Teman-teman Rue telah pulang. Usai
membersihkan diri, ia membongkar bingkisan yang dikirim Hongjoon. Ada satu
boneka tomat warna merah dengan wajah tersenyum. Rue tersenyum melihatnya.
Lalu, mengusuk tangkai hijau pada puncak boneka tomat.
Tas kertas itu tak hanya berisi
boneka tomat. Tapi, ada sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal seperti
yang diceritakan Rio. Rue kembali memeriksa tas kertas, namun tidak menemukan
apa-apa.
“Nggak ada kartu ucapannya? Atau...
dia sengaja datang untuk ngobrol? Berterima kasih secara langsung?” Rue
memiringkan kepala. Rue meletakkan kotak coklat ke atas meja dan membiarkan
boneka tomat tetap di sampingnya.
Punggung Rue tegang ketika sosok
pria dengan wajah berlumuran darah itu kembali muncul. Berdiri tanpa ekspresi
tak jauh di seberang meja. Rue tahu itu bukan hantu. Melainkan sesosok arwah.
Ia pun menghela napas.
“Apa yang ingin Anda sampaikan?” Rue
membangun komunikasi dengan arwah yang mendatanginya.
Perlahan darah yang menutupi wajah
pria itu menghilang hingga Rue bisa melihat dengan jelas wajah pria yang
kira-kira berusia 50 tahunan itu.
Rue menghela napas pelan. “Saya tidak
bisa berjanji, tapi jika saya mampu, saya akan coba bantu.”
“Tolong doakan saya, Nona. Saya
meninggal dalam sebuah kecelakaan semalam.”
Rue mengerutkan kening. Korban
kecelakaan seringnya menemuinya karena ada bagian tubuhnya yang tertinggal dan
keluarganya tidak tahu. Ia menduga-duga apakah permintaan pria itu sama seperti
mereka yang kebanyakan datang padanya.
“Saya sangat menyesal karena telah
menyebabkan kecelakaan yang turut mencelakai Tuan Muda yang sangat saya
sayangi.”
Kening Rue berkerut semakin dalam.
Ia diam dan menunggu si arwah melanjutkan ceritanya.
“Saya hidup sendirian. Istri saya
meninggal enam tahun yang lalu. Lalu, saya bekerja pada keluarga Tuan Muda
sebagai sopir. Tuan Muda sangat baik. Beliau memperlakukan saya seperti ayahnya
sendiri. Hingga membuat saya tak merasa kesepian dan seolah memiliki keluarga
setelah istri saya pergi meninggalkan saya.
“Tapi, kemarin saya lalai dalam
menjalankan tugas. Ketika saya membawa Tuan Muda, truk tiba-tiba muncul dari
gang dan menabrak mobil kami. Saya meninggal di lokasi. Tapi, say tidak tahu
bagaimana kondisi Tuan Muda. Saya melihatnya tak sadarkan diri di kursi
belakang.
“Saya sangat menyesal karena
menyebabkan Tuan Muda celaka. Saya ingin meminta maaf pada Tuan Muda dan
keluarga besar Tuan Muda yang telah mempekerjakan saya selama lima tahun
terakhir. Bisa Nona menyampaikan permintaan maaf saya pada Tuan Muda dan
keluarga besarnya?”
Rue pun bertanya lokasi kejadian
kecelakaan di mana. Arwah itu menjawab sesuai apa yang ia ingat.
“Terima kasih Nona. Tolong doakan
saya ya. Agar saya bisa melewati perjalanan dengan tenang.” Arwah itu
tersenyum, lalu menghilang.
Hening di dalam ruang tamu. Rue
tercenung selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, ia segera meraih
ponselnya dan mencari informasi tentang kecelakaan yang terjadi semalam pada
lokasi yang disebutkan arwah pria yang menemuinya. Berita itu muncul paling
atas dalam hasil pencarian. Rue segera membaca beritanya. Rue seolah kehilangan
jiwanya selama beberapa detik usai ia membaca berita itu.
Kecelakaan terjadi antara sebuah
truk dan mobil sedan berwarna hitam. Truk mengalami rem blong dan menghantam
mobil sedan dari arah kanan. Mobil terdorong hingga terhenti pada portal
pembatas jalan. Ditulis satu korban meninggal dunia di lokasi dan satu lainnya
kritis.
Yang membuat Rue syok adalah
identitas korban kecelakaan yang sedang kritis. Korban berjenis kelamin
laki-laki, berusia 16 tahun dengan inisial JHJ. Entah kenapa, ia merasa korban
itu adalah Jin Hongjoon yang kemarin datang mengirim kado untuknya, yang tadi
dikabarkan Yano tak masuk sekolah.
Ketika Rue sedang menduga-duga
sekaligus berusaha menepisnya, ia mendengar bunyi gedebuk. Seolah ada benda
berat yang jatuh tak jauh darinya. Ia pun mencari sesuatu itu dan menemukan
sesosok putih yang jatuh tersungkur di seberang meja.
Rue tak beranjak dari sofa tempat ia
duduk. Ia mengamati sosok yang bergerak-gerak itu. Ketika sosok itu berlutut
dan tatapannya bertemu pandang dengannya, Rue terkejut. Sosok itu tak lain
adalah Jin Hongjoon.
Hongjoon pun menunjukkan ekpresi
yang sama. Terkejut mendapati Rue berada di depannya.
***
Hongjoon duduk di atas sofa.
Memperhatikan Rue yang berjalan mondar-mandir di hadapannya. Setelah saling
tertegun satu sama lain, Rue akhirnya kembali pada kesadaran menyebut namanya.
Hongjoon senang karena Rue masih mengenalinya. Tapi, ia masih bingung dengan
bagaimana ia bisa berada di dalam rumah Rue. Ketika Rue bertanya apa yang
terjadi, ia pun menjelaskan apa yang ia ingat.
Rue menghentikan langkahnya.
Mendesah dengan kasar, lalu menoleh ke arah kanan. Hongjoon yang tiba-tiba
ditatap seperti itu pun kaget dan segera mengalihkan pandangan.
“Apa kau tahu jika kau mengalami
kecelakaan sepulangmu dari sini?”
“Maaf?” Hongjoon merasa salah
dengar. “Jadi ini...” ia mengamati dirinya sendiri.
“Iya. Itu rohmu. Kau tersesat dan
dikembalikan ke dunia sebelum menyeberang. Artinya, kau belum mati. Mungkin
saja kau koma. Karena, di berita yang aku baca, kau dinyatakan kritis.”
“Seonbae
tahu? Eh, maaf. Maksudku, Kak Rue tahu?” Hongjoon meralat karena menggunakan
bahasa Korea. Seonbae adalah
panggilan untuk senior dalam bahasa Korea.
“Baru saja membacanya.”
“Jadi, aku tidak hidup, juga belum mati?
Lalu, aku harus bagaimana?”
“Aku juga tidak tahu. Ini pertama
kalinya aku didatangi orang koma.” Rue duduk di atas permadani yang mentutupi
lantai. Menatap Hongjoon yang duduk di atas sofa.
Merasa sungkan, Hongjoon pun melorot
dan turut duduk di atas permadani. “Benar-benar tidak punya solusi?”
“Belum.”
Hongjoon menatap Rue yang kembali
diam. Ia menunggu Rue kembali bicara.
“Sopirmu, namanya siapa?”
“Mm? Oh! Paman Darwin?”
“Beliau meninggal di lokasi.”
“Apa?? Pam-paman Darwin meninggal??”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Beliau
meminta maaf karena telah membuatmu celaka.”
“Paman Darwin di sini? Mana?”
Rue bungkam.
“Itu bukan salah Paman Darwin. Aku
yakin. Paman Darwin selalu sopan dalam berkendara.”
Truk itu mengalami rem blong dan
menabrak mobil kalian. Begitu yang aku baca.” Hongjoon diam dengan kepala
sedikit tertunduk.
“Aku minta maaf, tapi dalam kondisi
seperti ini apakah keluargamu akan menyalahkan Paman Darwin?”
Hongjoon bergeming.
“Hongjoon?”
“Tidak. Tidak mungkin. Mereka tahu
bagaimana baiknya Paman Darwin padaku. Dia memperlakukan aku seperti anaknya
sendiri. Dia sangat menyanyangi aku.” Hongjoon tertunduk semakin dalam dan
menangis.
Rue hanya diam menatapnya.
Membiarkan Hongjoon meluapkan kesedihannya.
***
Esya mendekati Nenek Hongjoon yang
berdiri di depan tembok kaca. Di dalam sana Hongjoon terbaring tak sadarkan
diri. Alat bantu di pasang di sana-sini demi membantu Hongjoon agar tetap
bertahan hidup.
“Nek, istirahat dulu ya. Nenek belum
istirahat sama sekali sejak kemarin.” Esya membujuk neneknya.
“Bagaimana aku bisa beristirahat,
sedang dia sedang berjuang sendirian di sana.” Nenek Hongjoon menyentuh dinding
kaca dan mengelusnya. “Cucuku yang malang.”
Esya turut menatap ke dalam ruang
ICU tempat Hongjoon dirawat. Melihat saudara sepupunya koma, ia pun tak bisa
berpura-pura tak sedih.
“Besok kau harus sekolah. Jangan
lama-lama membolos.”
“Asal nenek mau istirahat. Kalau
tidak, aku akan tetap di sini. Menemani nenek.”
Nenek Hongjoon menghela napas. “Kau
pikir aku di sini terus? Tidak, Sayang. Rumah sakit ini menyediakan tempat
istirahat untuk keluarga pasien. Aku beristirahat di sana. Mama Hongjoon akan
tiba malam ini. Aku akan membiarkan dia menjaga putranya dan aku akan
istirahat. Kau pulang saja dulu dan istirahatlah.”
“Aku tidak akan masuk sekolah besok,
Nek. Besok adalah pemakaman Paman Darwin. Hanya kita keluarga yang dia miliki.”
“Ah iya. Aku terlalu fokus pada Hongjoon
hingga melupakan Darwin.”
Kita istirahat sama-sama yuk?"
Nenek Hongjoon menatap ke dalam
ruang ICU, diam selama beberapa detik. Lalu, menganggukkan kepala dan setuju
untuk beristirahat dengan Esya.
Esya tersenyum dan menuntun neneknya
ke ruang istirahat untuk keluarga pasien.
***
Rue terkejut ketika keluar dari
kamar mandi. Hongjoon sudah berdiri di dapur dan tersenyum padanya. Ia lupa
jika sejak semalam roh Hongjoon tinggal di rumahnya.
“Noona
akan ke sekolah hari ini?” Sambut Hongjoon ceria. Ia sengaja memanggil Rue
dengan Noona. Panggilan dari adik
laki-laki untuk kakak perempuan dalam bahasa Korea.
“Kalau nggak sekolah mau ngapain?” Jawab
Rue seraya berjalan menuju kamarnya.
Hongjoon mengerucutkan bibir. Tetap
bertahan di dapur, menunggu Rue.
Rue keluar. Ia sudah memakai seragam
SMA Horison. Ia menuju dapur untuk membuat sarapan.
Hongjoon minggir. Memberi ruang
untuk Rue. “Kalau mau masak, kenapa pakai seragam dulu? Kan nanti kotor.”
Rue tersenyum. Ia sibuk membuat jus
buah dan roti bakar. Setelah siap, ia membawanya ke ruang tamu untuk sarapan.
Hongjoon mengikutinya.
“Kalau kamu ngarep ikut ke sekolah,
maaf. Aku nggak bakalan kasih izin. Sekolah sedang situasi genting. Bahaya
kalau kamu ikutan.” Rue sudah duduk di atas permadani dan bersiap sarapan.
“Karena itu, belakangan sering
terjadi kesurupan?”
“He’em. Ada pasukan setan yang
mengepung sekolah. Makanya, bahaya kalau kamu ikut aku. Bisa jadi tawanan kamu
ntar.”
“Kok gitu? Pasukan setan?”
“Iya. Kami masih menyelidikinya.
Benar-benar membuatku pusing. Ditambah adanya kau di sini.”
“Aku kan sudah janji nggak bakal
ngrepotin.”
“Tetep aja nggak terbiasa.”
“Nanti juga akan terbiasa. Lagian,
aku nggak punya tempat lain untuk dituju.”
Rue menatap Hongjoon sejenak, lalu menghela
napas dan mulai makan. “Kalau gitu, diem aja di sini. Tunggu sampai aku
pulang.”
Hongjoon tersenyum dan menganggukkan
kepala.
Rue selesai mengunci pintu. Ia
berjalan menuruni tangga. Hongjoon mengikuti di belakangnya.
“Kak Rue!”
Rue kaget ketika sampai di ujung
tangga terbawah. Rio tiba-tiba muncul dan memanggilnya. “Bikin kaget aja!”
“Kakak udah tahu? Ituuu... kakak
yang ke sini nitip hadiah dan ngasih aku coklat. Dia kecelakaan dan kritis!”
Rue menatap Rio dengan datar. Sedang
Hongjoon yang berdiri di belakangnya tersenyum.
“Kak Rue udah tahu ya? Aku baru tahu
beritanya pagi ini. Dapat kiriman di grup chat.” Rio menggaruk kepalanya.
“Kak.”
“Apa?”
“Aku penasaran. Apa arwahnya dateng
nemuin kakak? Aku kan Orion.”
“Udah sekolah sana!” Rue pergi
meninggalkan Rio. Pemuda itu menggerutu tak jelas dan kembali masuk ke rumah.
“Mau ngikutin aku sampai mana?” Rue
menghentikan langkahnya.
Hongjoon turut menghentikan langkah.
Ia kelincutan. “Baiklah. Aku balik sekarang. Hati-hati di jalan Noona.” Hongjoon membalikan badan,
membelakangi Rue, dan berlari, kemudian menghilang.
Rue yang menatapnya tersenyum. Pagi
yang berbeda. Ada yang melepasnya berangkat.
Rue menghela napas dan kembali
berjalan. Langkahnya memelan ketika sampai di perempatan tempat ia biasa
bertemu dengan Dio, Byungjae, dan Hanjoo. Bukan ketiga rekannya yang berada di
sana. Melainkan Malaikat Maut yang sering secara tiba-tiba menampakan diri
padanya.
Dengan langkah lambat, Rue melewati
Malaikat Maut yang berdiri di tepi jalan dan menatapnya. Kepala Rue tertunduk,
tapi ia masih bisa mencuri pandang, memperhatikan bagaimana Malaikat Maut
menatapnya saat ia melintas di depannya.
***
“Kenapa Kakak tiba-tiba ingin tahu?”
Yano balik bertanya pada Rue.
Rue mendesah. Ia sengaja menemui
Yano di kelasnya saat jam istirahat demi mencari informasi tentang Hongjoon.
“Kemarin kakak seperti nggak
tertarik.” Yano sok jual mahal.
“Kemarin aku sibuk. Kamu nggak tahu
kami kena sidang karena Dio berantem sama Pearl?”
“Oh itu. Iya. Sudah heboh
dibicarakan. Kak Dio beneran dipecat dari Dewan Senior? Sayang sekali.”
“Kamu tahu nggak sih di mana
Hongjoon dirawat?”
“Nggak tahu. Tapi, temenku kayaknya
tahu. Sebentar. Tunggu dia sebentar. Tadi dia masih ke toilet. Kak Rue juga
pasti udah tahu dia siapa.”
“Wah! Ada Kak Rue di sini. Tumben?” Wajah
putih Axton dihiasi semburat pink ketika ia melihat Rue duduk di bangkunya.
“Kak Rue nanya soal Hongjoon. Kamu
tahu nggak? Dia dirawat di mana?” Tanya Yano.
“Esya cuman bales, hari ini
pemakaman sopir pribadi Hongjoon. Tapi, belum kasih tahu di rumah sakit mana
Hongjoon dirawat.” Jawab Axton. “Nanti kalau Esya udah masuk, aku tanyain.
Emang kenapa kok Kak Rue nyari rumah sakit tempat Hongjoon dirawat?”
“Pemakamannya diadain jam berapa? Di
mana?” Rue segera mengalihkan topik. Membuat Axton dan Yano bingung.
“Sebentar.” Axton meraih ponsel di
saku celananya dan memeriksa kembali pesan Esya. “Jam sembilan, Kak. Udah
lewat.”
“Makamnya?”
Axton menyebutkan lokasi pemakaman
sopir pribadi Hongjoon. Ia merasa senang karena bisa memberikan informasi untuk
Rue.
“Makasih ya. Maaf udah ganggu
kalian.” Rue bangkit dari duduknya.
“Nanti kalau Esya udah masuk, aku
tanyain rumah sakit tempat Hongjoon dirawat.” Yano menyanggupi.
“Oke.” Rue pun meninggalkan Yano dan
Axton.
“Kak Rue ke sini,” Axton buru-buru
duduk di bangkunya. “Duduk di bangkuku!”
“Biasa aja kali. Makan yuk!” Yano
bangkit dari duduknya.
***
Pearl, Ruby, dan Linde berada di
kantin. Pearl masih menekuk wajah sejak pagi. Ia masih kesal karena peristiwa
kemarin. Ia marah karena dikeluarkan dan dicoret dari daftar calon Dewan
Senior. Walau Ruby dan Linde terus menenangkannya, Pearl tetap tidak bisa
terima.
“Liat! Pangeran pujaanmu tuh. Jangan
cemberut mulu napa.” Ruby berbisik. Memberi tahu jika Yano datang ke kantin.
“Itu ya yang namanya Yano.” Linde
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengamati Yano.
Pearl mengangkat kepala dan
mengamati Yano. Senyum samar terkembang di wajahnya yang kuyu.
“Eh, itu Yano. Tahu nggak sih, tadi
Kak Rue nyamperin dia ke kelas lho!”
“Kak Rue? Nyamperin Yano ke kelas?
Masa?? Ngapain??”
“Nggak tahu lah. Kebetulan aku masih
di kelas. Kak Rue tengok-tengok kelas, trus nemuin Yano masih duduk di
bangkunya. Masuk lah dia. Duduk di samping Yano.”
“Ya ampun! Trus mereka ngapain?”
“Ngobrol aja sih kayaknya. Aku
buru-buru keluar dong. Sungkan. Karena di kelas cuman ada aku sama Yano sebelum
Kak Rue datang.”
“Yah. Harusnya kamu tetep di sana.
Biar tahu mereka lagi ngobrolin apa.”
“Iya. Kenapa kamu malah pergi.”
“Kan aku sungkan. Kak Rue akrab gitu
ya sama Yano. Kayak udah lama kenal.”
“Iya. Dari pas mereka ngobrol di
depan UKS kan?”
“Iya. Bener banget. Aku jadi
penasaran. Mereka punya hubungan apa ya?”
Pearl meremas sendok dan garpu yang
ada di tangan kanan dan kirinya. Lalu membanting kedua tangannya ke meja,
beranjak dari duduknya dan pergi. Ia kesal mendengar obrolan siswi-siswi yang
duduk di belakangnya. Dengan langkah lebar-lebar ia berjalan keluar dari
kantin. Ruby dan Linde saling memandang. Lalu, kompak menghela napas panjang.
***
Dio, Byungjae, dan Hanjoo kompak
tercenung usai mendengar penjelasan Rue. Keempatnya berkumpul di sebuah
restoran cepat saji usai pulang sekolah.
“Ngomong-ngomong, apa Hongjoon ada
di sini?” Dio dengan lirih.
“Nggak. Dia aku suruh diem di rumah.
Bahaya kalau ikutan ke sekolah. Sekolah lagi genting.”
“Jadi, itu alasan kamu sampai nekat
nemuin Yano?” Hanjoo paham alasan di balik hebohnya berita Rue menemui Yano di
kelasnya.
“Nggak efektif kalau nanya lewat
pesan. Mending langsung ketemu aja.”
“Mikir nggak efeknya gimana?”
“Kak Nicky ya? Wah. Gawat juga kalau
Kak Nicky tahu trus cemburu.” Byungjae menanggapi dengan serius.
“Aku sama Kak Nicky nggak ada
apa-apa tau! Gawat tuh aku baru inget soal Pearl.” Rue membantah tuduhan
Byungjae.
“Pearl? Kenapa lagi?” Tanya Dio.
“Pearl kan suka sama Yano.”
Dio, Hanjoo, dan Byungjae dibuat tercenung
untuk yang kedua kalinya.
“Bukannya cuman Fabian dan Kak Nicky
ya?” Hanjoo memastikan.
“Sama Yano juga.”
“Ada apa sih?” Dio bingung.
“Iya. Apa yang kalian tahu, tapi aku
dan Dio nggak.” Byungjae pun menuntut penjelasan.
Rue menghela napas. Lalu, menjelaskan
tentang ketika ia berada di dalam toilet dan tak sengaja mendengar obrolan
Pearl, Ruby, dan Linde.
Dio tidak bisa menahan tawa usai
mendengar penjelasan Rue. “Pantesan benci banget sama kamu. Urusan cowok
ternyata. Sekarang apa pula pakek naksir Yano? Tahu fakta tentang kamu sama
Yano, mampus dia. Bunuh diri bisa-bisa.”
“Hush! Ngeri tahu!”
“Bisa jadi, kan? Dia tuh bukan cewek
psiko. Tapi, skizofrenia. Gila!”
“Suer aku baru inget soal itu waktu Byungjae
nyebut nama Kak Nicky.”
“Kita harus hati-hati nih. Bisa jadi
Pearl mikir Rue sengaja makin hancurin dia. Kemarin udah dipecat, hari ini
ditambah denger tentang Rue nyamperin Yano. Bisa makin menjadi dia.” Byungjae
bergidik hanya karena membayangkan kemungkinan yang akan dilakukan Pearl untuk
membalas Rue.
“Rue bisa salah perhitungan juga
ya.” Hanjoo menggelengkan kepala.
Rue tersenyum dan mengangkat kedua
bahunya. Saat menatap ke dinding kaca bagian depan restoran cepat saji, senyum
di wajahnya sirna. Di luar sana, sang Malaikat Maut sedang berdiri menatapnya.
0 comments