Nath mengantar Rigel pulang. Ia pun
turut tinggal sejenak di markas Rigel. Rue menyibukan diri dengan memasak untuk
keempat temannya. Dio duduk di atas sofa. Turut menonton video rekaman di
Gedung Mati yang sedang ditonton Nath dan Byungjae. Sedang Hanjoo sibuk dengan
buku sketsanya.
“Itu mengerikan sekali. Momen
Byungjae diseret makhluk astral. Kamera bergoyang hebat. Pantas Dio marah besar
pada Pearl. Aku juga pantas dimarahi.” Kedua mata Nath berkaca-kaca usai
menonton video rekaman Rigel di Gedung Mati.
“Makanya! Jangan mudah percaya pada
Pearl!” Dio ketus.
“Ini jadi pelajaran buatku. Aku
benar-benar minta maaf.”
“Udah berlalu. Kami juga selamat.
Jenna nggak boleh terus-terusan merasa bersalah, oke? Itu membuat kami
nggak nyaman.” Byungjae menenangkan Nath.
Nath tersenyum dan mengangguk.
“Rue! Ponselmu terus bergetar!” Dio
berseru. Karena ponsel Rue diletakan di nakas dekat dengan sofa tempat ia
duduk.
“Biarin aja!” Rue berteriak dari
dapur.
“Dio beneran nggak papa dikeluarin
dari Dewan Senior?” Nath penasaran.
“Aku keliatan nggak baik ya?” Dio
balik bertanya.
“Nggak sih. Heran aja liat Dio bisa
nyantai banget gitu.”
Dio tersenyum lebar. “Aku udah tau
resikonya. Itu kenapa tetep aku lakuin di ruang publik. Karena alibiku kuat.
Aku juga sengaja bongkar kebusukan Pearl di depan forum. Tujuannya emang biar
dia gagal jadi calon ketua Dewan Senior.”
“Wah! Dio berpolitik.” Byungjae
kagum.
“Harus dong! Walau Pearl punya bad attitude, dia tetap punya pendukung.
Dia pasti akan memanfaatkan kesempatan apa aja untuk menjatuhkan Rue. Kalau
begini, bener nggak akan bikin dia berhenti, tapi seenggaknya dia nggak jadi
calon ketua lagi.
“Jujur nih ya. Dari awal aku udah
curiga teror di sekolah itu ada hubungannya sama Pearl. Nggak tahu kenapa
feeling-ku lebih condong ke dia daripada ke nominasi sekolah. Terlebih waktu
Nath cerita soal pertemuannya dengan Pearl yang nggak sengaja itu. Trus,
kejadian ini. Bisa jadi teror itu ulah dia juga.”
“Masa dia bisa datengin pasukan
setan?” Byungjae tak percaya.
“Pasukan setan?” Nath kaget.
“Bisalah. Pearl punya duit. Tinggal
ke dukun, beres urusan. Karena dia tahu kalau melawan Rue secara terang-terangan
dia nggak mampu.” Dio dengan yakin.
“Ada ya manusia kayak gitu?” Byungjae
masih terheran-heran.
“Tapi masa iya Pearl segitunya ke
Rue? Alasannya apa?” Nath pun sama. Merasa heran. Jika dugaan Dio benar,
baginya tindakan Pearl sangat keterlaluan.
“Itu dugaanku aja. We never know until we found the truth,
right?”
“Nyari buktinya gimana?” Tanya
Byungjae.
“Tanya Rue. Dia yang tahu.”
Rue tiba di ruang tamu dengan
membawa masakannya. Ia memasak mie goreng untuk dimakan bersama-sama.
“Wah. Sedapnya.” Byungjae menghirup
masakan yang dibawa Rue. “Aku siapin alat makannya.” Ia pun bangkit dari
duduknya dan menuju dapur. Di sana Rue telah menyiapkan peralatan makan.
Byungjae pun langsung membawanya ke ruang tamu.
“Rue yang terbaik.” Byungjae kembali
duduk. “Dio kalau nggak bisa duduk bawah, duduk di atas sofa aja nggak papa.”
“Nggak papa ya aku duduk atas.
Maaf.” Dio merasa sungkan.
“Lagian kamu emang ratu kami hari
ini. Hehehe.”
“Ratu apaan. Aku dah bongkar aib
Rigel tau!”
“Ratu Arogan!” Byungjae tergelak.
“Dasar!” Dio memukul pundak
Byungjae.
“Hanjoo. Makan dulu.” Rue meminta
Hanjoo menghentikan aktivitasnya.
“Bentar. Ntar lagi kelar.” Hanjoo
masih fokus menggambar.
“Rue, apa yang dibilang Dio itu
beneran?” Tanya Nath.
“Yang mana?”
“Pearl kirim pasukan setan buat neror
sekolah lewat bantuan dukun.”
“Bisa dong.”
“Ya ampun. Dia itu kenapa sih?
Sampai segitunya ke kamu? Salah kamu apa?”
“Orang yang sedang cemburu itu bisa
jadi sangat mengerikan. Dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh.” Hanjoo
menyahut. Ia meletakkan buku sketsa dan pensilnya. Lalu, bergabung untuk makan.
“Cemburu? Ke Rue?”
“Cemburu itu maknanya luas, Jenna.” Byungjae
bersuara di sela mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Iya juga sih.”
“Gimana masakan Rue?”
“Enak as always.”
Nath dan Byungjae kompak tersenyum.
Rue makan sambil memeriksa
ponselnya. Nath meliriknya, lalu tersenyum. Ia teringat ketika Pearl menegurnya
di food court. Teman masa kecilnya
itu masih mengingat bagaimana Rue selalu menegurnya setiap kali ia makan sambil
membaca buku. Ia masih belum bisa mempercayai jika Pearl bisa bertindak nekat
pada Rue.
Kening Rue berkerut. Dio
menyadarinya dan bertanya, “Kenapa?”
“Pesan dari Yano.”
“Kenapa lagi? Neneknya ngambek?
Kemarin gimana?”
“Monoton. Tetep aja kayak gitu.”
“Itu Yano ngapain kirim pesan?”
“Hari ini Jin Hongjoon nggak masuk
katanya.”
“Trus, ngapain dia ngomong itu ke
kamu? Minta kamu terawangin Jin Hongjoon lagi di mana? Eh, itu anak yang nyasar
waktu jurit malam, kan?”
“Iya. Katanya Esya juga nggak
masuk.”
“Siapa lagi itu?”
“Saudaranya Hongjoon.”
“Trus ngapain Yano ngasih tahu
kamu?”
“Nggak tahu juga.”
“Kamu bales apa?”
“Ntar aja.” Rue meletakkan ponselnya
dan lanjut makan.
Rigel menikmati makan malam bersama
di markas. Lalu, terdengar sebuah ketukan di pintu.
“Hola! Halo! Spada! Kak Rue? Di
dalam?”
Dio menghela napas usai menelan
makanan di dalam mulutnya. “Rio?”
Rue tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa dia selalu dateng saat kamu
masak sih? Aromanya kecium sampek bawah apa?”
Rue mengangkat kedua bahunya.
“Biar aku aja yang buka.” Hanjoo
bangkit dari duduknya dan membuka pintu.
Pemuda bernama Rio yang tinggal di
lantai dasar rumah Kakek Rue itu tersenyum lebar saat pintu terbuka. “Wah! Ada
Kak Hanjoo.” Ia langsung menerobos masuk. “Wah. Lagi pesta. Pantesan aku pengen
banget ke sini. Kali ini Kak Rue masak apa?”
“Mie goreng. Ambil piring kalau
mau.” Jawab Hanjoo seraya berjalan melewati Rio dan kembali duduk.
“Ada yang nitip hadiah lagi?” Tanya
Dio pada Rio yang membawa tas kertas.
“Iya. Namanya Jin Hongjoon. Katanya,
dia murid yang hilang saat jurit malam.” Jawab Rio sembari duduk bergabung.
Rigel kompak menghentikan acara
makan mereka. Baru saja mereka membahas Hongjoon, tiba-tiba Rio datang
membawa hadiah dari Hongjoon. Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo saling
memandang dalam diam.
“Kapan dia nitipnya?” Tanya Dio pada
Rio.
“Semalam. Dia anak orang kaya ya?
Sebagai balasan nitip hadiah ini, dia ngasih aku sekotak coklat impor yang
terkenal dan mahal itu.”
Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo
kembali saling memandang dalam diam.
***
Hongjoon kebingungan. Ketika ia
membuka mata, ia sedang terbaring di padang rumput yang sejuk dan hijau. Ia
bangkit dari tidurnya dan mengamati sekitar. Tidak ada apa-apa selain dirinya
dan padang rumput hijau yang subur.
Hongjoon pun bangkit dan mulai
berjalan. Ia tidak tahu arah. Hanya terus berjalan. Ia tersenyum ketika
menemukan rombongan orang yang sedang berjalan ke satu arah. Hongjoon bergegas
mendekati rombongan itu.
“Permisi. Kalau boleh tahu, kita ini
di mana ya?” Hongjoon mencoba bertanya pada salah satu pria yang sedang
berjalan mengikuti rombongan.
Hongjoon kaget. Pria itu berwajah
pucat dan tatapannya kosong.
“Kenapa kau berdiri di sana! Cepat
masuk ke dalam barisan!” Seorang pria dengan kostum serba hitam membentak
Hongjoon. Lalu, menyeretnya masuk ke dalam barisan.
Walau bingung, Hongjoon tetap
berjalan di dalam barisan. Mengikuti arus.
Hongjoon berjalan mengikuti arus.
Barisan panjang itu sampai di sebuah tempat yang memiliki dua gerbang maha
besar. Terbuat dari besi yang kokoh dengan ukiran-ukiran yang tidak bisa ia
pahami. Di depan gerbang terdapat sebuah pos yang dijaga oleh dua orang pria
yang juga mengenakan kostum serba hitam.
Merasa ada yang aneh, Hongjoon
mengamati penampilannya. Ia mengenakan setelan putih yang baju bagian atasnya
berkerah Shanghai. Ia bingung, karena ia pergi dengan tidak mengenakan kostum
itu.
Hongjoon kembali mengamati sekitar.
Orang-orang di sekitarnya berwajah pucat pasi dan tanpa ekspresi. Ia semakin
dibuat bingung. Tak tahu di mana ia berada.
“Berikutnya!” Panggil salah satu
petugas yang berjaga di bangunan di depan pintu besi raksasa.
Hongjoon maju.
“Nama.”
“Jin Hongjoon.”
“Tanggal lahir.”
“31 Oktober 2003.”
Petugas yang berhadapan dengan buku
catatan maha tebal di hadapannya membolak-balik lembaran buku. “Tidak ada.”
“Tidak ada?” Petugas yang memanggil
dan menanyai Hongjoon bingung.
“Iya. Tidak ada data itu dalam buku
ini.”
Petugas yang memanggil Hongjoon
mengamati Hongjoon dari atas ke bawah. Ia pun mengambil buku bersampul putih.
“Jin Hongjoon, 31 Oktober 2003.” Ia mengucapkan kalimat itu di atas buku maha
tebal bersampul putih.
Hongjoon terkejut ketika melihat
buku itu terbuka sendiri. Lembaran demi lembarannya terbuka. Lalu, berhenti di
satu halaman.
Petugas memeriksa halaman itu, lalu
mendesah. “Kenapa kalian membawa jiwa orang yang masih hidup ke sini?” Ia
menegur orang-orang berkostum hitam yang mengawasi barisan.
Hongjoon terkejut mendengarnya. Jiwa orang yang masih hidup?
“Kau tersesat, Nak. Belum waktunya
bagimu untuk ada di barisan ini.” Petugas itu menjelaskan kepada Hongjoon. “Kembalikan
dia ke dunia asalnya!”
“Tunggu. Tuan, tolong bisa jelaskan
saya diman—” belum selesai Hongjoon bertanya, dua orang bertubuh besar dengan
kostum serba hitam menangkapnya dan menyeretnya keluar barisan.
Hongjoon berusaha berontak, namun
sia-sia. Dua orang itu menyeretnya mendekati sebuah lingkaran maha besar
berwarna putih bersih. Bagian tengah lingkaran itu berputar-putar membentuk
pusaran. Melihatnya, Hongjoon pun ketakutan.
“Tut-tunggu! Apa yang akan kalian
lakukan? Hey!” Hongjoon masih berusaha berontak ketika dua orang pria bertubuh
besar itu mengangkat tubuhnya. Ia menjerit ketika tubuhnya di lemparkan ke
dalam pusaran.
Tubuh Hongjoon berputar-putar.
Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali
pasrah. Setelah cukup lama berputar-putar dalam pusaran, Hongjoon berhasil
lolos. Namun, tubuhnya melayang di udara bebas. Ia terkejut menyadarinya.
“Aaa!!!” Jerit Hongjoon ketika
tubuhnya bergerak bebas ke bawah. Meluncur dalam udara bebas.
“Auw!” Pekik Hongjoon ketika
tubuhnya menimpa sesuatu dan mental, lalu terjatuh di atas sebuah permadani.
Hongjoon tidak merasakan sakit walau
tubuhnya berputar-putar dalam pusaran dan kemudian terjatuh. Ia pun bangkit
dari posisi tengkurap. Ia yang berlutut mengamati karpet biru nan lembut
tempatnya terjatuh.
“Di mana lagi ini?” Gumamnya sambil
mengamati sekitar. Kedua mata sipit Hongjoon melebar ketika ia menemukan
seseorang tengah duduk menekuk kedua kaki di atas sofa.
Seorang anak perempuan yang
menatapnya dengan ekspresi penasaran. Seorang anak perempuan yang ia kenal
sebagai Ruta Way.
Hongjoon tertegun menatap Rue yang
juga menatapnya. Ia bingung, tak tahu bagaimana ia bisa jatuh di depan Rue.
0 comments