Rue duduk di atas permadani di ruang
tamu. Punggungnya bersandar pada sofa. Di samping kanannya, Hongjoon pun berada
dalam posisi yang sama. Sudah beberapa menit berlalu, tapi tidak ada percakapan
di antara keduanya. Rue menoleh ke arah kanan, namun tak berniat memulai
obrolan. Ia memilih menunggu.
“Rasanya sangat aneh setelah melihat
ragaku, Nenek, Esya, Mama, dan Paman Darwin. Aku tidak tahu perasaan apa ini.” Hongjoon
akhirnya bersuara.
Rue diam. Mendengarkan.
“Rasanya kosong, hampa. Ada sesal dan
sedih. Kenapa?”
Rue masih menatap Hongjoon yang
berbicara tanpa menatapnya.
“Kenapa aku harus berada di fase
ini.” Hongjoon menundukkan kepala semakin dalam. Lalu, kembali terdiam.
Ada rasa iba di hati Rue. Namun, ia
tidak bisa memberikan penghiburan apa pun untuk Hongjoon. Ia pun tetap diam,
namun tak beranjak dari sisi Hongjoon.
***
Rue terkejut. Ketika ia sampai di
tangga terbawah, sosok Malaikat Maut sudah menyambutnya. Ia mengerutkan kening,
lalu lekas beranjak untuk berangkat ke sekolah.
Saat sampai di sekolah, Rue
merasakan sesuatu hal yang tak biasa, hal aneh yang tak bisa ia pahami apa
sebabnya. Ia membagi apa yang ia rasakan pada Hanjoo. Namun, ia tidak bisa
menjelaskan atau memberi alasan spesifik tentang apa yang ia rasakan.
Hari Senin berjalan seperti biasa.
Setelah upacara bendera, pelajaran pun dimulai. Semua berjalan lancar hingga
jam pelajaran usai. Rue merasa lega. Walau rasa tak nyaman itu masih ada,
setidaknya tak terjadi apa-apa di sekolah.
Keesokan harinya pun sama. Saat
keluar dari rooftop, Rue menemukan
Malaikat Kematian sudah berdiri di dekat tangga. Rue melewatinya dengan kepala
tertunduk, lalu buru-buru menuruni tangga.
Di sekolah, rasa aneh yang kemarin
ia rasakan kembali memeluk Rue. Namun, lagi-lagi ia belum paham rasa apakah itu.
Ia berusaha menepis rasa tak nyaman itu dan berkosentrai mengikuti pelajaran.
Saat sedang fokus mengikuti
pelajaran di dalam kelas, Rue mendengar suara ribut-ribut di luar. Bukan hanya
dirinya yang merasa penasaran, namun seluruh murid di kelasnya. Guru terpaksa
menghentikan aktivitas mengajar karena suara ribut-ribut dari luar. Beberapa
murid bahkan bangkit dari duduknya demi melihat apa yang terjadi di luar kelas.
Seorang siswa datang ke kelas Rue.
Menemui guru yang sedang mengajar. Siswa itu menyampaikan maksud kedatangannya.
Lalu, guru memanggil Rue untuk maju.
Kesurupan massal di aula.
Mendengar kabar itu, Rue langsung
minta izin meninggalkan kelas bersama siswa yang menjemputnya. Keduanya segera
keluar dari kelas dan berjalan cepat menuju aula.
Kelas X-8 sedang melakukan kegiatan
di aula. Guru Bahasa menggiring mereka ke aula untuk mempraktikan pertunjukkan
dramatisasi puisi. Namun, tiba-tiba banyak siswi yang jatuh pingsan kemudian
menjerit-jerit. 23 murid perempuan di kelas X-8 mengalami kesurupan massal.
Murid yang bisa menyembuhkan
kesurupan dipanggil ke aula. Termasuk Rue. Ketika ia sampai, terlihat kacau di
dalam aula. Murid-murid yang kesurupan berada di tengah-tengah aula. Murid yang
berani membantu memegangi murid yang kesurupan. Tidak hanya murid kelas X-8
yang ada di sana. Beberapa anggota Dewan Senior dan MPK juga ada di dalam aula.
Juga beberapa guru.
Dio, Hanjoo, dan Byungjae
menghampiri Rue yang sedang mengamati murid-murid yang kesurupan. Ketika
menemukan Yano sedang memegangi satu siswi yang kesurupan, Rue segera
menghampirinya.
“Menjauh dari sini.” Rue menatap
Yano dengan ekspresi khawatir.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo menyusul
Rue. Turut mengerubuti siswi kesurupan yang dipegang oleh Yano, Axton, dan
Esya. Axton dan Esya yang ada bersama Yano turut menatap Rue dengan bingung.
“Kalian, tolong bawa Yano pergi.” Pinta
Rue pada Axton dan Esya.
Tak membantah, Axton dan Esya pun
menuruti perintah Rue. Hanjoo dan Dio segera mengambil alih tugas keduanya.
“Tapi, kenapa?” Tanya Yano.
“Kamu udah pernah kesurupan. Itu
sedikit berbahaya.” Byungjae turut menggiring Yano. “Itu juga alasan kenapa aku
nggak mendekat. Padahal selama ini aku hanya hampir kesurupan. Rue nggak mau
kita celaka. Itu aja.”
Mendengar penjelasan Byungjae, Yano
pun akhirnya menurut. Ia pergi agak menjauh bersama Byungjae, Esya, dan Axton.
Rue menyembuhkan siswi yang
kesurupan. Setelah siswi itu sadar, anggota PMR yang berjaga segera memberinya
air doa yang sengaja di sediakan Rue di UKS. Rue, Dio, dan Hanjoo bangkit dan
beralih pada siswi lainnya. Satu siswi lagi berhasil di sembuhkan dari
kesurupan.
Murid-murid yang penasaran mulai
berdatangan ke aula. Dengan sigap anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di
dalam aula menghadang murid-murid yang ingin masuk ke dalam aula. Beberapa guru
dan staf sekolah yang berada di aula turut membantu. Karena kejadian luar biasa
itu, aktivitas belajar mengajar dihentikan. Semua fokus ke aula, untuk membantu
murid-murid yang kesurupan.
Walau ada beberapa siswi yang
gampang disembuhkan, ada beberapa yang sulit. Bahkan, ada yang sudah sembuh kesurupan lagi. Murid-murid
yang bisa menyembuhkan pun mulai kuwalahan dan panik. Tak terkecuali Rue.
Pearl, Ruby, dan Linde tiba di aula.
Mereka diizinkan masuk karena Ruby dan Linde adalah anggota Dewan Senior.
Ketiganya hanya menonton. Tak membantu. Linde memberi tahu Pearl jika Yano ada
bersama Byungjae. Namun, Pearl bersikap acuh.
“Rue, kalau kayak gini terus,
persediaan air doa nggak bakalan cukup.” Nadia menghampiri Rue.
“Sisa berapa?” Tanya Rue.
“Di aku satu botol.”
“Ya udah. Nanti disadur aja dulu.
Campur sama air yang belum didoai.”
“Oke.” Nadia pun pergi.
“Rue, kalau gini kita yang susah. Kenapa
kayak nggak ada habisnya?” Siswa kelas XII yang juga anggota PMR yang bisa
menyembuhkan siswa kesurupan menghampiri dan mengeluh pada Rue. “Bantuan juga
belum datang. Kamu ada ide?”
Rue mengamati sekitar dengan cepat.
Setelah menemukan anggota eskul metafisik yang ia cari, ia pun bergegas
mendekati siswa itu.
Kebetulan siswa yang Rue cari ada
bersama Nicky. Melihat Rue datang, Nicky pun tersenyum senang, namun Rue
mengabaikannya. “Kak.” Rue langsung menyapa siswa yang ia cari. Nicky sedikit
kecewa dibuatnya.
“Kita harus melakukan sesuatu.” Rue
mengutarakan maksud kedatangannya.
“Aku juga sedang memikirkannya.” Siswa
itu memiliki pemikiran yang sama.
“Lainnya menyembuhkan, lainnya lagi
membuat pagar pelindung. Sampai bantuan datang. Bagaimana?” Rue memberi usul.
“Ide bagus. Jadi, bisa menghalau
mereka yang berusaha merasuki siswi lain.”
Rue menganggukkan kepala. “Kita
harus membatasi area ini. Dan, meminta semua untuk tetap siaga. Kakak tahu kan
kalau jumlah mereka banyak sekali?”
Nicky bergidik mendengar pertanyaan
Rue. Dengan mengusuk tengkuk, ia mengamati sekelilingnya.
“Iya. Banyak sekali. Karena itu kami
meminta bantuan. Tadi coba di telepon nggak bisa. Karenanya, ada yang berangkat
jemput pembina dan senior yang bisa dijangkau.” Siswa kelas XII itu membenarkan
pertanyaan Rue. “Aku akan kumpulkan anggota yang mumpuni dan mari kita buat
pagar pelindung.” Ia pun pergi meninggalkan Rue dan Nicky.
“Rue.” Nicky memanggil Rue ketika
gadis itu akan pergi.
“Eh! Kak Nicky.” Rue baru menyadari
keberadaan Nicky.
Nicky menatap wajah Rue yang
dipenuhi peluh. Ia pun merasa kasihan. “Hati-hati ya.” Akhirnya hanya kata itu
yang bisa keluar dari mulutnya.
Rue tersenyum dan kemudian pergi.
Rue dan beberapa murid yang dipilih
untuk membuat pagar pelindung siaga di sekeliling area murid kesurupan. Ada
delapan murid yang bekerja sama membuat pagar gaib untuk menghalau makhluk-makhluk
astral yang datang untuk memanfaatkan raga siswi-siswi yang kesurupan.
Guru menggiring murid yang menonton
untuk kembali ke dalam kelas. Mereka di ajak untuk melakukan doa bersama.
Bahkan, para guru sepakat untuk memulangkan murid lebih awal demi menghindari
masalah yang lebih serius.
Pearl melipat tangan di dada.
Menonton jalannya proses perlindungan dan penyembuhan. Ruby dan Linde masih
setia di sisinya.
Karena Axton, Esya, dan Yano kembali
ke kelas bersama murid kelas X-8 yang tak kesurupan sesuai perintah guru,
Byungjae pun bergabung dengan anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di dalam
aula. Beberapa guru yang paham tentang kesurupan pun turut membantu murid.
Nicky ada bersama Byungjae. Berdiri
tak jauh di belakang Rue. Keduanya sama-sama fokus pada Rue. Sedang Dio dan
Hanjoo masih sibuk membantu murid-murid yang berusaha menyembuhkan murid yang
kesurupan.
Rue menggerakkan kepala ke kanan dan
ke kiri. Otot lehernya terasa tegang karena terus berkonsentrasi untuk membuat
pagar pelindung. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya hingga membuat
seragamnya terasa lengket. Dari 23 siswi yang kesurupan, kini tersisa 13 orang
saja.
Rue menghela napas dan berjongkok.
Membuat pagar pelindung gaib lebih menguras energinya dibanding menyembuhkan
siswi yang kesurupan. Ia tersenyum lega ketika bantuan datang. Pembina ekskul
metafisik dan tiga orang alumni itu pun segera membantu. Mereka membenarkan
tindakan membuat pagar itu dan meminta terus melakukannya hingga proses
penyembuhan seluruhnya selesai.
Rue mengusap peluh di keningnya.
Ketika ia sejenak mengalihkan pandangan, ia melihat sosok Malaikat Maut berdiri
tak jauh dari Pearl. Saat itulah konsentrasinya buyar dan salah satu siswi yang
kesurupan menyerangnya.
Siswi kesurupan yang berhasil lepas
dari pegangan dua orang siswa itu mendorong tubuh Rue yang berjongkok hingga
Rue jatuh terpelanting ke belakang. Nicky dan Byungjae segera menangkap tubuh
Rue dan menahannya.
Siswi kesurupan hendak menyerang
lagi, Goong tiba-tiba menghadang di depan Rue. Membuat siswi itu mundur, namun
tetap siaga. Hanjoo dan dua siswa langsung menangkap siswi itu.
“Tetap pada kesadaranmu, Rue!” Goong
mengingatkan. “Kau tidak boleh kalah! Kau pasti bisa!”
“Dia sama lemahnya seperti kalian
yang ada di sini! Sebentar lagi kalian pasti kalah dan tunduk pada kami!
Hahaha.” Siswi yang kesurupan itu sumbar.
Mendengarnya, Rue tak terima. Ia
membenahi posisinya, dari terduduk kembali jongkok. Ia menggelung rambutnya
yang dikuncir ekor kuda dan dikepang.
Nicky tetap mengawasi Rue dari
belakang. Ia tak paham pada apa yang dimaksud Byungjae.
“Kalau dia sudah menggelung
rambutnya seperti itu, tandanya Rue marah. Ia pasti akan menghajar makhluk
astral itu.” Byungjae melanjutakan.
Nicky yang masih memperhatikan Rue
menelan ludah.
Rue menyeringai, lalu mendekati
siswi yang kesurupan. Ia berlutut di depan siswi yang kesurupan, lalu
menyatukan jari tengah dan jari telunjuknya. Ia mengarahkan kedua jarinya itu
lurus pada titik pusar siswi kesurupan, lalu ia pun merapalkan mantra.
Siswi kesurupan menjerit-jerit. Ia
meronta kesakitan. Namun, Rue tak memberinya belas kasihan. Ia terus menyerang
dengan mantra. Untuk memberi pelajaran makhluk astral yang sombong itu.
***
Murid-murid SMA Horison di pulangkan
lebih awal. Setelah melalui proses yang lumayan panjang, seluruh siswi yang
kesurupan pun bisa disembuhkan.
Untuk melepas lelah, Rue memilih
duduk tak jauh dari basecamp PMR. Berdiam di bawahnya rindangnya rerimbunan
pohon bambu membuatnya merasa sejuk. Ia tak sendiri, ada Goong bersamanya.
Goong menceritakan apa yang ia tahu sebelum kesurupan massal terjadi.
“Kami sudah berusaha menghalau. Tapi
karena kekuatan mereka lebih banyak dan lebih besar, pada akhirnya kami tidak
bisa berbuat apa-apa.” Goong menyesal tidak bisa membantu Rue lebih dari itu.
“Terima kasih. Goong-nim[1]
sudah menyelamatkan aku.”
Goong yang lesu pun tersenyum. “Kami
ingin mereka pergi, Rue. Kami tidak mau dijajah. Kamu liat sendiri kan?
Bagaimana brutalnya mereka. Jika dibiarkan, mereka bisa melakukan lebih dari
itu Rue.”
“Rue!” Hanjoo muncul dan berjalan
menuju Rue. Goong diam.
“Kita diundang dalam rapat dadakan
untuk membahas kejadian hari ini.” Hanjoo saat sampai di dekat Rue.
Goong bangkit dari duduknya. “Aku
ikut!” Ia antusias.
Rue menatap Goong dengan heran.
“Aku ingin tahu apa yang akan kalian
bahas. Ayo pergi!” Goong melayang, mendahului Rue dan Hanjoo.
Rue menghela napas dan bangkit dari
duduknya.
“Kenapa?” Tanya Hanjoo.
“Aku lelah sekali.”
“Aku aja yang cuman bantu pegang
lelah, apalagi kamu.”
Keduanya pun berjalan menuju kantor
Dewan Senior. Menurut Hanjoo, rapat akan digelar di sana.
Walau menggunakan kantor Dewan
Senior, tak semua anggota Dewan Senior dan MPK yang diundang dalam rapat. Kevin
dan Nicky yang dipercaya memilih siapa saja anggota yang di ajak rapat. Selain
beberapa anggota Dewan Senior dan MPK, ada perwakilan guru, pembina eksul PMR
dan Metafisik, dan beberapa anggota ekskul Metafisik. Sekitar 20 orang yang
menghadiri rapat dadakan dan tertutup itu.
Bukan Kevin atau Nicky yang memimpin
rapat, tapi ketua dari ekstrakurikuler Metafisik. Siswa yang saat di aula
ditemui Rue untuk bekerja sama membuat pagar gaib itu langsung membuka rapat
dan menjelaskan tujuan diadakannya rapat itu.
Rapat siang itu membahas tentang
kejadian luar biasa yang tiba-tiba saja menyerang SMA Horison. Sepanjang
sejarah tidak pernah ada kesurupan massal. Fenomena itu baru pertama kali
terjadi.
Siswa kelas XII yang memimpin rapat
juga menjelaskan hasil pengamatan pembina ekstrakurikuler Metafisik. Menurutnya,
kesurupan massal itu terjadi karena serangan mendadak dari makhluk astral yang
jumlahnya sangat banyak. Bahkan, si pembina sempat berbicara sendiri.
Menyampaikan apa yang dia lihat.
“Apa Rue sama sekali tidak bisa
merasakannya?” Tanya Pembina Ekskul Metafisik pada Rue setelah ia berbicara
panjang lebar di depan forum. “Padahal kita sempat membahasnya saat salah satu
anggotaku kesurupan kala itu ya.”
Rue diam. Ia mengamati sekeliling
dengan cepat. Selain melihat Goong yang turut dalam rapat, ia juga menemukan
Malaikat Kematian. Ia menelan ludah. Masih merasa ragu untuk mengungkapkan apa
yang ia lihat.
“Sebenarnya Rue sempat melihat
pasukan setan.” Dio tiba-tiba angkat bicara. Walau ia telah dicoret dari daftar
anggota Dewan Senior, Kevin tetap mengundangnya untuk rapat. Dio hadir sebagai
anggota PMR.
Suasana menjadi sedikit ribut.
“Waktu itu,” Dio kembali bicara demi
mendapat perhatian anggota rapat, “saat ada murid bernama Yano kesurupan. Rue
pergi mengejar makhluk astral yang menggunakan raga Yano. Hanjoo mengikutinya.
Lalu, Rue melihatnya. Pasukan setan itu. Di taman belakang sekolah.”
Pembina ekstrakurikuler Metafisik
menghela napas usai mendengar penjelasan Dio. Anggota rapat kembali
berkasak-kusuk.
“Rue berpikir mungkin saja itu
migrasi besar-besaran. Tapi, secara pribadi saya beranggapan bahwa pasukan itu
sengaja dikirim ke SMA Horison untuk menebar teror.” Dio menambahkan hasil
penilaiannya.
“Murid-murid yang kesurupan juga
selalu mengutarakan ancaman dan peringatan. Apa pun itu, entah migrasi
besar-besaran atau sengaja dikirim, saya secara pribadi sangat setuju jika
teror ini segera dihentikan.
“Sekolah kita sedang masuk nominasi
untuk mendapatkan penghargaan sekolah terbaik. Walau image sekolah memang
terkenal angker, tapi kejadian hari ini cukup mencoreng citra sekolah. Jika
dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir nantinya akan timbul kejadian yang
lebih serius.” Kevin mengutarakan pendapatnya.
“Pihak sekolah tentu mengharapkan
yang terbaik. Apa pun itu, asalkan bisa membuat sekolah kembali stabil, kami
akan setuju.” Salah satu perwakilan guru turut menyampaikan pendapat.
“Baiklah. Kalau begitu kita akan
bergerak. Secepatnya!” Pembina esktrakurikuler Metafisik mengambil kesimpulan
yang disetujui sebagai kesepakatan bersama.
Rue sama sekali tak berkomentar. Ia
menatap Goong yang turut antusias. Lalu, beralih pada Malaikat Maut. Tatapannya
bertemu pandang dengan tatapan Malaikat Maut. Untuk pertama kalinya Rue tak
segera menghindari kontak mata itu.
0 comments