Istri Untuk Anakku
05:19
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Ia Setuju dan Pernikahan Itu Terjadi
Hari-hari
Galuh tak lagi ceria seperti sedia kala. Galuh berubah pendiam dan murung.
Galuh pun jarang keluar rumah. Lebih banyak menyendiri di kamarnya.
“Bisa
kita bicara, Luh?” Anjar menghampiri Galuh yang sedang duduk melamun di bawah
pohon nangka di belakang rumah. Galuh mengangguk. Anjar segera duduk di samping
Galuh. Ia perhatikan wajah lesu dan lusuh Galuh.
“Kalau
kamu nggak setuju sama pernikahan ini, aku bisa bantu kamu. Kita kabur. Aku
sudah ngomongin rencana ini sama Paklek. Paklek setuju. Paklek nggak tega liat
kamu kayak gini.” Anjar tanpa basa-basi.
Galuh
menoleh. Tertegun menatap Anjar. Selama ini Anjar selalu bersikap cuek. Namun
sore ini Anjar memberi perhatian dan menawarkan bantuan.
“Aku
sependapat sama Paklek. Kamu nggak bisa selamanya ngalah sama Ibu. Jangan
nurutin maunya Ibu terus. Kamu punya hak buat nolak, Luh. Ya memang Pak Sukaryo
itu juraganku, tapi kalau harus liat kamu nikah sama beliau… aku nggak rela.
Bahkan kamu lebih muda dari anak ketiga Pak Sukaryo. Ini sama artinya kamu
nikah sama bapak kamu. Kamu masih muda. Banyak pula laki-laki yang naksir kamu.
Banyak pilihan.” imbuh Anjar.
“Terima
kasih.” suara Galuh parau. “Tapi aku nggak mau lari dari kenyataan.” air mata
Galuh kembali menetes menuruni pipi putihnya yang terlihat pucat belakangan
ini. Galuh segera mengusapnya.
“Lari
dari kenyataan??” Anjar menoleh. Keheranan menatap Galuh.
“Mungkin
ini adalah takdirku.” Galuh tertunduk.
“Mungkin??
Masih mungkin, kan? Bagaimana kalau ini hanya nasib buruk kamu? Kamu punya hak
merubahnya, Luh!”
“Bulek
sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Sejak kecil, aku merepotkan Bulek.
Kalau aku kabur, apa jadinya keluarga ini? Bulek sudah menerima semua hantaran
dari keluarga Pak Sukaryo, lalu tiba-tiba aku kabur. Mungkin keluarga Pak
Sukaryo bisa maklum, tapi masyarakat? Setelah itu apa kita bisa tanggung jawab
atas akibatnya? Malu dan hinaan yang harus Bulek tanggung akibat dari sifat
egoisku. Jika pernikahan ini bisa membuat Bulek bahagia, aku rela
menjalaninya.”
“Edan!
Kamu ini gila! Nggak waras lagi, Luh! Apa karena Pak Sukaryo kaya raya jadi
kamu pikir bakalan enak jadi istri mudanya?”
“Benar,
Njar. Kamu benar. Aku edan. Gila. Nggak waras.” air mata Galuh kembali mengucur
deras. “Aku sayang kalian karena hanya kalian yang aku miliki kini. Aku nggak
mau kalian menderita gara-gara aku.” Galuh menutup muka dengan kedua tangannya.
Menangis tersedu.
Anjar
menghela napas panjang. Terdiam. Hanya bisa mengusuk pundak Galuh yang
bergoyang karena tangisannya.
***
Murti
sumringah mendengar persetujuan Galuh. Rahma dan Joyo benar-benar dibuat
terkejut oleh keputusan Galuh. Namun keduanya hanya bisa diam. Menurut saja
pada keputusan Galuh.
Ada
perang bergejolak dalam batin Galuh walau ia telah menyetujui pernikahan itu.
Memikirkan tawaran Anjar dan berniat menyetujuinya. Namun kembali terbayang
resiko yang akan diterima keluarga Murti jika ia memilih pergi bersama Anjar.
Galuh meragu walau telah mengatakan setuju.
***
Sukaryo
pun dibuat bimbang. Berita tentang pernikahannya telah menyebar luas di
masyarakat. Lasmi telah menyebarkan berita bahagia itu pada sanak saudara dan
sahabat yang kemudian menyebar pada masyarakat luas. Karena hal itu pula Galuh
segera menjadi topik bahasan sebagian besar masyarakat. Lebih banyak mencerca
Galuh yang menerima lamaran Sukaryo. Mereka berpendapat Galuh gila harta hingga
mau menikah dengan Sukaryo yang lebih pantas menjadi bapak untuk Galuh.
“Ini
salahku. Semua ini salahku. Maafkan aku Galuh. Tapi semua sudah terlambat.”
Harto menemui Galuh.
Galuh
marah mendengar semua penjelasan Harto tentang kesalahpahaman yang kini
menyeretnya dalam posisi sebagai calon istri Sukaryo. Tubuh Galuh memanas
karena emosi. Hampir seluruhnya gemetar dan ia menatap penuh kebencian pada
Harto. Karena kecerobohan pria itu Galuh terlibat masalah besar. Galuh
memejamkan mata sejenak dan menekan dalam-dalam emosinya. Galuh menghembuskan
napas dan kembali membuka mata.
“Semua
sudah terjadi. Bapak minta maaf pun tak akan merubah keadaan. Iya, saya marah.
Benar-benar marah. Tapi semua ini tak akan terjadi jika Tuhan tak berkehendak.
Saya hanya bisa pasrah sekarang. Saya terima kemalangan ini.” Galuh kembali
tertunduk.
Harto
semakin merasa bersalah melihatnya. “Aku benar-benar minta maaf, Galuh. Andai
aku bisa menebus ini semua.”
“Jadilah
teman bagiku.” kata Galuh.
Harto
menatap tak paham pada Galuh.
“Untuk
menebus ini semua, aku mohon Bapak jadilah teman bagiku.”
“Teman??”
“Setelah
pernikahan itu… aku pasti akan sendirian dan… dan aku tak tahu apa yang harus
aku lakukan di rumah besar itu. Aku ingin Bapak menjadi temanku. Bantu aku saat
aku di sana.”
Harto
tersenyum tulus. “Tanpa kau minta, aku akan melakukannya.”
***
Hari
pernikahan itu tiba. Semua digelar sederhana. Akad nikah dilaksanakan di rumah
Galuh. Inilah pertama kali Sukaryo dan Galuh bertatap muka. Sepanjang prosesi
akad nikah tak terpancar sedikit pun aura bahagia di wajah ayu Galuh. Ia redup.
Bahkan Galuh tak mengangkat kepala sedikit pun. Ia tak mau menatap wajah sang
Tuan Tanah yang selama ini ia kagumi sebagai sosok bijaksana dan “Bapak” bagi
semua orang.
Dalam
hatinya Sukaryo memuji kecantikan Galuh. Namun ia menyesalkan kejadian ini.
Gadis cantik yang lebih pantas menjadi anaknya itu, hari ini justeru harus
menikah dengannya. Menjadi istrinya.
Galuh
sedikit mengangkat kepala. Menatap Sukaryo. Pria berpostur tinggi besar, tegap,
berkulit sawo matang dan berkumis tebal itu membuat Galuh merasa ngeri. Galuh
segera menundukkan kepalanya kembali.
Usai
akad nikah, Sukaryo langsung memboyong Galuh ke istananya. Gunjingan masyarakat
yang menyaksikan arak-arakan pengantin turut mengiringi. Beberapa merasa
kasihan pada Galuh yang menurut mereka hanyalah korban ketamakan Murti. Namun,
lebih banyak yang memojokan Galuh karena gadis itu mau dinikahi Sukaryo dengan
alasan kekayaan si Tuan Tanah.
Sampai
di istana tempat Sukaryo dan keluarganya tinggal, Galuh disambut keluarga besar
Sukaryo. Galuh duduk bersama Lasmi dan Sukaryo. Satu per satu anak Sukaryo
menyalami Galuh. Pandu dan Puspita yang nyata-nyata lebih tua dari Galuh pun
turut menyapa. Catur, Panca, dan si kembar dampit Gendis dan Ragil juga tak
lupa salim pada ibu baru mereka. Semua menyambut ramah kedatangan Galuh.
Ibu
dari tujuh orang anak dan nenek dari dua orang cucu. Itulah status yang resmi
disandang Galuh mulai hari ini selain memiliki gelar sebagai istri Tuan Tanah
Sukaryo.
***
Di
kamar pengantin Galuh duduk menundukkan kepala di tepi ranjang. Kedua tangannya
meremas-remas baju yang ia kenakan. Galuh takut. Suasana sangat hening hingga
Sukaryo masuk. Tubuh Galuh makin gemetaran.
Sukaryo
menatap Galuh yang duduk di tepi ranjang dan menundukkan kepala. Sukaryo
menghela napas lalu duduk di sofa. “Kemarilah.” Panggil Sukaryo dengan suara
berat dan tegas itu.
Galuh
terkejut mendengarnya. Perlahan ia bangkit dari duduknya, menuju sofa lalu
duduk di hadapan Sukaryo. Galuh tertunduk di depan Sukaryo.
“Ada
yang ingin kau sampaikan?” tanya Sukaryo. Terdengar lembut.
“Maaf??”
Galuh mengangkat kepala.
“Aku
tahu. Aku lah yang salah dan harus meminta maaf padamu.”
Galuh
lagi-lagi dibuat terkejut. Kali ini ia benar-benar menatap Sukaryo yang duduk
di hadapannya.
“Kau
tak perlu takut padaku. Pernikahan ini adalah salah paham besar. Aku paham apa
yang kau rasakan. Karenanya aku minta maaf. Kita sama-sama terjebak dalam
kesalahpahaman besar ini. Tadinya aku berpikir kau akan menolak, tapi kenapa
kau malah menerima pernikahan ini?” Sukaryo menatap teduh Galuh.
“Tak
sanggup membayangkan resiko yang harus di tanggung keluarga saya. Malu dan
makian.” Galuh lirih.
Sukaryo
tersenyum. “Jadi kau juga memikirkan bagaimana malu yang juga akan di tanggung
keluargaku jika pernikahan yang sudah di koar-koarkan ini gagal?”
Galuh
kembali menunduk.
“Secara
tak sengaja, aku hutang budi padamu. Dengarkan aku, Galuh Widati. Aku sangat
mencintai mendiang istriku. Hingga kini tak ada yang bisa menggantikan
posisinya di hatiku. Maaf jika ini membuatmu terluka. Jadilah temanku dan tak
perlu takut padaku. Aku tak akan menyentuhmu.”
Galuh
mengangkat kepala menatap Sukaryo.
“Aku
tahu kau juga tak menginginkan pernikahan ini kan? Jadi mari kita berteman dan
sama-sama menjaganya. Tentang Ibu, tak perlu kau risaukan. Malam ini tidurlah
yang nyenyak dan nyaman di ranjang. Aku akan tidur di sofa ini. Kau bisa pegang
janjiku. Aku tak akan menyentuhmu. Percayalah.”
Galuh
berkaca-kaca mendengarnya. “Terima kasih, Tuan.” air mata Galuh meleleh.
“Jangan
berterima kasih. Ini salahku. Dan, jangan menangis.”
Galuh
mengusap air matanya dan tersenyum.
“Apa
begini cara seorang teman memanggil temannya?”
“Maaf??”
“Jangan
memanggilku Tuan. Masak seorang teman memanggil temannya Tuan?”
“Oh.
Maaf.” Galuh kembali tersenyum.
Sukaryo
turut tersenyum. Di dasar hatinya ia suka melihat Galuh tersenyum. Itu
membuatnya merasa lega daripada melihat Galuh terus redup.
“Ini
tidak mudah. Bagaimana saya memanggil Anda?”
“Kau
bisa memanggilku… bapak?”
“Bapak??”
Sukaryo
mengangguk.
Galuh
kembali tersenyum. “Baiklah. Bapak.”
Sukaryo
tersenyum lega. “Sekarang tidurlah. Kau pasti sangat lelah.”
Galuh
pamit dari hadapan Sukaryo dan kembali menuju ranjang. Galuh membaringkan tubuh
lelahnya namun ia terjaga sepanjang malam. Galuh tak bisa mempercayai Sukaryo 100%.
Karenanya ia terjaga semalaman.
***
Tempurung kura-kura, 19 Agustus 2017.
. shytUrtle .
0 comments