Rue dan Hanjoo duduk berdampingan di
dalam mobil yang membawa keduanya menuju kediaman Morgan, ayah kandung Rue.
Setiap kali mengundang Rue untuk datang, Morgan selalu mengirim sopir untuk
menjemputnya.
Hanjoo menoleh. Menatap Rue yang
diam sejak masuk ke dalam mobil. Ia meraih tangan kanan Rue dan menggenggamnya.
Rue tersadar dari lamunannya ketika
Hanjoo tiba-tiba menggenggam tangan kanannya. Ia pun menoleh ke kanan dan
bertemu pandang dengan Hanjoo.
Hanjoo tersenyum dan berkata, “Semua
akan baik-baik saja.” Ia sengaja menggunakan bahasa Korea, karena keduanya
berada di dalam mobil bersama utusan Morgan. Ia khawatir Rue akan berkeluh
kesah tentang keluarga Yano.
Rue menghela napas. “Aku masih nggak
habis pikir. Pearl tega ya sama kita.” Rue pun berbicara dalam bahasa Korea. Ia
belajar bahasa Korea dari ayah Hanjoo. Sebelum pria itu meninggal dunia saat
Hanjoo kelas V SD.
“Sama. Kasihan Nath. Dia pasti
merasa bersalah banget karena dijadiin alat buat mancing kamu. Kalau Dio
ngamuk, kamu bakalan halangin dia?”
“Nggak. Dio pantas marah. Dia
terluka. Byungjae pun hampir celaka karena ulah Pearl. Biarin aja kalau Dio mau
ngamuk ke Pearl. Sekali-kali dia emang perlu digituin.”
Hanjoo menghela napas pelan. “Kenapa
sih dia jadi benci banget gitu ke kamu.”
“Karena cowok yang dia taksir,
selalu naksir aku.”
Rue tersenyum dan menghela napas. “Kemarin,
di toilet, aku nggak sengaja denger Pearl ungkapin hal itu. Aku juga heran.
Gara-gara cowok sampai gitu dia. Setelah denger, aku mikir, masa pemicu awalnya
Fabian?”
“Fabian? Ah! Dia kan emang
deket-deket kamu terus tuh. Kayaknya emang suka ke kamu. Tapi, kamu kan nggak
tahu kalau Pearl naksir dia.”
“Itu dia. Pearl nggak coba ngomong
juga ke aku. Kebiasaan deh tu anak. Trus, masuk SMA, keulang sama kejadian Kak
Nicky.”
Hanjoo menahan tawa mendengarnya. “Mian[2].
Habis lucu sih! Padahal kamu ke Kak Nicky biasa aja, kan? Mana tahu Pearl kalau
kamu penasarannya sama cowok yang kirim surat cinta lewat kenek angkot.”
Rue tersenyum lesu, lalu kembali
menghela napas.
“Untung ya kamu dijemput. Jadi, tadi
bisa nganterin Dio pulang.”
“Mm.” Rue mengangguk. Sudah menjadi
kebiasaan di akhir pekan Dio menginap di tempat tinggal Rue. Kadang, sehabis
berburu Hanjoo dan Byungjae pun menginap. Semalam, Byungjae memilih pulang
bersama Hanjoo.
“Byungjae udah ngasih kabar?” Tanya
Rue.
“Belum. Masih tidur kali dia. Biasa
hari Minggu molor. Oya, semalem kenapa aku kayak tersihir gitu ya? Malah
terbengong liat Byungjae diseret gitu.”
“Wajar lah. Di situ angker banget
emang. Kita kurang persiapan. Emang nggak direncanain, kan? Byungjae langsung
lari ngejar apa yang dia liat itu pun ulah mereka lho!”
“Wah! Untung ya kita masih selamat.”
“Mm. Tuhan masih sayang ama kita.”
“Makhluk apa yang nyeret Byungjae?”
“Apa ya, dia mukanya kayak babi,
kepala dan mukanya gitu. Giginya runcing-runcing. Kayak orc gitu. Tapi, badannya berlumuran darah. Darah dia itu yang
nempel di tangan Byungjae.”
“Ngeri juga ya. Ntar boleh aku
gambar?”
Rue menganggukkan kepala.
“Ah! Kita sampai!” Hanjoo melepas
genggaman tangannya.
Mobil yang membawa Rue dan Hanjoo
memasuki halaman luas dari sebuah rumah megah. Walau pertama kalinya, Hanjoo
dan Rue masih saja dibuat kagum setiap kali berkunjung ke rumah mewah Morgan.
Mobil berhenti di depan pintu masuk.
Pelayan menghampiri mobil dan membuka pintu untuk Rue. Rue keluar lebih dulu,
lalu disusul Hanjoo. Yano tiba-tiba muncul dan berhenti di ambang pintu depan
yang terbuka. Ia tersenyum lebar menyambut kehadiran Rue dan Hanjoo. Yano
mengajak kedunya masuk. Menuju ruang keluarga, tempat Morgan menunggu.
Ketika sampai di ruang keluarga,
Morgan tak sendirian di sana. Ada Nenek Yano yang juga duduk di salah satu
sofa. Kakek dan nenek Rue—orang tua Morgan—sudah meninggal. Jadilah Morgan
tinggal di rumah mewahnya bersama Yano dan Nenek Yano. Karena hanya Nenek Yano
yang tersisa dari keluarga mendiang Ibu Yano.
Rue dan Hanjoo memberi salam. Lalu,
segera duduk setelah Morgan mempersilahkan keduanya duduk. Walau Morgan adalah
ayah kandungnya, kunjungan Rue ke rumah Morgan tak lebih seperti kunjungan
resmi yang singkat. Bukan kunjungan anak untuk menemui ayah yang santai.
Ritual kunjungan resmi itu selalu
sama. Berkumpul dan mengobrol sejenak di ruang keluarga, lalu makan siang
bersama. Setelah itu Morgan akan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sedang Rue
dibebaskan untuk tetap tinggal atau pergi. Karena alasan ini lah Rue sering
merasa bosan jika diundang datang ke rumah Morgan. Tapi, ia tetap melakukannya.
Demi menghormati sang ayah.
Rue menjadi paham kenapa Yano selalu
antusias ketika datang. Karena, pemuda itu kesepian. Ia sempat meragukan kasih
sayang Yano padanya. Tapi, pada akhirnya ia paham jika pemuda itu tulus
menyayanginya. Walau ia jarang memberi perhatian khusus untuk Yano. Rue yakin
kasih sayang itu terbentuk secara alami karena ada darag Morgan yang mengalir
di tubuh mereka.
“Papa sangat terkejut ketika
mendengar kabar Yano kesurupan di sekolah. Tapi, Papa lega karena Rue yang
membantu Yano.” Morgan memulai obrolan.
Dalam batin mereka, Rue dan Hanjoo
sudah menduga jika pertemuan hari ini pasti akan membahas masalah itu.
“Tidak bisa kah kau menjaga adikmu
dengan baik?” Sahut Nenek Yano ketus. Ekspresinya sangat tak bersahabat saat
menatap Rue.
“Nenek, bukankah sudah aku bilang
Kak Rue menjagaku dengan baik? Dia bisa saja acuh. Tapi, di hari pertama aku
masuk sekolah, Kak Rue lah yang menyapa lebih dulu. Kak Rue tidak
mengabaikanku.” Yano membela Rue.
“Aku heran. Apa yang membuatmu
selalu membelanya?”
“Karena aku adiknya, dan Kak Rue
tidak melakukan sebuah kesalahan.”
Nenek Yano mendesah kasar karena
kesal. Yano menatap Rue. Merasa sungkan karena sikap neneknya.
“Everything
good?” Morgan bertanya pada Rue.
“Iya. Maaf karena saya tidak tahu
bagaimana Yano sampai kesurupan. Di sekolah sebaiknya tak sering melamun dan
lebih banyak berdoa.”
“Kau pikir cucuku tak pernah
berdoa?!” Nada bicara Nenek Yano meninggi. Namun, Rue tetap terlihat tenang.
“Aku akui waktu itu aku melamun.
Sebelum tak sadarkan diri, aku melihat sesosok wajah tepat di depanku. Dia
menyeringai. Saat aku terkejut, tiba-tiba semua menjadi gelap. Kesurupan itu
bukan salah Kak Rue.” Yano kembali membela Rue.
“Pada tahun ajaran baru, sekolah
sering dalam keadaan seperti itu. Mungkin karena para penghuni butuh
beradaptasi dengan penghuni baru. Karenanya, harus bisa menjaga diri sendiri.” Rue
pun turut bicara.
“Bukankah kamu sudah melakukan
negosiasi dengan mereka? Harusnya mereka patuh, kan?” Nenek Yano mencibir.
Tak ingin mendebat, Rue pun memilih
diam. Hanjoo yang geram pun hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin
bicara, namun berusaha keras menahan dirinya. Ia harus tetap diam. Mendebat
Nenek Yano tidak akan memberinya keuntungan apa-apa. Karena dari awal Nenek
Yano sudah membenci Rue.
“Lagian ngapain kamu milih sekolah
itu sih!” Nenek Yano kembali mendesah kasar, lalu beranjak dari duduknya dan
pergi.
Yano turut bangkit dari duduknya dan
mengejar sang nenek.
Morgan tersenyum melihat tingkah
Nenek Yano. “Maafin, Papa. Tapi, Papa pikir lebih baik begini. Kalian saling
bertemu.”
“Dan beliau bisa memuntahkan semua
amarahnya padaku. Aku paham.” Rue menerima keadaannya.
Morgan tergelak. “Itu belum semua.”
Rue tersenyum melihat sikap santai
ayahnya. “Pasti Ayah sangat lelah harus berhadapan dengan beliau setiap hari.”
“Papa lebih banyak di tempat kerja.
Kadang Papa merasa kasihan pada Yano dan berharap kau ada di sini bersama
kami.”
“Hidupku tidak untuk di dalam
sangkar, Ayah. Maaf.”
Morgan tersenyum kecut. “Kau sangat
mirip dengan Mamamu.”
“Karena aku anaknya. Apa aku sama
sekali tak mirip Ayah?”
Morgan diam sejenak, menyipitkan
mata mengamati Rue. “Kau lebih banyak mirip Papa. Kalau tidak bagaimana bisa
kau jadi presiden sekolah?”
“Aku setingkat di atas Ayah. Ayah
hanya wakil, sedang aku, presiden. Aku lah penguasa yang sebenarnya.”
Morgan kembali tergelak. “Bagaimana
lelucon garing itu bisa membuatku tergelak?” Ujarnya.
“Karena kita sama-sama orang yang
membosankan.”
Morgan menghentikan tawanya dan
menganggukkan kepala. Obrolan pun kembali berlanjut. Masih dengan metode sama;
Rue buka suara jika Morgan mengajukan pertanyaan.
Setelah makan siang bersama, Rue dan
Hanjoo sejenak menemani Yano. Saat jam menunjukkan pukul tiga sore, Rue minta
izin untuk pulang. Kunjungan hari ini lebih lama daripada kunjungan-kunjungan
sebelumnya.
Yano mengantar Rue dan Hanjoo menuju
teras depan. “Walau hari ini lebih panjang dari sebelumnya, tapi aku masih
merasa kurang. Kak Rue, kenapa tidak tinggal di sini saja? Bersama kami.”
“Apa kamu nggak capek selalu ngulang
pertanyaan itu?” Tanya Hanjoo.
“Aku terus berharap Kak Rue mau
tinggal bersama kami.”
“Alasannya?”
“Agar aku tak kesepian. Aku sering
bosan karena sendirian.” Yano mengerucutkan bibirnya.
“Makanya cari teman. Kalau temanmu
nggak boleh ke sini, kamu yang ke rumah mereka. Cowok tuh harus banyak bergaul
dan melihat dunia luar. Eh, bukannya kamu juga ikut klub sepak bola? Harusnya
kamu banyak teman dong?”
Yano mengangkat kedua bahunya.
“Lagian kamu cari masalah. Kenapa
milih SMA Horison? Banyak sekolah bagus di kota ini.”
“Aku bosan, capek bergaul sama
anak-anak orang kaya. Hobinya saling pamer harta orang tua.”
Yano, Rue, dan Hanjoo sampai di
teras.
“Kak, kenapa kita harus sembunyiin
status hubungan kita sih?” Tanya Yano sebelum Rue pergi.
“Aku nggak mau kamu dibikin repot
karena aku.” Jawab Rue datar.
“Bukannya aku yang repotin Kak Rue?”
Rue mengubah posisinya dan menghadap
Yano. “Sekolah sedang tidak stabil. Jaga diri baik-baik. Bisa jadi kita emang
nggak bisa sembunyiin fakta bahwa kita kakak adik selamanya. Tapi, selama tidak
ada yang mengungkit hal itu, apa perlu kita buka suara dan memamerkan status
kita?”
Yano menatap Rue dan diam.
“Terlebih untuk sekarang. Posisimu
lebih aman seperti ini. Maafkan aku.”
“Kakak nggak usah minta maaf. Aku
yang salah.”
“Nggak ada yang salah.” Hanjoo
menengahi. “Wajar kalau kamu pengen semua orang tahu kalau kamu adik Rue. Pasti
kamu bangga jadi adik Rue, kan? Bangga punya hubungan sama Rigel yang keren dan
hebat.”
“Bangga jadi adik Kak Rue iya.
Bangga kenal sama Kak Hanjoo, sama sekali nggak!”
Hanjoo tergelak mendengar pembelaan
Yano.
Mobil yang mengantar Rue berhenti di
depan teras. Yano menghela napas melihatnya. Waktunya ia berpisah dengan Rue.
“Jangan lesu gitu. Kalau mau, kau
bisa main ke markas Rigel. Iya kan, Rue?”
“Mm.” Rue mengangguk. Membenarkan
ucapan Hanjoo.
“Beneran?? Aseek! Boleh ajak
teman??” Yano girang.
“Boleh. Asal jangan yang rese ya.”
Hanjoo menepuk pundak Yano. “Dan, jangan sampai ketahuan nenekmu.” Ia berbisik
dekat di telinga Yano.
“Beres!” Yano riang.
“Aku pulang.” Rue pamit pada Yano,
lalu masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati di jalan.” Yano
melambaikan tangan. Ia menghela napas dan tersenyum ketika mobil yang membawa
Rue mulai melaju.
***
Rue dan Hanjoo tak langsung pulang.
Keduanya sepakat meminta sopir untuk menurunkan mereka di pinggir jalan. Walau
sempat menolak karena takut, sopir akhirnya setuju. Mereka sepakat untuk tutup
mulut.
Rue dan Hanjoo melanjutkan
perjalanan menuju bengkel tempat Toni bekerja. Rue penasaran pada siapa
sebenarnya Toni usai pria itu menolong Byungjae semalam. Karenanya, ia
memutuskan untuk menemui Toni.
Toni memiliki usaha sebuah bengkel
motor. Walau bengkel itu tergolong kecil, namun selalu ramai. Bukan hanya
karena menjadi tempat tongkrongan anak muda di sekitar bengkel. Tapi, juga
ramai pelanggan.
Rue dan Dio mengenal Toni secara tidak
sengaja. Waktu itu ban motor yang dikendarai Rue dan Dio bocor. Beruntung
mereka menemukan bengkal Toni. Sambil menunggu ban ditambal, Rue dan Dio
mengobrol. Hingga sampai pada bahasan perburuan yang sering terkendala
transportasi.
Toni yang sibuk menambal ban menyela
obrolan Rue dan Dio. Lalu, menawarkan jasa transportasi untuk Rigel. Dio
tertarik dan menanggapi tawaran Toni. Setelah sepakat, Dio pun mengantongi
nomer ponsel Toni. Karena kerja Toni memuaskan, sejak saat itu Dio selalu
menghubungi Toni jika membutuhkan transportasi untuk berburu.
Saat Rue dan Hanjoo sampai di
bengkel, Toni sedang duduk-duduk dengan beberapa pemuda. Pria itu terkejut
melihat Rue tiba-tiba datang ke bengkelnya. Toni pun mengajak Rue dan Hanjoo
duduk di teras rumahnya yang berada tepat di belakang bengkel.
“Maaf kalau kami ganggu Om Toni.
Bengkel lagi rame ya?” Hanjoo meminta maaf.
“Nggak kok. Ada anak buah yang
jaga.” Toni mengepulkan asap rokok dari dalam mulutnya. Lalu, mematikan sisa
rokok di tangannya ke dalam asbak. “Maaf ya.” Ia berusaha menghilangan asap
rokok yang mengotori udara di sekitar mereka.
“Santai aja Om. Keren ya. Bengkel
kecil punya karyawan.”
“Ada dua. Lumayanlah bisa
bantu-bantu. Kalau ada perlu, bengkel jadi nggak tutup juga karena ada yang
jaga. Kalian ada perlu apa ke sini? Dio bagaimana? Byungjae?”
“Mereka udah baikan. Dio tadi pagi
kami antar pulang. Makasih ya Om. Semalam udah bantuin kami. Nggak kebayang
nasib Byungjae kalau nggak ada Om.” Hanjoo berterima kasih sambil meletakan
satu bungkusan dalam tas plastik berwarna putih ke atas meja.
“Kalian ngapain sih pakek bawa-bawa
gini?”
Seorang wanita keluar dari dalam
rumah. Membawa nampan berisi tiga cangkir. Ia menyajikan kopi di depan Toni,
dan dua cangkir teh di depan Rue dan Hanjoo. “Diminum, Dek.” Ia mempersilahkan.
“Istriku.” Toni memperkenalkan
wanita itu.
“Oh! Makasih Tante.”Hanjoo segera
berterima kasih. Sedang Rue tersenyum dan menundukan kepala sebagai tanda
terima kasih.
“Liat! Mereka bawa oleh-oleh buat
kita.” Toni memberikan bingkisan dari Hanjoo pada istrinya.
“Wah. Ngapain repot-repot sih Dek.
Makasih ya. Mama kamu lama nggak ke sini Hanjoo. Apa mamamu baik-baik aja?”
Hanjoo dan Rue kompak terkejut mendengar
pertanyaan istri Toni. “Iya, baik.” Jawab Hanjoo masih dengan ekspresi
terkejut.
“Jangan kaget gitu.” Toni merespon
keterkejutan Rue dan Hanjoo dengan santai. “Aku, Rita, dan Berta adalah teman.
Wajar kan kalau istriku kenal ibu kalian?”
Rue dan Hanjoo semakin terkejut
mendengar fakta yang diungkap Toni.
Jadi, Om Toni kenal Bunda?
Batin Rue.
“Tante masuk dulu ya. Silahkan
lanjut ngobrol.” Istri Toni pamit.
Toni tersenyum menatap Rue. “Udah
terjawab rasa penasaran kamu?”
Rue yang sedikit melamun terkejut.
Ia mengangkat kepala dan menatap Toni. “Belum.” Jawabnya singkat.
“Sama kayak kamu dan Hanjoo, aku,
Rita, dan Berta juga teman semasa kecil.” Toni, si pria kurus dan jangkung
berkulit sawo matang itu mulai bercerita. “Kami tumbuh bersama dan berteman
baik. Aku dan Rita menyadari jika Berta memiliki kemampuan tak biasa. Itu hal
menarik bagi kami. Boleh dibilang kami mendampingi masa pelatihan Berta, ketika
ia dibimbing untuk mengendalikan kemampuannya.”
Rue dan Hanjoo menyimak penjelasan
Toni.
“Aku jadi tertarik pada dunia ya
sebut saja mistis. Karena aku sering menemai Berta bertemu pembimbingnya.
Katanya, aku pun bisa jika mau belajar. Terlebih, katanya aku ada bakat.
Jadilah aku terjun ke dunia yang sama seperti yang digeluti ibumu.
“Kalian tumbuh bersama, tapi Rue
menunjukkan kebiasaan yang berbeda. Saat itu lah kami menyadari jika Rue
memiliki kemampuan yang sama dengan Berta. Termasuk kasus yang langka. Biasanya
akan menurun pada beberapa generasi sesudahnya. Tapi, pada Berta langsung pada
anaknya.
“Karena hal langka, sedikit
berbahaya jika membiarkan kamu tinggal bersama Berta. Karenanya Berta
meninggalkan kamu sama kakekmu. Berta memilih mengasingkan diri karena alasan
itu. Karena profesinya yang ya sebut saja sebagai dukun baik, Berta memiliki
banyak musuh. Sebenarnya, kamu berusaha dimusnahkan sejak di dalam kandungan.
Tapi, Tuhan masih memberimu kesempatan untuk hidup.
“Cukup berbahaya jika mengakui kamu
sebagai anaknya. Itu kenapa sejak bayi kau diakui sebagai anak Rita. Dengan
begitu statusmu tersamarkan. Tapi, tetap saja tidak bisa menutup bakat yang
kamu miliki. Berta selalu merasa bersalah setiap kali teringat kamu. Harusnya
kau bisa menikmati masa indah dengannya. Tapi, justru ini yang kau dapatkan.
Berta selalu meminta maaf tentang itu.”
Toni menatap Rue. Gadis itu terdiam
dengan kepala sedikit tertunduk. Toni menghela napas pelan. “Berta memintaku
menjagamu. Jika kau menyadarinya, pasti kau sering melihatku di sekitar tempat
tinggalmu. Hingga hari itu tiba dan sampai di sini lah kita.”
Suasana berubah canggung. Rue masih
bungkam usai mendengarkan penjelasan Toni.
“Takdir yang unik ya.” Hanjoo
mencoba mencairkan suasana.
“Berta sangat menyayangi kamu, Rue.
Bahkan ia bangga pada apa yang kau lakukan sekarang. Dia tidak marah. Dia
percaya, Ruta Way adalah gadis yang mandiri dan bisa menjaga diri.”
Rue tertunduk semakin dalam. Rasa
sesak memenuhi dadanya. Kedua mata yang ia pejamkan terasa panas. Pada akhirnya
pertahanannya pun tumbang. Rue menangis.
***
Mobil sedan hitam itu berhenti.
Hongjoon yang duduk di kursi belakang mengamati rumah berukuran sedang di
samping kiri mobilnya. Walau letaknya di tepi jalan raya utama, rumah itu tak
dilindungi pagar.
Hongjoon menghela napas. Ia meraih
tas kertas di samping kirinya dan membawanya. Ia pun turun dan berjalan
mendekati rumah yang menurut informasi dari neneknya adalah rumah Rue.
Apa sopan langsung bertamu ke rumah gadis seperti ini? Hongjoon bertanya dalam hati. Tapi, katanya Kak Rue tinggal sendirian. Bagaimana ya? Aduh! Kenapa aku
aku jadi gugup begini?
Hongjoon menggerak-gerakan kedua
kakinya demi mengusir rasa gugup yang menggerayangi dirinya. Hari sudah gelap, harusnya dia sudah di
rumah, kan? Tapi, bagaimana jika Kak Dio, Kak Byungjae, dan Kak Hanjoo
bersamanya? Gawat dong! Aduh! Bagaimana ini?
Seorang pemuda yang berjalan dari
arah utara memperhatikan tingkah Hongjoon. Ia pun mendekati Hongjoon. “Sedang
apa kau?”
Hongjoon berjingkat kaget. Ia
menoleh ke arah kanan. Seorang pemuda berdiri jarak satu langkah dan sedang
mengamatinya. Ia pun balas mengamati pemuda itu.
“Sasaeng
fansnya Rigel ya?” Tuduh pemuda itu.
Hongjoon pun terkejut mendengar
tuduhan itu. Sasaeng fans adalah
sebutan untuk penggemar yang sangat obsesif dalam dunia Kpop.
“Aku tinggal di rumah itu.” Jawab
pemuda yang kira-kira masih SMP itu santai.
Lagi-lagi Hongjoon kaget. Anak ini tinggal di sini??
“Ada perlu apa?”
“Rue. Aku mencari Rue.”
“Oh. Temannya Kak Rue. Dia belum
datang kayaknya. Dia tinggal di atap rumah kami.”
Atap??
“Rooftop.
Tahu tidak? Eh, ini bukan rumah kami sih. Tapi, rumah Kak Rue. Kami yang menumpang.”
Pemuda itu tersenyum canggung.
Bagaimana si pemilik rumah justru tinggal di atap?? Hongjoon menatap pemuda itu dengan tatapan ngeri.
“Kak Rue belum pulang.”
“Dia kemana?”
“Walau selalu berpamitan pada ayah
dan ibuku, dia tidak pernah menjelaskan detailnya akan kemana.”
Hongjoon diam sejenak. “Kira-kira
kapan pulang?”
“Nggak tentu. Dia udah pergi dari
pagi. Kenapa nggak coba Kakak telpon aja.”
“Aku nggak punya nomer ponsel Rue.”
“Ha?? Teman kok nggak punya?
Atauu... jangan-jangan Kakak fansnya Rigel ya? Ngaku aja nggak papa. Sering kok
ada yang kayak Kakak gini. Ngaku temen Kak Rue. Padahal cuman fans Rigel. Tas
itu, isinya hadiah kan?”
Walau benar tas yang ia bawa berisi
hadiah, tapi Hongjoon tidak terima disebut sebagai fans Rigel. Ia datang untuk
mencari Rue. Walau Rue adalah bagian dari Rigel, tapi ia bukanlah fans Rigel.
“Nah! Iya, kan??” Pemuda itu percaya
diri. “Silahkan aja kalau mau nunggu.” Pemuda itu hendak pergi.
“Tunggu!” Hongjoon menahan pemuda
yang mengaku tinggal di rumah Rue itu. “Aku bukan fans Rigel. Tapi, aku adik
kelas Rue di SMA Horison.”
“Banyak yang ngaku gitu juga.”
Hongjoon kesal mendengarnya. “Aku
baru pertama kali ini kemari dan ingin bertemu Kak Rue.”
“Ada juga yang mengaku begitu.”
Hongjoon makin kesal. “Aku murid
yang hilang di jurit malam saat MPLS dan ditolong Rue.”
Pemuda itu terdiam. Mulutnya
terbuka, namun tak ada kata yang keluar dari sana.
“Aku datang untuk berterima kasih
karena Rue menolongku.”
“Harusnya kau panggil dia, Kak.
Kakak kan juniornya.”
Hongjoon menghela napas dalam diam.
“Tapi, tetap saja Kak Rue belum
datang dan aku tidak tahu kapan dia pulang. Dia punya tangga sendiri menuju rooftop. Jadi, kami sering tidak tahu
kapan dia datang.” Pemuda itu menunjuk tangga yang berada di samping kiri rumah.
“Kalau mau nunggu sih silahkan.”
Hongjoon diam sejenak. Memikirkan
apa yang harus ia lakukan. “Apa ada yang menitipkan hadiah padamu? Saat mereka
tak berhasil bertemu Kak Rue?”
“Ada.”
“Kalau begitu, boleh aku titip
padamu? Ah! Sebentar.” Hongjoon kembali ke mobilnya. Lalu, buru-buru kembali ke
hadapan pemuda yang menunggunya. “Tolong berikan ini pada Kak Rue. Katakan saja
dari Jin Hongjoon. Dia sudah tahu itu aku. Dan, ini untukmu.”
Mulut pemuda itu ternganga melihat
apa yang disodorkan Hongjoon. Sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal.
“Bisa tolong aku?”
“Ah! Iya. Bisa, bisa, Kak!” Pemuda
itu meraih sekotak coklat pemberian Hongjoon lalu menerima bingkisan untuk Rue.
“Akan aku katakana, Kak Jin Hongjoon datang mencari Kak Rue untuk berterima
kasih dan meninggalkan bingkisan ini karena lama menunggu Kak Rue nggak
datang-datang.” Pemuda itu antusias.
“Wah. Sayang sekali. Tapi, jangan
khawatir. Pesan kakak pasti akan aku sampaikan.”
“Terima kasih ya.”
Wajah Hongjoon dipenuhi senyum. Ia
lega bisa menyampaikan bingkisannya untuk Rue. Ia membayangkan bagaimana reaksi
Rue ketika menerima bingkisan itu. Ia berharap Rue menyukainya. Hongjoon
terkejut karena mobilnya tiba-tiba mengalami benturan keras. Setelah itu, hanya
kegelapan yang ia lihat. Semua gelap dan ia tak tahu sedang berada di mana.
0 comments