Sepanjang perjalanan pulang Rue
memikirkan kejadian di sekolah. Kesurupan massal, munculnya Malaikat Maut di
tengah kesurupan massal, rapat dadakan dan kesepakatan yang dicapai. Ia
bertanya-tanya, apakah pembina ekstrakurikuler Metafisik juga melihat
keberadaan Malaikat Maut. Sebenarnya ia ingin bertanya langsung, namun urung.
Menurutnya situasi sedang tidak pas.
Hongjoon menyambut Rue seperti tempo
hari ketika gadis itu pulang. Ia mengerutkan kening melihat wajah lesu Rue.
“Ada masalah di sekolah?” Tanya
Hongjoon.
Rue menjatuhkan tubuh lelahnya di
sofa. Ia memejamkan mata dan memijat keningnya.
Walau penasaran, Hongjoon tak
bertanya lagi. Ia berdiri tak jauh dari Rue dan menunggu.
Rue membuka mata, mendesah, lalu
bangkit dari duduknya dan beranjak menuju kamar mandi.
Hongjoon yang memperhatikannya
mengerucutkan bibir. “Apa dia sudah kehilangan kemampuan untuk melihat dan
mendengarkan aku?” Gerutunya.
Rue keluar dari kamar mandi.
Kepalanya terbungkus handuk. Hongjoon yang duduk di ruang tamu memperhatikannya.
Ekspresi Rue terlihat lebih santai. “Hari ini terjadi kesurupan massal di
sekolah.” Ujar Rue sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
“Ap-apa?? Kesurupan massal??”
“Iya. Di kelasmu. 23 siswi
kesurupan. Merepotkan sekali.”
“Esya bagaimana?”
“Dia baik.”
“Yano? Axton?”
“Semua baik.”
“Syukurlah.” Hongjoon lega. “Sebelumnya
pernah kejadian kayak gitu?”
“Ini yang pertama.”
“Kenapa bisa gitu ya?”
“Pasukan setan. Ingat tidak? Itu
ulah mereka. Itu kenapa aku melarangmu ke sekolah. Bahaya.”
Hongjoon diam. Membayangkan situasi
di sekolah yang sedang genting.
“Kami akan melakukan ritual
pembersihan.”
“Kami?? Rigel??”
“Semua yang punya kemampuan diminta
bergabung. Pembina ekstrakurikuler Metafisik yang akan memimpin ritual.”
Hongjoon menatap Rue dalam diam. Ia
merasa khawatir. “Kapan itu? Boleh aku pergi bersama Noona?”
“Kamis malam. Nggak boleh. Aku nggak
akan bisa lindungin kamu.”
“Selama ini Noona selalu menjagaku!”
Rue terkejut mendengar pengakuan
Hongjoon. Ia menatap Hongjoon dalam diam.
“Anu, maksudku saat jurit malam
itu.”
“Ini berbeda. Kau tetap di sini
saja. Tunggu aku kembali. Jangan menyusulku ke sekolah. Paham?”
Hongjoon diam.
“Kalau kau sampai nekat pergi, maka
aku akan menganggapmu tidak ada. Selamanya!”
“Kejam sekali. Selamanya itu kan
lama sekali.”
Rue mengabaikan protes Hongjoon. Ia
berjalan menuju kamar tidurnya. Hongjoon mengerucutkan bibir karena kesal.
“Hongjoon.” Rue kembali membuka
pintu.
Hongjoon mengangkat kepala dan
menatap Rue.
“Selama kau di sini, apa kau pernah
melihat sosok pemuda dengan kostum serba hitam?”
“Itu ya? Beberapa kali muncul. Aku
melihatnya seperti sedang menunggu Noona
saat Noona hendak berangkat ke
sekolah. Dia siapa?”
“Jadi, kau juga melihatnya. Dia
tidak mengajakmu bicara?”
Hongjoon menggelengkan kepala.
Rue diam sejenak, lalu kembali
menutup pintu kamarnya.
“Aneh sekali dia hari ini.” Hongjoon
menelengkan kepala.
***
Sehari pasca kesurupan massal muncul
gosip di antara murid. Gosip tentang penyebab kesurupan massal itu adalah Rue.
Bahkan, ada pula hasutan dan provokasi agar tak memilih Rue sebagai ketua Dewan
Senior yang baru.
Rue tak terlalu ambil pusing. Tapi,
Dio dan Byungjae yang tersulut mendengar gosipan-gosipan itu. Hanjoo dan Nath
terus menenangkan keduanya.
“Kamu lupa apa kata Goong? Kalau
kamu nggak jadi ketua yang baru, akan gawat kan?!” Byungjae terus membujuk Rue
untuk melakukan serangan balik.
Byungjae dan Dio yakin jika
pelakunya adalah Pearl. Memanfaatkan kejadian luar biasa di sekolah yaitu
kesurupan massal untuk menyerang Rue.
“Ritual akan dilakukan besok malam,
dan statusku saat ini masih ketua Dewan Senior. Percayalah! Gosipan dan hasutan
itu tidak akan bekerja pada kita.” Rue meyakinkan Byungjae.
“Iya ya. Ritualnya besok.” Byungjae
memiringkan kepala.
“Sekarang fokus saja pada ritual
besok. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang antara kami dan pasukan
setan itu. Seperti yang dibahas kemarin, untuk tahu apa yang sebenarnya
terjadi, kita harus mengalahkan mereka dan mengintrogasi mereka.”
Mendengarnya, Nath, Dio, Byungjae,
dan Hanjoo merasa ngeri. Jika melihat kekhawatiran Rue belakangan ini,
keempatnya yakin yang disebut sebagai pasukan setan pastilah berjumlah luar
biasa.
“Katanya para alumni yang mendengar
tentang ini akan turut membantu. Semoga saja besok berjalan dengan lancar.” Nath
mengucap harapan yang segera diamini Dio, Byungjae, Hanjoo, dan Rue.
Kelimanya yang sedang duduk
berkumpul di depan UKS melihat Pearl, Ruby, dan Linde yang baru kembali dari
kantin. Pearl sudah tak lesu lagi. Bahkan ia tertawa-tawa seolah sedang sangat
bahagia ketika lewat di jalan yang berada di depan ruang UKS.
“Sungguh aku pengen jambakin dia
lagi.” Dio geram.
“Byungjae.” Panggil Rue.
“Iya?” Byungjae menaruh perhatian
pada Rue.
“Tolong unggah video di Gedung
Kematian. Setelah selesai, bagi link-nya di grup chat Rigel. Lalu, tolong
kerjasamanya untuk membagikan link. Tapi, esok saja kita serempak membagikan
link nya.”
“Wah... wah... serangan balik ya?” Dio
tersenyum puas.
“Walau kita tidak menyebutkan Pearl,
aku yakin Orion yang bersekolah di sini bisa menebak pelakunya adalah Pearl.
Jangan-jangan kalian sudah merencanakannya.” Nath menyipitkan mata ketika
menatap Dio, lalu Rue.
Dio dan Rue kompak tersenyum.
***
Malam ini Rue akan pergi ke sekolah
untuk ritual. Gadis itu mengatakan mungkin ia akan menginap. Hongjoon merasa
khawatir. Ia ingin Rue tak pergi saja. Tapi, ia tahu gadis itu tidak akan
mendengar usulnya untuk tetap tinggal. Tanggung jawabnya sebagai ketua Dewan
Senior mengharuskannya untuk tetap pergi.
“Kenapa ritualnya harus Kamis malam
sih? Ah ya! Mereka bilang itu malam yang sakral. Apa aku bisa pergi? Tidak!
Tidak! Aku nggak mau Kak Rue menganggapku tidak ada selamanya. Aku tidak tahu
sampai kapan aku akan seperti ini. Dia satu-satunya yang aku punya sekarang.
Aku nggak mau kehilangan dia.” Hongjoon berjalan mondar-mandir di teras rooftop.
“Aku sudah bilang jangan pergi.
Tapi, dia nggak bisa tinggal. Apa Esya, Yano, dan Axton juga datang? Ah! Nggak
mungkin! Itu kan ritual diam-diam. Tidak semua murid diberi tahu.”
“Terima kasih sudah memintanya tetap
tinggal.”
“Astaga!” Hongjoon kaget ketika
tiba-tiba mendengar suara. Suara seorang pemuda. Ia pun membalikkan badan dan
menemukan sosok pemuda dengan kostum serba hitam. Dia... dia kan yang ditanyakan Noona kemarin. Ia membatin sambil mengamati pemuda itu dari atas ke
bawah.
Pemuda yang biasa disebut Rue dengan
panggilan Malaikat Maut itu tersenyum. “Kau jangan khawatir. Rue adalah gadis
yang hebat.”
“Iiiyaaa aku tahu itu. Tapi, kau
siapa? Apa sama sepertiku?”
“Rue sering menyebutku Malaikat Maut
atau Dewa Kematian.”
“Apa?” Pekik Hongjoon. “Lal-llu
untuk apa kau datang ke sini?” Hongjoon terdiam sejenak, lalu mendelik. “Kau
datang untuk menjemputku?”
Malaikat Maut tersenyum. “Nggak. Aku
datang untuk menemani Rue.”
Kedua mata sipit Hongjoon semakin
membelalak. “Noon-noona?? Kau datang
untuk menemaninya?”
“Air doa ini berat!” Gerutu Byungjae
yang keluar dari dalam rooftop.
Hongjoon dan Malaikat Maut kompak
menatap pada Byungjae.
“Angkat sampai bawah aja. Om Toni
bakalan ikut kita. Ayo!” Dio menepuk pundak Byungjae.
“Bantuin napa!”
“Kamu kan cowok. Masa nggak kuat!”
“Ayo.” Hanjoo menghampiri Byungjae.
Lalu, bersama-sama membawa satu tas plastik berisi beberapa botol air doa yang
disiapkan Rue.
Hongjoon dan Malaikat Maut
memperhatikan aktivitas ketiga teman Rue.
“Turuti apa yang Rue katakan.
Tetaplah di sini.” Malaikat Maut kembali berbicara.
“Tapi, apa maksudmu kau akan pergi
mendampinginya, anu menemai Rue?”
Rue keluar lalu mengunci pintu.
Menyita perhatian Hongjoon dan Malaikat Maut. Hongjoon bergegas mendekati Rue.
“Noona,
jangan pergi!” Hongjoon meminta Rue untuk tinggal.
“Nggak bisa. Aku haru pergi. Ritual
ini, aku nggak bisa lakuin dari jarak jauh.” Rue melirik Malaikat Maut, sambil
terus berjalan menuju tangga.
“Tapi, Noona. Itu cukup berbahaya.” Hongjoon mengejar Rue. “Noona! Ada yang ingin aku katakan
padamu!”
“Tunggu sampai aku kembali. Kita
akan membahasnya nanti!” Rue berlari kecil menuruni tangga.
Hongjoon pasrah melihat Rue pergi.
Ia membalikkan badan, namun Malaikat Maut sudah menghilang.
***
Toni mengantar Rigel menuju SMA
Horison. Hening setelah mobil melaju selama beberapa menit. Suasananya terasa
canggung.
“Aku akan tinggal. Turut bergabung
dalam ritual.” Toni memecah keheningan.
“Wah! Bunda Berta yang meminta Om
menemani Rue?” Dio yang duduk di samping kiri Toni memberi respon.
“Keinginanku sendiri. Tapi, Berta
mendukung. Ia pun akan membantu. Jadi, Rue jangan ragu. Walau yang memimpin
ritual bukan kamu, tapi mereka menganggap kamu lah pemimpinnya. Kau harus yakin
dan percaya diri dalam membawa pasukanmu ke medan perang.”
“Kita beneran perang?” Tanya
Byungjae.
“Kalau pelajaran sejarah kamu nyimak
nggak sih? Emangnya ada penjajah yang mau pergi secara suka rela saat diusir
sama rakyat dari negeri yang mau mereka jajah?” Dio yang merespon pertanyaan
Byungjae.
“Iya juga sih. Hehehe.” Byungjae
meringis.
“Kalian bantu doa aja. Itu kekuatan
yang luar biasa.” Toni mengingatkan tugas Dio, Byungjae, dan Hanjoo.
Mobil Toni sampai di SMA Horison. Ia
membawa mobil masuk ke area sekolah dan memarkirkannya di area parkir yang
biasa digunakan guru. Rombongan Rue—termasuk Toni—langsung menuju ruang UKS. Di
sekolah lumayan ramai. Walau didominasi anggota ekstrakurikuler PMR dan
Metafisik, ada beberapa anggota eksul yang sengaja datang dan menginap di
sekolah demi menonton jalannya ritual.
Beberapa anggota Dewan Senior dan
MPK juga hadir. Nicky dan Kevin ada di antara anggota Dewan Senior dan MPK yang
hadir. Alumni yang hadir pun bukan dari ekstrakurikuler Metafisik saja,
beberapa alumni PMR juga hadir.
Bekerja sama, anggota
ekstrakurikuler PMR dan Metafisik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk ritual. Anggota Dewan Senior dan MPK yang hadir turut membantu. Karena
mendapat izin untuk merekam jalannya ritual, Rigel pun mulai mempersiapkan
kamera mereka.
Setelah semua persiapan selesai,
orang-orang yang akan terlibat dalam ritual berkumpul di tengah lokasi ritual
yang digelar di tanah lapang di taman belakang sekolah. Dio, Byungjae, dan
Hanjoo siap dengan kamera masing-masing. Menyebar di pinggir area ritual. Toni
ada bersama Byungjae.
Rue terus memanjatkan doa. Ia merasa
lebih gugup dari sebelumnya. Walau ia bukan satu-satunya gadis yang akan turut
andil dalam ritual pengusiran, ia merasakan gugup yang lebih dari saat ia
beraksi bersama Rigel.
“Rue.” Nicky menghampiri Rue.
“Tolong hati-hati.”
Rue tersenyum dan menganggukkan
kepala. Ia kembali melihat Malaikat Maut tak jauh di belakang Nicky. Rue
menarik napas dan menghembuskannya. Ia pun berjalan masuk ke dalam area ritual.
***
Pembina ekstrakurikuler yang
memimpin jalannya ritual membagi tugas. Ada yang bertugas membuat pagar gaib
untuk melindungi siapa saja yang berada di taman belakang sekolah. Semua yang
ada di sekolah malam itu diminta mendekat ke lokasi agar lebih mudah untuk
membuat pagar perlindungan.
Tim kedua bertugas membuat pagar
gaib untuk melindungi orang-orang yang akan melaksanakan ritual. Orang-orang
yang akan maju untuk melawan secara langsung pasukan setan yang sudah sejak
lama bersiaga di taman belakang sekolah. Rue berada dalam tim inti, orang-orang
yang akan maju melawan pasukan setan. Ia satu-satunya gadis yang berada di
dalam tim inti yang berjumlah tujuh orang itu.
Ketika ritual dimulai, angin dingin
yang cukup kencang tiba-tiba muncul. Tim pembuat pagar gaib tetap fokus untuk
membuat benteng pertahanan. Sedang tim inti mulai siaga. Setelah angin dingin
yang cukup kencang, tiba-tiba muncul kabut. Tujuh orang tim inti melihatnya
dengan jelas. Termasuk Rue. Kabut tebal itu perlahan mulai pecah. Samar-samar
terlihat pasukan setan yang pernah dilihat Rue. Pasukan yang berisi berbagai
jenis buto dengan satu pimpinan seorang buto dengan wajah mengerikan.
Raja Buto yang memimpin pasukan
setan bertubuh sangat besar dan memiliki wajah yang mengerikan. Wajahnya putih
dengan dua mata lebar melotot berwarna merah. Hidung dan mulutnya besar dengan
empat gigi taring besar yang mencuat keluar. Rambutnya berwarna coklat panjang
dan acak-acakan. Tubuhnya kekar berwarna abu-abu.
Pemimpin ritual meyakinkan agar
pasukannya tak merasa gentar. Karena, bagaimanapun manusia adalah makhluk Tuhan
yang paling sempurna.
Walau yang kedua kalinya melihat
pasukan buto, Rue masih dibuat terperangah. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa
ia mampu menghadapi mereka. Dalam hati ia terus memanjatkan doa. Meminta
bantuan dan perlindungan Tuhan. Ia juga meminta restu pada ibunya, kakek, dan
leluhurnya. Rue memantapkan hati. Ia pasti bisa melawan pasukan buto itu.
Angin dingin berhembus semakin
kencang. Raja Buto mulai melancarkan serangan. Sadar ia dan pasukannya akan
diusir, ia pun memulai serangan.
Tim yang melakukan ritual
pembersihan kukuh. Ketika pasukan buto mulai maju dan menyerang, mereka pun
bertahan dan melakukan perlawanan. Tim inti pun berpencar untuk membantu tim
perlindungan melakukan pertahanan dan perlawanan.
Terdengar bunyi ledakan. Lingkaran
api muncul mengitari Rue dan dua tim inti lainnya. Melihat Rue dan dua
anggotanya dikepung lingkaran api, pemimpin ritual meminta anggota yang bebas
dari tugas memadamkan api. Beruntung mereka telah menyiapkan beberapa tong
berisi air di lokasi ritual. Tim pun bergerak cepat untuk memadamkan api.
“Rue diseret ke alam mereka!” Seru
seorang pria yang turut terjebak dalam lingkaran api bersama Rue.
“Rue!” Mendengarnya, Nicky hendak
mendekati lingkaran api. Kevin dengan sigap, menahannya dan memintanya tetap
tenang.
“Kita harus percaya pada mereka.
Tolong percayalah pada Rue.” Kevin menenangkan Nicky.
Nicky melihat pada Dio, Byungjae,
Hanjoo. Tiga anggota Rigel itu tetap pada posisi mereka walau mendengar bahwa
Rue diseret ke alam gaib. Sedang dari balik kobaran api, samar-samar ia melihat
tubuh Rue yang duduk dengan kepala tertunduk. Sepertinya tak sadarkan diri.
Nicky menguatkan dirinya. Ia hanya bisa berdoa agar Rue baik-baik saja.
“Buat pagar perlindungan untuk Rue!”
Pemimpin ritual berseru. Memberi perintah tim untuk membuat perlindungan gaib
untuk Rue.
0 comments