My 4D Seonbae
05:49
My
4D Seonbae
Title: My 4D Seonbae
Author: shytUrtle feat. Rainbow & Dista
Aristy
Genre: Comedy-Romance/Straight/serial
Plot:
High School Story yang menceritakan tentang
Luna (Mezzaluna), gadis asal Indonesia yang sekolah dan tinggal sendiri di
Korea. Luna memiliki kepribadian unik dan kebiasaan aneh. Hal itu membuatnya
terjebak dalam hubungan saling menguntungkan dengan beberapa temannya yang di
dominasi laki-laki.
Notes:
- Karena merupakan High School Story, fan
fiction kali ini memiliki satu judul tapi berisi banyak cerita kisah remaja
SMA. Sebisa mungkin sebelas member Wanna One mendapat cerita sendiri-sendiri.
- Ide awal tercetus dari shytUrtle yang
bukan Wannable, tapi pengen nulis fan fiction dengan cast Wanna One. Ia pun
menghubungi Linda, Rainbow, dan Dista. Tapi, hanya Rainbow dan Dista yang
merespon. Rainbow dan Dista membantu, memberi masukan dan ide untuk cerita.
Rainbow yang banyak request dan ngasih ide gokil hingga fan fiction kali ini
masuk genre comedy-romance. Pada akhirnya Linda juga memberi respon. Kekeke…
- Karena Rainbow yang paling banyak kasih masukan
'gila', jadi protes ke dia aja tentang penistaan Wanna One kali ini. Hahaha.
Peace, Dear Rainbow XD
- Cerita pasangan Dae Hwi dan Joo Hee
adalah ide Dista. Cerita pasangan Rania-Minhyun-Jinyoung-Lucy adalah ide
Rainbow.
- Semua tokoh cewek adalah fiksi. Pembaca
bebas memilih mau jadi siapa sesuai dengan biasnya.
- Ini hanya fan fiction. Jika ada kesamaan
nama tokoh dan kejadian, itu hanya kebetulan. Maafkan atas ketidaksempurnaan
dalam penulisan cerita. Happy reading.
Cast:
- Wanna One: Kang Daniel, Park Jihoon, Lee
Daehwi, Kim Jaehwan, Ong Seungwoo, Park Woojin, Lai Guanlin, Yoon Jisung, Hwang
Minhyun, Bae Jinyoung, Ha Sungwoon.
- Mezzaluna (fiksi)
- Semua nama cast cewek yang nantinya
muncul dalam cerita (Song Hyuri, Song Hami, Rania, Han Joohee, Kang Daerin,
Linda, Lucy and etc)
- Special appearance: L Infinite, Amber
f(x), dan mungkin ada kpop idol lainnya.
Prologue
Orang bilang masa SMA adalah masa yang
paling indah dalam hidup. Masa saat kita bertumbuh menjadi remaja dan mulai
melakukan pencarian jati diri. Masa yang akan menjadi langkah awal untuk menuju
gerbang masa depan dan kedewasaan. Masa untuk mulai merasakan ketertarikan pada
lawan jenis. Masa mulai mengenal apa yang dinamakan rasa suka melebihi suka
sebagai teman pada lawan jenis. Masa mulai merasakan apa yang dinamakan cinta.
Benar! SMA tanpa kisah cinta, tak akan berwarna.
Ada kisah-kisah tentang murid terkenal di
sekolah. Entah itu karena prestasi mereka, atau karena penampilan fisik mereka,
pun bisa karena keburukan mereka. Para pencipta prestasi dan para pembuat onar.
Sekolah tanpa mereka tak akan punya cerita.
Tapi, ada juga kisah-kisah tentang orang
biasa. Kaum minoritas yang tak terkenal. Namun, sering dibicarakan. Juga kisah
tentang mereka yang menjadi pusat perhatian, tapi tak menyadari adanya fenomena
itu. Mereka yang hidup secara wajar, namun tetap menjadi pusat perhatian dan
bahan cerita umum di kalangan murid lain. Atau, mereka yang sebenarnya terkenal
namun tak bersikap layaknya mereka terkenal.
Terkenal ataupun tidak, kita tetap berhak
merasakan yang namanya kisah cinta, bukan? Entah itu kisah cinta yang mereka
inginkan atau kisah cinta yang tak mereka inginkan. Mereka tidak bisa
memilihnya, karena cinta lah yang memilih mereka.
Mereka yang mengisi masa SMA dengan cara mereka
masing-masing. Menulis kisah yang kelak akan mereka kenang sepanjang hidup
mereka. Baik itu indah atau buruk.
Episode
#1 "Mezzaluna"
Korea Selatan, belakangan menjadi negara impian untuk
dikunjungi para gadis di dunia. Efek dari demam Kpop yang melanda hampir
seluruh dunia. Para fangirl tentu saja bermimpi untuk bisa pergi ke Korea.
Terlebih untuk bertemu oppa-oppa pujaan hati mereka. Aku, Mezzaluna. Panggil
saja Luna. Sejak tiga tahun lalu tinggal di Negeri Gingseng yang menjadi negara
impian untuk dikunjungi banyak gadis di negaraku, Indonesia.
Aku datang ke negara yang masuk menjadi salah satu Macan
Asia Timur ini ketika baru lulus SD. Saat itu aku sangat takut, bahkan berpikir
untuk tetap tinggal di Indonesia saja. Tapi, hidup tanpa keluarga di Indonesia
pun jadi sangat menakutkan bagiku. Aku pikir aku tidak akan bisa bertahan tanpa
ayah, bunda, dan kedua kakakku.
Bunda mengatakan, "Dimanapun tempatnya adalah sama. Ada
orang jahat, ada orang baik. Yang kita perlukan hanyalah selalu berusaha
bersikap baik pada siapapun dan sebisa mungkin menghindari masalah. Maka, semua
akan baik-baik saja. Karena perbuatan baik akan membawa karma baik bagi kita.
Dan, Tuhan akan selalu ada bersama orang baik."
Baik di Indonesia atau Korea, orang jahat pasti ada. Orang
baik pun banyak. Jadi, aku tak perlu khawatir. Dimanapun tempatnya di dunia
ini, pasti akan seperti itu. Lagi pula aku tak sendiri. Ada ayah, bunda, dan
kedua kakakku. Kami akan pergi dan hidup bersama di Korea. Bersama keluarga,
semua akan baik-baik saja.
Tapi, keyakinan bisa goyah saat kau menjumpai kenyataan.
Adaptasi tersulit adalah di sekolah. Ayah mencari sekolah yang sistim
pengajarannya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Walau sulit, Ayah menemukan
satu SMP yang menurut beliau cocok untukku. Dan, aku mulai melanjutkan
pendidikanku di sana.
Menjadi satu-satunya murid asing di sekolah sungguh tidak
mudah. Aku merasa terbebani. Bahkan, pagi menjadi semacam mimpi buruk bagiku.
Tidak bisa kah malam menjadi 24 jam dan aku tidak perlu ke sekolah? Walau ada
yang tulus ingin berteman denganku, tapi teman-teman di sekolah benar-benar
mengerikan.
"Jika tak kuat, pasrahkan saja pada Tuhan dan minta
bantuan-Nya." Ujar kakak sulungku. Dia pikir aku tak pernah berdoa apa?
Setiap pagi dan malam aku selalu berdoa. Memohon kekuatan agar bisa bertahan
menjalani hidup di negeri asing ini.
Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Keajaiban itu pun
datang. Tuhan mendengar doaku. Aku yang sebelumnya diejek karena berasal dari
negara miskin yang terkenal dengan rumor-rumor korupsi dan tidak rukunnya
kehidupan masyarakat. Ah! Kenapa mereka hanya fokus pada berita buruk tentang
Indonesia saja? Padahal banyak hal positif tentang Indonesia. Aku mulai
dipandang dengan positif setelah keajaiban itu terjadi. Ketika aku mendapatkan
nilai 98 untuk pelajaran Matematika. Aku sendiri tak menduganya. Nilai
Matematikaku menjadi nilai tertinggi di sekolah untuk murid kelas VII.
"Untuk bisa bertahan di atas kakimu sendiri, kau harus
kuat! Jangan takut! Balas tatapan orang yang menatapmu! Dan, jangan ragu untuk
tersenyum. Kekuatan senyuman itu sungguh luar biasa. Selalu ada keajaiban
karena sebuah senyuman." Kakak keduaku turut menyemangati.
Karena dukungan keluargaku dan keajaiban itu, aku bisa
bertahan di sini. Di negara impian para gadis di negaraku. Negara yang memiliki
kehidupan keras. Bahkan ketika keluargaku harus kembali ke Indonesia, aku
memutuskan untuk tetap tinggal demi melanjutkan pendidikanku yang sudah setahun
berjalan. Hidup sendiri di negeri orang, tidaklah seburuk yang aku bayangkan
sebelumnya. Ketika kau sudah mendapatkan tempat, yang kau butuhkan hanya
bertahan dan melanjutkan hidup.
Tak kenal maka tak sayang. Pepatah itu benar adanya.
Sebelumnya aku tak terlalu mengenal Korea hingga aku merasa takut untuk
tinggal. Tapi, sekarang aku malah enggan untuk beranjak pergi. Bukan karena aku
tak sayang Indonesia. Tapi, karena aku harus menyelesaikan pendidikanku dua
tahun lagi. Lagi pula SMA Hak Kun adalah tempat yang menyenangkan.
SMA Hak Kun hampir sama dengan SMP tempat aku menempuh
pendidikan sebelumnya. Sistimnya tak terlalu ketat dan hampir sama dengan
sekolah di Indonesia. Sistim yang memudahkan aku untuk beradaptasi dan belajar
dengan baik. Banyak murid asing yang bersekolah di SMA Hak Kun.
Kakak sulungku pernah mengatakan, masa SMA adalah masa yang
paling indah dalam hidupnya. Kakak keduaku mengiyakan pendapat itu. Tapi
setahun menjadi murid di SMA Hak Kun, yang aku rasakan hanya hal yang biasa
saja. Tak jauh beda dengan tiga tahunku di SMP. Julukan "4D Princess From
Country of a Thousand Islands" masih melekat padaku. Julukan yang aku
dapatkan usai aku mendapat keajaiban di kelas VII. Karena keajaiban itu aku
diperlakukan sebagai murid pandai yang disegani. Walau aku mendapat keuntungan,
tapi tak dapat aku pungkiri terkadang aku merasa bosan. 4D? Memangnya aku
seperti itu? Aku tidak merasa jika aku mempunyai kepribadian 4D. Tapi, entah
kenapa teman-teman di sekolah memberiku julukan itu.
Masa SMA adalah masa pencarian jati diri. Kau bebas menjadi
siapa saja yang kau inginkan sampai kau menemukan siapa dirimu yang sebenarnya.
Diriku yang sebenarnya? Seperti apa? Pandai dan disegani
kah? Unik dan aneh? Setahun ini aku menjadi pribadi yang seperti apa? Hingga
aku berdiri di sini, di atas mimbar ini, menjadi perwakilan murid senior dan
membacakan pidato selamat datang di depan ratusan murid baru SMA Hak Kun.
Wajah-wajah mereka yang sangat asing dengan ekspresi
beragam. Aku hanya bisa tersenyum usai menatap dengan cepat ratusan wajah itu
setelah menutup pidatoku. Selamat datang di SMA Hak Kun. Kita lihat, apa yang
akan terjadi padaku dan kalian setelah ini. Kita lihat, apa yang akan terjadi
pada kita setelah ini. Apakah benar masa SMA kita akan menjadi masa yang paling
indah seperti yang dikatakan kakak sulungku? Tapi, tunggu! Kedua kakakku kan
sekolah SMA di Indonesia? Bukan di Korea!
Luna
menarik senyum di wajahnya. Mengerjapkan kedua matanya dan kembali menatap
wajah-wajah murid baru yang duduk rapi di kursi-kursi di depan mimbar di dalam
ruang auditorium. Ia terlihat canggung. Tapi, segera ia kembali tersenyum dan
membungkukkan badan. Tepuk tangan para junior mengiringi langkahnya yang
menuruni mimbar dan berjalan meninggalkan panggung.
Mau di Indonesia atau di Korea, jenjang pendidikannya tetap
sama; SMA. Jadi, mari kita lihat! Apa masa SMA kita akan jadi masa yang paling
indah, yang akan selalu kita kenang sepanjang hidup kita.
Luna
tersenyum, terus berjalan hingga menghilang dari atas panggung. Tepuk tangan
para junior sudah hilang. Digantikan suara MC yang melanjutkan acara pengenalan
sekolah kepada murid-murid baru.
***
- Dua bulan
setelah tahun ajaran baru dimulai -
Sepanjang
koridor SMA Hak Kun kosong. Murid-murid sedang mengikuti pelajaran di kelas
masing-masing. Begitu juga di kelas XI-E. Kim Songsaengnim sedang mengajar di
depan kelas. Wali kelas sekaligus guru matematika itu sedang serius menjelaskan
materi kepada anak didiknya. Para murid duduk tenang dan menyimak.
Setiap
tahunnya murid SMA Hak Kun berjumlah 600 orang. Setiap angkatan terdiri dari
200 murid yang terbagi dalam delapan kelas. Setiap kelas terdiri dari 25 murid.
Jumlah murid laki-laki lebih banyak dibanding murid perempuan. SMA Hak Kun
identik dengan warna hitam, merah, dan putih. Hal itu terlihat dari seragam
yang terdiri dari kemeja putih, rompi hitam, rok lipit kotak-kotak merah-hitam,
dan dasi kupu-kupu berwarna sama dengan rok untuk murid perempuan. Sedang untuk
murid laki-laki kemeja putih dan rompi hitam dipadu dengan celana hitam dan
dasi segitiga berwarna hitam.
Luna
yang duduk di bangku paling belakang dekat jendela tersenyum. Tatapannya
terfokus pada pemandangan di luar jendela. Bunga-bunga sedang bermekaran. Dari
tempat duduknya, ia bisa melihat indahnya pemandangan taman sekolah.
Pemandangan khas musim semi yang selalu membuatnya jatuh hati.
"Luna!"
Suara Kim Songsaengnim membuyarkan lamunan Luna. Ia pun segera mengalihkan pandangan
ke depan kelas. Menatap Kim Songsaengnim.
"Coba
kau kerjakan soal ini!" Kim Songsaengnim menunjuk papan tulis.
Luna
pun bangkit dari duduknya dan maju ke depan kelas. Ia mulai mengerjakan soal
yang dibuat Kim Songsaengnim. Setelah selasai, Luna pun minggir. Memberi ruang
pada Kim Songsaengnim untuk mengoreksi.
"Ya.
Hasilnya benar. Tapi, kenapa kau selalu menggunakan cara sendiri? Bukankah cara
ini terlalu panjang? Kau tidak paham dengan cara cepat yang aku jelaskan?"
Kim Songsaengnim berkomentar usai mengoreksi.
"Maafkan
saya, Songsaengnim." Luna membungkukkan badan. "Saya sedikit bingung
dengan cara yang Songsaengnim ajarkan. Jadi, saya menggunakan cara ini untuk
menyelesaikan soal itu."
"Hmm...
ya, ya. Tidak apa-apa. Duduklah!"
Luna
menundukkan kepala, lalu kembali ke bangkunya dan duduk.
"Banyak
cara untuk menyelesaikan sebuah soal Matematika. Seperti yang dilakukan Luna.
Kalian bisa menggunakan metode yang paling sesuai dengan kalian. Jika metodenya
benar, hasil akhirnya pun pasti sama dan benar. Matematika itu tidak sulit
karena bisa dipelajari. Luna, kumpulkan PR teman sekelas dan antar ke
mejaku."
"Sonsaengnim!"
Murid laki-laki yang duduk tepat di depan Luna mengangkat tangan.
"Iya,
Ha Sungwoon? Ada yang ingin kau tanyakan?"
"Saya
ketua kelas di sini, kenapa Songsaengnim meminta Luna untuk mengumpulkan
PR?"
Murid-murid
lain berceloteh. Ada yang mengolok Sungwoon, ada yang mendukungnya.
Kim
Songsaengnim menenangkan anak didiknya. "Kau bisa membantunya, kan?"
"Luna
memang murid kesayangan Kim Songsaengnim." Sahut murid laki-laki yang
duduk tepat di depan Sungwoon.
"Park
Woojin, aku menyayangi semua muridku. Khususnya murid kelas XI-E. Karena, aku
adalah wali kelas kalian." Kim Songsaengnim menegur Park Woojin, siswa
yang duduk tepat di depan Sungwoon.
"Selamat
istirharat anak-anakku. Aku tunggu buku PR kalian!" Kim Songsaengnim
meninggalkan kelas XI-E.
Sungwoon
membalikkan badan, menghadap pada Luna yang duduk di belakangnya.
"Sepertinya benar kata Woojin, Kim Songsaengnim benar-benar
menyukaimu." Ujarnya.
"Benar
kan?" Woojin sudah berdiri di dekat Sungwoon. "Kim Songsaengnim
tampan dan masih single."
"Ya!
Maksudmu apa?!"Sungwoon mengibaskan tangan kirinya dan memukul perut
Woojin.
"Bisa
jadi kan Kim Songsaengnim itu menyayangi Luna lebih dari seorang guru pada
murid." Woojin tersenyum sambil menatap langit-langit kelas.
"Berhenti
bergosip dan kumpulkan buku PR mu!" Luna bangkit dari duduknya dan mulai
mengumpulkan buku PR milik teman-temannya.
"Ini!"
Yoon Jisung memberikan setumpuk buku pada Luna.
"Wah!
Terima kasih!" Luna tersenyum manis pada Jisung.
"Luna,
apa yang dikatakan Woojin bisa saja benar. Bagaimana kalau Kim Songsaengnim
benar-benar menyukaimu?" Jisung bergabung untuk bergosip.
"Ya!
Itu tidak mungkin!" Sungwoon membantah.
"Kalau
benar, Kim Songsaengnim pasti patah hati. Karena Luna telah memilih Park Jihoon
untuk jadi kekasihnya. Hah... kasihan sekali Songsaengnim." Woojin
memasang ekspresi kecewa dan menggeleng pelan.
"Park
Jihoon. Aku masih nggak percaya kalau kamu pacaran sama dia." Jisung
setuju. "Kamu nggak suka pria tampan, mapan, dan single seperti Kim
Songsaengnim dan memilih Park Jihoon? Adik kelas kita?"
"Luna
dan Park Jihoon sebenarnya seumuran, kan? Karena Luna sekolah SD di Indonesia,
dia masuk sekolah setahun lebih awal dari Jihoon. Kalau Luna sejak awal sekolah
di sini, dia pasti jadi hoobae kita. Di kelas ini dia paling muda, kan?"
Woojin memberi penjelasan.
"Wah!
Kau tahu banyak tentang Luna!" Jisung terkesima.
Luna
menghela napas dan menggelengkan kepala. Ia berjalan ke depan kelas. "Apa
semua sudah mengumpulkan buku PR?"
Seorang
siswa bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. Mengumpulkan buku PR-nya pada
Luna. Wajahnya terlihat lesu.
"Ong
Seungwoo, apa kau baik-baik saja?" Tanya Luna pada siswa yang baru saja
mengumpulkan buku PR padanya.
Ong
Seungwoo tersenyum lesu. "Aku rasa aku akan mati."
"Eh?
Mati?" Luna terkejut.
"Sekeras
apa pun aku berusaha, Matematika itu benar-benar membunuhku!" Seungwoo
membalikkan badan, dengan langkah lesu berjalan kembali ke bangkunya.
Luna
menatap punggung Seungwoo dengan iba.
"Semua
buku PR sudah terkumpul?" Tahu-tahu Sungwoon sudah berdiri di samping
kanan Luna.
"Sudah!"
Jawab murid kelas XI-E kompak.
Luna
berjalan keluar kelas. Sungwoon segera menyusulnya. Pemuda itu meminta tumpukan
buku PR yang dibawa Luna. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang guru. Luna
lebih banyak diam. Sesekali ia menanggapi ocehan Sungwoon dengan gumaman tak
jelas. Suara Sungwoon yang dilirihkan tetap terdengar keras di koridor sekolah
yang sepi. Hal itu membuat Luna merasa tak nyaman. Tapi, walau ia hanya
menanggapi ocehan Sungwoon dengan gumaman tak jelas. Pemuda itu tetap mengoceh
hingga mereka sampai di ruang guru.
"Oh
ya, Sungwoon. Tadi ada yang lupa belum aku sampaikan di kelas." Kim
Songsaengnim menahan langkah Luna dan Sungwoon yang sudah pamit pergi usai
menyerahkan tumpukan buku PR.
"Aku
membuat kelompok belajar untuk kalian. Aku membagi secara adil, jadi saling
membantulah. Ini daftar kelompok yang aku buat. Tugas berikutnya kalian bisa
kerjakan bersama kelompok kalian." Kim Songsaengnim menyerahkan sebuah
kertas.
Sungwoon
menerimanya, lalu membaca tulisan dalam kertas itu. Luna ikut membaca. Wajah
Sungwoon berseri. Ia tersenyum lebar. Di samping kirinya, Luna mengerutkan
dahi.
"Terima
kasih, Songsaengnim. Saya akan menyampaikan berita ini kepada teman-teman."
Sungwoon membungkukkan badan.
Luna
ikut membungkukkan badan dan hendak menyusul langkah Sungwoon.
"Luna!"
Panggilan Kim Songsaengnim menghentikan langkah Luna juga Sungwoon yang sudah
berjalan tiga langkah di depannya.
"Iye,
Songsaengnim?" Luna kembali menghadap Kim Songsaengnim.
"Aku
harap kamu bisa membantu teman-temanmu. Walau metode yang kamu gunakan tidak
sama seperti yang aku ajarkan, asal teman-teman dalam kelompokmu paham dan bisa
mengikuti cara itu, tak mengapa."
"Iye,
Songsaengnim. Saya akan berusaha semampu saya."
"Bagus!
Ya sudah. Selamat beristirahat."
Luna
membungkukkan badan, lalu bersama Sungwoon meninggalkan ruang guru.
Bel
istirahat berdering saat Luna dan Sungwoon dalam perjalanan kembali menuju
kelas mereka. Sungwoon berlari kecil untuk segera mencapai kelasnya. Ia harus
menyiarkan berita tentang pembentukan kelompok belajar yang dibentuk Kim
Songsaengnim sebelum teman-temannya berhamburan meninggalkan kelas.
Luna
yang tertinggal di belakang membelokkan langkah di persimpangan koridor. Ia
berbelok ke arah kanan. Memilih untuk tak kembali ke kelas.
Kelas
XI-E jadi heboh setelah Sungwoon kembali dan mengumumkan perihal pembentukan kelompok
belajar. Ia memasang kertas pemberian Kim Songsaengnim pada majalah dinding
yang terletak di tembok belakang kelas di dekat loker. Murid kelas XI-E
mengerubungi kertas berisi pembagian kelompok itu dan mulai ribut.
***
Luna
sibuk memotret bunga-bunga yang sedang bermekaran di taman belakang sekolah.
Hanya ada dirinya di sana. Usai mengabadikan bunga-bunga yang menarik
perhatiannya dalam ponsel, ia pun duduk di salah satu bangku taman. Mulai sibuk
memeriksa hasil jepretannya.
"Di
sini rupanya." Seorang siswa tiba-tiba duduk di samping kanan Luna. Ia
melirik apa yang sedang dilakukan Luna. "Pantas saja tak membalas
pesanku." Protesnya.
"Kamu
mengirim pesan?" Tanya Luna tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Mm!"
Siswa itu mengangguk.
Luna
menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arah kanan. "Ada apa mencariku,
Park Jihoon?"
Park
Jihoon, siswa yang duduk di samping kanan Luna menoleh ke arah kiri. Tatapannya
bertemu dengan tatapan Luna. Ia pun tersenyum. "Bukankah kita sekarang
adalah sepasang kekasih? Jadi, wajar kan jika aku mencari Seonbae?"
Luna
diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ah ya. Kau benar. Kita adalah couple. Eh? Belum couple, kan?"
"Walau
masih dalam masa pendekatan, di mata umum kita tetap couple. Mereka telah meresmikan predikat couple itu pada kita."
"Begitu
ya? Hmmm... secepat itu."
Jihoon
diam. Memperhatikan Luna yang kembali sibuk dengan ponselnya. "Seonbae
sudah makan siang?"
"Aku
terbiasa makan menjelang akhir. Saat kantin sudah agak sepi."
"Kalau
begitu aku akan menunggu. Kita makan siang bersama."
"Yakin?"
"Mm!"
Jihoon mengangguk antusias.
"Aku
harap kamu nggak menyesal. Laki-laki biasanya nggak tahan lapar."
"Aku
bisa tahan kok. Aku kan laki-laki yang kuat!"
"Oke!"
Suasana
kembali hening. Yang terdengar hanya kicauan burung dan suara desiran angin.
Luna sibuk dengan foto-foto di ponselnya. Jihoon pun mengeluarkan ponsel dan
mulai mengotak-atiknya untuk membuang bosan. Suasana itu berlangsung selama
beberapa saat hingga keduanya dikejutan oleh sebuah suara.
"Luna!
Luna! Lihat ini!" Woojin tiba-tiba muncul di antara rimbun tanaman bunga
di taman belakang sekolah.
"Ya!
Park Woojin!" Bentak Luna yang kesal karena dibuat kaget.
Bukannya
merasa bersalah dan minta maaf, Woojin malah tertawa puas. "Apa yang kalian
lakukan di sini?" Woojin berjalan menghampiri Luna dan Jihoon.
"Pasangan yang baru jadian ini gemar sekali menjauhi keramaian. Setelah
tertangkap berduaan di basecamp klub
teater, ternyata kalian pindah ke sini." Woojin yang berdiri di depan Luna,
berkacak pinggang dan menggelengkan kepala.
"Seonbae,
jangan berpikir macam-macam. Aku hanya menemani Luna Seonbae sambil menunggu
untuk makan siang bersama." Jihoon berusaha menjelaskan.
"Benar
kah?" Woojin menatap curiga pada Jihoon.
"Nggak
usah susah-susah kasih penjelasan. Percuma saja bicara dengan Park Woojin! Dia
itu emang omes!" Luna berkomentar, menggunakan bahasa Korea dan bahasa
Indonesia. Tapi pandangan dan aktifitasnya kembali fokus pada ponselnya.
"Ya!
Jangan ngomong campuran Bahasa Indonesia! Apa arti kata-katamu itu?"
Protes Woojin.
"Kamu
omes!"
"Apa
itu om-mes??"
Luna
selesai dengan ponselnya. "Kita makan siang!" Ujarnya sembari bangkit
dari duduknya.
Jihoon
ikut bangkit dari duduknya.
"Aku
ikut makan siang! Aku juga belum makan siang. Hehehe." Woojin tersenyum
pada Luna lalu pada Jihoon.
Luna
mengabaikan Woojin dan mulai berjalan beringingan dengan Jihoon. Woojin berlari
menyusul dan berjalan di samping kiri Luna.
"Ini
akan jadi makan siang yang berkesan. Karena, aku makan siang dengan pasangan
yang sedang panas-panasnya jadi bahan obrolan murid seantero SMA Hak Kun."
Ujar Woojin penuh semangat.
"Dasar
cah edan!" Olok Luna.
"Ya!
Jangan ngomong dengan Bahasa Indonesia! Kamu pasti mengolokku! Yang tadi juga
kalimat olokan, kan?" Protes Woojin.
Luna
mengabaikannya.
"Awas
ya! Nanti aku cari artinya di internet! Tapi, tadi kamu ngomong apa? Ya!
Luna-ya!" Woojin berlari mengejar Luna dan Jihoon yang sudah berlari kecil
meninggalkannya.
***
Luna
kembali ke kelas setelah bel tanda masuk berdering. Ia masuk lewat pintu
belakang. Langkahnya terhenti. Ia menatap susunan tempat duduk yang berubah.
Tepat di samping kanan tempat duduknya sudah duduk Ong Seungwoo. Di samping
kanan Ong Seungwoo ada Yoon Jisung. Di depan tempat duduknya masih ada Ha
Sungwoon. Dan, tepat di samping kanan Ha Sungwoon ada Park Woojin.
Woojin
yang sebelumnya duduk di depan Sungwoon kini duduk di samping kanan Sungwoon,
berada tepat di depan Seongwoo. Seongwoo sebelumnya duduk di bangku tengah
nomer dua dari depan, kini duduk di kursi paling belakang, tepat di samping
kanan tempat duduk Luna. Jisung yang sebelumnya duduk di meja nomer dua dari
belakang di dekat tembok, kini duduk di kursi paling belakang tepat di samping
Seungwoo.
"Ah!
Kau sudah kembali Luna!" Sapa Jisung yang lebih dulu menyadari kehadiran
Luna.
Luna
kembali melangkah menuju tempat duduknya. Ia pun duduk dan merapikan buku yang
belum sempat ia rapikan karena ia langsung pergi ke taman belakang sekolah usai
mengantar buku PR ke meja Kim Songsaengnim.
"Luna-ya,
kau menghilang ke mana usai makan siang?" Sapa Woojin.
"Toilet."
Jawab Luna singkat.
"Kamu
nggak menyadari perubahan ini ya?" Woojin menggerakkan tangan, menunjuk
perubahan formasi tempat duduk mereka.
"Tahu
kok. Pasti gara-gara kita satu kelompok, kan?" Luna langsung tahu alasan
kenapa formasi duduk di belakang berubah.
"Luna
memang cerdas!" Jisung bertepuk tangan. "Tadinya aku pikir akan lebih
baik kalau kamu duduk di meja Sungwoon. Tapi, aku tahu kamu pasti nggak mau
pindah. Jadi, begini saja. Agar kita bisa menjadi lebih dekat satu sama
lain."
"Kalian
lebay banget sih!" Luna sembari menyiapkan buku untuk pelajaran
selanjutnya.
"Ya!
Lagi-lagi ngomong Bahasa Indonesia!" Woojin protes dan lagi-lagi Luna
mengabaikannya.
"Dengan
begini aku berharap kita bisa jadi lebih dekat. Mohon bantuannya."
Seungwoo tiba-tiba bersuara.
Luna
menatapnya dengan ekspresi heran, lalu tersenyum kikuk, dan menganggukkan
kepala. "Jangan mati dulu! Kamu masih muda dan tampan. Masa iya mau mati
hanya gara-gara matematika? Kita belajar sama-sama. Matematika itu ilmu pasti.
Jadi, pasti bisa dipelajari. Semangat ya, Ong Seungwoo!" Luna menyemangati
Seungwoo yang benar-benar terlihat putus asa satu setengah jam yang lalu.
Seungwoo
tersenyum tersipu. "Terima kasih, Luna. Yap! Hwaiting!" Ujarnya penuh
semangat.
"Lihat
bagaimana dia memperlakukan Seungwoo. Kamu nggak adil, Luna!" Protes
Woojin.
Guru
memasuki kelas, membuat perhatian semua murid tertuju ke depan kelas. Luna pun
menaruh perhatian ke depan kelas, turut membalas sapaan guru bersama murid yang
lain. Saat guru meminta murid mempersiapkan buku pelajaran, Luna mengamati
sekitarnya. Ia menatap Sungwoon yang duduk di depannya, lalu Woojin, Seungwoo,
dan Jisung. Luna menghembuskan napas pelan. Empat pemuda itu adalah teman satu
kelompoknya. Kelompok belajar yang dibentuk Kim Songsaengnim.
Luna
membuka buku pelajarannya dan berhenti pada halaman yang disebutkan guru.
Masa SMA adalah masa yang paling indah. Benar kah demikian?
Apakah semuanya akan dimulai dari sini? Ah! Indah dimulai dari sini apanya??
Bersama Ha Sungwoon, Park Woojin, Ong Seungwoo, dan Yoon Jisung??? Jadi satu
kelompok belajar saja mereka sudah begini lebay sampai pindah tempat duduk.
Atau jangan-jangan ini akan jadi geng baru? Semacam itu?
Luna
memiringkan kepala.
"Luna!"
Suara guru membuyarkan lamunan Luna.
"Iye?"
Luna menatap guru wanita yang juga menatapnya.
Lee
Songsaengnim, guru perempuan yang mengajar Biologi itu mengajukan sebuah
pertanyaan dan meminta Luna untuk menjawabnya. Luna bisa menjawab pertanyaan
Lee Songsaengnim dengan lancar dan benar.
"Jangan
banyak melamun. Itu tidak baik!" Lee Songsaengnim mengingatkan.
Luna
tersenyum tersipu dan meminta maaf.
"Baiklah.
Kita akan menyiapkan praktikum untuk minggu depan. Jadi, aku akan membentuk kelompok
belajar untuk kalian."
"Songsaengnim!"
Jisung mengangkat tangan.
"Iya,
Yoon Jisung?"
"Tadi
Kim Songsaengnim membentuk kelompok belajar untuk kami, kalau boleh bisa kah
kami tetap dalam kelompok itu untuk praktikum minggu depan?"
Sungwoon,
Woojin, dan Seungwoo menatap Jisung dengan senyum lebar. Mereka setuju dengan
usul Jisung.
"Kelompok
belajar?" Tanya Lee Songsaengnim.
"Iya.
Permisi sebentar." Jisung berdiri, mengambil kertas pemberian Kim
Songsaengnim yang terpampang di mading kelas, dan memberikannya pada Lee
Songsaengnim.
Lee
Songsaengnim membaca susunan kelompok belajar yang dibentuk Kim Songsaengnim
selaku wali kelas dari kelas XI-E. "Kim Songsaengnim adalah wali kelas
kalian, jadi aku yakin beliau pasti tahu kemampuan kalian. Baiklah, kelompok
untuk praktikum biologi minggu depan sesuai dengan kelompok belajar yang
dibentuk Kim Songsaengnim."
"Yes!"
Ujar Jisung terlampau senang. Ia tersenyum kikuk, membungkukkan badan, lalu
membawa kertas daftar kelompok dan kembali menempelkannya. Terdengar gerutuan
murid-murid. Sejenak kelas jadi ribut.
"Perhatikan!"
Lee Songsaengnim meminta perhatian murid-murid yang sedikit ribut. "Catat
alat-alat dan bahan yang kalian butuhkan untuk praktikum!"
Luna
memperhatikan Jisung yang kembali duduk sambil tersenyum dan melambaikan tangan
padanya. Ia beralih pada Seungwoo yang tersenyum manis padanya. Lalu, pada
Woojin yang juga menunjukan senyum terbaiknya. Terakhir ia menatap Sungwoon
yang menoleh padanya dengan tampilan muka yang dihiasi senyum yang serupa
dengan tiga pemuda sebelumnya—senyuman lebar penuh kebahagiaan. Luna menggeleng
dan segera sibuk mencatat alat-alat dan bahan yang diperlukan untuk praktikum
yang sudah ditulis di papan oleh Lee Songsaengnim.
Ya, aku rasa kisah itu akan dimulai sekarang. Entah kenapa
aku merasakan sebuah antusiasme di dalam diriku. Cowok-cowok ini dan Jihoon.
Tahun ajaran baru kali ini... Luna
menatap taman bunga di luar sana. Ia tersenyum dan kembali mencatat.
***
0 comments