Istri Untuk Anakku
05:27
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Babak Baru
Keesokan harinya, Galuh
mendapatkan pelayan pribadinya. Gadis yang usianya dua tahun lebih tua darinya.
Ima nama pelayan pribadi Galuh di rumah megah itu. Ima menjemput Galuh dan
mengantar gadis itu menuju kamar barunya.
Galuh masuk dan dibuat terkesima
dengan kamar barunya. Kamar yang luas lengkap dengan kamar mandi di dalamnya
serta perabot lengkap. Super mewah di mata Galuh.
“Ini semua… buat aku, Mbak?”
tanya Galuh.
“Iya, Nyonya. Ini kamar baru
Nyonya.” Ima sopan sembari tersenyum manis.
“Dari tadi Mbak panggil aku
Nyonya terus. Risih Mbak dengernya.”
“Kan memang Mbak Galuh jadi
Nyonya di rumah ini sejak menikah kemarin dengan Tuan Besar.”
“Tapi saya aneh dengernya Mbak.
Mbak Ima bisa panggil Galuh saja. Mbak Ima dua tahun lebih tua dari aku kan?”
“Tapi, Nyonya…”
“Setidaknya saat kita berdua
saja, em? Aku nggak punya teman di rumah ini. Jadi maukah Mbak Ima jadi temen
aku di sini?”
“Tugas saya memang menemani
Nyonya. Melayani segala kebutuhan Nyonya.”
“Tuh kan Nyonya lagi.” Galuh
kemudian kembali mengamati kamar barunya.
Tertarik pada kamar mandi, Galuh
pun memeriksanya. Kamar mandi yang luas dan mewah bagi Galuh. Lengkap dengan
semua peralatan mandi seperti sabun dan shampoo.
“Semua keistimewaan ini untukku?
Gratis? Benarkah? Apakah benar Pak Sukaryo nggak akan nyentuh aku sama sekali?
Apa benar Beliau akan menepati janji itu?” gumam di hati Galuh.
“Sebaiknya Nyonya membersihkan
diri dulu.” Ima membuyarkan lamunan Galuh.
“Oh, iya Mbak.” Galuh mengangguk
paham.
***
Galuh selesai mandi dan sudah berganti
baju. Ima membantu mengeringkan rambut Galuh dengan handuk.
“Mbak Ima. Boleh aku tanya
sesuatu?” Galuh memecah kebisuan.
“Silahkan.”
“Bagaimana kebiasaan pagi di
rumah ini?”
“Nyonya tidak perlu melakukan apa
pun.”
“Lalu bagaimana anak-anak biasa
diperlakukan? Bagaimana Catur, Panca, Gendis dan Ragil diperlakukan setiap
pagi?”
“Ada pengasuh yang bertugas
membantu mereka masing-masing.”
Galuh kembali diam sejenak.
“Dahulu… apakah seperti itu? Sebelum Nyonya Lastri meninggal dunia.”
“Iya. Mendiang Nyonya Lastri
melakukan semua sendiri. Setiap pagi merawat anak-anaknya, ya masih dibantu
sama pelayan juga.”
Galuh kembali diam. Menundukkan
kepala. “Sepertinya ini nggak bakalan mudah ya Mbak buatku.”
“Maksudnya?”
“Belum tentu aku bisa melakukan
itu semua. Dan, yang paling aku takutkan, anak-anak nggak mau nerima aku. Walau
sebagai seorang teman.”
Ima tersenyum. “Tuan dan Nona
Muda baik-baik kok. Tergantung bagaimana pendekatan Nyonya. Ayo, Nyonya Besar
sudah menunggu.”
“Nyon-nya Bes-sar??”
“Iya. Kita harus bergegas.”
Galuh kembali menghela napas.
Rasa khawatir, takut, kembali menderanya. Galuh berjalan menundukan kepala di
belakang Ima.
***
Lasmi duduk menunggu Galuh di
teras samping. Lasmi tersenyum puas melihat Galuh datang dengan rambut basah.
Ia kemudian mempersilahkan Galuh untuk duduk menemaninya.
“Aku senang sekali pagi ini
melihat rambut menantuku basah.” Lasmi tersenyum kemudian meminum tehnya.
“Nyonya… maaf. Ini tak seperti
yang Nyonya Besar bayangkan. Ini salah paham. Semalam tak terjadi apa-apa. Sungguh.”
sanggah Galuh.
Lasmi meletakkan kembali cangkir
di tangannya. “Jadi dia benar tak ingin menyentuhmu?”
“Nyon-nya Besar tahu?? Iya. Tuan
Besar telah berjanji demikian. Maaf jika ini mengecewakan Nyonya Besar. Dan,
saya tidak ingin Nyonya Besar meminta maaf atas terjadinya pernikahan ini. Saya
berulang kali mendengarnya. Kenapa semua jadi merasa bersalah atas kejadian
ini?”
Tawa Lasmi pecah mendengar ocehan
Galuh. Galuh keheranan menatap Lasmi yang tak bisa menghentikan tawanya.
“Kau ingin aku meminta maaf atas
terjadinya pernikahan ini?” Lasmi disela tawanya.
“Eung… itu… tidak. Bukan
demikian. Hanya khawatir Nyonya Besar juga akan meminta maaf atas hal yang
sama. Saya tak ingin Nyonya Besar meminta maaf. Ini terjadi juga karena pilihan
saya.”
Lasmi berdehem. Tawanya telah
terhenti. “Kau benar-benar lucu Galuh Widati. Walau kau menghalaunya, tetap
saja aku harus mengatakan maaf padamu. Aku telah mengacaukan hidupmu, merenggut
kebebasanmu. Bagaimana aku bisa tinggal diam dan tak meminta maaf? Gadis muda sepertimu
harus terkurung dalam status istri duda beranak tujuh. Ini semua salahku. Aku
coroboh hingga membuatmu terjebak dalam situasi ini. Aku pikir anakku
benar-benar jatuh hati padamu. Ternyata…”
“Semua telah terjadi Nyonya. Jika
Tuhan tak berkehendak, ini tak akan terjadi.”
“Aku kasihan melihat anakku hidup
sendiri dan ketika ia membahas tentang seorang gadis, aku tak ingin menunggu
lama.” guratan sesal itu terlukis di wajah Lasmi.
Galuh terdiam.
Lasmi kembali tersenyum. “Kau…
memaafkan aku?”
“Iya? Oh, entahlah. Tapi saya
merasa, saya tak berhak untuk marah lagi.”
“Kau berhak marah.” Lasmi
memberikan album foto pada Galuh dan mulai bercerita.
Sambil membuka-buka album foto,
Galuh mendengar cerita Lasmi tentang seluk beluk keluarganya. Termasuk tentang
mendiang Lastri. Galuh menatap foto Lastri. Wanita yang anggun dan cantik.
Galuh menutup album foto di hadapannya.
“Jadi kau bisa mengatakan apa pun
itu padaku.” Lasmi menutup penjelasannya.
“Banyak sekali, Nyonya. Banyak
sekali.”
“Banyak sekali?”
Galuh tertunduk.
“Tolong jangan panggil aku
Nyonya. Tak bisakah kau memanggilku Ibu? Atau Nenek?”
Galuh mengangkat kepala menatap
Lasmi.
“Jangan menumpuk rasa bersalahku
dengan tatapanmu itu.”
“Maaf, Nyonya.”
“Nyonya?”
“Nenek. Bolehkah aku memanggil
nenek?”
Lasmi tersenyum dan mengangguk.
***
Galuh lebih banyak diam. Hanya
memperhatikan kebiasaan dalam keluarga besar itu di hari pertama ia jadi bagian
darinya. Puspita yang empat tahun lebih tua dari Galuh itu bersikap sangat cuek
pada Galuh. Sikap Puspita menunjukan antipati. Ia tak ingin beramah-tamah dan
menjadi dekat dengan ibu tirinya.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Catur, Panca, Gendis dan
Ragil. Mereka mengacuhkan Galuh yang sengaja menyambut keempatnya ketika mereka
pulang sekolah. Sikap anak-anak Sukaryo itu jauh berbeda dari semalam yang
begitu ramah menyambutnya.
Sesak. Panas di kedua mata Galuh.
Air mata itu hampir runtuh. Galuh tak tahan dengan perlakuan anak-anak Sukaryo.
Ia makin merasa kerdil dalam keluaraga besar itu.
Hari kedua Galuh masih mendapat
perlakuan yang sama dari anak-anak Sukaryo. Sedang Sukaryo sendiri tak begitu
perhatian pada Galuh. Bertemu hanya saat sarapan dan makan malam.
Beberapa hari berikutnya masih
sama. Galuh benar-benar tertekan dalam situasi itu. Usahanya untuk dekat dengan
anak-anak Sukaryo tak mendapat sambutan baik. Belum lagi perlakuan beberapa
pelayan di rumah besar itu yang tak jarang memicing ketika memandang Galuh. Dan
sering berbisik satu sama lain membicarakannya.
***
Galuh membawakan teh untuk
Sukaryo. Galuh memasuki ruang kerja Sukaryo dan menemukan pria itu sibuk
berkutat dengan pekerjaannya. Seperti biasa Galuh meletakkan teh di meja tanpa
mengucap sepatah kata lalu setelahnya pergi.
“Bisakah kau tinggal sejenak?”
tahan Sukaryo saat Galuh akan meninggalkan ruang kerjanya.
Galuh menghentikan langkahnya dan
kembali menghadap Sukaryo.
“Duduklah.”
Galuh pun duduk di depan meja
kerja Sukaryo.
“Setiap malam kau menangis?”
“Iya? Ah tidak.” sanggah Galuh.
“Matamu tak bisa berbohong.”
Galuh tertunduk dan bungkam.
“Aku dengar seminggu ini kau
berusaha keras mengakrabi anak-anak akan tetapi mereka bersikap acuh padamu.
Dan, beberapa orang pelayan di rumah ini. Semua ini pasti menyiksamu. Karena
itu kau menangis kan?”
“Mbak Ima yang cerita sama Tuan?”
“Benar atau tidak?”
Galuh tersenyum lesu. “Belum
membuahkan hasil. Perlakuan itu pantas saya terima. Tuan jangan coba membantu.”
“Sebelumnya kau punya banyak
murid di rumahmu. Begitu yang aku dengar.”
“Beberapa anak tetangga yang
minta bantuan untuk belajar bersama.”
“Kenapa kau tak ingin aku
membantumu?”
“Mereka mau menerimaku hanya
karena takut pada Tuan. Tidak tulus sekali. Saya tidak suka pada suatu hubungan
yang tak tulus. Terutama untuk sebuah pertemanan.”
Sukaryo tersenyum mendengarnya.
“Walau sulit, saya akan terus
mencoba. Saya yakin mereka baik.”
Sukaryo menghela napas dan
mengangguk. “Aku percaya kau pasti bisa menakhlukan mereka. Anak-anakku.”
“Terima kasih atas dukungan Tuan.
Saya akan terus berusaha.”
“Seminggu berlalu tapi kau masih
memanggilku Tuan.”
Galuh diam. Menatap heran
Sukaryo.
“Bukankah kita ini keluarga? Kau
bisa memanggil ibuku dengan sebutan nenek lalu kenapa masih memanggilku Tuan?
Jika kau memanggil ibuku sebagai Nenek bukankah seharusnya kau memanggilku
Bapak?”
“Bapak?”
“Bukankah memang itu yang pantas
untukku? Kita sudah pernah membahasnya, kan?”
Galuh tersenyum dan mengangguk.
***
Galuh kembali dibuat kesal.
Anak-anak itu lagi-lagi tak menghiraukan perkataannya. Galuh menghentikan
langkahnya. Berusaha keras menekan emosinya. Tatapan Galuh terhenti pada sebuah
keyboard yang berada di salah satu ruang. Ruangan tanpa pintu yang di dalamnya
dipenuhi banyak mainan. Galuh mendekati keyboard itu. Mengamatinya.
Memeriksanya.
Puspita meminta keempat adiknya
untuk diam. Ia mendengar alunan musik, seperti permainan sebuah piano. Catur,
Panca, Gendis dan Ragil pun diam. Kelimanya menajamkan telinga dan mulai
mengendap mencari sumber bunyi berasal. Kelimanya berhenti di depan ruang
bermain. Mendapati Galuh duduk memainkan keyboard.
Galuh duduk memainkan keyboard
memainkan lagu Bunda-Potret. Sementara jari-jari Galuh menari di atas tuts-tuts
keyboard, mulut Galuh bersenandung lirih. Puspita dan keempat adiknya berdiri
diam memperhatikan Galuh memainkan keyboard. Galuh tersenyum sendiri usai
memainkan satu lagu.
“Oh!” Galuh terkejut saat
menoleh. Ia langsung bangkit dari duduknya. “Maaf aku lancang memainkannya.”
“Kau memainkannya dengan baik.”
puji Puspita.
Galuh heran menatap Puspita.
Gadis itu memuji dan tersenyum padanya.
Gendis berlari menghampiri Galuh.
“Maukah kau ajari aku?” tanya Gendis.
“Gendis. Yang sopan!” tegur
Puspita.
Galuh jongkok di depan Gendis.
“Tentu saja. Tapi apa gadis cantik ini benar-benar mau menerima aku sebagai
guru?”
“Aku juga mau belajar!” Ragil
saudara kembar Gendis berlari mendekat. “Ajari aku juga.” pintanya.
“Baiklah. Kita akan belajar
sama-sama.” Galuh menyanggupi.
“Menurut teman-temanku, kau
sangat pintar. Mereka selalu belajar di rumahmu.” Panca ikut bicara.
“Panca. Yang sopan bicaranya.”
tegur Puspita. Ia merasa sungkan atas sikap adik-adiknya pada Galuh.
“Aku sama sekali tak pintar.
Benar, kami sering belajar bersama.”
“Jadi benar yang dikatakan
teman-temanku juga. Kau pintar Bahasa Inggris. Mereka juga belajar padamu.”
Catur pun ikut bicara dan lagi-lagi membuat Puspita sungkan pada Galuh karena
adik-adiknya yang kurang sopan.
“Jika kalian mau, kita bisa
belajar bersama. Seperti yang kami biasa lakukan.” Galuh dengan lembut dan nada
merendah.
“Jadi ajari aku Bahasa Inggris
ya. Pelajaran itu benar-benar menyiksaku.” pinta Catur.
“Boleh. Tapi semua ini tak
gratis.” Galuh kembali berdiri.
“Tak gratis?” tanya Catur.
“Em. Sebelum itu… kita harus
berteman dahulu. Bagaimana? Apa kalian mau berteman denganku?”
“Teman?” tanya Catur lagi.
Puspita diam dan turut menatap
heran pada Galuh.
“Iya, teman. Aku sendirian di
sini. Sedikit tersiksa. Akan sangat menyenangkan jika aku punya banyak teman
yaitu kalian. Jadi maukah kalian berteman denganku?”
“Kami tak harus memanggilmu Ibu?”
tanya Catur.
“Apa itu yang kau inginkan?”
“Tidak.” bisik Catur.
“Bagaimana kalau Kakak?” usul
Galuh.
“Kakak?” Gendis tersenyum lebar
menatap kakak-kakaknya.
“Boleh. Kakak! Itu bagus.” Panca
setuju.
“Baiklah. Kakak.” Catur pun
setuju.
Galuh tersenyum lega. Begitu pun
Puspita.
***
Tempurung kura-kura, 09 September 2017.
. shytUrtle .
0 comments