AWAKE "Rigel Story" - Bab XVIII

04:40

AWAKE - Rigel Story

 


 


Bab XVIII

 

Rue dan Hanjoo duduk berdampingan di dalam mobil yang membawa keduanya menuju kediaman Morgan, ayah kandung Rue. Setiap kali mengundang Rue untuk datang, Morgan selalu mengirim sopir untuk menjemputnya.
Hanjoo menoleh. Menatap Rue yang diam sejak masuk ke dalam mobil. Ia meraih tangan kanan Rue dan menggenggamnya.
Rue tersadar dari lamunannya ketika Hanjoo tiba-tiba menggenggam tangan kanannya. Ia pun menoleh ke kanan dan bertemu pandang dengan Hanjoo.
Hanjoo tersenyum dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Ia sengaja menggunakan bahasa Korea, karena keduanya berada di dalam mobil bersama utusan Morgan. Ia khawatir Rue akan berkeluh kesah tentang keluarga Yano.
Rue menghela napas. “Aku masih nggak habis pikir. Pearl tega ya sama kita.” Rue pun berbicara dalam bahasa Korea. Ia belajar bahasa Korea dari ayah Hanjoo. Sebelum pria itu meninggal dunia saat Hanjoo kelas V SD.
“Sama. Kasihan Nath. Dia pasti merasa bersalah banget karena dijadiin alat buat mancing kamu. Kalau Dio ngamuk, kamu bakalan halangin dia?”
“Nggak. Dio pantas marah. Dia terluka. Byungjae pun hampir celaka karena ulah Pearl. Biarin aja kalau Dio mau ngamuk ke Pearl. Sekali-kali dia emang perlu digituin.”
Hanjoo menghela napas pelan. “Kenapa sih dia jadi benci banget gitu ke kamu.”
“Karena cowok yang dia taksir, selalu naksir aku.”
Mwo[1]??” Mulut Hanjoo membulat.
Rue tersenyum dan menghela napas. “Kemarin, di toilet, aku nggak sengaja denger Pearl ungkapin hal itu. Aku juga heran. Gara-gara cowok sampai gitu dia. Setelah denger, aku mikir, masa pemicu awalnya Fabian?”
“Fabian? Ah! Dia kan emang deket-deket kamu terus tuh. Kayaknya emang suka ke kamu. Tapi, kamu kan nggak tahu kalau Pearl naksir dia.”
“Itu dia. Pearl nggak coba ngomong juga ke aku. Kebiasaan deh tu anak. Trus, masuk SMA, keulang sama kejadian Kak Nicky.”
Hanjoo menahan tawa mendengarnya. “Mian[2]. Habis lucu sih! Padahal kamu ke Kak Nicky biasa aja, kan? Mana tahu Pearl kalau kamu penasarannya sama cowok yang kirim surat cinta lewat kenek angkot.”
Rue tersenyum lesu, lalu kembali menghela napas.
“Untung ya kamu dijemput. Jadi, tadi bisa nganterin Dio pulang.”
“Mm.” Rue mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan di akhir pekan Dio menginap di tempat tinggal Rue. Kadang, sehabis berburu Hanjoo dan Byungjae pun menginap. Semalam, Byungjae memilih pulang bersama Hanjoo.
“Byungjae udah ngasih kabar?” Tanya Rue.
“Belum. Masih tidur kali dia. Biasa hari Minggu molor. Oya, semalem kenapa aku kayak tersihir gitu ya? Malah terbengong liat Byungjae diseret gitu.”
“Wajar lah. Di situ angker banget emang. Kita kurang persiapan. Emang nggak direncanain, kan? Byungjae langsung lari ngejar apa yang dia liat itu pun ulah mereka lho!”
“Wah! Untung ya kita masih selamat.”
“Mm. Tuhan masih sayang ama kita.”
“Makhluk apa yang nyeret Byungjae?”
“Apa ya, dia mukanya kayak babi, kepala dan mukanya gitu. Giginya runcing-runcing. Kayak orc gitu. Tapi, badannya berlumuran darah. Darah dia itu yang nempel di tangan Byungjae.”
“Ngeri juga ya. Ntar boleh aku gambar?”
Rue menganggukkan kepala.
“Ah! Kita sampai!” Hanjoo melepas genggaman tangannya.

Mobil yang membawa Rue dan Hanjoo memasuki halaman luas dari sebuah rumah megah. Walau pertama kalinya, Hanjoo dan Rue masih saja dibuat kagum setiap kali berkunjung ke rumah mewah Morgan.
Mobil berhenti di depan pintu masuk. Pelayan menghampiri mobil dan membuka pintu untuk Rue. Rue keluar lebih dulu, lalu disusul Hanjoo. Yano tiba-tiba muncul dan berhenti di ambang pintu depan yang terbuka. Ia tersenyum lebar menyambut kehadiran Rue dan Hanjoo. Yano mengajak kedunya masuk. Menuju ruang keluarga, tempat Morgan menunggu.
Ketika sampai di ruang keluarga, Morgan tak sendirian di sana. Ada Nenek Yano yang juga duduk di salah satu sofa. Kakek dan nenek Rue—orang tua Morgan—sudah meninggal. Jadilah Morgan tinggal di rumah mewahnya bersama Yano dan Nenek Yano. Karena hanya Nenek Yano yang tersisa dari keluarga mendiang Ibu Yano.
Rue dan Hanjoo memberi salam. Lalu, segera duduk setelah Morgan mempersilahkan keduanya duduk. Walau Morgan adalah ayah kandungnya, kunjungan Rue ke rumah Morgan tak lebih seperti kunjungan resmi yang singkat. Bukan kunjungan anak untuk menemui ayah yang santai.
Ritual kunjungan resmi itu selalu sama. Berkumpul dan mengobrol sejenak di ruang keluarga, lalu makan siang bersama. Setelah itu Morgan akan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sedang Rue dibebaskan untuk tetap tinggal atau pergi. Karena alasan ini lah Rue sering merasa bosan jika diundang datang ke rumah Morgan. Tapi, ia tetap melakukannya. Demi menghormati sang ayah.
Rue menjadi paham kenapa Yano selalu antusias ketika datang. Karena, pemuda itu kesepian. Ia sempat meragukan kasih sayang Yano padanya. Tapi, pada akhirnya ia paham jika pemuda itu tulus menyayanginya. Walau ia jarang memberi perhatian khusus untuk Yano. Rue yakin kasih sayang itu terbentuk secara alami karena ada darag Morgan yang mengalir di tubuh mereka.
“Papa sangat terkejut ketika mendengar kabar Yano kesurupan di sekolah. Tapi, Papa lega karena Rue yang membantu Yano.” Morgan memulai obrolan.
Dalam batin mereka, Rue dan Hanjoo sudah menduga jika pertemuan hari ini pasti akan membahas masalah itu.
“Tidak bisa kah kau menjaga adikmu dengan baik?” Sahut Nenek Yano ketus. Ekspresinya sangat tak bersahabat saat menatap Rue.
“Nenek, bukankah sudah aku bilang Kak Rue menjagaku dengan baik? Dia bisa saja acuh. Tapi, di hari pertama aku masuk sekolah, Kak Rue lah yang menyapa lebih dulu. Kak Rue tidak mengabaikanku.” Yano membela Rue.
“Aku heran. Apa yang membuatmu selalu membelanya?”
“Karena aku adiknya, dan Kak Rue tidak melakukan sebuah kesalahan.”
Nenek Yano mendesah kasar karena kesal. Yano menatap Rue. Merasa sungkan karena sikap neneknya.
Everything good?” Morgan bertanya pada Rue.
“Iya. Maaf karena saya tidak tahu bagaimana Yano sampai kesurupan. Di sekolah sebaiknya tak sering melamun dan lebih banyak berdoa.”
“Kau pikir cucuku tak pernah berdoa?!” Nada bicara Nenek Yano meninggi. Namun, Rue tetap terlihat tenang.
“Aku akui waktu itu aku melamun. Sebelum tak sadarkan diri, aku melihat sesosok wajah tepat di depanku. Dia menyeringai. Saat aku terkejut, tiba-tiba semua menjadi gelap. Kesurupan itu bukan salah Kak Rue.” Yano kembali membela Rue.
“Pada tahun ajaran baru, sekolah sering dalam keadaan seperti itu. Mungkin karena para penghuni butuh beradaptasi dengan penghuni baru. Karenanya, harus bisa menjaga diri sendiri.” Rue pun turut bicara.
“Bukankah kamu sudah melakukan negosiasi dengan mereka? Harusnya mereka patuh, kan?” Nenek Yano mencibir.
Tak ingin mendebat, Rue pun memilih diam. Hanjoo yang geram pun hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin bicara, namun berusaha keras menahan dirinya. Ia harus tetap diam. Mendebat Nenek Yano tidak akan memberinya keuntungan apa-apa. Karena dari awal Nenek Yano sudah membenci Rue.
“Lagian ngapain kamu milih sekolah itu sih!” Nenek Yano kembali mendesah kasar, lalu beranjak dari duduknya dan pergi.
Yano turut bangkit dari duduknya dan mengejar sang nenek.
Morgan tersenyum melihat tingkah Nenek Yano. “Maafin, Papa. Tapi, Papa pikir lebih baik begini. Kalian saling bertemu.”
“Dan beliau bisa memuntahkan semua amarahnya padaku. Aku paham.” Rue menerima keadaannya.
Morgan tergelak. “Itu belum semua.”
Rue tersenyum melihat sikap santai ayahnya. “Pasti Ayah sangat lelah harus berhadapan dengan beliau setiap hari.”
“Papa lebih banyak di tempat kerja. Kadang Papa merasa kasihan pada Yano dan berharap kau ada di sini bersama kami.”
“Hidupku tidak untuk di dalam sangkar, Ayah. Maaf.”
Morgan tersenyum kecut. “Kau sangat mirip dengan Mamamu.”
“Karena aku anaknya. Apa aku sama sekali tak mirip Ayah?”
Morgan diam sejenak, menyipitkan mata mengamati Rue. “Kau lebih banyak mirip Papa. Kalau tidak bagaimana bisa kau jadi presiden sekolah?”
“Aku setingkat di atas Ayah. Ayah hanya wakil, sedang aku, presiden. Aku lah penguasa yang sebenarnya.”
Morgan kembali tergelak. “Bagaimana lelucon garing itu bisa membuatku tergelak?” Ujarnya.
“Karena kita sama-sama orang yang membosankan.”
Morgan menghentikan tawanya dan menganggukkan kepala. Obrolan pun kembali berlanjut. Masih dengan metode sama; Rue buka suara jika Morgan mengajukan pertanyaan.

Setelah makan siang bersama, Rue dan Hanjoo sejenak menemani Yano. Saat jam menunjukkan pukul tiga sore, Rue minta izin untuk pulang. Kunjungan hari ini lebih lama daripada kunjungan-kunjungan sebelumnya.
Yano mengantar Rue dan Hanjoo menuju teras depan. “Walau hari ini lebih panjang dari sebelumnya, tapi aku masih merasa kurang. Kak Rue, kenapa tidak tinggal di sini saja? Bersama kami.”
“Apa kamu nggak capek selalu ngulang pertanyaan itu?” Tanya Hanjoo.
“Aku terus berharap Kak Rue mau tinggal bersama kami.”
“Alasannya?”
“Agar aku tak kesepian. Aku sering bosan karena sendirian.” Yano mengerucutkan bibirnya.
“Makanya cari teman. Kalau temanmu nggak boleh ke sini, kamu yang ke rumah mereka. Cowok tuh harus banyak bergaul dan melihat dunia luar. Eh, bukannya kamu juga ikut klub sepak bola? Harusnya kamu banyak teman dong?”
Yano mengangkat kedua bahunya.
“Lagian kamu cari masalah. Kenapa milih SMA Horison? Banyak sekolah bagus di kota ini.”
“Aku bosan, capek bergaul sama anak-anak orang kaya. Hobinya saling pamer harta orang tua.”
Yano, Rue, dan Hanjoo sampai di teras.
“Kak, kenapa kita harus sembunyiin status hubungan kita sih?” Tanya Yano sebelum Rue pergi.
“Aku nggak mau kamu dibikin repot karena aku.” Jawab Rue datar.
“Bukannya aku yang repotin Kak Rue?”
Rue mengubah posisinya dan menghadap Yano. “Sekolah sedang tidak stabil. Jaga diri baik-baik. Bisa jadi kita emang nggak bisa sembunyiin fakta bahwa kita kakak adik selamanya. Tapi, selama tidak ada yang mengungkit hal itu, apa perlu kita buka suara dan memamerkan status kita?”
Yano menatap Rue dan diam.
“Terlebih untuk sekarang. Posisimu lebih aman seperti ini. Maafkan aku.”
“Kakak nggak usah minta maaf. Aku yang salah.”
“Nggak ada yang salah.” Hanjoo menengahi. “Wajar kalau kamu pengen semua orang tahu kalau kamu adik Rue. Pasti kamu bangga jadi adik Rue, kan? Bangga punya hubungan sama Rigel yang keren dan hebat.”
“Bangga jadi adik Kak Rue iya. Bangga kenal sama Kak Hanjoo, sama sekali nggak!”
Hanjoo tergelak mendengar pembelaan Yano.
Mobil yang mengantar Rue berhenti di depan teras. Yano menghela napas melihatnya. Waktunya ia berpisah dengan Rue.
“Jangan lesu gitu. Kalau mau, kau bisa main ke markas Rigel. Iya kan, Rue?”
“Mm.” Rue mengangguk. Membenarkan ucapan Hanjoo.
“Beneran?? Aseek! Boleh ajak teman??” Yano girang.
“Boleh. Asal jangan yang rese ya.” Hanjoo menepuk pundak Yano. “Dan, jangan sampai ketahuan nenekmu.” Ia berbisik dekat di telinga Yano.
“Beres!” Yano riang.
“Aku pulang.” Rue pamit pada Yano, lalu masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati di jalan.” Yano melambaikan tangan. Ia menghela napas dan tersenyum ketika mobil yang membawa Rue mulai melaju.
***


Rue dan Hanjoo tak langsung pulang. Keduanya sepakat meminta sopir untuk menurunkan mereka di pinggir jalan. Walau sempat menolak karena takut, sopir akhirnya setuju. Mereka sepakat untuk tutup mulut.
Rue dan Hanjoo melanjutkan perjalanan menuju bengkel tempat Toni bekerja. Rue penasaran pada siapa sebenarnya Toni usai pria itu menolong Byungjae semalam. Karenanya, ia memutuskan untuk menemui Toni.
Toni memiliki usaha sebuah bengkel motor. Walau bengkel itu tergolong kecil, namun selalu ramai. Bukan hanya karena menjadi tempat tongkrongan anak muda di sekitar bengkel. Tapi, juga ramai pelanggan.
Rue dan Dio mengenal Toni secara tidak sengaja. Waktu itu ban motor yang dikendarai Rue dan Dio bocor. Beruntung mereka menemukan bengkal Toni. Sambil menunggu ban ditambal, Rue dan Dio mengobrol. Hingga sampai pada bahasan perburuan yang sering terkendala transportasi.
Toni yang sibuk menambal ban menyela obrolan Rue dan Dio. Lalu, menawarkan jasa transportasi untuk Rigel. Dio tertarik dan menanggapi tawaran Toni. Setelah sepakat, Dio pun mengantongi nomer ponsel Toni. Karena kerja Toni memuaskan, sejak saat itu Dio selalu menghubungi Toni jika membutuhkan transportasi untuk berburu.
Saat Rue dan Hanjoo sampai di bengkel, Toni sedang duduk-duduk dengan beberapa pemuda. Pria itu terkejut melihat Rue tiba-tiba datang ke bengkelnya. Toni pun mengajak Rue dan Hanjoo duduk di teras rumahnya yang berada tepat di belakang bengkel.

“Maaf kalau kami ganggu Om Toni. Bengkel lagi rame ya?” Hanjoo meminta maaf.
“Nggak kok. Ada anak buah yang jaga.” Toni mengepulkan asap rokok dari dalam mulutnya. Lalu, mematikan sisa rokok di tangannya ke dalam asbak. “Maaf ya.” Ia berusaha menghilangan asap rokok yang mengotori udara di sekitar mereka.
“Santai aja Om. Keren ya. Bengkel kecil punya karyawan.”
“Ada dua. Lumayanlah bisa bantu-bantu. Kalau ada perlu, bengkel jadi nggak tutup juga karena ada yang jaga. Kalian ada perlu apa ke sini? Dio bagaimana? Byungjae?”
“Mereka udah baikan. Dio tadi pagi kami antar pulang. Makasih ya Om. Semalam udah bantuin kami. Nggak kebayang nasib Byungjae kalau nggak ada Om.” Hanjoo berterima kasih sambil meletakan satu bungkusan dalam tas plastik berwarna putih ke atas meja.
“Kalian ngapain sih pakek bawa-bawa gini?”
Seorang wanita keluar dari dalam rumah. Membawa nampan berisi tiga cangkir. Ia menyajikan kopi di depan Toni, dan dua cangkir teh di depan Rue dan Hanjoo. “Diminum, Dek.” Ia mempersilahkan.
“Istriku.” Toni memperkenalkan wanita itu.
“Oh! Makasih Tante.”Hanjoo segera berterima kasih. Sedang Rue tersenyum dan menundukan kepala sebagai tanda terima kasih.
“Liat! Mereka bawa oleh-oleh buat kita.” Toni memberikan bingkisan dari Hanjoo pada istrinya.
“Wah. Ngapain repot-repot sih Dek. Makasih ya. Mama kamu lama nggak ke sini Hanjoo. Apa mamamu baik-baik aja?”
Hanjoo dan Rue kompak terkejut mendengar pertanyaan istri Toni. “Iya, baik.” Jawab Hanjoo masih dengan ekspresi terkejut.
“Jangan kaget gitu.” Toni merespon keterkejutan Rue dan Hanjoo dengan santai. “Aku, Rita, dan Berta adalah teman. Wajar kan kalau istriku kenal ibu kalian?”
Rue dan Hanjoo semakin terkejut mendengar fakta yang diungkap Toni.
Jadi, Om Toni kenal Bunda? Batin Rue.
“Tante masuk dulu ya. Silahkan lanjut ngobrol.” Istri Toni pamit.
Toni tersenyum menatap Rue. “Udah terjawab rasa penasaran kamu?”
Rue yang sedikit melamun terkejut. Ia mengangkat kepala dan menatap Toni. “Belum.” Jawabnya singkat.
“Sama kayak kamu dan Hanjoo, aku, Rita, dan Berta juga teman semasa kecil.” Toni, si pria kurus dan jangkung berkulit sawo matang itu mulai bercerita. “Kami tumbuh bersama dan berteman baik. Aku dan Rita menyadari jika Berta memiliki kemampuan tak biasa. Itu hal menarik bagi kami. Boleh dibilang kami mendampingi masa pelatihan Berta, ketika ia dibimbing untuk mengendalikan kemampuannya.”
Rue dan Hanjoo menyimak penjelasan Toni.
“Aku jadi tertarik pada dunia ya sebut saja mistis. Karena aku sering menemai Berta bertemu pembimbingnya. Katanya, aku pun bisa jika mau belajar. Terlebih, katanya aku ada bakat. Jadilah aku terjun ke dunia yang sama seperti yang digeluti ibumu.
“Kalian tumbuh bersama, tapi Rue menunjukkan kebiasaan yang berbeda. Saat itu lah kami menyadari jika Rue memiliki kemampuan yang sama dengan Berta. Termasuk kasus yang langka. Biasanya akan menurun pada beberapa generasi sesudahnya. Tapi, pada Berta langsung pada anaknya.
“Karena hal langka, sedikit berbahaya jika membiarkan kamu tinggal bersama Berta. Karenanya Berta meninggalkan kamu sama kakekmu. Berta memilih mengasingkan diri karena alasan itu. Karena profesinya yang ya sebut saja sebagai dukun baik, Berta memiliki banyak musuh. Sebenarnya, kamu berusaha dimusnahkan sejak di dalam kandungan. Tapi, Tuhan masih memberimu kesempatan untuk hidup.
“Cukup berbahaya jika mengakui kamu sebagai anaknya. Itu kenapa sejak bayi kau diakui sebagai anak Rita. Dengan begitu statusmu tersamarkan. Tapi, tetap saja tidak bisa menutup bakat yang kamu miliki. Berta selalu merasa bersalah setiap kali teringat kamu. Harusnya kau bisa menikmati masa indah dengannya. Tapi, justru ini yang kau dapatkan. Berta selalu meminta maaf tentang itu.”
Toni menatap Rue. Gadis itu terdiam dengan kepala sedikit tertunduk. Toni menghela napas pelan. “Berta memintaku menjagamu. Jika kau menyadarinya, pasti kau sering melihatku di sekitar tempat tinggalmu. Hingga hari itu tiba dan sampai di sini lah kita.”
Suasana berubah canggung. Rue masih bungkam usai mendengarkan penjelasan Toni.
“Takdir yang unik ya.” Hanjoo mencoba mencairkan suasana.
“Berta sangat menyayangi kamu, Rue. Bahkan ia bangga pada apa yang kau lakukan sekarang. Dia tidak marah. Dia percaya, Ruta Way adalah gadis yang mandiri dan bisa menjaga diri.”
Rue tertunduk semakin dalam. Rasa sesak memenuhi dadanya. Kedua mata yang ia pejamkan terasa panas. Pada akhirnya pertahanannya pun tumbang. Rue menangis.
***


Mobil sedan hitam itu berhenti. Hongjoon yang duduk di kursi belakang mengamati rumah berukuran sedang di samping kiri mobilnya. Walau letaknya di tepi jalan raya utama, rumah itu tak dilindungi pagar.
Hongjoon menghela napas. Ia meraih tas kertas di samping kirinya dan membawanya. Ia pun turun dan berjalan mendekati rumah yang menurut informasi dari neneknya adalah rumah Rue.
Apa sopan langsung bertamu ke rumah gadis seperti ini? Hongjoon bertanya dalam hati. Tapi, katanya Kak Rue tinggal sendirian. Bagaimana ya? Aduh! Kenapa aku aku jadi gugup begini?
Hongjoon menggerak-gerakan kedua kakinya demi mengusir rasa gugup yang menggerayangi dirinya. Hari sudah gelap, harusnya dia sudah di rumah, kan? Tapi, bagaimana jika Kak Dio, Kak Byungjae, dan Kak Hanjoo bersamanya? Gawat dong! Aduh! Bagaimana ini?
Seorang pemuda yang berjalan dari arah utara memperhatikan tingkah Hongjoon. Ia pun mendekati Hongjoon. “Sedang apa kau?”
Hongjoon berjingkat kaget. Ia menoleh ke arah kanan. Seorang pemuda berdiri jarak satu langkah dan sedang mengamatinya. Ia pun balas mengamati pemuda itu.
Sasaeng fansnya Rigel ya?” Tuduh pemuda itu.
Hongjoon pun terkejut mendengar tuduhan itu. Sasaeng fans adalah sebutan untuk penggemar yang sangat obsesif dalam dunia Kpop.
“Buk-bukan.” Hongjoon membantah. “Kak-kau kenal Rigel?”
“Aku tinggal di rumah itu.” Jawab pemuda yang kira-kira masih SMP itu santai.
Lagi-lagi Hongjoon kaget. Anak ini tinggal di sini??
“Ada perlu apa?”
“Rue. Aku mencari Rue.”
“Oh. Temannya Kak Rue. Dia belum datang kayaknya. Dia tinggal di atap rumah kami.”
Atap??
Rooftop. Tahu tidak? Eh, ini bukan rumah kami sih. Tapi, rumah Kak Rue. Kami yang menumpang.” Pemuda itu tersenyum canggung.
Bagaimana si pemilik rumah justru tinggal di atap?? Hongjoon menatap pemuda itu dengan tatapan ngeri.
“Kak Rue belum pulang.”
“Dia kemana?”
“Walau selalu berpamitan pada ayah dan ibuku, dia tidak pernah menjelaskan detailnya akan kemana.”
Hongjoon diam sejenak. “Kira-kira kapan pulang?”
“Nggak tentu. Dia udah pergi dari pagi. Kenapa nggak coba Kakak telpon aja.”
“Aku nggak punya nomer ponsel Rue.”
“Ha?? Teman kok nggak punya? Atauu... jangan-jangan Kakak fansnya Rigel ya? Ngaku aja nggak papa. Sering kok ada yang kayak Kakak gini. Ngaku temen Kak Rue. Padahal cuman fans Rigel. Tas itu, isinya hadiah kan?”
Walau benar tas yang ia bawa berisi hadiah, tapi Hongjoon tidak terima disebut sebagai fans Rigel. Ia datang untuk mencari Rue. Walau Rue adalah bagian dari Rigel, tapi ia bukanlah fans Rigel.
“Nah! Iya, kan??” Pemuda itu percaya diri. “Silahkan aja kalau mau nunggu.” Pemuda itu hendak pergi.
“Tunggu!” Hongjoon menahan pemuda yang mengaku tinggal di rumah Rue itu. “Aku bukan fans Rigel. Tapi, aku adik kelas Rue di SMA Horison.”
“Banyak yang ngaku gitu juga.”
Hongjoon kesal mendengarnya. “Aku baru pertama kali ini kemari dan ingin bertemu Kak Rue.”
“Ada juga yang mengaku begitu.”
Hongjoon makin kesal. “Aku murid yang hilang di jurit malam saat MPLS dan ditolong Rue.”
Pemuda itu terdiam. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar dari sana.
“Aku datang untuk berterima kasih karena Rue menolongku.”
“Harusnya kau panggil dia, Kak. Kakak kan juniornya.”
Hongjoon menghela napas dalam diam.
“Tapi, tetap saja Kak Rue belum datang dan aku tidak tahu kapan dia pulang. Dia punya tangga sendiri menuju rooftop. Jadi, kami sering tidak tahu kapan dia datang.” Pemuda itu menunjuk tangga yang berada di samping kiri rumah. “Kalau mau nunggu sih silahkan.”
Hongjoon diam sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan. “Apa ada yang menitipkan hadiah padamu? Saat mereka tak berhasil bertemu Kak Rue?”
“Ada.”
“Kalau begitu, boleh aku titip padamu? Ah! Sebentar.” Hongjoon kembali ke mobilnya. Lalu, buru-buru kembali ke hadapan pemuda yang menunggunya. “Tolong berikan ini pada Kak Rue. Katakan saja dari Jin Hongjoon. Dia sudah tahu itu aku. Dan, ini untukmu.”
Mulut pemuda itu ternganga melihat apa yang disodorkan Hongjoon. Sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal.
“Bisa tolong aku?”
“Ah! Iya. Bisa, bisa, Kak!” Pemuda itu meraih sekotak coklat pemberian Hongjoon lalu menerima bingkisan untuk Rue. “Akan aku katakana, Kak Jin Hongjoon datang mencari Kak Rue untuk berterima kasih dan meninggalkan bingkisan ini karena lama menunggu Kak Rue nggak datang-datang.” Pemuda itu antusias.
“Tapi, kenapa kakak nggak coba nunggu Kak Rue?” Pemuda itu penasaran.
“Maunya begitu. Sayangnya aku buru-buru.”
“Wah. Sayang sekali. Tapi, jangan khawatir. Pesan kakak pasti akan aku sampaikan.”
“Terima kasih ya.”

Wajah Hongjoon dipenuhi senyum. Ia lega bisa menyampaikan bingkisannya untuk Rue. Ia membayangkan bagaimana reaksi Rue ketika menerima bingkisan itu. Ia berharap Rue menyukainya. Hongjoon terkejut karena mobilnya tiba-tiba mengalami benturan keras. Setelah itu, hanya kegelapan yang ia lihat. Semua gelap dan ia tak tahu sedang berada di mana.
***


[1] Apa??
[2] Maaf
 


 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews