Bilik shytUrtle: Diary Melawan Anxie #2
05:36
Bilik shytUrtle:
Diary Melawan Anxie #2
Kamis, 08
September 2016.
Kemarin, sisa
waktu kerjaku ku habiskan dengan membaca. Ketika sudah tak ada satupun customer
datang, yang bisa ku lakukan hanya menunggu. Menunggu jam pulang berdentang.
Dan itu membosankan. Beruntung ada Winter bersamaku. Winter benar-benar ahli
dalam membunuh bosan :-)
Jam menunjukan
pukul tiga. Hore! Waktunya pulang. Kepalaku sakit, tubuhku berteriak karena
lelah. Aku katakan, sebentar lagi ya. Dan aku membayangkan tempurung kura-kura,
kamarku yang nyaman.
Sampai rumah aku
membersihkan diri. Lalu membaringkan tubuh lelahku di atas ranjang di dalam
tempurung kura-kura--kamarku. Aku berharap aku bisa tidur karena tubuhku dari
kepala hingga kaki sudah melakukan demo. Demo minta diistirahatkan.
Entah karena
memang kenyataannya begitu atau hanya karena program dari otakku, tubuhku yang
sekarang hanya bisa diajak bekerja selama delapan jam. Tak seperti dulu sebelum
kena GERD. Dulu, dalam sehari aku bisa bekerja hingga lima belas jam tanpa
istirahat. Ya, dulu aku bisa berada di toko dari jam enam pagi sampai jam
sembilan atau sepuluh malam tanpa jeda istirahat. Setelah di rumah, aku bekerja
lagi bersama gUi--laptop. Pekerjaan itu kadang membuatku lupa waktu. Kadang aku
berkencan dengan gUi sampai pukul tiga dinihari, kadang sampai subuh.
Dulu aku
menyebutnya, keren! Tapi sekarang? Itu gila! Robot saja butuh istirahat yang
cukup tapi aku? Tapi semua itu tampak baik-baik saja ketika aku bisa
menikmatinya dengan baik tanpa adanya stres. Menikmati dengan baik adalah ya
aku senang dengan jalan hidup itu, tak ada beban. Dan pola makanku masih sangat
baik saat itu. Tentu saja aku bisa bertahan dengan gaya hidup itu karena
nutrisi tubuhku terpenuhi. Semua tumbang ketika aku mulai stres dan pola makan
kacau.
Sekarang,
setelah delapan jam bekerja, tubuhku selalu minta jeda waktu untuk istirahat.
Biasanya sekitar sepuluh sampai tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk
mengisi kembali energi yang habis digunakan selama delapan jam.
Belum mencapai
tahap rileks, aku terkejut oleh suara Ibu. Biasanya memang begitu. Gangguan
selalu ada tiap kali tubuhku mau mencapai tahap rileks. Kalo bukan Ibu ya Bapak
yang membuatku terkejut dan kembali ke alam sadar. Hmmm...
"Aku mau
ngepel." kata Ibu.
Oh tidak!
Kumohon jangan sekarang. Sebenarnya Ibu tak keberatan jika aku tetap rileksasi
di kamarku, tapi aku saja yang... ya nggak enaklah. Ngepel alias melantai sebenarnya
adalah tugasku di hari Minggu. Tapi kadang-kadang, di sore hari seperti
kemarin, Ibu suka tiba-tiba mengambil alih tugas itu dengan dalih; golek
kringet alias mencari keringat. Sering aku melarang, tapi jika kegiatan itu
membuat Ibu senang. Ya sudahlah. Monggo kerso.
Aku nggak jadi
rehat. Aku bangkit dari tidurku dan ke belakang. Aku memilih pergi untuk
mencuci pakaian walau badanku terus melakukan demo. Beri hamba-Mu ini kekuatan,
Tuhan. Bismillah. Aku pun mencuci baju dan lanjut mandi.
Selesai menjemur
pakaian, aku duduk berselonjor di mushola. Kepalaku sakit bukan main. Badanku
pun lemas, terasa ringan. Aku terus berkata pada diriku sendiri; sabar ya,
sebentar lagi. Terus dan terus menyanggupi sampai jam menunjukan pukul empat
lebih seperempat. Lantai dinyatakan kering. Aku pun bergegas kembali ke dalam
tempurung kura-kura dan melakukan rileksasi.
Benar kan? Hanya
butuh waktu sepuluh menit. Rasa sakit di kepalaku hilang. Tubuhku pun terasa
segar kembali. Siap untuk melanjutkan aktifitas sore. Sayangnya rencana
bepergian kemarin gagal karena satu alasan. Ya sudah. Aku menikmati sisa waktu
di dalam tempurung kura-kura dengan kembali berkencan dengan Winter.
Selepas Maghrib
kembali melakukan meditasi seperti tempo hari. Kondisiku stabil sampai Isya' datang
dan sebuah kejutan lagi.
Mungkin bagi
orang normal sebuah kejutan seperti; telefon berdering di tengah malam adalah
hal yang biasa. Tapi tidak bagi orang yang memiliki gangguan anxietas. Menahan
rasa kebelet pipis saja bisa jadi mimpi buruk bagi mereka, apalagi sebuah
telefon mengejutkan di tengah malam. Bisa jadi itu mimpi yang sangat buruk
sekali bagi mereka.
Kejutan semalam
adalah Bapak yang mengeluh pundak kirinya sakit. Sebenarnya keluhan itu ada
sejak beberapa hari yang lalu, tapi ya begitulah. Bapak selalu menolak kalau
diajak periksa. Entahlah. Saya sendiri heran. Padahal beliau pensiunan dari
instalasi kesehatan.
Bapak ngeluhnya
sampai merintih-rintih. Mendengar rintihan itu, alarm tubuhku berbunyi. Aku
berusaha menolaknya dan terus membaca. Bukan berarti cuekin Bapak ya, tapi
berusaha menetralkan kecemasanku dahulu. Kepalaku sakit ketika Bapak merintih
lagi. Tuhan, kuatkan hamba-Mu.
Aku pun meminta
Ibu untuk bertanya pada Bapak keluhannya apa dan membujuknya untuk periksa tapi
ya seperti sebelumnya; Bapak menolak dan marah--dalam artian sewot, ngambek
atau senewen, bukan marah ngamuk-ngamuk. Seperti biasa kami pun hanya bisa
diam.
Kepalaku masih
sakit ketika Ibu masuk ke kamar dan menanyakan obat nyeri yang pernah aku
konsumsi. Meloxicam. Ya, mungkin bisa membantu. Melihat keluhannya mungkin itu
akibat kolesterol atau asam urat. Maklum beberapa hari sebelumnya Bapak baru
saja mengeksekusi soto babad. Ya, Bapakku sih gitu. Walau pernah kena stroke
ringan, pola makannya aje gile. Sudah jangan dibahas!
Bapak mulai
tenang dan tidur. Aku masih terjaga. Was-was. Oh tidak! Persetan dengan hari
Kamis. Apa yang terjadi, terjadilah! Aku merebahkan tubuh dan memulai untuk
rileksasi. Sakit di kepalaku nggak akan hilang kalo aku nggak rileks. Nggak
tenang. Aku harus tenang! Aku harus rileks!
Lima belas menit
kemudian rasa sakit di kepalaku hilang. Alhamdulillah. Aku menengok keluar
kamar, semua sudah terlelap. Alhamdulillah. Obatnya bekerja. Sepertinya. Aku
pun memilih tidur pukul sepuluh malam usai minum obat.
Menahan rasa
kebelet pipis bisa jadi mimpi buruk bagi penderita gangguan anxietas. Mungkin
ada yang mengalaminya juga?
Pukul dua
dinihari terbangun. Kondisi kamar gelap gulita. Demi apapun! Aku sedikit
ketakutan, langsung mencari-cari ponselku. Ketemu! Bangun karena kebelet pipis
dengan kondisi kamar gelap gulita karena listrik padam. Aku takut gelap, ya itu
benar.
Dengan bantuan
cahaya ponsel aku mencari lilin. Karena takut gelap, aku selalu menyediakan
lilin di pojok kamarku. Ketemu! Tapi, tapi! Ah, sial! Koreknya rusak. Jempolku
sampai sakit karena mencoba menyalakannya dengan bringas. Sakit itu masih
terasa sampai sekarang.
Usaha menyalakan
lilin gagal. Aku kembali berbaring dan menjaga ponsel tetap menyala. Mungkin
aku bisa bertahan hingga pagi tiba atau hingga listrik kembali nyala. Tapi
kapan listriknya nyala? Rasa kebelet pipis itu nggak bisa ditahan lagi. Dan
tiba-tiba aku teringat jika aku punya entah itu lampu apa yang bisa nyala jika
dicolokan ke power bank.
Kembali bangkit
dari tidurku, mengandalkan cahaya ponsel, pelan-pelan membuka lemari buku untuk
mengambil power bank dan mengambil lampu kecil berwarna oranye itu,
mencolokannya pada power bank dan... tada! Aku mendapatkan cahaya. Cahaya putih
terang yang cukup menerangi kamarku.
Bergegas keluar
kamar, ke kamar mandi dan ketika aku kembali, aku kaget melihat sosok yang
berdiri di ruang tengah yang kemudian aku sadari tak lain adalah Bapak.
Sepertinya beliau terbangun oleh ulahku yang berjalan terburu-buru dengan
membawa cahaya putih terang menuju kamar mandi.
"Kok kamu
punya senter?" tanya Bapak yang sibuk menyiapkan lampu darurat. Lampu yang
disambungin ke accu. Gitulah pokoknya.
"Ini power
bank, bukan senter." saat mengucap itu aku baru sadar kalo power bankku
ada senternya. Huft...
Aku masuk kamar.
Menjaga lampu itu tetap menyala. Ketika lampu darurat di ruang tengah menyala
dan sedikit cahayanya menembus masuk ke kamar, aku mematikan lampuku dan berusaha
kembali tidur.
Ada yang salah.
Perutku tiba-tiba sakit. Sakit sekali. Jika aku berbaring telentang, sakitnya
makin menjadi. Aku kenapa? Lalu aku miring ke kiri. Sakitnya berkurang. Ada apa
dengan perutku?
Aku membalurkan
minyak kayu putih ke seluruh perut lalu kembali meringkuk sambil mengenali
sakitnya. Sakit karena salah makan? Bukan! Karena kebelet BAB? Bukan. Mulutku
pahit. Karena asam lambung? Mungkin. Trus aku harus gimana? Minum air hangat.
Oh, jangan. Aku malas.
Akhirnya aku
tetap meringkuk seperti itu dan meminta Tuhan mengangkat sakitku. Perlahan
sakitnya berkurang lalu hilang. Alhamdulillah. Aku pun kembali terlelap.
Jum'at, 09 September 2016, 04:23 AM.
Listrik masih
padam. Hari Jum'at yang menyenangkan!
Dulu pagi tak
pernah menjadi masalah bagiku. Pagi, siang, sore atau malam bukan masalah. Eum,
jadi sedikit masalah kalau aku harus keluar di siang hari. Matahari membuat
mataku sakit dan kepalaku pusing. Tapi bukan masalah serius. Sebagian, bahkan
seluruh waktuku dalam sehari akan habis di dalam sebuah ruangan; di dalam toko,
rumah, dan tempurung kura-kura. Jika tidak ada keperluan, aku tidak pernah
keluar dari sana.
Tapi belakangan
pagi berubah seperti monster bagiku. Monster yang sangat mengerikan. Pagi...
Pagi adalah waktu untukku harus bergelut melawan diriku sendiri. Pagi yang
penuh siksaaan. Pagi yang penuh perjuangan.
Mungkin karena
semua ketakutan dan kekhawatiran itu, pagi berubah menjadi monster bagiku.
Sejak Rabu
kemarin, aku memutuskan untuk merubah semuanya. Pagi adalah hal yang
menyenangkan. Pagi adalah hal yang indah, saat mentari menyapa bumi dengan
senyum hangatnya. Pagi adalah awal sebuah kehidupan. Pagi adalah awal sebuah
perjuangan.
Semua itu
berguna. Aku jadi lebih bersemangat dalam mengawali hari.
Pagi tadi pun
berjalan dengan menyenangkan. Tidak ada cemas. Tidak ada khawatir. Apa yang
terjadi, terjadilah. Alhamdulillah ini hari Jum'at! Bismillah...
Sebelum memulai
pekerjaan, aku meneguk segelas air hangat dicampur madu. Ritual pagi yang aku
lakukan setelah sensasi muncul di malam atau hari sebelumnya. Sakit perut
dinihari tadi entah karena efek nahan kebelet pipis atau karena aslam.
Entahlah.
Pukul tujuh pagi
aktifitas di tempat kerja dimulai. Setelah menyiapkan semuanya, aku duduk dan
menulis untuk mengisi luangnya waktu. Semua berjalan dengan tenang, lancar, dan
baik-baik saja.
Jam menunjukan
pukul setengah sembilan. Waktunya sarapan! Aku mengambil semangkok pepaya dan
mulai memakannya. Pepayanya manis. Subhanallah.
Suapan ke tujuh,
entah kenapa aku tiba-tiba merasa mbliyur. Kliyengan. Kapal oleng, Kapten!
Aku
mengabaikannya dan lanjut makan pepaya. Tubuh terasa makin ringan, kayak mau
pingsan. Aku menghentikan acara makanku. Menyambar minyak kayu putih dan
menghirup aromanya. Menggerak-gerakan jari kaki. Oh, tidak! Kapal semakin
oleng!
Aku membalurkan
minyak kayu putih ke dada, pundak, dan leher. Memijat-mijat kepala dan leher.
Menyelonjorkan kaki. Sambil terus meyakinkan kalau aku baik-baik saja.
Lalu aku
memasang bantal terapi untuk punggungku. Mungkin itu akan membantu. Bukan
membaik, aku malah mual sampai muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan. Badan
tidak gemetar, tapi aku merasa ringan. Seolah aku tidak bisa merasakan berat
tubuhku sendiri. Tidak bisa merasakan jari-jari tangan yang aku gerakan.
Aku melirik jam
di dinding. Semua ini akan segera berakhir, bisikku. Aku baik-baik saja. Semua
baik-baik saja. Aku kuat. Tuhan, tolong aku. Beri hamba kekuatan.
Subhanallah
walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar. Aku menarik napas dalam-dalam
lalu menghembuskannya. Muntah, tapi tak ada yang dimuntahkan. Aku ulangi lagi,
begitu lagi. Aku tak menolak itu semua. Aku jalani. Aku nikmati. Hingga aku tak
bisa muntah lagi.
Dalam kondisi
menyedihkan itu, seorang customer datang dan menatapku dengan tatapan aneh. Aku
nggak peduli. Paling-paling dia berpikir aku hamil muda. Makanya muntah
pagi-pagi. Udah kebal sama tuduhan itu. Aku cuek. Setelah customer itu pergi,
aku kembali bergelut dengan diriku sendiri.
Apa sebaiknya
aku menyerah saja? Pulang saja dan tidur? Tidak. Aku tidak mau menyerah. Aku
tidak mau pulang. Aku ingin bekerja! Bagaimana kalau aku tumbang? Kalau aku tumbang,
paling-paling aku pingsan. Kalau aku pingsan pasti akan ada yang menemukanku
dan menolongku. Siapapun itu.
Aku bertahan.
Terus istighfar. Menerima setiap sensasi yang muncul sambil melirik jam,
menghitung mundur jika semua itu akan segera berakhir. Aku memutar Ratib dalam
mp3 ponselku. Duduk bersila, mengatur napas sambil mendengarkan lantuan Ratib.
Minum air putih, atur napas lagi, rileks... rileks. Pukul sembilan tepat tubuh
mulai tenang dan kembali terkendali.
Rasa mbliyur bin
kliyengan itu mulai berkurang dan berangsur hilang. Tidak mual lagi walau mulut
terasa sangat pahit. Aku mulai tenang. Alhamdulillah semua berlalu.
Setelah
benar-benar stabil aku kembali melanjutkan sarapan pagi dengan menu pepaya.
Sebelum sensasi itu muncul, pepaya yang ku kecap terasa pahit. Tapi setelah
sensasi itu berlalu, pepaya itu terasa manis.
Katanya otak
bisa dimanipulasi; RT @WOWFAKTA: Gugup/takut? Kelabui otak dengan mengunyah
permen karet. Otak akan mengira Anda dalam situasi aman karena Anda tidak
mungkin makan dalam keadaan berbahaya.
Tapi kenapa
sensasi itu muncul saat aku dalam keadaan makan? Apa otakku tak bisa
dimanipulasi? Apa aku ini shell? Orang bulan yang tak bisa dimanipulasi
otaknya?
Itu kali kedua
aku mendapat serangan dalam keadaan makan.
Pusing seperti
mau pingsan, mual hingga muntah itu apakah termasuk serangan anxie? Atau pola
makanku yang memilih sarapan buah yang harus diganti? Lalu, aku harus memilih
pola makan yang seperti apa? Pagi sarapan kentang?
Pertanyaan-pertanyaan
itu membanjiri otakku. Aku rasa tak ada salah dengan pola makan yang aku pilih.
Tubuhku bisa beradaptasi dengan pola makan itu. Huft... entahlah.
Apakah serangan
tadi pagi merupakan rentetan dari kejadian kemarin dan semalam? Mungkin. Bisa
jadi.
Yang pasti aku
sangat bersyukur karena hari ini aku bisa melawan dan lolos. Dan sampai menulis
diary ini, aku masih bertahan di tempat kerja. Kondisi sudah stabil. Sedikit
lelah, iya. Tapi aku baik-baik saja :-)
Ini adalah
sebuah perjuangan. Aku harus kuat seperti dulu. Aku pasti bisa. Aku pasti
sembuh!
Tempurung
kura-kura, 09 September 2016. 01.00 PM.
-- shytUrtle --
0 comments