Bilik shytUrtle: Diary Melawan Anxie #3
05:48
Bilik shytUrtle:
Diary Melawan Anxie #3
Serangan pada
hari Jum'at, 09 September 2016 lalu menyisakan pertanyaan di benakku. Apakah
itu serangan anxie? Kenapa bisa terserang anxie saat makan? Bukankah katanya
saat makan otak kita bisa dibohongi bahwa kita dalam keadaan aman?
Aku pun langsung
mengirim pesan pada Kak Lee. Bertanya perihal serangan mendadak yang sempat
membuat aku tersiksa bahkan menangis di Jum'at pagi. Menangis karena muntahnya
itu. Hiks!
"Itu bukan
anxie, tapi itu serangan migren. Otak kurang asupan oksigen. Berjemurlah!"
Begitu kata Kak Lee.
Berjemur bagus
buat melawan anxie? Astaga! Aku melewatkan penjelasan itu dari Kak Lee. Maafkan
aku ya Kak. Hiks!
Sisa di hari
Jum'at, sepulang kerja aku habiskan untuk istirahat saja. Oh, tidak! Aku punya
tugas lain yang harus aku selesaikan. Bahkan beberapa tugas. Aku harus pergi ke
bank juga berbelanja dan bla bla bla. Karena masih ada trauma usai peristiwa
nyetir sendiri pada tanggal 27 Agustus 2016, aku pun meminta bantuan Thata--sepupuku-
untuk mengantarku pergi.
Rencana awal
kami akan pergi selepas Maghrib karena kami sama-sama harus mencuci pakaian
dahulu. Tapi ternyata tugas mencuci selesai pada pukul empat sore. Thata
mengajak pergi sore itu juga. Aku pun setuju.
Oh tidak! Rasa
tidak nyaman itu mulai muncul. Padahal kan nggak nyetir sendiri. Aku
mondar-mandir lalu duduk di ruang tamu. Sambil terus membisikan; aku baik-baik
saja, semua baik-baik saja. Dan setelah sempat molor, akhirnya Thata muncul
pukul setengah lima sore.
"Sampean
yang nyetir ya?" Thata menyodorkan kontak motornya.
"Kalau aku
berani, aku udah berangkat sendiri, nggak ngajak sampean." Tolakku.
Thata tergelak
lalu kami berangkat.
Thata nggak
pernah bawa motor dengan kecepatan standar. Dia suka ngebut, ya. Dan bersyukur
tidak gemetar, atau sesak napas. Tugas pertama lewat, lanjut ke tugas kedua,
dan ketiga. Lalu kami pulang. Karena saat berangkat kami melihat ada... eum,
bagaimana menyebutnya ya? Sirkuit motor cross? Ya, semacam itulah. Saat pulang
Thata membelokan motor ke area sirkuit untuk menonton para pengendara motor
cross beraksi. Aku sempat menolak, tapi Thata berujar, "Sekali-kali. Biar
sampean tahu padange howo." Ya sudah. Aku pasrah!
Walau sudah sore
suasana cukup terik. Dan banyak orang. Aku merasa pusing. Tapi rasa sakit di
kepala itu memang sudah ada sejak siang. Sempat hilang setelah relaksasi.
Melihat banyak orang, tiba-tiba rasa pusing juga sakit itu muncul lagi.
Ditambah bonus: pandangan kabur.
Sebelumnya aku
memilih untuk tak memakai masker juga kaos kaki. Aku pikir itu membuatku lebih
baik. Walau mengenakan jaket, aku memilih mengenakan celana selutut. Aku dalam
proses untuk kembali menjadi diriku yang dulu; diriku yang kuat dan mandiri. Karenanya
aku memutuskan untuk berdandan seperti diriku yang dulu. Itu cukup membantu.
Setidaknya aku menjadi lebih tenang dan lebih percaya diri juga merasa lebih
kuat.
Thata
memarkirkan motornya lalu kami berjalan memasuki sirkuit. Suara deru motor yang
bising, para penoton yang berkumpul di pinggir sirkuit, sinar matahari, hawa
panas dan debu. "Oh, aku tak bawa masker!" keluhku. Tapi aku tetap
memasuki area sirkuit dan berdiri di sana untuk menonton.
"Bagaimana?"
Tanya Thata.
"Mataku
kabur," jawabku. "Dan aku nggak bawa kamera."
Thata kembali
tergelak. "Sampean bisa pakek ponselku."
"Nggak ah.
Mataku lagi kabur juga."
"Apa
sampean baik-baik saja?"
"Ya. Aku
baik-baik saja. Sebentar lagi juga netral. Sampean aja yang ambil foto."
"Ha?? Aku??
Yang ngambil foto??"
"Ya. Dari
sini bagus. Nanti ridernya muncul dari arah sana. Posisi mereka pasti bagus.
Nah, sampean ambil dari sini." Walau kepala lagi pusing dan mata kabur,
aku menjelaskan posisi yang pas untuk mengabadikan aksi para rider.
"Dari sini
ya?"
"Yap. Dari
sini!"
"Ok!"
Thata mulai menyiapkan kamera ponselnya.
"Sebentar
lagi." Aku memberi aba-aba. "Sekarang!"
Thata tergelak.
"Kenapa?"
Tanyaku heran.
“Hasilnya blur.
Aku ndredeg. Grogi."
"Lah
kok?"
Lalu Thata
menjerit. "Ngeri! Aduh aku takut liat aksi mereka."
Giliran aku yang
tergelak. "Sampean... takut??"
"Ya. Liat
mereka terbang gitu kalo jatuh gimana? Trus itu tadi pas yang satu terbang,
yang satu muncul dari timur."
"Ya ampun.
Rider udah punya kira-kira lah Mbak Tha. Tenang aja. Nggak usah takut. Nyantai
dan nikmati pertunjukannya."
Sepanjang
menonton aksi para rider justeru Thata yang merasa takut dan ngeri. Aku?
Alhamdulillah aku berdiri tenang dengan kedua tangan tersimpan di saku jaket
sepanjang menonton pertunjukan aksi para rider.
Sampai di rumah
kepalaku masih sakit. Aku meminta Thata untuk cek tensiku dan hasilnya 90/60.
Oh, turun lagi. Mungkin karena Kamis malam aku nggak bisa tidur nyenyak dan
karena lagi dapet juga.
Sabtu, 10
September 2016.
Padaku, setelah
mengalami sesuatu yang kadang aku simpulkan sebagai serangan selalu menyisakan
sebuah rasa... trauma? Ya, mungkin bisa disebut demikian. Ada ketakutan dan
was-was pada jam tertentu ketika serangan terjadi. Sabtuku pun berjalan dengan
adanya sedikit ketakutan itu.
Walau aku
terbangun dalam kondisi dan perasaan sangat baik, ketika sudah berada di tempat
kerja jadi ada sedikit was-was.
Alarm tubuhku
belum berbunyi. Tapi mataku tak bisa berhenti dari melirik jam. Aku terus
berpikir apa yang harus aku lakukan? Ayolah! Apa yang bisa kita lakukan wahai
tubuhku? Dance? Ya! Dance!
Aku menyalakan
music box, lalu berdiri dan mulai menari. Bukan menari dalam artian yang
sebenarnya, tapi ya aku menggerakan tubuhku, tanganku, kakiku, mengikuti alunan
musik. Bahkan aku pun ikut bernyanyi. Mari bernyanyi dan menari! Aku tersenyum;
lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri yang sedang beraksi bernyanyi dan
menari. Masa bodoh! Yang penting aku bergerak.
Tubuhku
berkeringat. Suhu tubuh pun ikut meningkat. Aku merasa ringan. 'Jam rawan' yang
aku isi dengan bernyanyi dan menari membebaskanku dari rasa cemas akan adanya
serangan. Setengah jam kemudian aku bisa sarapan semangkuk pepaya dengan
tenang. Alhamdulillah.
Mungkin itu
terdengar konyol atau aneh, tapi berbicara pada tubuhku sendiri sering aku
lakukan. Terlebih ketika tubuhku mulai menbunyikan alarm dan siaga. Selalu ada
bisikan untuk sebuah tindakan setelah aku bertanya pada tubuhku tentang apa
yang ia butuhkan. Melawan gangguan anxietas mengajarkan aku untuk lebih
mengenal tubuhku sendiri, diriku sendiri. Itu menakjubkan. Bisa mengenal lebih
dekat tentang diri sendiri inshaa ALLOH akan membuat kita makin menyayangi diri
sendiri.
Sabtu malam
alhamdulillah bisa lanjut menekuni hobi. Mata sempat kabur dan kepala terasa
sakit saat aku mulai fokus menatap layar laptopku. Tapi alhamdulillah dengan
ditemani herbal tea, aku berhasil lembur sampai jam setengah dua belas malam.
Tidurku pun lelap.
Minggu, 11
September 2016.
Hari Minggu
adalah saatnya 'ngebangke' di atas ranjang. Maksudnya memanjakan diri dengan
bangun agak telat. Telatnya paling jam setengah enam pagi atau paling lambat
jam enam pagi. Biasanya setelah melakukan ritual pagi, balik lagi males-malesan
di kamar. Baca buku atau mengetik atau ya tidur-tiduran aja.
Aku duduk di
dekat jendela kamarku dan menatap keluar. Sinar matahari! Aku langsung bangkit
dan bergegas menaiki tangga menuju atap.
Bagaimana kalo
sehabis berjemur pusing? -- Masa bodoh! Ini hari Minggu, kalo pusing ya aku
bakal tidur seharian. Lagi pula ini baru pukul tujuh kurang seperempat. Sinar
matahari tidak akan membakarku. Aku bukan vampir!
Aku mengabaikan
teriakan protes di kepalaku dan dengan semangat menaiki tangga. Sesampai di
atap, aku tersenyum lebar menatap matahari. Lalu aku menyapanya dan duduk
bersila merentangkan kedua tangan menghadapnya. Aku menyambut matahari terbit.
Seperti dalam film Mohabbatein saja. Hehehe. Tapi itu menyenangkan.
Aku berjemur
sambil mendengarkan musik, lalu sesekali mengatakan kata-kata memuji alam dan
kalimat-kalimat positif untuk diriku sendiri. Ya, pagi bukanlah monster. Dan
sinar matahari bukanlah malapetaka yang akan membakarku dan membuatku pusing
atau apalah itu.
Tak lupa
menjemur bagian punggung juga. Benar-benar setengah jam yang menyenangkan.
Lihat! Aku baik-baik saja kan? Aku bukan vampire! Hehehe.
Jika tepat
memilih waktu untuk berjemur, tentu saja semua akan baik-baik saja. Pukul tujuh
pagi adalah waktu terbaik--menurutku- untuk berjemur. Dan ya itu terbukti aman.
Aku akan melanjutkannya!
INI JANGAN
DITIRU! JANGAN DICONTOH!
Harusnya aku tak
merusak pagiku yang sudah baik dengan ide 'coba-coba' itu. Tapi kadang keras kepalaku
mengalahkan segalanya.
Karena pagi
terkadang sulit untuk sarapan, aku berpikir aku bisa memilih jalan itu sebagai
alternatif. Tentu saja aku berani mencoba karena pertimbanganku ini hari
Minggu, aku libur kerja. Lagi pula salah satu tanteku berhasil dengan cara itu.
Jadi kenapa nggak untuk dicoba?
Maaf ya menyebut
merk. Aku memilih sarapan energen rasa kedelai setelah selesai dengan dua gelas
air putih hangat dan berjemur. Kebetulan di rumah sedang tidak ada pepaya.
Bicara tentang
pepaya dan berjemur di atap aku jadi teringat masa-masa masih sakit parah dulu.
Saat rajin berjemur di atap setiap pagi sambil mengintai pohon pepaya yang
sedang berbuah lebat di pekarangan tetangga. Karena hanya bisa menatapnya,
pernah sekali aku foto pohon pepaya yang sedang berbuah lebat dan beberapa
telah ranum itu lalu aku unggah dan kemudian jadi ramai dikomentari teman-teman
sesama penderita GERD. Jika sudah asik seperti itu--berkomentar ria bersama sesama
penderita- jadi lupa sama sensasi. Ah, jadi kangen Mbak Ririe Rizal yang suka
ribut masalah pepaya sama aku. Hehehe.
Segelas energen
rasa kacang hijau hangat tersaji. Aku minum pelan-pelan hingga habis. Lalu
duduk menunggu reaksi. Tidak ada reaksi berarti kecuali mual. Dan lolos hingga
siang hari.
Karena kebetulan
lagi dapet jadi nggak puasa sendiri di rumah. Pas mau makan siang hanya ada
nasi dan bakso. Bismillah. Nggak papalah. Biasanya makan nasi sama kuah bakso
juga aman. Tapi bedanya ini bakso mercon; bakso yang dalemnya ada cabenya.
Nggak papa deh. Buka baksonya, buang yang ada cabenya dan makan. Bismillah...
Setengah jam
setelah makan; perut kiri terasa nggak nyaman. Aku cuekin. Satu jam kemudian
udah mulai ilang rasa nggak nyamannya. Aku pun memutuskan untuk mencuci
pakaian. Dan inilah puncaknya.
Di tengah
mencuci tiba-tiba mual berat dan kepala sakit. Tapi tetap bertahan, lanjut
mencuci walau rasa takut ambyuk dan pingsan di kamar mandi--seperti beberapa
waktu yang lalu- sempat menggerogoti. Sambil nyuci sambil terus berdoa; minta
kekuatan pada Tuhan. Alhamdulillah bisa menyelesaikan tugas mencuci sekaligus
menjemur. Usai mencuci dan menjemur pakaian, tepar!
Baluri perut
dengan minyak kayu putih sambil terus menghirup aromanya. Tebaring memejamkan
mata sambil terus berbisik bahwa semua itu akan netral. Rasa mual itu akan
hilang. Segera!
Sore tiba. Aku
menyapu rumah masih dalam keadaan mual berat. Aku pikir jika aku terus bergerak
maka semua akan teralihkan. Selesai nyapu malah plukokan (muntah tapi nggak ada
yang dimuntahin). Takut? Nggak. Malah lega. Rasa mualnya berkurang setelah
plukokan.
Kadang aku
merasa geli pada bagian ini: ketika teman mengeluh mual, dengan cepat aku
menyarankan untuk membuat jahe hangat dan meminumnya. Giliran aku sendiri, aku
masih nanya ke tubuhku; kamu mau apa? Jus? Bahkan ketika tubuhku menjawab jahe,
aku masih menanyakan kebenarannya pada Mbah Google. Ampun... betapa kadang aku
merasa diriku itu tak hanya konyol, tapi juga bodoh! Maafkan aku, Tuhan.
Sensasi mual
berat hilang berkat herbal tea: jahe+kapulaga+adas bintang+madu. Walau masih
terasa asam dan nggak nyaman, aku bisa makan malam dengan baik; tanpa
memuntahkannya kembali.
Sarapan buah
atau telur rebus yang terbaik. Kalaupun tak ada lebih baik oat meal atau nasi dengan
porsi sedikit. Bukan berarti energen nggak baik buat sarapan ya. Hanya saja
lambungku nggak bisa nerima. Jadi saran salah satu tanteku itu nggak bisa aku
terapkan. Dan makan siang dengan bakso mercon sungguh bukan pilihan yang
bijaksana. Itu kenapa aku bilang: JANGAN DITIRU DAN JANGAN DICONTOH!
Senin, 12
September 2016.
Alhamdulillah
it's Monday and holiday. Ketika bangun melihat bungkus obat masih teronggok di
bufet. Oh tidak!!! Semalam aku lupa nggak minum obat!!! Langsung ambil obat itu
dan menelannya pagi itu juga saat perut belum terisi apa pun. Aku merutukinya.
Kenapa aku bisa lupa? Hiks...
Aku tahu efeknya
tidak akan baik karena obat itu harus diminum menjelang tidur. Aku melupakan
rencana untuk malas-malasan. Aku beranjak dari ranjang. Melakukan ritual pagi.
Lalu menanak nasi, menyapu lantai, dan masak air untuk mandi. Aku menyibukan
diri, tapi ya tetap saja efek itu terasa; mual dan pusing.
Aku meneguk dua
gelas air putih hangat lalu merebus air lagi untuk isi termos. Karena pagi
sempat kabut tebal, aku pikir tidak akan bisa berjemur. Aku menyibukan diri
dengan mondar-mandir di dalam rumah. Tapi ya, mual dan pusing itu masih terasa.
Ketika matahari muncul pada pukul delapan pagi, aku bergegas menaiki tangga dan
berjemur di atap.
Usai berjemur langsung
merebus telur. Lalu sarapan sebutir telur pada pukul sembilan pagi. Setelah itu
membantu tante setrika baju.
Sebutir telur
tak membantu. Mual dan pusing masih nemplok. Pukul sebelas siang aku memutuskan
untuk masak. Mencari kesibukan lagi. Setengah dua belas makan. Setengah jam
lebih awal dari biasanya. Rasa lapar itu hilang tapi tidak dengan mual dan
pusing. Banyak-banyak minum air putih untuk meredakannya. Pukul satu siang rasa
mual dan pusing itu hilang. Tepatnya setelah rileksasi sejenak.
Tuhan, tolong
jangan buat hamba lupa minum obat lagi. Beruntung tadi masih libur. Efek dari
obatnya luar biasa jika diminum lalu kondisi terjaga. Ampun dah.
Dua hari
berjemur udah kerasa manfaatnya. Besok diusahain berjemur walau di tempat
kerja. Kalau mulai berasa nggak enak, badan terasa aneh: tegakkan punggung dan
kepala. Ini memberi efek semacam: AKU KUAT! Dan ya, itu BERHASIL!
Nggak ada cara
instan untuk sembuh dan lepas dari gangguan anxietas. Semuanya butuh proses.
Dan aku sedang berada dalam proses itu. Aku pasti bisa! Aku pasti sembuh!
Tempurung
kura-kura, 12 September 2016. 09:05 PM.
-- shytUrtle --
0 comments