Rue terkejut ketika memasuki rooftop-nya. Karena tiba-tiba ada yang
mengucapkan selamat datang. Ia mengerjapkan mata. Kemudian menatap Hongjoon
yang berdiri dengan kedua tangan terbuka. Senyum manis menghiasi wajah pemuda
itu.
Rue menghela napas, tersenyum, dan
menggelengkan kepala. Baru ia ingat jika sejak semalam ada roh Hongjoon yang
menumpang tinggal di rooftop-nya.
“Bagaimana di sekolah hari ini?” Hongjoon
mengikuti Rue yang kemudian duduk merebahkan diri di sofa. “Melelahkan sekali
ya?”
“Aku belum menemukan di rumah sakit
mana kau dirawat. Esya belum masuk. Hari ini pemakaman Paman Darwin. Sebenarnya
aku ingin mengajakmu ke sana. Tapi, pemakaman digelar pukul sembilan pagi. Aku
tidak bisa meninggalkan sekolah. Maaf ya.” Rue sambil menyamankan posisi
punggungnya yang bersandar pada punggung sofa.
Hongjoon menatap Rue yang memejamkan
kedua matanya. Ia merasa bersalah karena telah membuat Rue kerepotan. “Kenapa
mencari rumah sakit tempat aku dirawat?”
“Di sana pasti ada keluargamu. Aku
ingin bertemu mereka. Ada hal yang harus aku sampaikan. Pesan Paman Darwin.
Permintaan maaf darinya.”
Setiap kali mendengar kata Paman
Darwin, Hongjoon merasakan sakit di dadanya. Ia teringat fakta tentang Paman
Darwin yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas untuk menjaganya.
“Bagaimanapun juga, kita tidak bisa
melawan takdir. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Rue berbicara dengan
kedua mata masih terpejam. Kemudian ia membuka mata. “Seharian ini apa yang kau
lakukan?”
“Mm?” Hongjoon mengangkat wajahnya yang
tertunduk dan menatap Rue. “Berjalan-jalan di sekitar. Tak apa kan?”
“Asal jangan menyusulku ke sekolah.”
Rue tersenyum, bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju kamarnya.
Hongjoon menghela napas dan
tersenyum menatap punggung Rue yang kemudian menghilang di balik pintu.
***
Rue masih belum terbiasa dengan
keberadaan Hongjoon. Walau sudah berjalan tiga hari, ia masih sering dibuat
kaget setiap kali pemuda itu menyapanya atau menyambutnya saat pulang. Ia
membagi cerita itu pada Dio, Byungjae, dan Hanjoo. Juga tentang Malaikat
Kematian yang lebih sering muncul sejak roh Hongjoon bersamanya.
“Apa itu artinya seperti, baiklah aku beri kesempatan kau bersama Rue,
lalu aku akan membawamu pergi?” Dio menebak.
“Bukannya Hongjoon cerita kalau di udah
hampir menyeberang, tapi di balikin lagi ke dunia manusia?” Hanjoo ingat Rue
pernah menceritakan tentang itu.
“Iya. Pada saat itu, karena ia belum
waktunya mati. Kalau udah waktunya mati, ya tetep aja bakalan dibawa pergi lagi
kan?” Dio mengaduk jus jeruk di hadapannya.
Sepulang sekolah, Rigel berkumpul di
salah satu kafe yang berada di jalan yang mereka lewati saat berangkat dan
pulang sekolah. Sejak roh Hongjoon tinggal bersama Rue, mereka belum pernah
berkumpul di markas.
“Iya juga sih. Trus, gimana caranya
biar roh Hongjoon bisa balik ke raganya?” Hanjoo bertanya pada Rue.
“Entahlah. Ini pertama kalinya aku
didatengin roh orang koma. Aku sempet nanya ke Om Toni, katanya itu misteri.”
“Misteri?” Byungjae merasa salah
dengar.
“Iya. Kalau arwah penasaran akan
pergi setelah disempurnakan. Om Toni belum bisa menemukan bagaimana motif roh
orang koma bisa kembali ke raganya. Bukan karena telah menyelesaikan urusannya
yang tertunda atau sejenisnya. Om Toni menyimpulkannya lebih pada faktor takdir
dan pertolongan Tuhan.”
“Kalau begitu malah sulit ditebak
ya.” Byungjae mengetuk-ngetukan jari telunjuk tangan kanan ke dagunya.
“Mengejutkan sekali ya hari ini.
Yano adalah calon ketua Dewan Senior dari kelas X.” Dio mengalihkan topik. “Sepertinya
dia terpengaruh pada ucapan kita ya Byungjae.”
“Dan, Pearl makin frustasi. Tahu
nggak, tatapannya ngeri banget. Aku tadi papasan sama dia. Beneran dia kayak
frustasi banget. Aku sampai bergidik.” Dio mengusuk lengannya sendiri.
“Aku juga kepikirian Pearl terus.
Apa dia bakalan baik-baik aja pasca kita pojokin dia di sidang. Setelah
mengancam, begitu hening. Aku khawatir dia sedang menyusun rencana yang lebih
heboh buat serangan balik.” Rue mengutarakan kekhawatirannya.
“Jangan berlebihan.” Byungjae
menenangkan Rue. “Tapi, bener sih yang dibilang Hanjoo waktu itu. Orang cemburu
itu bisa berubah sangat mengerikan.”
“Semoga aja dia nggak senekat itu.
Semoga aja pikirannya masih waras. Tapi, tetep aja kita kudu siaga. Kalau dia
tahu fakta Hongjoon kecelakaan setelah menemui Rue, bisa gawat.” Dio mengucap
harapan sekaligus membagi pemikirannya.
“Besok kalian mau ikut? Aku mau
nemenin Rue besuk Hongjoon.” Tanya Hanjoo.
“Udah dapat alamat rumah sakitnya?” Byungjae
balik bertanya.
“Udah. Sekalian besok mau mengunjungi
makam sopirnya Hongjoon.”
“Boleh lah. Aku ikut. Aku nyantai
kok.” Byungjae setuju ikut. “Dio?”
“Ikut lah. Aku penasaran sama
keluarga Hongjoon.” Dio pun setuju ikut.
***
“Selamat datang! Oh!” Hongjoon
terkejut melihat Rue datang bersama Dio, Byungjae, dan Hanjoo.
“Nggak usah kaget gitu. Mereka udah
biasa mampir. Kau lupa ini markas Rigel?” Rue berjalan melewati Hongjoon yang
berdiri tertegun.
Hongjoon menepi ketika Dio,
Byungjae, dan Hanjoo menyusul masuk. Ia khawatir tiga seniornya itu akan
menabraknya. Hongjoon terkejut ketika Hanjoo tiba-tiba berhenti di dekatnya.
Pemuda itu diam sejenak, kemudian berlalu.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo duduk di
atas permadani di ruang tamu. Rue keluar dari kamar dengan membawa laptop dan
bergabung dengan ketiga temannya.
“Rasanya lega bisa lepas dari
kesibukan di sekolah.” Dio meregangkan badannya.
“Kamu yakin bakalan unggah video di
Gedung Mati tanpa mengeditnya lebih dahulu?” Byungjae sibuk dengan laptop milik
Rue.
“Iya. Tapi, tidak dalam waktu dekat
ini.” Rue menyanggupi.
“Kenapa gitu?”
“Pokoknya tunggu aja.”
“Rue.” Dio berbisik. “Hongjoon di
sini?”
“Iya.”
Dio mengamati sekitar. “Di mana?”
“Lagi berdiri tuh. Liatin kita.”
Dio, Byungjae, dan Hanjoo kompak
menatap titik yang ditunjuk Rue dengan gerakan kepalanya.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo sudah
pulang. Rue pun sedang mandi. Hongjoon duduk di sofa, menunggu Rue
menyelesaikan ritual membersihkan diri. Rue keluar dengan kepala terbungkus
handuk. Ia langsung menuju dapur dan sibuk di sana. Hongjoon tetap dalam
posisinya. Mengamati setiap gerak Rue dari ruang tamu. Rue berjalan ke ruang
tamu dengan membawa sebuah mug yang mengepulkan asap di tangan kanannya. Lalu,
meletakannya di atas meja. Hongjoon menatap mug itu.
“Kesukaanmu?” Tanya Rue.
“Semua orang pasti suka coklat
panas.” Hongjoon membasahi bibirnya.
Rue tersenyum. “Besok kita pergi.”
“Kemana?” Hongjoon antusias.
“Menjenguk ragamu.”
Binar antusias di wajah Hongjoon
sirna. Ia berubah murung.
“Sekalian mengunjungi makam Paman
Darwin. Kamu pasti ingin mengucap selamat tinggal, kan?”
Hongjoon yang tertunduk
menganggukkan kepala.
“Aku tahu ini berat buatmu. Tapi,
ini adalah salah satu fase yang harus kamu jalani dalam hidupmu. Jadi,
bersemangatlah. Aku yakin kau orang yang tegar dan kuat.”
Hongjoon tersenyum mendengarnya. Ia
merasa lebih baik. Ia pun mengangkat kepala dan memperhatikan Rue yang sedang
menyeruput coklat panas. “Boleh aku tanya sesuatu?”
“Silahkan.”
“Kenapa aku jadi pakai baju ini ya?
Seingatku, waktu kecelakaan aku nggak pakek baju ini.”
Rue mengamati penampilan Hongjoon.
Pemuda mengenakan kostum serba putih dengan atasan berkerah Shanghai. “Memangnya
kenapa dengan kostum ini?”
Hongjoon tersenyum malu-malu. “Ini
baju favoritku. Oleh-oleh dari Mama. Entah kenapa setiap kali aku memakai baju
ini, aku merasa diriku seperti pangeran.” Ia berseri-seri.
Rue tersenyum mendengarnya. “Tingkahmu
masih kayak bocah tau! Pangeran negeri dongeng?”
Hongjoon tersipu dan mengangguk.
“Mungkin karena itu adalah baju
favoritmu. Makanya kamu jadi muncul dengan penampilan ini. Ah, aku benar-benar
nggak tahu tentang roh koma.”
Hongjoon tersenyum mengamati Rue.
***
Sabtu pagi Rue, Hanjoo, Dio, dan
Byungjae tiba di rumah sakit tempat Hongjoon dirawat. Keempatnya berdiri di
depan bangunan megah dari rumah sakit termahal di kota tempat mereka tinggal.
“Nggak main-main, Hongjoon pasti
anak orang berada.” Dio terkagum-kagum.
“Rue, di rumah sakit sebagus ini apa
ada penampakan?” Byungjae memberikan tanggapan lain.
“Yang namanya rumah sakit pasti
gudangnya penampakan!” Rue berjalan mendahului.
Hanjoo tersenyum dan menyusul
langkah Rue.
“Pertanyaanmu konyol!” Maki Dio pada
Byungjae. Kemudian, ia menyusul Rue dan Hanjoo.
“Kali aja rumah sakit bagus dan
megah kayak gini nggak ada penampakan.” Byungjae menyusul dan berjalan di
samping kanan Dio.
Hongjoon berjalan di samping kiri
Rue. “Ini rumah sakit keluarga.”
“Rumah sakit keluarga?” Rue menoleh
ke arah kiri.
“Mm.” Hongjoon mengangguk. “Nenek
punya saham terbesar di rumah sakit ini. Beberapa saudara juga bekerja di
sini.”
“Kau mendapatkan yang terbaik.”
Hongjoon tersenyum dan mengangguk.
Bersama Dio, Byungjae, dan Hanjoo,
Rue dan Hongjoon masuk ke dalam rumah sakit. Saat memasuki rumah sakit,
penampakan-penampakan makhluk tak kasat mata menyambut Rue. Ia berusaha
mengabaikannya.
Dio bertanya pada resepsionis
tentang lokasi ruang ICU. Setelah mendapatkan informasi, mereka pun menuju
lokasi ruang ICU.
“Kenapa aku gugup ya?” Hongjoon
meletakkan tangan kanan di atas dadanya.
“Wajar. Selain bakalan liat raga
kamu, ntar kamu juga bakalan ketemu sama keluarga kamu.”
Rombongan Rue tiba di depan ruang
ICU. Sekali kunjungan hanya diizinkan dua orang saja. Itu pun tak langsung
masuk ke dalam ruang rawat. Hanya menengok dari luar dinding kaca. Karena itu
Dio meminta Rue dan Hanjoo untuk masuk lebih dulu.
Rue dan Hanjoo masuk lebih dulu.
Hongjoon yang tak kasat mata ikut masuk. Mereka pun sampai di depan ruang ICU
tempat Hongjoon dirawat. Rue dan Hanjoo berdiri menatap dan menatap ke dalam
dinding kaca. Di dalam sana Hongjoon sedang terbaring koma. Banyak alat medis
yang ditempelkan ke tubuh pemuda itu.
Rue menoleh ke arah kiri, menatap
Hongjoon dengan iba. “Kau baik-baik saja?” Dengan hati-hati ia pun bertanya.
Hongjoon menatap raganya yang sedang
terbaring di dalam ruang ICU. Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban dari
pertanyaan Rue.
“Masuklah. Nggak papa. Lihat dirimu
lebih dekat.”
“Nggak. Dari sini aja udah cukup.”
“Kak Hanjoo? Kak Rue?”
Suara seorang gadis mengejutkan
Hongjoon, Rue, dan Hanjoo. Membuat ketiganya kompak menoleh ke arah kanan.
“Esya!” Hongjoon berlari menghampiri
Esya. Tapi, gadis itu mengabaikannya dan terus berjalan mendekati Rue dan
Hanjoo.
Rue dan Hanjoo tersenyum menyambut
kedatangan Esya.
“Kakak berdua ke sini, saya tidak percaya.
Ini nyata?” Esya merasa apa yang dilihatnya adalah ilusi.
“Ah! Pantas saja mereka ngeyel
bertanya. Kupikir mereka yang akan kemari.” Esya tersenyum lebar. Rona bahagia
terpancar dari wajahnya.
“Esya sendirian?” Tanya Rue.
“Nggak. Ada Nenek sama Tante.” Esya
diam sejenak. Menyadari jika ada yang ganjil dalam pertanyaan Rue. “Kak Rue
kemari bukan hanya sekedar untuk menjenguk Hongjoon ya?” Esya memberanikan diri
untuk bertanya. Mendadak ia merasa takut.
Esya dan neneknya menemui Rue,
Hanjoo, Dio, dan Byungjae di kantin. Saat Esya menyampaikan tentang kunjungan
Rue, neneknya langsung mengajaknya pergi. Hanya berdua, tanpa ibu Hongjoon yang
juga kebetulan ada di ruang istirahat bagi keluarga pasien VIP.
Nenek Hongjoon mengamati Rue, lalu
tersenyum. “Terima kasih sudah menjenguk cucuku. Kau pasti sempat bertemu
dengannya sebelum ia mengalami kecelakaan.”
“Saya minta maaf, Nyonya. Saat
Hongjoon datang ke tempat tinggal saya, saya sedang tidak berada di rumah.” Rue
meminta maaf.
Nenek Hongjoon terkejut, sedetik
kemudian ia tersenyum. “Begitu ya. Jadi, kalian belum sempat bertemu.”
“Tapi, saya menerima bingkisan dari
Hongjoon. Ia menitipkannya pada saudara saya. Saya sangat berterima kasih untuk
bingkisannya.”
Nenek Hongjoon kembali tersenyum. “Apa
pun alasanmu datang hari ini, aku sangat berterima kasih.”
Hongjoon yang turut berada di kantin
mengerutkan kening. “Nenek! Bukankah itu kata yang kurang pas!” Protesnya.
“Alasan saya kemari adalah karena
Hongjoon. Saya harus berterima kasih padanya. Sekaligus meminta maaf.
Seandainya malam itu dia tidak menemui saya, mungkin kecelakaan itu tidak akan
terjadi.”
Hening selama beberapa detik. Nenek
Hongjoon kembali tersenyum. “Itu bukan salahmu. Aku lah yang menyuruhnya pergi
malam itu. Walau Hongjoon mengatakan, mungkin kau tidak akan ada di rumah, aku
tetap memaksanya untuk pergi.”
Terlihat sebuah penyesalan di wajah
renta Nenek Hongjoon. Ia berusaha tetap tersenyum. “Takdir memang tidak bisa diubah,
Nak. Itu bukan salahmu.”
Rue hanya bisa diam. Ia tak mampu
untuk menyampaikan bahwa Hongjoon ada bersama mereka. “Saya membawa pesan dari
Paman Darwin.” Ia pun menyampaikan alasan utama yang mendorongnya datang.
Nenek Hongjoon menatap Rue dengan
ekspresi terkejut. Begitu juga Esya.
“Sedikit tak masuk akal memang, tapi
beliau menemui saya. Beliau sangat menyesal karena menyebabkan Hongjoon
mengalami kecelakaan. Beliau meminta maaf untuk hal itu. Beliau juga sangat
berterima kasih karena Nyonya mengurus beliau dengan baik, hingga akhir.”
Pertahanan Nenek Hongjoon tumbang.
Ia pun menangis. Esya merangkul neneknya. Membiarkan wanita tua itu menangis
dalam pelukannya.
***
Hening selama perjalanan menuju
komplek pemakaman tempat jasad Paman Darwin disemayamkan. Suasana di rumah
sakit cukup membuat Rigel turut merasakan keharuan. Namun, mereka lega karena
keluarga Hongjoon telah memaafkan Darwin.
Usai meletakkan karangan bunga, Rue
bergabung bersama Hanjoo, Dio, dan Byungjae yang berdiri di depan makam Darwin.
Mereka berdoa untuk Darwin. Hongjoon berdiri di samping kanan makam. Menatap
makam itu dengan sedih.
Hanjoo, Dio, dan Byungjae
meninggalkan makam lebih dulu. Rue tetap tinggal, menemani Hongjoon. Dengan
sabar ia menunggu Hongjoon. Rue sedikit terkejut ketika melihat Darwin muncul.
Pria itu berdiri di sisi kiri makam. Berhadapan dengan Hongjoon.
“Hongjoon.” Rue memanggil Hongjoon
agar pemuda itu menyadari kehadiran Darwin.
Saat mengangkat kepala, Hongjoon
dibuat kaget karena sosok Darwin sudah berdiri di seberang, berhadapan
dengannya. “Paman!” Bulir bening itu jatuh menuruni pipi Hongjoon.
Darwin tersenyum. “Saya sangat
menyayangi Tuan Muda. Terima kasih untuk segalanya.”
“Paman!”
Darwin menatap Rue sejenak, masih
dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “Terima kasih, Nona. Tolong jaga Tuan
Muda dengan baik.”
Rue hanya diam menatap Darwin.
Darwin kembali menatap Hongjoon. Ia
tersenyum lebih lebar. “Selamat tinggal, Anakku.”
“Paman! Paman!” Hongjoon panik melihat
tubuh Darwin bercahaya. “Paman!” Ia semakin panik ketika cahaya itu semakin
menyilukan dan perlahan tubuh Darwin berpendar, lalu melebur dengan cahaya yang
mengelilinginya dan hilang.
Rue menundukkan kepala.
Hongjoon menjatuhkan lutut dan
menangis di dekat pusara Darwin.
0 comments