Matahariku
04:58
Matahariku
Bagiku, engkau
tetaplah matahari. Yang selalu bersinar terang di atas sana. Yang terkadang
hangat namun terkadang panas membakar.
Yang hanya bisa kunikmati keindahanmu tanpa bisa aku menyentuhmu. Apalagi
memilikimu.
“Hallo?” aku terdiam ketika
mendengar suara wanita menerima teleponku di seberang sana. Sangat lembut.
Suara khas seorang ibu. “Hallo?” wanita itu mengulang kembali kata yang sama
karena aku hanya terdiam tak membalas sapaannya. “Hallo?” untuk yang ketiga
kalinya wanita itu mengucap sapaan yang sama. “Baiklah. Kalau tidak mau bicara
akan kututup teleponnya.’
“I-iya, hallo.” Sahutku dengan
sedikit terbata saat mendengar ancaman itu.
“Oh, anak gadis lagi. Apa kau
mencari Ricky? Sayangnya Ricky sedang mengikuti les musik hari ini. Katakan
saja ini siapa, nanti akan kusampaikan pada Ricky dan apakah kau akan menelfon
lagi nanti? Kau pasti adik kelasnya kan?”
Aku tercengang mendengar itu semua.
Jadi aku bukan gadis—adik kelas- yang pertama yang menelfon Kak Ricky? Wanita
di seberang sana—yang aku yakin adalah ibu dari Kak Ricky- sepertinya sangat
hafal sekali dengan kebiasaan itu—kebiasaan adik kelas Kak Ricky menelfonnya.
“Iya,
aku akan menelfon kembali nanti,” jawabku setelah aku kembali tersadar dari
keterkejutanku.
“Baiklah. Akan kusampaikan pada
anakku. Belakangan ini dia tenar sekali. Hehehe,” wanita itu terkekeh dan
berbicara dengan nada yang sangat akrab seolah ini bukan pertama kalinya aku
menelfon. “Lalu namamu siapa dan kelas berapa?”
Aku kembali tercengang. Apakah semua
gadis—adik kelas yang menelfon- mengatakan nama beserta kelasnya? Tuhan. Apa
aku pun harus melakukan itu? “Nanti saja aku akan menelfon kembali. Terima
kasih dan maaf mengganggu,” tanpa menyebutkan nama aku buru-buru pamit dan
meletakan gagang telepon.
Rasanya
begitu lega. Dadaku yang sempat terikat tali tambang besar itu terbebas sudah.
Aku lega juga kecewa. Lega karena bisa mengatasi rasa gugupku dan kecewa karena
orang yang aku cari ternyata tak ada di rumah. Aku mendesah karenanya.
“Bagaimana? Disambut baik tidak? Dia
mau bicara denganmu?” sambut Mini dengan raut muka penuh penasaran.
“Aku rasa tidak. Lihat saja
bagaimana ekspresinya!” Ari menyahut sembari menggerakan kepalanya menunjuk
padaku. “Harusnya aku tak memberikan nomer telepon itu padamu dan tak memaksamu
untuk mencoba menelfonnya. Maafkan aku,” sesal Ari setelah dua hari yang lalu
memberikan nomer telepon rumah Ricky padaku.
Tidak
mudah untuk mendapatkan nomer ponsel Ricky. Kakak OSIS yang lumayan menjadi
idola di SMA kami. Ari yang ingin membantuku—karena tahu aku naksir berat pada
Ricky- berakhir hanya dengan mendapatkan nomer telepon rumah Ricky dari salah
seorang temannya yang kebetulan satu kelas dengan Ricky.
“Disambut baik kok. Sama Mama-nya,”
jawabku untuk menghapus rasa penasaran kedua sahabatku.
“Sama Mama-nya??” Mini melotot
menatapku. “Kok sama Mama-nya sih?”
“Iya. Kak Ricky lagi les katanya.
Besok kita coba lagi yah,” aku tersenyum lebar dan merangkul Mini yang berdiri
di samping kiriku.
***
Naksir berat pada cowok yang jadi
idola di sekolah itu memang bikin ngenes. Apa menurutmu Ricky itu sosok yang
tinggi, putih, bertubuh atletis atau sejenisnya? Tidak. Ricky bukanlah tipe
cowok idola di sekolah dengan kriteria idola dalam sinetron seperti itu. Tidak
sama sekali. Ricky berkulit hitam dan tak terlalu tinggi—yang bagiku tergolong
pendek untuk ukuran cowok- namun ia memiliki mata elang yang tajam. Suaranya
penuh wibawa. Dan ketrampilannya memainkan drum juga gitar tentu menjadi sisi
tambahan yang membuat ia cocok dimasukan dalam kategori “idola di sekolah”. Di
tambah Ricky seorang anggota OSIS. Lengkaplah sudah persyaratan baginya untuk
masuk daftar “idola di sekolah”.
Jika boleh jujur, awal ketika aku
masuk ke SMA tempat aku dan Ricky bertemu, aku tak mengidolakan cowok berkulit
hitam itu. Sama sekali tidak. Tatapan pertamaku tertuju pada Agung. Cowok ini
boleh aku sebut sebagai cowok “idola di sekolah” dengan kriteria idola dalam
sinetron. Dia kurus, tinggi, ceking, berwajah tampan dan cool. Selain termasuk
pengurus OSIS, Kak Agung juga tergabung dalam tim sepak bola nomer satu di kota
kami. Prestasi di sekolah dan di luar sekolah yang ia miliki benar-benar pantas
untuk menyematkan gelar “idola di sekolah” yang sebenarnya. Tapi jangan
sekali-kali kau mencoba mendekatinya karena ia sudah memiliki pacar yang juga
“idola di sekolah”. Sangat sinetron sekali bukan?
“Adegan
di sinetron ada karena itu pernah terjadi di dunia nyata,” begitulah pembelaan
Mini setiap kali kami membahas tentang Kak Agung dan pacarnya yang juga “idola
di sekolah”. Lalu bagaimana aku bisa berpaling pada Ricky?
Hari itu hari terakhir MOS—Masa
Orientasi Siswa- dan aku sangat ngantuk sekali ketika mengikuti sesi materi
yang dibawakan oleh seorang guru. Hampir saja aku jatuh tertidur, namun aku
terkejut ketika tiba-tiba seseorang mencolek punggungku sambil memanggilku,
“Dek, dek, dek.” Spontan aku menoleh dengan mata terbuka lebar.
Aku
terkejut setengah mati. Aku pikir aku telah membuat kesalahan—terkantuk-kantuk
dan ketahuan- di sesi ini. “Iya?” aku menoleh dengan nada suara sedikit
lantang. Dua kakak OSIS yang duduk tepat dibelakangku tampak terkejut juga
melihat bagaimana reaksiku.
“Kamu ngantuk ya?” tanya Kak Ricky
dengan menyunginggkan senyum—yang sumpah membuatku benar malu- sambil menatap
lurus padaku.
“Iyaaa begitulah. Hehehe,” aku pun
nyengir bak anak SD yang ketahuan makan sesuatu di dalam kelas.
“Pembicaranya memang bikin boring,
bikin ngantuk,” Kak ricky sedikit mencondongkan badannya ke depan agar lebih
dekat padaku yang pastinya agar aku mendengar suaranya yang sedikit berbisik
itu dengan jelas.
Iya, benar. Rasa kagum atau rasa
suka atau bahasa bekennya adalah naksir itu bisa muncul dari hal kecil. Seperti
yang terjadi padaku yang beralih dari kagum atau entah naksir pada Kak Agung
beralih kagum entah naksir pada Kak Ricky. Hanya karena obrolan singkat saat
aku terkantuk di salah satu sesi MOS.
Bagaimana
sosok Kak Ricky ketika memimpin barisan adik-adik juniornya saat MOS pun
terbayang kembali di otakku. Yah, dia memang tak tampan tapi dia sangat manis. Aku
suka mata elangnya. Itu sudah cukup kan untuk membuatku naksir padanya? Di
tambah obrolan singkat saat aku terkantuk dan berjabat tangan di hari terakhir
MOS. “Selamat bergabung di SMA kita ini. Sekarang kau benar-benar murid di
sini,” ucap Kak Ricky seraya menjabat erat tanganku.
Kenapa
sebelumnya ia tak berdiri dan menjabat tangan para junior yang hendak pulang
seperti kakak-kakak yang lain? Kenapa ketika aku dan kedua temanku lewat turut
menyalami deretan kakak OSIS dia baru berdiri dan menyalami kami? Apa dia juga
naksir aku? Seperti cerita dalam sinetron?
***
Di usaha kedua menelfon Kak Ricky,
Dewi Fortuna berpihak padaku. Kak Ricky sendiri yang menerima panggilan itu dan
entah aku gadis yang ke berapa yang menelfonnya sore itu. Sumpah dia sangat ramah.
Hangat menyambut obrolan. Karena aku begitu gugup dan tak mau Kak Ricky tahu
jatidiriku yang sebenarnya maka aku mengaku sebagai “Ratna” bukan Tyas saat aku
menelfonnya.
Sejak
menerima sambutan hangat itu, tiga kali dalam seminggu aku selalu menelfon Kak
Ricky sebagai Ratna bukan sebagai diriku yang sebenarnya Tyas. Tadinya aku
pikir Kak Ricky sama seperti “idola di sekolah” yang lainnya yang angkuh dan
sombong, tapi aku salah. Kak Ricky sangat ramah di telepon. Obrolan kami selalu
nyambung dan kesukaan kami hampir selalu sama.
Di
sela-sela obrolan kami, Kak Ricky tak pernah lupa bertanya aku sebenarnya
siapa, kelas berapa dan di mana rumahku namun aku selalu berkelit. Tentang
semua sambutan ramahnya dan segala yang kami suka hampir sama memang membuatku
melayang. Bahkan sempat aku berpikir apakah dia benar menyukaiku? Namun sisi
rasionalku menjawab, ingatlah dia itu termasuk “idola di sekolah” pasti ia
bersikap ramah bukanlah hanya padamu tapi juga pada semua gadis yang
menelfonnya. Namun tak jarang perasaanku menepis logikaku. Setidaknya biarkan
aku menikmati keindahan—keakraban di telepon- walau itu semu.
Rasa kagum yang kita pupuk dalam
kebiasaan itu tentu saja akan tumbuh semakin subur. Naksirku pada Kak Ricky
semakin menjadi. Berkhayal tentang bagaimana hubunganku dengan Kak Ricky
selanjutnya—yang pasti adalah khayalan kami pada akhirnya pacaran- hampir
setiap hari memenuhi otakku. Di sekolah, memperhatikan Kak Ricky secara
diam-diam pun telah menjadi rutinitas bagiku. Yah, kami memang akrab di dunia
maya—di telepon- namun di dunia nyata, kami dua makhluk yang hanya saling tahu
satu sama lain sebagai senior dan junior.
“Kau benar akan meminjamkan CD
Backstreet Boys itu padaku?” aku berbinar. Salah satu kesamaan kami adalah kami
sama-sama menyukai lagu-lagu dari Backstreet Boys. Suatu ketika Kak Ricky
pernah memutarkan lagu favoritku Spanish Eyes ketika aku menelfonnya.
“Tentu saja. Kita harus bertemu.
Ayolah. Kenapa kau selalu menolak untuk bertemu? Berhenti menyembunyikan
jatidirimu dariku,” Kak Ricky menyanggupi.
Bertemu? Berhenti menyembunyikan
jatidirimu dariku? Apa Kak Ricky telah tahu aku yang sebenarnya siapa? Apa aku,
Ari dan Mini membuat kesalahan di sekolah hingga kedok kami terbuka? Bagaimana
ini?
“Hari Sabtu kau ada pelajaran renang
kan? Kebetulan aku ikut tes susulan karena itu aku akan ikut kelas X. Kita
bertemu di sana. Akan kubawa CD BSB-nya untukmu. Jangan menolak.”
Tut.. tut… tut… Kak Ricky menutup
telepon sebelum aku setuju atau menolak. Tuhan. Sabtu nanti haruskah aku
bertemu langsung dengannya? Aku… dilema.
***
Sejak pagi aku gusar. Hari Sabtu,
hari di mana pelajaran renang digelar usai jam sekolah. Hari di mana Kak Ricky
akan mengikuti tes renang susulan dan bergabung dengan kami murid-murid kelas
X. Hari di mana Kak Ricky memintaku untuk menmuinya karena ia akan membawakan
CD Backstreet Boys yang akan aku pinjam darinya. Haruskah aku benar-benar
menamuinya dan membuka jatidiriku yang sebenarnya setelah sebulan menjalin
keakraban dengannya di telepon?
Aku lega ketika sampai di kolam.
Hanya ada murid-murid kelas X di sana. Tidak-tidak. Ada beberapa murid kelas XI
yang ikut tes susulan juga namun tak ada Kak Ricky di sana. Aku menghela napas
lega. Aku pun turun untuk bersiap mengikuti pelajaran renang. Karena guru olah
raga masih sibuk dengan tes susulan para senior, kami para junior pun harus
menunggu di pinggir kolam. Aku. Ari dan Mini duduk berjajar bersama beberapa
siswi dari kelas kami di pinggir kolam. Kami merendam kaki di dalam kolam
sembari mengobrol.
Perhatian
para siswi yang duduk satu deret dengan kami beralih. Mereka menjadi riuh dan
menatap ke arah pintu masuk kolam. Seperti telah di komando oleh guru olah raga,
aku, Ari, dan Mini pun turut menatap ke arah pintu masuk kolam. Kedua mataku
terbelalak melihat satu-satunya pemandangan muncul di pintu masuk. Kak Ricky
berjalan masuk dan yang membuat kedua mataku terbelalak bukanlah Kak Ricky yang
berjalan dengan memamerkan CD Backstreet Boys yang aku pesan, tapi adanya gadis
yang berjalan di samping Kak Ricky dengan tangan kanannya di gandeng tangan
kiri Kak Ricky. Mereka… mesra sekali. Apa mereka pacaran?
“Iya. Mereka itu pacaran. Sejak
mereka SMP,” seolah mendengar pertanyaan di otakku salah seorang teman
sekelasku melontarkan jawaban.
“Aku
tahu karena aku satu sekolah dengan mereka. Aku sih suka nelfon Kak Ricky
karena Kak Ricky enak diajak ngobrol. Itu aja,” imbuhnya enteng menjelaskan
alasan kenapa ia juga suka menelfon Kak Ricky.
“Itu
sebabnya kenapa aku selalu bilang pada kalian, jangan naksir idola di sekolah
karena aku jamin kalian pasti akan patah hati. Semua idola di sekolah kita
sudah punya pacar,” lagi-lagi ia menambahkan membuat dadaku semakin sesak
seolah aku akan pingsan saat itu juga karena kehabisan napas. Namun sekuat
tenaga aku tetap berusaha tegar—tak mengalihkan pandanganku dari menatap Kak
Ricky dan pacarnya yang tak lain adalah teman seangkatan kami siswi kelas X-
bahkan aku tersenyum kagum menatap keduanya di depan teman-temanku.
Aku
tahu Ari dan Mini kompak menatapku dengan tatapan haru atau lebih pantasnya
kasihan ketika aku tersenyum untuk Kak Ricky dan kekasihnya.
Setelah kejadian itu, aku tak pernah
menelfon Kak Ricky lagi. Benar yang dikatakan Silvia, “Jangan naksir idola di
sekolah karena aku jamin kalian pasti akan patah hati. Semua idola di sekolah
kita sudah punya pacar.”
Bagaimanapun
juga matahari hanya bisa dipandang tak bisa disentuh apalagi dimiliki.
***
Tempurung kura-kura, 15 Mei 2016.
.shytUrtle.
0 comments