BLACK NOTE
06:55
BLACK NOTE
“Percayai mimpimu, ikuti petunjuknya dan
temukan kebenaran.”
Di dunia ini begitu banyak misteri. Hitam dan
putih, maya dan nyata bersanding. Tentang kebenaran bukanlah hal mudah untuk di
temukan. Saat alam sadar tak lagi bisa menuntunmu, akankah kau mempercayai
mimpi-mimpimu dan meyakininya sebagai petunjuk?
***
NOTE #1
Pemuda ini bersemangat menawarkan barang-barang yang ia
jual. Beberapa orang yang tertarik mampir untuk melihat-lihat. Leif Riordan.
Setiap satu bulan sekali ia pergi ke pusat kota Elsdon untuk berjualan. Sudah
setengah hari ini Leif berdiri tanpa lelah menawarkan barang-barang yang ia
jual, namun tak satupun barang laku terjual. Pasar akan berakhir di tengah
hari, Leif mendesah sambil mengusap peluh di wajahnya. Cukup untuk hari ini,
Leif merapikan barang-barangnya dan menarik gerobaknya pulang menuju penginapan
sederhana yang ia sewa salah satu kamarnya.
“Kakak pulang?” Sambut Lavina Riordan, adik perempuan
Leif. “Lesu sekali. Tak ada yang terjual hari ini?”
“Hari ini kakakmu ini kurang beruntung.” Leif duduk dan
melepas topinya.
“Tak mengapa. Semoga esok lebih baik.” Lavina tersenyum
manis. “Mau aku pesankan makanan untuk Kakak?”
“Tidak. Apa dia sudah siap? Kita harus mengantarnya siang
ini.”
“Lavina akan turut bersamaku.” Gadis dengan kepala
tertutup kerudung ungu ini tiba-tiba muncul.
“Tidak bisakah kau sedikit merubah penampilanmu?” Protes
Leif melihat penampilan Winola. “Ini pusat kota Elsdon.”
“Sinar matahari itu akan membuat mataku sakit. Ini sangat
membantu.” Gadis berwajah pucat ini, Amabel Winola.
“Jangan salahkan aku jika kau di tertawakan nantinya.
Tunggu, kau mengatakan… Lavina akan turut bersamamu??”
“Em.” Winola mengangguk. “Hari ini Lavina akan masuk
asrama Parama Academy bersamaku.”
“Ap-apa??” Leif benar terkejut, begitu juga Lavina.
“Aku
dan Lavina, kami akan masuk asrama Parama Academy hari ini. Bersama-sama kami
akan menempuh pendidikan di sana. Itulah alasan kenapa aku meminta Lavina pergi
bersama kita. Maaf baru memberi tahu kalian hari ini.”
“Tapi,
tapi kami belum mempersiapkannya.”
“Semua
beres.” Winola mengerlingkan mata. Lavina kehabisan kata-kata karena terlampau
senang.
***
Leif
tersenyum sendiri menatap megahnya bangunan Parama Academy yang berdiri di
depannya. Ia menghela nafas panjang lalu berjalan pergi sambil mengantongi
kedua tanganya. Langkah Leif terhenti tiba-tiba ketika ia menemukan benda asing
dalam saku baju hangatnya. Leif menariknya keluar. Ia menemukan sekantong uang
dalam saku baju hangatnya. Leif kembali menoleh, menatap bangunan Parama
Academy dan tersenyum sendiri. “Kau memang sahabat yang menawan dan baik hati,
Winola. Terima kasih.” Leif kembali berjalan.
“Nama!”
Sambut wanita bertubuh tambun dan berkacamata itu saat Winola sampai di
hadapannya.
“Amabel
Winola, Elsdon Timur, Orea.”
Delmora
mengangkat kepala, membetulkan letak kacamatanya mengamati Winola. “Orang
pedalaman.” Gumamnya lirih sambil sedikit menggeleng. “Bilik 505!”
“Tunggu,
Nona Delmora.” Tahan Winola. “Lavina Riordan, apakah dia bisa menjadi satu
bilik denganku?”
“Kau
mengenaliku?”
“Tentu
saja. Siapa yang tak mengenal Nona Delmora?”
“Hey,
gadis pedalaman! Kau mencoba merayuku?”
“Iya,
Nona. Tolonglah.” Winola memelas.
“Kalau
kau mengenaliku, pasti kau tahu bagaimana aturannya.”
“Ayolah
Nona Delmora yang cantik dan baik hati.” Winola membungkuk lebih dekat pada
Delmora. “Lavina itu, dia belahan jiwaku.” Bisik Winola sukses membuat Delmora
terkejut mendengarnya. “Aku harap Nona Delmora memahami kami.” Winola meletakan
kotak merah kecil di meja dan mendorongnya lebih dekat pada Delmora.
Delmora
berdehem, mengamati sekitar, lalu meraih kotak tersebut dan mengintip isinya.
Sebuah cincin cantik bermata batu ruby duduk di dalamnya. “Nona Delmora lahir
di bulan juli, musim panas yang bersinar, surga, simbol kecantikan yang
sempurna untuk wanita sempurna.” Imbuh Winola seraya mengerlingkan matanya.
“Ehem!”
Delmora kembali membetulkan letak kacamatanya. “Amabel Winola, Lavina Riordan,
bilik 505!” Tutup Delmora.
Winola
tersenyum penuh kemenangan. Bibirnya bergerak tanpa suara mengucap kata terima
kasih. Delmora tersenyum dan mengangguk untuk Winola, kemudian memberi isyarat
pada gadis itu agar cepat minggir.
***
“Dan
kita akan berbagi kamar sempit ini dengan dua manusia lagi? Sempurna!” Yocelyn
berkacak pinggang mengamati kamarnya. Tuan Putri ini tak berhenti mengoceh
sejak ia memasuki kamarnya. “Inilah kehidupan yang sebenarnya, benarkan Neva?
Dan dua orang itu, siapa lagi? Mereka dari mana?” Neva yang sibuk menata
barangnya hanya menggelengkan kepala melihat Yocelyn.
Pintu
bilik terbuka menyita perhatian Neva dan Yocelyn. Lavina muncul dari balik
pintu. “Halo. Aku Lavina Riordan.” Lavina memperkenalkan diri. “Dan ini Amabel
Winola.” Lavina membuka pintu lebih lebar hingga Neva dan Yocelyn bisa melihat
Winola. “Kami juga tinggal di kamar ini, bilik 505. Salam kenal.”
“Salam.
Jadi kalian dua rekan kami untuk berbagi kamar?” Sambut Yocelyn. “Dari mana
kalian berasal?”
“Orea,
wilayah tertimur dari Elsdon.”
“Orea?
Benar kalian berasal dari Orea?” Neva sangat tertarik. “Jauh sekali. Aku sangat
ingin berkunjung ke sana. Namun hingga kini hal itu belum terwujud. Salam
kenal. Aku Neva Fredelina dan dia Yocelyn Bryna. Semoga kita bisa menjadi
patner yang kompak.”
***
Winola
kembali merasakannya. Ia bisa mendengarnya dengan jelas, rintihan itu. Entah
siapa, yang pasti salah satu dari rekan sekamarnya. Namun Winola tak mampu
membuka kedua matanya. Seolah ada yang menutup rapat kedua matanya. Winola juga
merasakan bungkaman pada mulut dan hidungnya. Winola tercekik. Nafasnya
tertahan hingga Winola merasakan sakit yang teramat sangat pada dadanya, sesak.
Berusaha memberontak dan tak mau mengalah pada kondisi ini. Beberapa detik
kemudian Winola terbangun. Nafasnya terengah-engah. Kali ini ia sempat melihat
bayangan hitam itu menembus jendela. Winola mengatur nafasnya, meringis menahan
rasa sakit yang tersisa di dadanya.
Winola
kembali tenang. Rintihan itu terdengar kembali. Bukan Lavina yang terbaring di
sampingnya. Winola mengamati ranjang susun di seberang dan mendekati tempat
dimana Neva dan Yocelyn tidur. Rintihan itu berasal dari Neva. Winola berlutut
di tepi ranjang lebih dekat pada Neva dan mengamati gadis itu. Sepertinya Neva
sedang mengalami mimpi buruk. Perlahan Winola meraih tangan kanan Neva dan
menggenggamnya.
***
“Kau
sakit? Wajahmu pucat sekali.” Tanya Yocelyn pada Winola. “Dan aku perhatikam
berulang kali kau meletakan tangan di dadamu, sepertinya kau sedang menahan
sakit.”
“Wah,
Yocelyn perhatian sekali ya.” Lavina menyela dan tersenyum manis. “Winola
memang selalu terlihat pucat, itu karena ia jarang terkena sinar matahari.
Winola sering mengeluh penglihatannya terasa sakit jika terkena sinar
matahari.”
“Matahari
adalah berkah, tapi kenapa kau malah menghindarinya? Kau vampire?”
“Dia
manusia.”
“Ah, aku
tahu, tempat tinggalmu adalah dalam gua atau di bawah tanah. Benar kah? Aku
dengar ada satu kelompok yang tinggal di gua bawah tanah di Wilayah Orea.”
“Kaum
Haley. Kalian biasa menyebut mereka kurcaci. Mereka memang ada dan hidup dalam
hutan Orea. Tentu saja mereka tak setinggi manusia normal seperti Winola. Dan
mereka mengisolasi diri dari manusia, walau beberapa memang bersahabat dengan
manusia. Hanya kebiasaan yang membuat Winola demikian. Di tempat asal kami,
Winola jarang keluar di siang hari. Ia lebih banyak tidur di kala siang.”
“Tentu
sinar mentari pagi tak terlalu mengganggunya. Kau terlalu terbuka menceritakan
tentang Winola.”
“Itu
karena aku perhatikan kau terlalu peduli pada Winola. Aku tak mau kau salah
paham tentangnya. Aku hanya mengatakan sebatas yang aku tahu tentang Winola.”
Winola
hanya diam memperhatikan perdebatan antara Lavina dan Yocelyn. Winola langsung
bangkit dari duduknya ketika melihat Neva keluar dari kamar mandi. Winola
menghampiri Neva, meraih tangan kanan Neva dan meletakan sebuah kalung dalam
telapak tangan Neva. “Pakai ini. Aku mendengar kau merintih semalam, saat kau
tidur. Batu garnet di percaya mampu melindungi pemakainya dari mimpi buruk.
Semoga membantu.”
“Wah
indah sekali.” Yocelyn mengamati kalung dalam telapak tangan Neva. “Hijau
adalah warna favorit Neva. Bagaimana kau bisa tahu? Eum, benar sekali.
Belakangan ini Neva sering mengeluhkan jika ia terus terganggu oleh mimpi-mimpi
buruk yang ia alami. Pagi ini Neva mengatakan padaku jika semalam ia bermimpi
melihat sebuah meteor besar jatuh menimpa Parama Academy. Menghancurkan semua.”
“Meteor?
Apa ini pertanda buruk?” Lavina menatap Winola.
Winola
tak menjawab dan beralih menyiapkan perlengkapan untuk menghadapi hari pertama
sekolah.
***
Inilah
Parama Academy. Kebanggaan Elsdon, sekolah paling terkenal dan paling
berkualitas. Bangunan megah dan staf pendidik terbaik. Walau terbuka untuk
umum, tak sembarang orang bisa menempuh pendidikan di Parama Academy. Bukan
kekayaan yang mereka utamakan, namun kualitas murid itu sendiri. Murid baru
memasuki kelas masing-masing. Delapan kelas dimana di setiap kelas berisi 20
murid, 8 siswi dan 12 siswa. Suatu kebetulan Neva, Yocelyn, Lavina, Winola dan
Edsel menjadi satu kelas di kelas I-F.
“Kebetulan
yang menyenangkan bukan? Kita berkumpul dalam satu kelas. Kenalkan ini rekan
sekamarku Kevin Mackinnley.” Edsel memperkenalkan pemuda tampan berkacamata
yang berdiri di sampingnya.
“Kau
pasti putra dari Gubernur Wilayah Selatan Elsdon.” Tebak Yocelyn.
“Bagaimana
kau tahu?” Kevin terkejut dan Yocelyn hanya terkekeh menanggapinya.
Murid-murid
bergegas duduk ketika seorang guru memasuki kelas. Yocelyn menarik Edsel untuk
duduk bersamanya. Kevin memilih duduk di samping Lavina dan tepat di belakang
keduanya duduk Neva dan Winola. Guru tampan tersebut tersenyum melihat
murid-murid kelas I-F.
“Selamat
pagi anak-anak. Aku Kayle Quon, guru yang bertanggung jawab segala urusan kelas
I-F ini. Salam kenal untuk kalian semua dan mari kita bekerja sama menjadi
patner yang baik.”
Nyaman.
Kesan pertama yang di dapatkan murid-murid kelas I-F pada Kayle. Ramah dan
humoris, membuat murid merasa tak tertekan berada di kelas Kayle. Usai
mengabsen nama-nama anak didiknya, Kayle mengajak penghuni kelas I-F berbincang
santai dan kemudian berlanjut pada pemilihan ketua kelas. Kevin Mackinnley
terpilih menjadi ketua kelas I-F.
***
“Salam.”
Gadis manis berhidung mancung dengan rambut bergelombang sebahu itu duduk
bergabung bersama Yocelyn dan Edsel. “Bagaimana malam pertama di asrama?” Tanya
Violin Oriana Song pada keduanya.
“Lumayan.
Tidurku nyenyak semalam.” Jawab Yocelyn. “Kakakku tak bertanya-tanya tentangku?
Tak ingin datang sekedar menyapaku?”
“Pangeran
Alden sedikit sibuk belakangan ini. Hanya menitipkan salam dan jika ada
masalah, jangan sungkan menghubunginya.”
“Aku
rasa tidak ada masalah, walau satu teman sekamarku terkesan aneh. Eum,
misterius, benarkan Edsel?” Violin turut menatap Edsel namun pemuda itu hanya
tersenyum. “Dia tak banyak tahu. Dia baru bertemu dengannya pagi ini. Amabel
Winola. Aku merasakan hal aneh padanya dan menurutku ia tak normal.”
“Maaf??
Tak normal??”
Yocelyn
menceritakan apa yang ia tahu tentang Winola. Amabel Winola, gadis berambut
ikal panjang yang selalu mengenakan warna hitam dan segala kebiasaan aneh yang
di temui Yocelyn walau baru sehari semalam bersamanya. Yocelyn tak luput
menceritakan peristiwa pagi ini dalam biliknya, termasuk ketika Winola
memberikan kalung untuk Neva.
“Hasil
tambang Orea yang terbaik, apalagi jika mendapatkannya dari kaum Haley.
Sepertinya gadis ini menarik perhatian sekali.” Komentar Violin usai Yocelyn
bercerita.
“Sedikit
aneh memang, penampilannya, auranya… misterius.” Edsel ikut berpendapat.
“Wah,
jadi hanya aku saja yang tak tahu?” Violin menatap Edsel lalu Yocelyn. Ia turut
penasaran pada sosok Amabel Winola usai mendengar cerita Yocelyn yang di
perkuat pendapat Edsel.
***
-------TBC--------
.shytUrtle.
0 comments