AWAKE "Rigel Story" - Bab XIX
05:14AWAKE - Rigel Story
Bab XIX
Hanjoo mengantar Rue sampai ke rooftop. Ia bahkan mampir sejenak ke
tempat tinggal Rue. Keduanya duduk berdampingan di sofa. Di meja tersaji dua
mug coklat panas.
“Udah merasa baikan?” Tanya Hanjoo.
Rue mengangguk. “Kenapa kita begitu
dekat seperti saudara, itu karena statusku diakui sebagai anak Bibi Rita.”
“Itu juga alasan kenapa kamu nggak
bisa jatuh hati padaku?”
“Ngawur!”
Hanjoo tergelak, lalu menghela
napas. “Fakta yang mengejutkan ya.”
“Pantas saja aku merasa ada getaran
aneh ketika Om Toni tiba-tiba muncul dan menolong Byungjae. Ternyata dia bukan
orang biasa.”
“Dan juga penjaga yang dikirim Bunda
Berta untukmu. Aku penasaran seperti apa rupa Bunda Berta sekarang. Kita sudah
pisah selama berapa tahun ya”
“Banyak tahun!”
“Tapi, Bunda Berta janji bakalan
dateng di ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Mari menunggu untuk pertemuan
itu.”
Rue menghela napas dan mengangguk.
“Marahmu sudah reda? Pada Bunda
Berta.”
“Sedikit.”
“Setiap ibu pasti tidak ingin
anaknya celaka. Karenanya, seorang ibu pasti akan melakukan apa saja untuk
melindungi anaknya.”
“Tapi, rasanya sakit.” Rue kembali
menangis.
Hanjoo merengkuh Rue ke dalam
pelukannya. Membiarkan gadis itu meluapkan air matanya.
***
Karena tahu Dio masih belum
sepenuhnya pulih, Senin pagi Toni menjemput Dio. Lalu, menjemput Rue, Byungjae,
dan Hanjoo. Kemudian mengantar mereka ke sekolah. Dio kaget melihat mata Rue
bengkak. Ia yakin itu bekas tangisan. Tapi, Rue tak mau bercerita jujur. Hanjoo
menyanggupi akan menceritakan semuanya nanti. Dio pun setuju untuk menunggu.
Bengkak di kaki Dio udah kempes.
Tapi, masih terasa sakit untuk berjalan. Karenanya ia tak mengenakan sepatu. Ia
pun sedikit pincang saat berjalan. Hal itu membuatnya menjadi pusat perhatian. Tak
jarang dari mereka yang penasaran sengaja bertanya langsung pada Dio.
Gadis itu menjawab jika kakinya terkilir saat ia terjatuh. Jika ada yang
mendesaknya untuk bercerita lebih lanjut, ia memilih meminta maaf karena tidak
bisa menceritakan detailnya.
Sejak pagi Dio sudah mengincar
Pearl, tapi ia belum berjodoh bertemu dengan teman masa kecil Rue itu. Ia sudah
cukup lama menahan emosinya. Hari ini ia tidak bisa membendungnya lagi. Dengan
kaki pincang, ia berkeliling ke tempat-tempat Pearl biasa berada. Namun, nihil.
“Jangan-jangan dia nggak masuk. Ck!
Dasar pengecut!” Dio kesal. Lalu, sepasang mata cantiknya menangkap sosok Pearl
yang sedang berada di belakang bangunan toilet kelas XI.
Karena lokasinya di tempat terbuka
mudah saja bagi Dio mengenali Pearl. Gadis itu tak sendiri, masih dengan dua
kroconya—Ruby dan Linde. Ada Nath bersama ketiganya. Dio yang berada di
belakang gedung perpustakaan pun bergegas menuju tempat Pearl berada.
“Aku kan sudah minta maaf. Kenapa
kamu masih mendesak aku kayak gini sih? Itu kan salahmu. Kenapa kamu pamit ke
papamu kalau mau ikutan berburu Rigel?” Pearl menolak tuduhan Nath bahwa
kesalahpahaman di Sabtu malam adalah ulahnya.
Nath merapatkan punggung pada tembok
toilet. Menghindari sinar matahari yang cukup terik di jam istirahat. “Seenggaknya
kamu kasih tahu aku kalau kamu nggak bisa dateng. Kenapa matiin ponsel juga?”
“Ini anak ngeyel ya. Kan udah aku
bilang acaranya dadakan dan ponselku mati, kehabisan baterai.”
“Ya kan ada telepon rumah. Kamu bisa
nelpon aku dari sana kan? Kasih tahu kalau batalin janjian kita.”
“Dibilang aku sibuk banget karena
acara dadakan itu kok! Kenapa kamu ngeyel limpahin kesalahan ke aku sih?”
Nath menyadari kehadiran Dio. “Dio?
Eh!!!” Nath terkejut karena Dio tiba-tiba menjambak dan menampar Pearl.
Ruby dan Linde yang kaget pun
mencoba melerai. Tapi, Dio seperti kesetanan dan tidak bisa dikendalikan.
Dio masih menjambak rambut panjang
Pearl. Walau gadis itu meronta kesakitan, Dio tak melepaskan tangan kanannya
dari rambut Pearl.
“Dio. Udah.” Nath berusaha
menenangkan Dio.
“Diem di situ aja kamu!” Bentak Dio.
Membuat Nath urung maju untuk mendekatinya.
“Dio! Lepasin Pearl!” Ruby
berteriak, namun tak berani mendekat. Saat ia berusaha melerai, tangan Dio tak
sengaja menamparnya.
“Iya, Dio. Lepasin Pearl.” Linde pun
sama. Menjaga jarak. Ia takut jadi korban seperti Ruby.
“Lepasin aku preman!” Pearl
berontak. Ia menepuk dan mencakar tangan Dio yang menjambak rambutnya. Namun,
Dio tetap kukuh.
“Pantes kamu jadi preman! Negara
asalmu jadi negara kriminal nomer satu di dunia. Aaa, sakit! Dio! Lepasin!” Walau
kesakitan, Pearl masih sempat memaki Dio.
Dio menarik Pearl lebih dekat
padanya. “Benar. Venezuela emang negara nomer satu dengan tingkat kriminalitas
paling tinggi dunia. Jika tahu fakta itu, harusnya kamu nggak cari gara-gara
sama aku!”
“Aku nggak cari gara-gara sama
kamu!”
“Karena ulahmu, Rigel hampir celaka
tahu! Apa sih salah kami sampai kamu tega lakuin itu ke kami?”
“Itu salah Nath. Bukan salahku!”
“Ngeles aja ini anak!” Dio menjambak
rambut Pearl makin keras.
“Aaa! Sakit!!”
Karena jam istirahat, apa yang
dilakukan Dio pada Pearl segera menjadi pusat perhatian. Beberapa murid
memperhatikan tak jauh dari lokasi, tapi tak satu pun dari mereka yang maju
untuk melerai.
“Skenarionya kamu yang buat kan?!”
Dio setengah berteriak. “Kamu nggak tahu betapa paniknya kami saat Byungjae
hampir mati di Gedung Mati! Kamu nggak tahu kan!” Dio berteriak meluapkan
emosinya.
“Dio. Udah Dio.” Nath berusaha
menenangkan Dio.
“Kamu tahu? Sekarang aku benar-benar
ingin kamu merasakan kayak apa yang kami rasakan saat berada di Gedung Mati.” Dio
menjambak rambut Pearl semakin keras.
Pearl meronta. Nath maju dan
berusaha melerai. Ruby dan Linde tetap menjaga jarak. Tak berani terlibat dalam
perkelahian itu.
Byungjae dan Hanjoo berlari
mendekat. Lalu, membantu Nath melerai Dio dan Pearl. Keduanya mendengar tentang
Dio yang menyerang Pearl dari salah satu teman mereka yang sengaja datang
mencari mereka.
Rue yang berada di perpustakaan
bukannya tak mendengar ribut-ribut itu. Ia memilih diam dan tetap tinggal di
perpustakaan karena merasa lelah meladeni Pearl. Ia pun pura-pura tuli dan
tetap fokus pada buku yang ia baca.
***
Dio dan Pearl dibawa ke ruang Tata
Tertib. Nath, Ruby, dan Linde turut berada di sana karena berstatus sebagai
saksi. Guru yang tergabung dalam tim Tata Tertib Sekolah meminta
penjelasan Dio dan Pearl perihal perkelahian mereka. Byungjae dan Hanjoo
menunggu di depan ruang Tata Tertib. Keduanya berharap masalah bisa
diselesaikan tanpa melibatkan orang tua.
“Dio yang nyerang duluan, Pak. Dia
jambak dan tampar saya.” Pearl ngotot.
“Iya, saya yang nyerang duluan, Pak.
Tapi, Pearl juga balik menyerang saya. Ini buktinya. Tangan saya ada bekas
cakaran dia.” Dio menunjukkan tangan kanannya yang dihiasi guratan-guratan
berwarna merah. Ia terlihat lebih santai dibanding Pearl yang masih
meledak-ledak.
“Saya membela diri. Siapapun kalau
diserang pasti melakukan perlawanan.” Pearl tetap ngotot.
“Nggak papa deh Pak kalau mau
panggil ortu.” Dio pasrah.
“Jangan, Pak! Jangan panggil orang
tua kami, tolong jangan Pak.” Pearl memohon.
Dio menyincingkan senyum. Ia tahu
jika Pearl paling takut kalau orang tuanya tahu ia membuat masalah di sekolah.
Terlebih masalah dengan Nath dan Rue. Karena orang tua Pearl tahu jika Nath,
Rue, dan Hanjoo adalah teman baik Pearl.
“Panggil ortu aja nggak papa, Pak.
Ini ada Nath, Ruby, sama Linde yang jadi saksi. Saya siap kok digantung ortu
saya.” Dio semakin memojokan Pearl.
“Tolong jangan libatkan orang tua,
Pak. Tolong. Ini masalah kami. Kami akan selesaikan sendiri.” Pearl mengiba.
“Pusing saya!” Bentak guru yang
diberi wewenang untuk menangani masalah Dio dan Pearl. “Kalian sama-sama
anggota Dewan Senior. Tapi, apa yang kalian lakukan? Harusnya kalian memberi
contoh yang baik untuk adik-adik kalian, tapi, ah! Malu saya!”
Dio, Nath, Pearl, Ruby, dan Linde
menundukkan kepala.
“Baiklah. Selesaikan masalah kalian.
Tapi, karena kalian adalah anggota Dewan Senior, saya akan tetap minta diadakan
sidang untuk kalian.”
Senyum tersungging di wajah ayu Dio
yang tertunduk. Ia merasa menang dari Pearl.
“Sudah! Kalian kembali ke kelas
sana!”
Dio dan Nath yang bangkit lebih
dulu. Keduanya pamit dan keluar dari ruang Tata Tertib.
“Gimana?” Byungjae menyambut Dio
yang keluar dari ruang Tata Tertib bersama Nath.
“Surat panggilan untuk orang tua?” Sambung
Hanjoo yang berdiri di samping kiri Byungjae.
Dio menggeleng, namun tetap bungkam.
Pearl, Ruby, dan Linde keluar dari
ruang Tata Tertib. Pearl melerok dan pergi diikuti Ruby dan Linde.
“Jenna nggak papa?” Tanya Byungjae
pada Nath.
“Nggak papa kok. Ulah Dio lebih
bikin aku syok daripada sinar matahari.”
“Maaf ya, Nath.” Dio meminta maaf.
“Nggak papa. Kalau aku jadi kamu,
aku juga bakalan ngelakuin hal yang sama. Ngomong-ngomong Rue ke mana?”
Dio, Byungjae, dan Hanjoo saling
melempar pandangan. Namun, kompak tak menjawab pertanyaan Nath.
***
Karena didesak pihak Tata Tertib
Sekolah, sidang digelar hari itu juga. Seluruh anggota Dewan Senior dan MPK
dikumpulkan. Nicky selaku ketua MPK bertindak sebagai hakim bersama wakilnya
dan dua anggota MPK lagi.
Rue yang memiliki hubungan dengan
Dio tak diberi tempat sebagai salah satu orang penting dalam sidang. Posisinya
digantikan Kevin. Sedang Hanjoo dan Byungjae berstatus sebagai saksi bersama
Ruby, Linde, dan Nath. Walau Nath bukan anggota Dewan Senior pun MPK, tapi dia
adalah saksi di tempat kejadian. Karenanya ia turut di undang dalam
persidangan.
Kevin membuka persidangan. Tim
investigasi dari pihak MPK pun mulai bertanya pada para saksi tentang kronologi
perkelahian antara Dio dan Pearl. Ruby, Linde, Nath, Byungjae, dan Hanjoo pun
menceritakan detail kejadian seperti yang mereka lihat. Jika Ruby dan Linde
lebih membela Pearl, Nath pun membela Dio. Karena Byungjae dan Hanjoo datang
terlambat, mereka bicara jujur tentang apa yang mereka lihat.
“Diovana, bisa jelaskan kenapa kamu
tiba-tiba menyerang Pearl?” Si penanya beralih pada Dio.
“Saya marah dan kelas. Pearl membuat
masalah dengan saya. Saya sudah cukup bersabar. Tapi, maaf. Saya hanya manusia
biasa yang punya batas kesabaran. Karenanya saya meluapkan emosi dengan
menyerang Pearl.” Dio terlihat santai.
“Itu bohong! Saya nggak bikin salah
sama dia!” Pearl membantah.
“Tenang dulu Pearl. Kamu nanti dapat
giliran bicara.” Si penanya yang seorang siswa kelas XII meminta Pearl menahan
diri. “Masalah seperti apa itu? Masalah di sekolah atau lainnya?”
“Harus kah saya jelaskan detail
masalahnya, Kak?” Dio balik bertanya. “Saya nggak keberatan. Lagi pula, ada
Nathaline di sini. Dia bisa bersaksi. Iya, kan Nath?”
Nath menganggukkan kepala tanpa
ragu.
“Tapi, bagaimana dengan Pearl?” Dio
menatap Pearl. Gadis itu terengah-engah karena menahan emosi. Dio tesenyum
mencibir.
“Intinya masalah pribadi ya? Bukan
masalah organisasi?”
“Iya masalah pribadi saja. Tapi,
karena saya anggota Dewan Senior, saya sadar ini mencoreng nama organisasi.
Saya mohon maaf untuk kelalaian saya ini.” Dio meminta maaf dengan tulus.
“Bagaimana Pearl? Apa pengakuan Dio
itu bertentangan denganmu? Kami paham apa yang kamu lakukan adalah bentuk
pembelaan diri. Tapi, tetap saja di mata umum tindakanmu adalah perkelahian
dengan Dio. Dan, itu memang mencoreng organisasi. Dewan Senior harusnya memberi
contoh yang baik bukan hanya bagi junior, tapi juga bagi teman seangkatan dan
murid lainnya. Tapi, apa yang terjadi hari ini, di jam istirahat, di ruang
publik, di depan umum, telah mencoreng nama baik organisasi. Sekuat apa pun
alibi kalian, bagiku kalian tetap bersalah.” Siswa kelas XII yang bertindak
sebagai penanya menarik kesimpulannya sendiri.
Suasana hening sejenak di dalam
aula. Karena menghadirkan seluruh anggota Dewan Senior dan MPK, sidang digelar
secara tertutup di aula sekolah.
“Lagian masalah pribadi kenapa
dibawa ke sekolah?” Senior yang bertugas sebagai penanya.
“Masalahnya, kalau di luar sekolah
Pearl susah dicarinya, Kak. Itu tadi aja saya harus muter-muter dulu dengan
kaki pincang.” Dio menanggapi.
“Tindakanmu bisa dilaporkan sebagai
tindakan kekerasan lho!” Salah satu siswi senior berkomentar.
“Iya. Bener sekali. Seharusnya saya
melaporkannya sebagai tindakan kekerasan.” Pearl yang mendapat dukungan langsung
angkat bicara.
“Silahkan saja. Saya siap kok kalau
mau dilaporkan. Malah saya senang. Nanti saya bisa mengungkapkan semuanya.
Tentang jebakan untuk Rigel dengan Nathaline sebagai alat. Kami hampir mampus
di Gedung Mati karena ulah Pearl, Kak. Salah kalau saya marah sampai gamparin
dia?” Dio sengaja membuka permasalahan sebenarnya di depan forum.
Rata-rata yang hadir di aula
terkejut mendengar pengakuan Dio. Terlebih Pearl. Dia tak menyangka Dio akan
berkata blak-blakan seperti itu.
“Sabtu malam kemarin, Papa Nath
menelpon Rue. Katanya, Nath mau ikutan kami berburu penampakan di Gedung Mati.
Beliau mengatakan Nath udah menuju lokasi. Siapa sih yang nggak tahu pamor
Gedung Mati? Rue panik. Lalu, bersama-sama kami pergi menuju Gedung Mati.
“Kami sudah mencoba menghubungi
Nath. Tapi, terjadi kendala di sana-sini. Intinya, kami tidak bisa menghubungi
satu sama lain. Pesan terakhir dari Nath berbunyi bahwa dia sudah sampai di
lokasi dan menunggu kami. Gimana kami nggak makin panik? Membayangkan Nath
berada di Gedung Mati entah dengan siapa.
“Saat sampai, tanpa pikir panjang
kami langsung mencari Nath ke dalam gedung. Di sana kami mengalami kesialan.
Saya terjatuh hingga kaki terkilir. Rue juga jatuh. Parahnya, Byungjae diseret
hantu dan hampir jatuh dari lantai dua Gedung Mati.”
Banyak yang tercengang mendengar
pengakuan Dio. Nicky langsung mengalihkan pandangan pada Rue. Gadis itu duduk
dengan kepala tertunduk.
“Beruntung Tuhan masih sayang sama
kami. Kami selamat. Setelah kami bertemu Nath, yang mengusulkan ide pertemuan
di hari Sabtu itu adalah Pearl. Tapi, dia justru tidak bisa dihubungi. Saat
Nath menegurnya, Pearl menuduh semua itu salah Nath. Saya tadi sempet denger
pengakuan Pearl. Karena itu saya makin marah dan menyerangnya. Saya ngaku salah
dan siap mendapat hukuman dari Dewan Senior.” Dio mengakhiri penjelasannya. Ia
berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah karena emosi.
Suasana menjadi sedikit ribut.
Anggota yang hadir saling berkasak-kusuk mengomentari tindakan Pearl.
Kevin terkejut mendengar semua fakta
yang diungkap Dio. Ia menatap Pearl dengan ekspresi heran. Ia tak percaya Pearl
tega melakukan rencana itu pada Rigel, hingga Rigel celaka.
Pearl mengamati sekelilingnya. Ia
merasa diadili dan terpojok. “Say-saya hanya bermaksud bercanda. Saya memang
berencana untuk tidak menemui Nath. Tapi, saya tidak menduga Papa Nath akan
menelpon Rue dan menimbulkan kekacauan itu.” Pearl akhirnya mengakui
perbuatannya.
“Bercanda kamu bilang? Tindakanmu
hampir membuat Byungjae kehilangan nyawa lho! Begitu cara kamu bercanda?” Kevin
tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.
“Saya benar-benar minta maaf.” Pearl
menundukan kepala.
“Tahu gini, tadi mending saya
menolak permintaan tim Tata Tertib untuk menyelesaikan masalah perkelahian ini
tanpa memberi tahu orang tua.” Kevin menggelengkan kepala. Terheran-heran atas
ulah Pearl.
Nicky yang mendengar Rue hampir
celaka pun geram. Namun, ia mengendalikan dirinya untuk tidak turut memojokan
Pearl.
“Secara pribadi saya tidak menduga
masalahnya separah itu. Walau tindakan Dio salah, menurut saya wajar jika ia
melakukan penyerangan. Karena tindakan Pearl sudah keterlaluan. Sebagai wakil
ketua Dewan Senior, saya mengusulkan keduanya dihukum. Karena keduanya
sama-sama bersalah.” Kevin memasrahkan keputusan kepada hakim.
Nicky dan teman-temannya berunding
sejenak. Seluruh anggota pun menunggu. Beberapa masih berkasak-kusuk,
membicarakan fakta yang baru saja tersaji di depan mereka.
“Mohon tenang.” Nicky meminta perhatian.
Seluruh anggota pun diam. “Insiden ini benar-benar membuat saya merasa malu.
Bagaimana bisa, dalam satu naungan organisasi yang sama, tapi kalian tidak bisa
saling menjaga satu sama lain.”
Rue, Dio, Hanjoo, Byungjae, Nath,
Pearl, Linde, dan Ruby kompak menundukkan kepala.
“Setelah mendengar pengakuan dari
kedua belah pihak, kami yang ditunjuk sebagai hakim dalam sidang kali ini telah
sepakat untuk memberi hukuman padan Diovana dan Pearl. Jika teman-teman ada
yang keberatan, nanti bisa menyampaikannya kepada kami.” Nicky melanjutkan.
Kembali terdengar kasak-kusuk di
antara anggota.
“Kami sepakat Diovana dan Pearl,
diberhentikan dari kepengurusan Dewan Senior periode ini. Pearl akan dicoret
dari daftar calon ketua Dewan Senior berikutnya. Ada yang keberatan?”
Sedikit ribut. Para anggota
membicarakan keputusan Nicky. Dio dan Pearl terdiam. Jika Dio terlihat santai,
Pearl terlihat sangat kaget ketika mendengar keputusan Nicky. Nath yang duduk
sebagai saksi pun kaget dengan keputusan Nicky.
“Maaf. Tapi, apa keputusan itu tidak
terlalu berlebihan?” Siswi senior yang sebelumnya berkomentar bahwa tindakan
Dio bisa dilaporkan sebagai tindakan kekerasan kembali bicara.
“Seperti yang kamu katakan tadi,
tindakan Dio termasuk tindakan kekerasan. Pearl pun melakukan hal yang sama
walau itu hanya bentuk pembelaan diri. Terlebih, semua kekacauan adalah Pearl
sumbernya. Bisakah kita mendiamkan hal ini dengan membiarkan keduanya tetap
menjadi anggota Dewan Senior?” Nicky balik bertanya.
“Tapi, tahun kemarin ada siswa
anggota Dewan Senior yang terlibat perjudian dengan sesama murid dan tertangkap
tim Tata Tertib masih bisa menjabat sebagai anggota.”
“Mm, itu ya? Kasusnya tidak di depan
publik. Saya sangat menyesalkan ketua sebelumnya tidak mengambil tindakan
tegas. Bagaimana kalau kita tanya Ketua Dewan Senior kali ini?” Nicky mengalihkan
pandangan pada Rue.
“Maaf, Kak. Untuk kasus ini Ruta Way
menyerahkan tanggung jawab kepada saya. Apa keberatan jika saya yang memberi
jawaban?” Kevin angkat bicara.
“Aku rasa itu adil jika Kevin yang
mengambil alih. Bagaimanapun Rue terlibat dalam masalah itu. Walau secara tidak
langsung.” Salah satu rekan Nicky yang duduk sebagai hakim menyetujui
permintaan Kevin.
“Baiklah. Kau diizinkan.” Nicky
memberi izin Kevin untuk mengambil alih tanggung jawab Rue.
“Saya sangat menyesal karena dua
anggota saya terlibat dalam perkelahian di depan umum. Sebagai wakil ketua,
saya menerima keputusan hakim persidangan ini. Saya berharap, dua anggota saya
yang terlibat dan mendapat hukuman bisa menerima keputusan hakim.” Kevin
menyampaikan keputusannya dengan cepat.
Semua mata pun tertuju pada Dio dan
Pearl secara bergantian.
Dio bangkit dari duduknya. “Saya
menerima keputusan hakim. Saya mohon maaf sebesar-besaranya atas tindakan
ceroboh yang saya lakukan di depan umum.” Ia membungkukkan badan hingga 90
derajat sebagai tanda permintaan maaf dengan tulus.
Pearl terkejut melihat reaksi Dio
yang dengan mudah menerima keputusan hakim. Suasana di dalam aula kembali
sedikit ribut.
***
Setelah sidang bubar, Kevin meminta
maaf pada Dio. Ia merasa tak enak pada Dio walau yang ia lakukan bukanlah
sebuah kesalahan.
“Nggak papa. Aku emang salah kok.
Aku tulus nerima keputusan Kak Nicky. Maaf ya aku bikin malu organisasi.” Dio
memaklumi keputusan Kevin.
“Aku takut diserbu Orion tau!” Kevin
bercanda.
“Terima resikonya.” Dio dan Kevin
pun tertawa bersama.
“Bakalan sepi tanpa Diovana.” Kevin
menghela napas panjang.
“Masih ada Rue, Byungjae, dan
Hanjoo. Tolong bantu Rue ya.”
“Pasti. Aku selalu ada untuknya.”
Kevin menyanggupi. “Rue, Kak Nicky pasti nggak enak banget ke kamu.”
“Trus, aku kudu nyamperin dia gitu?”
Balas Rue.
“Ih! Ini anak!” Kevin gemas melihat
tingkah Rue.
“Semua jadi kacau gara-gara aku.” Nath
menundukan kepala.
“Ini bukan salah kamu, Sayang. Aku
yang mau kok.” Dio merangkul dan mengusuk lengan Nath. “Lebih hati-hati aja ya
ke depannya. Mungkin Pearl emang udah nggak pengen baikan sama kamu, Rue, dan
Hanjoo.”
Pearl keluar dari dalam aula
ditemani Ruby dan Linde. Wajahnya lesu dan kuyu. Ia belum bisa menerima
keputusan dicoret sebagai anggota dan calon ketua Dewan Senior.
Pearl menghentikan langkahnya ketika
sampai di samping kerumunan Rue dan teman-temannya. “Ini belum berakhir. Kalian
pikir aku bakalan diam aja kalian permalukan kayak gini?”
“Lakukan saja semaumu. Kami nggak
takut.” Dio menanggapi dengan santai.
“Ya. Tunggu saja. Kalian pasti akan
menyesal telah melakukan ini padaku!” Pearl mengancam, lalu pergi.
“Serem banget dia.” Kevin kembali
dibuat keheranan. “Dia mau ngapain?”
“Semoga nggak ngapa-ngapain. Udah.
Jangan dipikirin.” Dio menenangkan Kevin.
Melihat Rue dan teman-temannya,
Nicky yang baru keluar dari aula pun segera menghampiri. “Maaf kalau
keputusanku keterlaluan.” Nicky meminta maaf pada Dio.
“Nggak papa, Kak. Emang aku yang
salah. Tolong jangan terhasut aja. Tolong tetap percayai kami. Tolong tetap
percaya pada Rue.” Dio meminta dukungan.
Nicky menatap Rue yang menundukkan
kepala. “Aku selalu percaya pada kalian. Aku selalu percaya pada Rue.” Ia tak
mengalihkan pandangan dari Rue.
“Selanjutnya, tolong lebih
hati-hati. Aku nggak mau lagi denger Rigel terluka.” Nicky masih menatap Rue
yang berdiri dengan kepala tertunduk.
“Terima kasih, Kak. Kami akan
melakukan yang terbaik.” Dio berterima kasih.
Nicky masih menatap Rue. Berharap
gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya. Namun, Rue bergeming. Nicky pun
menghela napas. “Ya udah. Aku pergi dulu.” Nicky pamit. Meninggalkan Rue dan
teman-temannya.
“Kamu ngapain nunduk gitu sih! Sok cute amat di depan Kak Nicky.” Dio
menggoda Rue. Namun, Rue bergeming.
“Rue? Are you okay?” Dio mulai khawatir. “Rue?” Ia membungkuk demi bisa
melihat wajah Rue. “Rue? Kenapa?”
“Ada orang berdarah-darah berdiri di
sampingku.” Rue berbisik.
Dio kaget. Kembali menegakkan badan
dan mengamati ruang kosong di samping kiri Rue.
***
0 comments