Ketika Rue melakukan perlawanan
bersama tim pelaksana ritual, di tengah pertempuran ia melihat Raja Buto
berdiri di depannya. Ketika ia mendongak, tubuhnya seolah tertarik. Ia tak bisa
mengelak. Saat sadar, Rue sudah berada di alam lain. Di depannya Raja Buto
berdiri menantang dengan dikerumuni pasukannya. Rue menelan ludah. Raja Buto
telah menyeret sukmanya ke alam gaib. Raja Buto tertawa. Suaranya menggelegar, memenuhi
langit dan bumi.
“Rue!” Goong berdiri di samping kiri
Rue.
“Goong-nim!” Rue kaget melihat Goong tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Kamu nggak sendirian, Rue. Ada
kami. Kami akan maju perang bersamamu.”
Rue menoleh, di belakangnya berdiri
makhluk-makhluk astral penghuni SMA Horison. Ada kuntilanak, pocong, genderuwo,
siluman, dan makhluk astral lainnya.
“Sudah kubilang, kami nggak mau
dijajah. Setelah mengikuti rapat, aku juga mengumpulkan pasukan. Mereka adalah
yang secara sukarela bergabung untuk memperjuangkan tanah tempat tinggal kami.”
Rue menoleh ke arah kiri, tersenyum
menatap Goong. “Kamsahamnida, Doryeonim.”
“Kau kuat,Rue! Kita pasti bisa
mengalahkannya.”
Rue tersenyum dan menganggukkan
kepala.
“Eh? Dia siapa?” Goong menuding ke
arah kanan Rue.
Rue menoleh ke arah kanan. Kedua
mata bulatnya terbelalak. Terkejut mendapati Malaikat Maut berdiri di samping
kanannya. “Anda??” Tanyanya masih terkaget-kaget.
Malaikat Maut menoleh ke arah kiri
dan tersenyum pada Rue. “Kita lawan bersama. Aku akan menemanimu sampai akhir.”
“Anda sebenarnya siapa?”
Malaikat Maut kembali tersenyum. “Kita
selesaikan ini dulu. Baru kita duduk dan mengobrol.”
Rue tak paham dengan apa yang ia
rasakan. Mendengar kalimat yang diucapkan Malaikat Maut, ia merasa terharu,
senang, sekaligus sedih. Semua bercampur aduk di dalam dadanya. Ia hanya bisa
menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Rue kembali menatap ke arah depan.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Kemudian ia menggelung
rambut ikal panjangnya yang terurai. Lalu, melepas tasbih berwarna coklat yang
ia jadikan kalung. Ia melilitkan tasbih yang terbuat dari kayu cendana itu
menjadi tiga lilitan di tangan kanannya dan memegang ujungnya. Ia siap untuk
maju berperang melawan Raja Buto dan pasukannya.
Ketika panglima dari pasukan Raja
Buto berseru pada pasukannya untuk maju menyerang, Goong juga juga berseru
memerintahkan teman-temannya untuk maju menyerang. Pasukan buto dan
makhluk-makhluk astral SMA Horison bertemu di medan perang. Menyerang satu sama
lain.
Tangan kanan Rue yang dililit tasbih
mengeluarkan cahaya putih terang memanjang. Kemudian cahaya itu berubah menjadi
sebuah pedang. Rue pun turut maju bertempur di medan perang. Membaur dengan
pasukan buto dan makhluk-makhluk astral SMA Horison. Tanpa ampun, Rue menebas
leher pasukan buto yang berusaha menyerangnya.
***
Api yang mengepung Rue dan dua
rekannya berhasil dipadamkan. Api itu tidak menyisakan bekas juga asap. Posisi
Rue segera bisa dilihat oleh siapa saja yang berada di lokasi ritual. Gadis itu
duduk bersila dan diam. Rue bukan tak sadarkan diri, tapi sukma di dalam
raganya sementara keluar karena diseret Raja Buto ke alam gaib. Pemimpin ritual
mendekat. Membantu dua anggota timnya yang membuat pagar gaib demi melindungi
raga Rue sekaligus membantu Rue berperang di alam gaib.
“Om, Rue kenapa Om?” Tanya Byungjae.
Namun, tak ada balasan dari Toni. Byungjae pun menoleh ke arah kanan. Ia
menemukan Toni sedang duduk bersila di bawahnya.
“Om Toni juga melakukan perjalanan
astral. Pasti gawat. Tuhan, tolong lindungi kami semua.” Byungjae memanjatkan
doa.
Dio dan Hanjoo pun mengkhawatirkan Rue.
Yang bisa mereka lakukan hanya terus berdoa dan berdoa agar ritual pembersihan
berjalan sukses.
“Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia
hanya diam?” Nicky panik karena sangat khawatir pada Rue.
“Tenangkan dirimu, Kak. Percayakan
pada mereka yang lebih paham pada situasi ini. Sebaiknya kita berdoa saja.” Kevin
menenangkan Nicky.
“Semua yang berada di sini, tolong
bantu kami dengan doa ya.” Pemimpin ritual berbicara dengan lantang. “Saat ini
sukma Rue sedang bertempur di alam sana. Kami semua pun sedang bertempur
melawan pasukan setan yang hendak menguasai sekolah kita. Jadi, mari
bersama-sama melawan mereka. Tolong bantu doa sesuai dengan keyakinan kalian.
Doa kalian adalah sumber kekuatan bagi kami.”
Tubuh Rue bergerak. Ia terbatuk dan
memuntahkan darah. Membuat orang-orang di sekelilingnya sedikit panik. Beberapa
alumni yang menjadi anggota tim, duduk bersila di sekitar Rue. Sebagian dari
mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan astral untuk membantu Rue.
***
Tubuh Rue terhempas ketika ia
berusaha menyerang Raja Buto. Satu-satunya jalan untuk mengakhiri perang dengan
cepat adalah melumpuhkan sang raja. Namun, itu tidak mudah bagi Rue. Ada
panglima yang melindungi raja. Rue yang sudah cukup kelelahan karena bertempur
melawan pasukan buto mulai kulawahan menghadapi serangan panglima buto.
Tubuhnya terlempar hingga ia muntah darah.
Sial! Dia kuat sekali. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus
melawan raja mereka dan mengalahkannya agar perang ini selesai. Rue bangun kembali. Ia menggerakan tangan kanannya yang
memegang pedang. Bersiap kembali menyerang.
“Aku adalah ratu di sini. Aku ingin
menantang rajamu!” Rue memberanikan diri menantang Raja Buto.
“Melawanku saja kamu kuwalahan. Mau
menantang Maha Raja. Di alammu boleh kau sombong. Tapi, di sini kami yang
berkuasa!” Ujar sang panglima.
Rue ingat. Sosok itu adalah sosok
yang menggunakan raga Yano. “Kenapa rajamu nggak mau turun ke medan perang dan
melawanku? Apa dia takut?”
“Kurang ajar!” Bentak Raja Buto yang
kemudian meraung. Menunjukkan kedigdayaannya.
Telinga Rue sakit karena mendengar
raungan itu. Namun, ia bertahan. Ia menyeringai karena berhasil memancing emosi
Raja Buto. Menurut apa yang ia pelajari, buto adalah golongan makhluk gaib yang
tidak terlalu pandai. Walau mereka memiliki kekuatan yang luar biasa, tapi
tingkat kecerdasan mereka rendah. Mereka selalu menggunakan kekuatan, bukan
kecerdasan.
“Lawan aku! Tujuanku ke sini memang
untuk menghancurkanmu anak sombong!” Raja Buto sepenuhnya maju dan bersiap
melawan Rue.
Rue mengeratkan genggaman tangan
kanannya pada pedang. “Baik. Ayo kita duel!” Ia menerima tantangan Raja Buto.
Raja Buto bergerak maju, mulai
menyerang. Rue diam di tempatnya berdiri. Ketika Raja Buto semakin dekat, Rue
membungkukan badan. Dari balik punggung Rue, Toni muncul dan menyerang Raja
Buto. Sedang Rue bergerak dan menyerang Raja Buto dari belakang. Dengan satu
gerakan tangkas, Rue berhasil melukai paha kiri Raja Buto. Karena bersiap
menghadapi serangan Toni, Raja Buto sedikit lengah. Saat itulah Rue menyerang
dan berhasil menyayat paha kiri Raja Buto.
Rencana Rue dan Toni berhasil di
tahap awal. Secara bersamaan keduanya bertarung melawan Raja Buto. Sedang dua
anggota tim ritual yang juga turut dalam peperangan di alam gaib menghadapi
Panglima Buto yang hendak membantu Raja Buto melawan Rue dan Toni. Anggota lain
yang turut menyeberang ke alam gaib berperang melawan pasukan buto yang seolah
tak habis-habis walau sudah banyak yang tumbang.
Rue dan Toni kompak melakukan
serangan. Bantuan terus berdatangan. Rue dan Toni dibantu dua orang lainnya
melawan Raja Buto. Kekuatan Raja Buto itu terus bertambah. Membuat Rue dan
timnya mulai kuwalahan.
“Kekuatannya terus meningkat.” Ujar
Rue yang berdiri di samping kiri Toni. Menyaksikan dua rekannya yang sedang
bertarung melawan Raja Buto.
“Dia mampu menggandakan kekuatannya
hingga sepuluh kali lipat.” Toni membenarkan.
“Apa sebaiknya langsung membakarnya
saja?”
“Berhematlah. Senjata pamungkasmu
tidak cukup untuk membinasakan dia sekarang.”
“Lalu, bagaimana?”
“Kita terus lawan. Memancing agar
kekuataannya terus digunakan. Dia juga punya titik lemah. Saat itulah kita
serang dengan senjata pamungkas kita.”
“Baiklah.”
Rue dan Toni kembali maju untuk
bertarung melawan Raja Buto.
Perang sudah berlangsung cukup lama.
Namun, pasukan Rue belum bisa menumbangkan separuh dari pasukan buto yang
berjumlah seribu pasukan. Rue dan pasukannya pun mulai kehabisan tenaga. Walau
ia mendapat kekuatan tambahan dari transfer energi yang dilakukan timnya, Raja
Buto yang ia hadapi sangat kuat. Terlebih untuk Rue yang belum mumpuni. Bagi
Rue ini adalah pertempuran pertamanya.
Tubuh Rue terlempar. Ia jatuh
tersungkur di atas tanah. Tangan Raja Buto yang maha besar itu hendak menangkap
tubuh Rue. Namun, dengan sigap Malaikat Maut mendorong tubuh Rue. Hingga
tubuhnya lah yang menjadi sasaran Raja Buto.
Rue melihat tubuh Malaikat Maut
terangkat tinggi. Sejak berpisah di awal pertempuran, ia tak lagi memperhatikan
keberadaan Malaikat Maut. Ketika bertempur, sekilas ia melihat Malaikat Maut
tak turut bertempur. Namun, tak beranjak dari medan pertempuran.
Rue kembali bangkit. Ia mendongak,
menatap Malaikat Maut yang berada dalam genggaman Raja Buto.
“Ada yang ingin aku katakan padamu!”
Malaikat Maut berteriak.
Rue mengerutkan kening.
“Aku bukanlah malaikat maut atau
dewa kematian!”
Rue terkejut mendengar pengakuan
itu.
“Aku hanya arwah biasa! Maafkan aku
karena tidak bisa membantumu dalam pertempuran ini! Kau harus memenangkan
perang ini! Aku bahagia, karena akhirnya kau mau berbicara denganku. Selamat
tinggal, Rue.” Malaikat Maut itu tersenyum manis pada Rue.
Rue kembali menyerang Raja Buto.
Bermaksud menyelamatkan Malaikat Maut. Tangan maha besar Raja Buto menangkis
serangan Rue. Membuatnya kembali terhempas.
Raja Buto terbahak melihat Rue jatuh
berguling-guling di atas tanah. “Sepertinya arwah penasaran ini sangat berharga
bagimu. Akan aku jadikan dia tawananku. Hahaha.”
Rue kembali melakukan serangan yang
lagi-lagi berhasil dihalau oleh Raja Buto. Tubuh Rue melayang di udara. Ketika
ia akan jatuh menyentuh tanah, Rue memejamkan mata. Namun, ia terjatuh pada
sesuatu yang empuk.
Rue membuka mata. Tangan kirinya
yang bebas mengelus sesuatu yang empuk itu. Bulu halus membelai telapak
tangannya. Ia pun buru-buru bangkit dan duduk. Rue terjatuh di atas punggung
kucing raksasa berwarna putih. Rue terkejut sekaligus kagum.
“Terima kasih telah
menyelamatkanku.” Rue mengelus kucing putih yang menangkap tubuhnya.
Kucing itu mengeong. Lalu, menggeram
pada Raja Buto. Walau kucing putih itu berukuran raksasa, tapi tubuh Raja Buto
lebih besar darinya.
Rue tak tahu kucing putih itu siapa.
Namun , ia sangat bersyukur karena kucing itu menolongnya dan kini turut maju
berperang membantunya. Rue, Toni, kucing putih raksasa, dan rekan-rekan Rue
bekerja sama melawan Raja Buto. Malaikat Maut masih berada dalam genggaman Raja
Buto. Tim Rue bekerja sama untuk melepaskannya juga.
Raja Buto kembali melemparkan tubuh
Rue. Kucing Putih berusaha menangkapnya. Keduanya terhempas dengan tubuh Rue
terlindungi tubuh Kucing Putih. Keduanya terhempas hingga beberapa meter yang
juga memporak-porandakan beberapa pasukan buto.
Rue merasakan sakit di sekujur
tubuhnya. Ia mengumpulkan sisa tenaga untuk kembali bangkit. Ia melihat Toni
dan rekan-rekannya dibuat pontang-panting oleh Raja Buto.
Setelah berhasil menyingkirkan
teman-teman Rue, Raja Buto berlari ke arah Rue. Rue panik, berusaha
mengumpulkan sisa tenanga untuk bangkit. Kucing putih bangkit dan melindunginya
dengan maju dan melawan Raja Buto. Namun, lagi-lagi Raja Buto berhasil
menghempaskan kucing itu.
Rue berhasil berdiri, tapi jaraknya
terlalu dekat dengan Raja Buto. Tangan maha besar itu sudah berada tak jauh di
atasnya. Sadar tak bisa lagi menghindar, Rue pun pasrah. Satu-satunya yang
terpikir olehnya adalah mengangkat tangan kanannya yang memegang pedang. Ia pun
melakukannya dan berpasrah jika pada akhirnya Raja Buto berhasil menangkapnya.
Rue memejamkan mata dengan tangan
kanan terangkat. Namun, ia tak merasakan sesuatu yang berat menimpanya. Ia pun
membuka mata dan terkejut. Raja Buto terhuyung ke belakang. Tangan kanannya
yang hendak menangkap tubuh Rue berlubang. Membuat Raja Buto meraung karena
kesakitan.
Tangan kiri Raja Buto tak lagi
memegang Malaikat Maut. Rue mengawasi sekitar dan menemukan Malaikat Maut jatuh
tersungkur di atas tanah. Rue lega. Lalu, membalikkan badan. Rue terkagum-kagum
menemukan sosok ksatria wanita yang berdiri di atas punggung seekor rajawali
yang melayang di udara. Kedua tangan wanita itu memegang busur. Rue yakin anak
panah dari busur itu lah yang membuat tangan Raja Buto berlubang.
Rue tersenyum pada kstaria wanita
itu. Bersama rajawali yang menjadi tunggannya, ksatria wanita itu maju dan
menyerang Raja Buto. Di belakangnya ada empat ksatria wanita lainnya yang turut
maju. Rue kembali tersenyum melihatnya. Lalu, ia bergegas menghampiri Malaikat
Maut. Pedang di tangan kanannya menjadi cahaya putih lalu lenyap.
Rue membantu Malaikat Maut untuk
duduk. “Aku tahu kau sedang tak baik. Tapi, aku lega melihatmu selamat.”
Malaikat Maut tersenyum manis dan
tulus. “Terima kasih telah mengkhawatirkan aku.”
“Jaga dirimu sampai perang ini usai.
Kau punya hutang cerita padaku.” Rue yang berlutut pun bangkit. Ia menggerakan
tangan kanannya. Tangan kanan Rue kembali mengeluarkan cahaya. Tasbih yang
melingkar di tangan kanannya kembali berubah menjadi pedang. Rue kembali maju
untuk berperang.
***
Karena mendapatkan bantuan dari
ksatria wanita yang menunggangi rajawali, Raja Buto mulai bisa dikendalikan.
Ksatria wanita itu berhasil membuat Raja Buto tunduk dan meminta ampun. Saat
itu lah perang antara pasukan dihentikan. Raja Buto telah berhasil dikalahkan.
Rue menyimpan kembali pedangnya. Ia
lega perang bisa dihentikan. Raja Buto berlutut di depan ksatria wanita yang
masih menunggangi rajawali raksasa.
“Ampun! Ampun!” Raja Buto meminta
ampunan.
“Kenapa kau menyerang sekolah ini?” Tanya
ksatria wanita.
“Saya hanya menjalankan perintah.”
“Siapa yang nyuruh kamu datang dan menyebar
teror di sekolah ini?!”
“Ada. Dukun sakti itu yang memberi
perintah. Kalau saya menolak, saya disiksa. Saya diberi pasukan dan dijadikan
raja. Lalu, diperintah untuk membuat teror di sekolah ini. Untuk membuat Ruta
Way menderita.”
“Kenapa Ruta Way?”
“Dia nggak boleh jadi presiden
sekolah lagi. Teror kami untuk membuat manusia takut dan meragukan Ruta Way
agar tak menjadi presiden sekolah lagi.”
“Siapa yang memerintah kamu? Dukun
itu? Lalu, yang memerintah dukun itu siapa?”
Raja Buto diam.
“Ayo bilang! Mau kamu, aku bakar
hidup-hidup!”
“Ampun... ampun....” Raja Buto
menyatukan kedua tangannya, memohon ampunan.
“Katakan! Tadi sombong, membusungkan
dada. Sekarang mohon ampun dan nangis-nangis. Katakan siapa yang nyuruh kamu!
Dukunmu bakalan berurusan denganku. Kamu jadi tawananku sekarang!”
Rue tersenyum. Menatap kagum ksatria
wanita yang sedang menginterogasi Raja Buto.
“Ayo ngomong!” Ksatria wanita itu
membentak.
“Dukun itu dibayar. Anak perempuan
cantik. Namanya Pearl.”
Kedua mata Rue terbelalak. Ia
terkejut, karena mendapati fakta bahwa orang di balik teror itu benar Pearl.
Kecurigaan Dio tidak salah. Pearl adalah dalangnya.
Ksatria wanita mengalihkan pandangan
dan menatap Rue. “Kau sudah mendapatkan jawabannya. Kembalilah. Dia dan si
dukun adalah urusanku.”
Rue menatap ksatria wanita itu dalam
diam selama beberapa detik. Lalu, ia pun mengangguk. Toni mendekati Rue dan
merangkul gadis itu. Lalu, berjalan beriringan. Menuju cahaya putih terang yang
merupakan pintu yang akan membawa keduanya kembali ke alam manusia.
***
Rue kembali ke raganya, tapi kemudian
semuanya berubah gelap. Saat ia kembali membuka mata, ia sudah berada di satu
kamar rawat inap dan diinfus. Ada Rita—ibu Hanjoo—yang menemaninya.
Rue masih merasakan sakit di sekujur
tubuhnya, tapi ia merasa bahagia. Menurut Rita, ritual pembersihan sukses. Dio,
Byungjae, dan Hanjoo pun dalam kondisi baik. Rita juga menyampaikan jika Rue
tak sadarkan diri selama 24 jam.
“Kenapa kamu murung, Nak? Bukankah
semua sudah beres?” Rita khawatir melihat Rue murung.
“Nggak papa Tante. Efek capek aja.” Rue
mengembangkan senyum di wajah lesunya.
“Nanti pulang sekolah Dio, Byungjae,
dan Hanjoo pasti ke sini. Udah kangen mereka ya?”
Rue menganggukkan kepala. “Om Toni
bagaimana?”
“Dia baik. Lagi istirahat.
Sebenernya dia mau nunggu sampai kamu sadar. Tapi, Tante suruh dia pulang dan
istirahat.”
Rue kembali diam.
Rita menatapnya, lalu ragu-ragu
berkata, “Pasti menyenangkan bertemu Berta walau hanya sekejap saja dan di
dunia sana.”
Rue kembali tersenyum dan
mengangguk. “Bunda terlihat lebih keren di dunia sana.”
“Kadang Tante pengen bisa kayak
kalian hanya untuk melihat kekerenan itu.”
“Tante.” Rue tersenyum menatap Rita.
Rita memeluk Rue. “Sabar ya, Nak.”
Rue diam dalam pelukan Rita.
Rita keluar untuk mencari makan
siang. Rue duduk termenung di kamarnya. Ia merasa lega karena berhasil
memenangkan pertempuran melawan pasukan Raja Buto dengan bantuan bundanya,
Berta. Ia menyesal karena tahu dalang di balik kerusuhan itu adalah Pearl.
Cemburu yang membakar Pearl membuat teman masa kecilnya itu buta dan tega
melakukan apa saja. Rue menyesal karena merasa gagal dan tidak bisa menolong
Pearl. Namun, yang paling membuat dadanya terasa sesak adalah pertemuannya
dengan Malaikat Maut. Ketika teringat momen itu, dada Rue kembali bergemuruh
hingga terasa sesak. Keduanya matanya pun memanas hingga tak bisa menahannya
lagi dan air mata itu pun runtuh.
Rue sempat melihat orang-orang di
sekitarnya yang berusaha membuatnya kembali dalam kondisi sadar. Namun, mereka
tampak buram dalam pandangan Rue. Kemudian semuanya berubah gelap. Lalu, ia
merasakan sebuah keheningan yang menenangkan.
“Hey! Bangun! Rue! Ruta!” Samar-samar
Rue mendengar suara seorang laki-laki yang memanggil namanya. Bukan suara
Byungjae, bukan pula Hanjoo atau Toni.
“Rue. Ruta. Bangun.”
Dengan malas Rue perlahan membuka
kedua matanya. Samar-samar ia melihat sebuah wajah di hadapannya. Wajah seorang
laki-laki, tapi bukan Byungjae atau Hanjoo, juga Toni. Setelah kedua matanya
terbuka sepenuhnya, Rue mengenali wajah itu sebagai Malaikat Maut. Rue terkejut
dan segera bangkit dari tidurnya, duduk dan mengamati sekitar. Padang rumput
nan hijau dan sejuk. Dengan bunga-bunga perdu yang sedang bermekaran.
Rue tercenung selama beberapa detik,
lalu menghela napas. “Aku sudah mati ya?” Ujarnya lirih. “Karena itu aku ada di
sini bersamamu.”
Malaikat Maut tergelak. “Sudah
kukatakan aku bukan Malaikat Maut atau Dewa Kematian seperti yang kau kira. Aku
hanya arwah biasa.”
Rue kembali mengamati sekelilingnya.
Damai dan indah. “Lalu, ini di mana?”
“Aku juga bingung menemukanmu
terbaring di sini.”
“Jadi, aku tersesat di dunia arwah?”
“Bukan begitu.” Malaikat Maut duduk
di samping kanan Rue. Di tengah padang rumput hijau dengan bunga-bunga perdu
warna-warni yang sedang bermerkaran. “Aku rasa kita memang diberi waktu untuk
duduk dan mengobrol. Meluruskan segala kesalahpahaman di antara kita.”
“Jika kau bukan Malaikat Maut atau
Dewa Kematian, maafkan aku karena telah menyebutmu seperti itu. Itu karena aku
pertama kali melihatmu di pemakaman kakek. Aku pikir kau lah malaikat yang
ditugaskan untuk membimbing arwah kakek.”
Malaikat Maut tersenyum kecut.
“Kecelakaan maut itu ya?”
“Eh?” Rue menoleh ke arah kanan.
"Kau tahu ya?”
Malaikat Maut tak mengalihkan
pandangannya, tetap menatap lurus ke depan. “Yang merenggut semuanya, cinta,
impian, cita-cita dan memisahkanku dari orang-orang yang aku cintai. Termasuk
kamu.”
Rue terkejut mendengar pengakuan
Malaikat Maut. “Ak-aku?” Tanyanya terbata.
“Setahun aku tersiksa karena
kemarahan dan penyelasan itu. Aku ingin mengatakan semuanya padamu, tapi kau
selalu menghindar. Kupikir, pasti kau sangat marah padaku.”
Rue bingung. Tapi, ia memilih diam
dan menunggu Malaikat Maut melanjutkan ceritanya.
“Karenanya, aku tetap menunggu dan
berharap kau mau menerima kehadiranku. Tapi, kau selalu menghindar dan
menghindar.”
Rue menundukkan kepala. “Itu karena
kupikir kau adalah Malaikat Maut. Maaf.”
“Malaikat Maut?” Malaikat Maut
tersenyum. “Walau kadang aku merasa tersiksa, aku juga bersyukur. Aku memiliki
lebih banyak waktu bersamamu.”
Rue mengangkat kepala, menoleh ke
arah kanan. Mengamati detail wajah Malaikat Maut. “Kau ini sebenarnya siapa?”
Hening selama beberapa detik. Hanya
terdengar desiran angin di sekitar Rue dan Malaikat Maut. Rue mengalihkan
pandangan dari mengamati Malaikat Maut. Ia turut menatap lurus ke depan.
“Di hari kecelakaan itu terjadi,
harusnya kita bertemu.” Malaikat Maut kembali bicara.
Lagi-lagi Rue dibuat terkejut,
hingga menoleh ke arah kanan dan menatap Malaikat Maut.
Malaikat Maut menoleh ke arah kiri.
Tatapannya bertemu pandang dengan Rue. Ia pun tersenyum. “Aku lah orang yang
selalu mengirim surat untukmu. Aku lah orang yang meminta bertemu denganmu pada
tanggal delapan. Sayangnya, takdir berkata lain. Aku dan kakekmu menjadi korban
meninggal dalam kecelakaan maut itu.”
Rue tencengang. Syok dengan apa yang
ia dengar. Ia tak menyangka jika sosok pemuda dengan kostum serba hitam yang
selama ini ia kira Malaikat Maut ternyata adalah pemuda yang belakangam rajin
mengirim surat untuknya dan membuat hatinya dipenuhi bunga.
“Hari itu, dalam perjalanan menuju
tempat janjian, aku melihat kakekmu. Aku menghentikan motorku dan menyapa
beliau. Karena masih ada waktu, aku menawarkan diri untuk mengantar kakekmu.
Beliau mau, lalu kami pergi bersama.
“Kami berhenti di lampu merah
bersama beberapa kendaraan lainnya. Tanpa kami tahu, dari belakang ada sebuah
truk yang remnya blong. Truk itu menabrak kami semua. Banyak korban meninggal,
termasuk aku dan kakekmu.
“Di saat-saat terakhirku, yang
kuingat hanya kamu. Aku berusaha untuk kembali, tapi sia-sia. Waktuku tidak ada
lagi. Aku terus mengingatmu dan merasa bersalah karena meninggalkan dirimu
sendirian di tempat janjian.
“Ketika aku membuka mata, aku berada
di ruang yang gelap. Sangat gelap. Aku melihat setitik cahaya dan berjalan
mendekati cahaya itu. Setelah melewati cahaya itu, aku melihatmu dalam
pemakaman kakekmu. Saat itu lah pertama kali kita melakukan kontak mata. Tapi,
setelah itu kau selalu menghindar.
“Bagaimana aku bisa tahu itu
kakekmu? Sejak aku jatuh hati padamu, diam-diam aku menyelidiki segala sesuatu
tentangmu. Mungkin kirim surat adalah hal yang sangat kuno. Tapi, aku yakin kau
akan tersentuh.”
Rue menatap Malaikat Maut dalam
diam. Ia tak memungkirinya. Surat-surat cinta itu memang membuat hatinya
tersentuh. Rasa itu lah yang mendorongnya untuk pergi bertatap muka. Rue
penasaran, ingin tahu sosok yang menulis surat-surat cinta untuknya. Mendengar
penuturan Malaikat Maut, dadanya terasa sesak. Hatinya perih. Kisah cinta yang
baru dimulai itu harus berakhir untuk selamanya.
“Maafkan aku karena telah berani
menyukaimu. Maafkan aku karena tidak memenuhi janji untuk bertemu. Maafkan aku
karena harus menemui kamu dalam kondisi seperti ini.” Malaikat Maut meminta
maaf dengan tulus. Raut wajahnya dipenuhi penyesalan.
“Kau bukan tidak memenuhi janji
untuk bertemu. Maafkan aku yang terlambat menyadari hingga kita harus bertemu
dengan cara seperti ini. Tapi, aku senang. Akhirnya aku bisa melihat sosok di
balik surat cinta itu.” Air mata Rue meleleh. Meluncur menuruni wajahnya yang
pucat.
Rue mengusap air matanya dan
tersenyum. Ia mengangkat tangan kanannya dan mengulurkannya pada Malaikat Maut.
“Hi! Aku Rue. Senang bisa bertemu denganmu.”
Malaikat Maut tertegun sejenak.
Lalu, ia tersenyum, mengangkat tangan kanannya dan menjabat tangan Rue yang
terulur. “Hi! Aku Jiro. Senang rasanya akhirnya bisa bertatap muka dan ngobrol
denganmu. Kau pasti sudah membaca surat-suratku. Maafkan aku, tapi aku
benar-benar menyukaimu.”
Rasa sakit itu menghujam dada Rue.
Ia tak bisa menahan air matanya yang kembali meleleh. “Terima kasih. Terima
kasih telah menyukaiku hingga akhir. Terima kasih telah mau menungguku. Aku mohon
maafkan aku.”
Rue mengusap air mata yang meluncur
menuruni pipinya. Dadanya terasa sesak. Selama ini ia salah paham. Menduga jika
ia dipermainkan. Kenyataannya, Jiro, pemuda yang menyukainya tak ingkar sedikit
pun. Hanya saja takdir tak berpihak pada kisah cinta mereka.
Rue menundukkan kepala. Air matanya
mengalir deras. Ia tak menahan diri. Membiarkan dirinya terisak. Walau ia yakin
ia hanya penasaran pada Jiro, tapi mendengar kenyataan tentang Jiro membuatnya
sangat sedih dan merasa kehilangan. Ia tak tahu apakah itu yang dinamakan
cinta.
***
Dio, Byungjae, Hanjoo, dan Nath
datang menjenguk Rue. Mereka senang karena Rue akhirnya terbangun dari
tidurnya. Dio dan Byungjae bergantian menceritakan kejadian di sekolah. Tentang
video di Gedung Mati yang ramai dibicarakan dan banyak dibagikan. Di sekolah,
video di Gedung Mati tak hanya menjadi bahasan Orion. Tapi, murid non Orion pun
turut menonton dan membahas video itu.
Publik menghubungkan video di Gedung
Mati dengan penyerangan yang dilakukan Dio, juga pemecatan Dio dan Pearl dari
Dewan Senior. Mereka menarik kesimpulan bahwa Pearl lah yang menjadi dalang
kekacauan yang dialami Rigel di Gedung Mati.
Berita tentang ritual pembersihan
yang sukses dilakukan pun telah menyebar di sekolah. Murid-murid senang karena
terbebas dari teror. Beberapa dari mereka bersimpati pada Rue yang jatuh sakit
setelah mengikuti ritual pembersihan di sekolah.
Di hari yang sama, Nicky datang
bersama rekannya—siswa anggota esktrakurikuler Metafisik yang bekerja sama
dengan Rue saat kesurupan massal—dan Kevin. Nicky lega melihat Rue sudah bisa
tersenyum dan bercanda lagi. Ia berharap Rue segera kembali ke sekolah.
Kevin pun sama. Ia yang juga berada
di lokasi ritual sempat panik ketika Rue tak sadarkan diri. Ketika mendengar
kabar Rue sudah sadar dari Hanjoo, ia pun langsung pergi menjenguk sepulang
sekolah. Kebetulan ia bertemu dengan Nicky. Lalu, bersama-sama menjenguk Rue. Dalam
kesempatan itu, Kevin mengingatkan Rue tentang kampanye calon ketua Dewan
Senior. Ia pun menggoda Rue jika kini Rue adalah saingannya. Bukan atasannya
lagi.
Suasana di kamar Rue dipenuhi
keceriaan karena teman-temannya berkumpul. Selama satu setengah jam mereka
menemani Rue. Lima belas menit setelah teman-teman Rue pamit pergi, Yano datang
menjenguk bersama Esya dan Axton. Tiga junior Rue itu merasa senang Rue
akhirnya kembali sadar. Mereka tak sabar menunggu Rue kembali ke sekolah.
Saat dirawat di rumah sakit, kepala
sekolah SMA Horison dan beberapa guru menjenguk Rue. Pembina ekstrakurikuler
Metafisik dan PMR juga menjenguk. Beberapa teman sekelas, sesama anggota
ekstrakurikuler PMR, sesama Dewan Senior dan MPK juga datang menjenguk. Rio dan
keluarganya juga tak ketinggalan. Morgan, ayah Rue juga datang menjenguk
bersama Yano.
Tiga hari Rue dirawat di rumah
sakit. Saat kembali ke rumahnya, Hongjoon menyambutnya. Pemuda itu langsung
mengoceh, mengomeli Rue yang pergi cukup lama. Walau ia tahu Rue masuk rumah
sakit, ia tak berani datang untuk menemui Rue di rumah sakit. Karena ia telah
berjanji untuk menunggu Rue di rooftop.
Rue pun meminta maaf pada Hongjoon dan meminta pemuda itu berhenti mengoceh.
Hongjoon menurut. Ia menunggui Rue dalam diam.
***
Total selama satu minggu Rue tak
masuk sekolah. Di hari pertama ia kembali aktif di sekolah, Orion memberinya
kejutan. Rue terharu dan sangat berterima kasih atas perhatian Rigel.
Kembali aktif ke sekolah, Rue
disibukkan dengan kampanye calon ketua Dewan Senior. Dio, Byungjae, dan Hanjoo
membantu kampanye Rue. Dalam pemilihan itu, Rue bersaing melawan Kevin, Yano,
dan salah satu siswa dari kelas X yang juga lolos untuk pencalonan ketua.
Saat kembali dari toilet kelas XI,
Dio, Rue, dan Nath bertemu Pearl, Ruby, dan Linde. Bagi Rue, itu pertemuan
pertamanya pasca ritual pembersihan. Melihat Pearl secara langsung, dada Rue
bergemuruh. Ia berusaha keras meredam emosinya.
“Aku berharap kau segera kembali
pada kesadaranmu, Pearl.” Ujar Rue saat berpapasan dengan Pearl. Ia
menghentikan langkahnya. Dio dan Nath yang berjalan di samping kanan dan
kirinya pun turut berhenti.
Pearl, Ruby, dan Linde menghentikan
langkah. Namun, tetap memunggungi Rue dan kedua temannya.
Rue, Dio, dan Nath pun sama. Tak
merubah posisinya. Tetap memunggungi Pearl.
“Aku tahu kau bukan orang yang
seperti itu. Hanya saja, saat ini hatimu sedang dipenuhi dengan rasa benci
karena cemburu. Percayalah, apa yang kau lihat tidak sepenuhnya benar.
Kebencian itu hanya akan membuatmu hancur. Berhenti dan kembalilah. Karena
Pearl yang aku kenal, bukan lah Pearl yang jahat.” Rue tetap memunggungi Pearl.
Tidak ada jawaban dari Pearl. Rue
pun menghela napas dan melanjutkan berjalan. Diikuti Dio dan Nath. Ia sudah
menyampaikan unek-uneknya. Ia berharap Pearl akan berubah. Jika tidak, ia siap
menghadapi apa pun itu yang akan dilakukan Pearl untuk menyerangnya.
***
Rue mengunjungi makam kakeknya tanpa
ditemani personel Rigel yang lain. Hari ini adalah tepat satu tahun kepergiaan
sang kakek. Selain menggelar ritual doa, Rue juga datang ke makam untuk berdoa
secara langsung di makam.
Selama setengah jam Rue berada di
makam sang kakek. Saat hendak pergi, seorang wanita muda menyapanya.
“Ruta, kan?” Sapa wanita muda
berparas ayu itu.
“Iya.” Rue tersenyum manis. Dalam
hati ia bertanya-tanya wanita muda itu siapa. Ia menepis dugaannya sendiri jika
wanita muda itu adalah Orion.
“Wah. Nggak sengaja ya ketemu di
sini. Oh iya, hari ini peringatan satu tahun kakek Ruta ya?”
“Iya. Tapi maaf, Anda siapa ya?”
“Ah iya. Kau pasti nggak kenal aku.
Aku senasib denganmu. Orang yang aku sayangi, meninggal dalam kecelakaan maut
setahun yang lalu.”
Walau nada bicara wanita muda itu
riang, hati Rue merasa sakit mendengarnya. Kecelakaan maut itu telah merenggut
nyawa kakeknya. Orang yang sangat ia cintai.
“Sibuk kah? Mau ngobrol sebentar?
Deket sini ada cafe. Kalau kamu mau sih. Aku pengen ngobrol sama kamu.”
Rue tak biasa menerima ajakan orang
asing. Tapi, ia tak tahu, untuk wanita muda itu, hatinya tak menolak. Ia pun
setuju untuk pergi bersama wanita muda itu.
Selama perjalanan menuju cafe yang
ditempuh dengan berjalan kaki, wanita muda itu terus mengajak Rue ngobrol. Ia
memperkenalkan dirinya sebagai Gina yang seorang wanita turunan Jepang.
Sepuluh menit berjalan kaki,
keduanya tiba di cafe. Gina memilih meja di dekat dinding kaca. Rue menurut
saja. Seorang pelayan menghampiri keduanya. Rue dan Gina sama-sama memesan
minuman saja.
“Makasih ya udah mau pergi sama aku.
Hari ini bener-bener nggak nyangka bakalan ketemu Ruta. Padahal aku sering ke
makam.” Gina masih dengan suara riangnya.
“Panggil Rue saja Kak.”
“Ah iya. Rue nama panggungmu ya.
Fufufu.” Gina tersenyum dengan tangan kanan menutupi mulutnya.
“Kak Gina, gimana bisa kenal saya?”
“Itu yang ingin aku bicarakan
denganmu.”
Pelayan datang mengantarkan pesanan.
Rue dan Gina berurutan mengucapkan terima kasih.
“Aku sering mendengar tentangmu dan
pernah melihat fotomu. Karena itu tadi aku langsung bisa ngenalin kamu.”
Jangan-jangan dia beneran Orion. Eh, bukan! Temannya Orion? Rue berbicara dalam hati.
“Adikku sangat menyukaimu. Dia
penggemar rahasiamu lho! Secret admire!”
Gina sedikit berbisik saat menyebut secret
admire.
Rue tersipu mendengarnya.
“Dia tahu banyak tentangmu dan
selalu menceritakannya padaku. Kami sangat dekat.” Gina menghela napas.
Eksrpesinya berubah redup. “Kami dua bersaudara. Dia adikku satu-satunya. Rasanya
masih sama, sakit setiap kali menyadari bahwa ia telah pergi untuk selamanya.”
Rue menundukkan kepala. Ia pun masih
merasakan hal itu hingga kini.
“Rue, kau tidak penasaran pada
adikku?”
Rue mengangkat kepala. Ia tak tahu
harus menjawab apa.
“Walau dia udah nggak ada lagi di
dunia ini, tapi aku masih punya kenangan tentangnya. Sebentar ya.” Gina
mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu sibuk mengotak-atiknya.
“Nah! Ini dia adikku!” Gina
mengulurkan ponselnya pada Rue.
Rue menerima ponsel Gina. Kedua mata
bulatnya terbelalak ketika ia melihat foto di dalam ponsel Gina.
“Tampan, kan? Namanya Jiro. Dia
sangat tergila-gila padamu.”
Rue merasakan sesak di dadanya.
Pemuda dalam foto itu adalah Jiro. Pemuda yang ia kira Malaikat Maut yang
mengobrol dengannya dua minggu yang lalu. Pemuda yang membuat hatinya
berbunga-bunga, yang tidak akan pernah bisa ia temui lagi untuk selamanya.
0 comments