horison. Kesurupan terjadi hanya jika ada pelanggaran berat yang dilakukan murid saja.
Byungjae menghela napas panjang usai berhasil lepas dari para Orion-nya. Walau perannya hanya sebagai kameramen dan pengurus halaman Rigel di Facebook, Byungjae memiliki cukup banyak penggemar.
Hal itu di dukung oleh wajahnya yang lumayan tampan, juga sikapnya yang supel dan ramah. Orion tak keberatan pada keanehannya yang gampang ketempelan hantu dan sering hampir kesurupan.
Byungjae tersenyum lebar. Menyusul Rue, Dio, dan Hanjoo yang sudah lebih dulu berjalan menuju kantor Dewan Senior.
***

[1] Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau biasa dikenal dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa)



You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews