Bilik shytUrtle: Diary Melawan
Anxie #5
Posting terakhir: 19 September 2016. Update kondisi dari 20 September - 28 September 2016.
Sebelumnya aku berpikir, aku nggak bakalan bisa kayak dulu lagi dalam berbagai hal. Tapi, itu salah. Sebenarnya yang memunculkan pemikiran itu adalah ketakutanku sendiri.
Menjadi sedikit ribet beberapa waktu lalu tiap kali pergi kerja. Dulu sebelum sakit, kostum favorit sehari-hari adalah kaos oblong dan celana pendek sebawah lutut. Maklum kerja di toko jadi nggak ada seragam atau ketentuan tertentu dalam berpakaian. Sejak Januari tahun 2015 penampilan berubah drastis.
Kalau berangkat kerja kostumnya udah kayak kostum musim dingin di negeri empat musim. Kaos panjang, jaket, celana panjang, kaos kaki, dan masker. Bahkan kadang sampai pakai sarung tangan. Sampai dicibir dan dijuluki "Nona Minyak Kayu Putih", karena tiap kali aku lewat pasti bau minyak kayu putih.
Sakit hati? Iya, sempetlah. Tersinggung sama olok-olokan yang mungkin maksudnya hanya bercanda itu. Yang paling nohok itu kalau ada yang ngomong gini, "Lagi hamil muda ya, Mbak? Kok nyiumin minyak kayu putih terus."
Huft!!!
Ya emang hak yang punya mulut mau ngomong apa. Tapi kadang masih ada rasa sakit dibalik sikap 'senyumin aja' itu. Trus keinget kata Kak Lee, "Doain yang baik-baik aja itu yang suka ngolok kamu. Nggak usah diambil hati. Nggak usah dipikirin."
Bener juga ya. Kalau kita berdoa kan malaikat balik mendoakan kita. Kalau aku doain orang yang jelek-jelek, ntar malaikat doain aku yang jelek-jelek juga dong. Misalnya aku berdoa, semoga kamu ngrasain apa yang aku rasain. Trus malaikat doain aku kayak gitu juga. Lah kapan sembuhnya?
Sejak saat itu kalau ada yang ngolok atau ngatain, disenyumin aja lalu didoain yang baik-baik biar baliknya baik juga. Lebih ringan dan lebih bahagia jadinya.
Setelah kondisi tubuh stabil, kalau pagi berangkat kerja masih pakek kostum kayak kostum musim dingin di negeri empat musim. Tapi bawa ganti. Cuaca kan kadang labil tuh. Pagi dinginnya ndak umum, siang gantian panasnya yang ndak umum. Demi kenyamanan diri sendiri agar nggak kena anxie (yang disebabkan oleh rasa nggak nyaman itu), aku pun bawa ganti. Kalau siang dan cuaca berubah panas, ganti pakek celana pendek selutut dan lepas jaket. Tapi kadang-kadang masih pakek kaos kaki.
Dipandang aneh atau diketawain bahkan diolok? Iya, sering. Whose care! Yang penting aku nyaman.
Dari sana jadi berpikir, aku bisa ya kayak dulu lagi. Walau dengan sedikit tambahan asesoris: kaos kaki dan masker.
Jadi? Nggak ada yang nggak mungkin. Selama masih bernapas dan mau berusaha, masih ada harapan untuk kita. Percayalah pada adanya keajaiban. Selalu ada keajaiban bagi siapapun yang memercayainya.
Hari Senin lalu, hawa pagi tak terlalu dingin. Percobaan ah! Memakai kostum kayak sebelum sakit, ditambahin jaket, kaos kaki, masker. Well, I'm fine all day! Dan itu menyenangkan. Aku bahagia! Nah, fase angel bisa diciptakan sendiri, kan? Asal tidak dalam siklus biologi tubuh yang emang nggak bisa ditolak lho ya. Kalau lagi dalam fase itu, ya nikmati saja.
Selasa, 20 September 2016.
Masih mengenakan kostum yang sama dengan hari Senin. Kondisi fisik dan mental pun stabil.
Emang udah direncanakan sebelumnya kalau hari Selasa akan pergi ke dua desa tetangga untuk mengumpulkan foto sebagai pelengkap keperluan dokumentasi novel.
Pergi sendiri? Nyetir motor sendiri?
Jawabannya: nggak.
Jujur sejak peristiwa tanggal 29 Agustus itu dan memulai self healing, aku belum mencoba keluar dengan nyetir motor sendiri. Jadi aku diantar Thata--my (new) partner in crime. Hehehe.
Rencana awal mau berangkat pagi, pukul delapan. Tapi batal karena bentrok dengan jadwal barang di toko datang.
Apakah pikiran buruk sempet muncul?
Jawabannya: iya.
Apakah pikiran buruk itu sampai pengaruh ke fisik?
Jawabannya: iya.
Apakah sampai membatalkan rencana pergi?
Jawabannya: TiDAK!
Mau sampai kapan ngalah terus sama ketakutan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri? Pesan Dr. Robert Anthony terniang-niang: LAWANLAH KETAKUTAN DENGAN SEBUAH TINDAKAN.
Ya, benar! Aku harus bertindak! Aku nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kalau aku nggak berani nyoba.
Pukul dua tepat Thata menjemput. Langsung pamit dan kami pergi. Karena hawa cukup gerah, aku meninggalkan jaket dan kaos kaki di toko. Hanya bawa masker karena debu di mana-mana.
Kaos lengan pendek, celana pendek selutut, sendal jepit (yang aku sebut sebagai kenyamanan dan kebebasan) tanpa kaos kaki. Dengan penuh percaya diri, aku duduk dalam boncengan Thata. Saat motor mulai melaju, semriwing angin menyentuh kulitku. Rasanya dingin, tapi juga sejuk.
"Serius nggak pakek jaket dan kaos kaki?" Tanya Thata.
"Yap. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Aku menunjukkan senyum sejuta dolarku pada udara. Ya! Aku baik-baik saja.
Kami menuju desa pertama. Banyak sekali perubahan di jalan menuju desa. Jalannya rusak dan hutan di sekitarnya jadi kayak nggak bersahabat gitu. Aku sempat bergidik, tapi aku menepis dengan pendapat: karena aku lama sekali nggak ke sini, mereka jadi nggak kenal lagi ke aku.
Dulu, dulu sekali, jauh sebelum sakit, setiap sore aku rajin bersepada melalui jalur itu. Mungkin karena itu, jadi kesannya 'saling kenal', bahkan 'akrab'. Setelah beberapa tahun nggak ke sana, udah pasti banyak perubahan dan jadi 'nggak akrab' kayak dulu lagi.
Tiba di lokasi pertama dengan timing yang tidak tepat. Hasilnya; tidak bisa mengambil banyak foto dengan bagus.
Huft!
Padahal perkiraanku jam segitu kolam bakal sepi, ternyata... sangat ramai! I'm not lucky!
Lanjut ke tujuan kedua, ke desa kedua. Jalan menuju ke sana berubah drastis. Aku banyak-banyak berdoa selama dalam boncengan Thata. Khawatir ban motor bleset kena bebatuan yang mencuat, lalu kami terjatuh. Apalagi pas balik Thata milih jalan tanah yang keluar dari jalur jalan makadam (jalan berbatu). Jalannya mepet selokan. Tuhan, aku sampai membeku karena takut. Bahkan Thata sampai menegur agar aku tak tegang dan kaku. Hahaha. But, I'm fine. Kami melewatinya dengan selamat. Bener-bener motor adventure yang memacu adrenalin. Coba naik motor trail ya. Pasti tambah seru #ups
Walau kaki gatel-gatel karena kena rumput dan entah digigit apa, hati senang karena berhasil mengumpulkan foto lokasi untuk dokumentasi novel.
Di tengah perjalanan pulang, saat melewati kawasan hutan yang cukup rimbun, tiba-tiba ada sesuatu yang menyengat kakiku. Sampai-sampai aku menjerit karena sakitnya. Tiga kali sengatan sukses bikin aku kesakitan dan keringetan. Entah hewan apa itu yang tiba-tiba nyelip masuk ke bagian bawah celanaku dan menyengat kaki kiriku. Hewannya hitam dan bersayap putih transparan.
Bekas sengatan langsung ngilu dan bentol-bentol. Sakit. Untung bawa minyak kayu putih di saku celana. Tanpa menghentikan motor, langsung membaluri bekas sengatan dengan minyak kayu putih banyak-banyak. Alhamdulillah bisa mengurangi rasa sakitnya.
Perjalanan berlanjut ke desa ketiga, ke kawasan hutan pinus. Alhamdulillah lancar dan nyampek rumah pukul... setengah empat sore kayaknya. Lalu dapat kabar kalo adas bintangnya udah dapat dan disuruh ambil. Ok!
Nyampek rumah (setelah ngalas) langsung mencuci baju dan mandi. Selesai itu semua, dijemput Thata lagi buat ngambil adas bintang. Walau masih pakek kaos lengan pendek dan celana pendek selutut, tambah pakek jaket karena hari sudah sore.
Nyampek lokasi, ternyata adasnya ketinggalan di pasar. Yew! Pulang dengan tangan kosong. Nyampek rumah langsung ditodong Rara, diajak beli es krim ke kedai Yammie!! Ampun!!!
Setelah Maghrib pergi lagi. Dan hari itu saya cheating; makan wafle dengan toping es krim tiga rasa (coklat, vanila, stroberi) dengan dominasi coklat.
Because I'm happy, so everything is fine. Alhamdulillah aman setelah cheating makan es krim. Bahagia adalah kunci sehat jiwa dan raga.
Menjelang tidur, kaki kiri berasa makin ngilu. Tapi aku berpikir; mungkin kecapekan habis jalan mendaki gunung lewati lembah. Lalu aku pun tidur dengan lelapnya.
Rabu, 21 September 2016.
Oh, tidak!!! Bangun dikejutkan dengan adanya tiga bercak merah sebesar uang koin di kaki kiriku. Ya ampun... serangga kemaren meninggalkan tanda cintanya di kakiku. Heuheuheu. Dia yang nyangkut, eh dia yang ngamuk. Pakek acara nyengat segala.
Btw, pas habis disengat itu aku sempet parno. Parnonya; gimana kalau ntar kakiku bengkak trus aku nggak bisa jalan? Huft! Lebay ya! Kenyataannya, hari Selasa itu aku baik-baik saja dan bisa menyelesaikan misi.
Aku memeriksa bercak merah itu. Sakit kalau disentuh. Dan kaki kiriku terasa ngilu dari lutut sampai tumit. Aku menyentuh kening. Ok, it's fine. Aku nggak demam, jadi aku baik-baik saja. Nggak perlu ke dokter.
Kebanyakan bengong nggak baik bagi penderita anxie. Bengong sambil natap bercak merah di kaki kiri, misalnya. Itu nggak baik. Menimbulkan jajak pendapat sengit dalam otakku. Satu sisi menakut-nakuti alias memparnoisasi. Satu sisi menyanggah, menetralkan.
Racun! Itu racun! Ada racun dikakimu! Makanya sakit. Hi, serem! Gimana kalau ntar bengkak? Haduu...
Aku nggak demam! Aku baik-baik saja! Dulu aja digigit kemlandingan sampai demam juga baik-baik aja. Itu kan dulu.
Kamu yang sekarang nggak kayak kamu yang dulu. Gimana kalau ntar racunnya menyebar?
Aku menampik pendapat yang muncul buah dari parnoisasi, kembali menyentuh kening, aku tidak demam. Jadi aku baik-baik saja. Tapi dikasih salep apa ya biar gejala sakitnya mereda?
Hari Rabunya berakhir begitu saja; kaki kiri masih berasa ngilu.
Kamis, 22 September 2016.
Bercak merah, sakit, dan ngilu masih ada. Kata salah seorang teman di Facebook dan perawat temennya Thata, aku digigit tomcat. Wow! Lama nggak ngalas, sekalinya ngalas digigit tomcat. Sambutan 'selamat datang kembali' yang lumayan berlebihan. Dan karena berpegang teguh pada 'aku tidak demam', aku pun tidak minum obat sama sekali. Hanya mengoleskan minyak kayu putih pada bercak merah yang tampilannya semakin membuatku bergidik.
Tiga hari. Kata salah seorang teman di Facebook (dia hobi ngalas juga), efek gigitan tomcat terasa selama tiga hari. Aku menghitung dengan jari mulai dari hari Selasa saat aku kena sengatan hewan entah apa itu--yang kemudian disimpulkan sebagai tomcat. Berarti ini hari ketiga. Dan aku tidak demam, kakiku juga tidak bengkak walau masih ngilu. Ok! Aku baik-baik saja.
Sampai pada Nyai mengingatkan tentang sirih hitam. Sore harinya, langsung memetik sirih hitam, membersihkannya, lalu memanggangnya di atas lilin. Dalam kondisi hangat, daun sirih hitam itu ditempelkan ke atas bercak merah.
Itu bukan hangat, tapi panas!! (TT.TT) Panas yang kemudian memunculkan sensasi celekit-celekit pada bekas sengatan. Aku bertahan dan mengulanginya berulang kali pada setiap bercak merah.
Jum'at, 23 September 2016.
Mungkin pengaruh dari penetralan racun tomcat dengan menggunakan sirih hitam menimbulkan efek kurang fokus. Buktinya aku salah baca pesan WhatsApp.
[7:57 AM 23/09/2016]
Mbk nur bisa jahit clna a mbk
[8:08 AM 23/09/2016]
Jahit cina?
[8:09 AM 23/09/2016]
Jhit clna
[8:10 AM 23/09/2016]
Itu kayak gimana?
[8:10 AM 23/09/2016]
G jdi wezt mbk
[8:12 AM 23/09/2016]
Maaf aku ga mudeng (laugh emotion)
[8:14 AM 23/09/2016]
(tired emotion)
[8:16 AM 23/09/2016]
Oh celana a. Ya ALLOH... Maaf... Iya bisa. Ketokku mau cina (laugh emotion)
Mungkin perang antara racun tomcat dan zat antibiotik pada sirih hitam mempunyai efek 'nggak fokus'. Itu buktinya 'clna' dibaca 'cina'. Hahaha. Teori apa ini??
The power of sirih hitam. Malam hari setelah terapi sirih hitam, aku bisa tidur nyenyak. Rasa ngilu berkurang. Dan pagi harinya gejala mereda. Walau bercak merah masih kentara, udah nggak sakit lagi pas disentuh. Malam harinya lanjut terapi lagi. Sensasinya masih sama; panas, lalu muncul rasa celekit-celekit.
Sabtu, 24 September 2016.
Siapa bilang kerja di waktu weekend itu menyenangkan? Ya, ada kalanya menyenangkan karena sedikitnya hal yang harus dikerjakan. Tapi, kerja di akhir pekan kali ini cukup memicu stres.
Untung saja bisa mengatasi stresnya dan melewati hari dengan baik.
Hari Minggu berlalu dengan mengurung diri di dalam kamar. Hawa sangat dingin dan libur kerja. Hal yang terbaik menurutku; ngebangke di kamar sambil baca buku. Hehehe.
Senin, 26 September 2016.
Karena niat lagi di puncak Semeru, aku pun memutuskan untuk membayar hutang puasa Ramadhan. Alhamdulillah, tubuh masuk fase angel kalau dibuat puasa.
Senin udah pasti bisa ditebak jadi hari yang sibuk. Dan alhamdulillah tubuhku masuk fase angel. Tapi entah kenapa tiba-tiba diare.
Helo! Ini kenapa? Hari Minggu kemaren aku tetep makan sesuai menu yang tidak melanggar pantangan. Tapi kenapa aku malah diare?
Nimkati saja. Alhamdulillah lolos sampai bedhuk Maghrib ditabuh. Sehabis Maghrib langsung meluncur ngambil adas. Pengennya pergi sendiri, tapi ortu khawatir kalau aku nyetir motor sendiri. Akhirnya dianter Bapak.
Btw misi mengambil adas tertunda terus karena kendala:
1. Adasnya ke bawa ke pasar terus.
2. Setelah adasnya dibawa pulang, setiap sore hingga malam hujan.
Baru hari Senin malam berhasil membawa pulang adas. Bahagianya dapet adas bintang. Setahun nggak bakalan habis ini persediaan. Hehehe.
Selasa, 27 September 2016.
Masih lanjut bayar hutang puasa Ramadhan. Tapi sepertinya tubuh lagi labil. Dari pagi, setelah mandi pagi mual. Bahkan mulut sampai terasa pahit.
Tetap berangkat kerja. Aku pikir, mungkin karena pengaruh hawa dingin saja. Hari Senin dan Selasa kemaren dinginnya memang luar biasa.
Alhamdulillah matahari nongol, jadi aku bisa berjemur. Setelah berjemur merasa lebih baik. Jadi aku makin yakin kalau mual itu efek dari hawa yang terlalu dingin. Tapi rasa mual itu timbul-tenggelam. Muncul-hilang. Walau udah dipakek 'tetap aktif bergerak', masih saja seperti itu kondisinya.
Well, mungkin aku memang harus menikmatinya. Hirup-hirup minyak kayu putih lagi.
Sore harinya, perut sebelah sempat terasa perih. Kalau dibuat rebahan miring ke kiri dan melungker nggak kerasa sakit. Aku masih berpikir bahwa itu pengaruh hawa dingin. Karena, sepulang kerja aku langsung nyuci baju, lalu mandi air dingin.
Alhamdulillah tetap bertahan puasa. Lolos sampai bedhuk Maghrib ditabuh.
Rabu, 28 September 2016.
Masih lanjut bayar hutang puasa Ramadhan. Setelah mandi pagi sempet mual lagi. Bahkan aku sampai kirim PM ke dua admin grup GAI untuk konsultasi.
Mual menyerang lagi dan langit mendung, jadi nggak bisa berjemur. Mulai mikir ntar gimana bla bla bla. Apa yang harus aku lakukan?
Menghirup-hirup minyak kayu putih dan perbanyak senyum. Karena puasa, aku nggak bisa banyak-banyak minum air putih untuk mengatasi mual. Sebagai gantinya, aku banyak-banyak senyum. Subhanallah, mualnya hilang. Dan aku masih bertahan sampai detik aku nulis catatan ini.
The power of smile. Dan pertolongan Tuhan itu bisa dari jalan mana saja dan apa saja. Rajin-rajin aja meminta pertolongan itu, bermanja-manja pada-Nya.
Btw dari kena sengatan hewan entah apa itu, kaki kiriku jadi sering ngilu. Padahal dikerjaan nggak banyak berdiri belakangan ini. Masa iya racunnya masih ada? Tiap malam olesin counterpain (Ups! Maaf sebut merk) dan pijit. Kalau bangun tidur nggak kerasa. Tapi begitu dipakek aktifitas, mulai dah muncul rasa ngilunya.
Hmm... kenapa ya kira-kira? Nanti terapi rendam air hangat plus sirih hitam dan garam saja. Semoga segera hilang rasa sakitnya.
Perbanyak minum air putih.
Makan jangan sampai telat.
Perbanyak senyum.
Berbahagialah.
Tetap aktif bergerak.
Meditasi.
Rileksasi.
Sering-sering ngobrol, curhat sama Tuhan.
Menekuni hobi.
Yuk, sama-sama berjuang. Kita pasti bisa! Kita pasti sembuh!
Tempurung
kura-kura, 28 September 2016, 01.15 PM.
--
shytUrtle --