The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)
06:34
The
Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love,
Music and Dreams’
다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum
iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Author:
shytUrtle
. Rate:
Serial/Straight
.
Cast
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
Cinta,
musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat
dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik
memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik
menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang
dan hidup…
Episode #19
Yang
terdengar hanya nyanyian hewan malam mengiri tarian kunang-kunang di udara. Ai
dan Byunghun sudah kembali duduk di
teras gubuk mungil. Berdampingan namun saling terdiam. Hanya menatap indahnya
tarian kunang-kunang dengan kerlap-kerlip cahayanya.
“Sebaiknya
berhenti saja, Lee Byunghun. Tak seharusnya kau melakukan ini.” kata Ai memecah
keheningan.
“Em…?”
Byunghun menoleh. Tatapannya bertemu dengan pandangan Ai.
“Jangan
biarkan rasa itu tumbuh subur di hatimu, karena aku tak bisa menjanjikan
apa-apa, terlebih untuk membalas semua ini. Ini tidak hanya akan membuatku
merasa tak enak padamu, namun juga akan membuatmu sakit nantinya.”
“Semua
telah kau berikan untuk Hanbyul?”
“Entahlah.
Aku sendiri tak tahu apa yang aku rasa. Ini semacam…” Ai tak melanjutkan
ucapannya.
“Tak
mengapa.” Byunghun kembali menatap ke arah depan. Tersenyum. “Saat ini, yah
inilah yang aku inginkan. Maaf karena aku tak bisa menjauh, maaf jika ini
mengganggumu. Jika aku menolaknya dan berusaha menghindar, itu semakin
menyiksaku. Maafkan aku karena telah berani menyukaimu, sejak awal melihatmu
dan terlebih setelah kau mengalahkan aku. Aku sedang berusaha dan… dan
mengejutkan ketika tiba-tiba kau dan Hanbyul…” Byunghun diam sejenak. Ia
kemudian tersenyum getir. “Terima kasih. Aku senang karena kau sama sekali tak
berubah, bahkan tak canggung berada di dekatku. Terima kasih karena masih
memberiku ruang untuk tinggal.”
“Aku
egois. Apa yang aku lakukan, ini akan semakin menyiksamu.”
“Jika
aku benar tersiksa, tak mungkin aku tetap bertahan di sini, di sisimu kan?
Jangan merasa ini dan itu. Tak bisakah aku menjadi seperti Kibum? Wooyoung dan
mereka yang selalu ada di sekitarmu?”
Ai
menghela napas dan kembali menatap kunang-kunang yang jumlahnya mulai
berkurang. Suasana kembali hening.
***
Hyuri
mengerutkan dahi ketika Byunghun kembali bersama Ai sepagi ini. “Kalian bersama?
Semalaman?” tanya Hyuri penuh curiga. “Kemana kalian pergi semalaman?!”
“Apa
terjadi sesuatu?” Ai balik bertanya dengan ekspresi datarnya.
“Shin
Ae jatuh dari pohon. Semalam Minhwan menggendongnya sampai kemari.”
“Shin
Ae…? Jatuh dari poho…? Bagaimana bisa?”
“Nona..?
Nona sudah kembali?” Shin Ae keluar dari dalam pondok.
“Kau
terjatuh dari pohon? Semalam?” tanya Ai menatap heran Shin Ae.
“Eung…
itu, itu kecelakaan kecil. Aku tak terluka. Nona jangan khawatir.”
“Bagaimana
bisa terjadi?”
“Karena
tiba-tiba muncul seekor anjing besar dan aku ketakutan.
Myungsoo
dan Minhwan keluar pondok secara bersamaan. Senada dengan Hyuri keduanya dibuat
heran melihat Byunghun sudah bersama Ai pagi ini.
“Kalian…
pergi bersama…?” tanya Minhwan.
“Sebaiknya
kalian segera berkemas.” Kata Ai tak menjawab pertanyaan Minhwan sambil
berlalu.
“Ya!
Kau pergi bersamanya semalam?” Minhwan menahan Byunghun.
Byunghu hanya tersenyum, kemudiam berjalan memasuki
pondok.
“Mereka…”
Minhwan bingung, menatap Myungsoo lalu Hyuri, “…benar bersama…?”
***
“Ponselnya
ia tinggal dalam kamar, semalaman tak kembali ke pondok lalu pagi-pagi muncul
bersama Fujiwara…? Byunghun… apa semalaman ia bersama Fujiwara? Tapi dimana?”
Minhwan masih memikirkan kejadian pagi ini sambil duduk fokus dibalik kemudi.
“Aku
tahu-tahu melihat mereka datang bersama.” jawab Hyuri yang duduk di bangku
belakang bersama Shin Ae. “Aku pun penasaran dimana mereka semalam. Aku yakin
mereka bersama. Aku tahu Lee Byunghun menyukai Ai, tapi mengambil kesempatan
seperti ini saat Hanbyul tak ada, ish! Menggelikan.”
“Ya!
Lee Byunghun bukan tipe pria licik seperti itu. Kalau pun benar terjadi
sesuatu, pasti itu karena Fujiwara pun mau.”
“Mwo?!
Mau?! Ya! Kau pikir apa sahabatku itu?!” protes Hyuri tak terima. “Kau pikir Ai
yang licik?! Seperti siluman rubah kesepian yang mencarai mangsa?!”
“Song-song
Hyuri…”
“Hah!
Kenapa kalian jadi ribut sendiri?!” sela Myungsoo. “Apa masalahnya jika
Fujiwara dan Byunghun bersama? Aku yakin tak terjadi sesuatu. Berhenti berpikir
konyol!”
Hyuri
melipat tangan dan melihat keluar jendela.
Shin Ae
bingung tak tahu harus bersikap bagaimana di tengah krisis ini.
“Fujiwara
berpendirian teguh dan Byunghun bukan pemuda yang tak tahu diri. Yakinlah pada
mereka, em?” Myungsoo yang duduk di samping Minhwan menoleh pada Hyuri.
“Ah,
kenapa aku jadi begini khawatir?” Hyuri masih menatap keluar jendela mobil.
“Urusan hati, itu sangat privasi bukan?”
“Itu
wajar. Karena Nona Song sangat menyanyangi Nona Fujiwara.” Shin Ae menenangkan.
“Keterlaluan
kah?”
“Tidak.
Karena kita tak ingin orang yang kita sayangi terluka.”
Hyuri
menatap Shin Ae lalu tersenyum manis. Ia terlihat lega.
***
Byunghun
langsung membawa truk Morning Glory Florist ke gereja tempat dimana pernikahan
Junki dan Young Ah akan digelar. Mobil Myungsoo yang dikemudikan Minhwan turut
menuju ke sana.
Ai
langsung bekerja untuk menghias gereja bersama-sama dengan tim-nya. Sementara
itu Myungsoo segera memboyong Hyuri, Minhwan dan Byunghun pergi. Ia tak mau
jika terjadi ribut-ribut lagi. Terlebih Ai akan sangat sibuk dengan persiapan
pernikahan Junki hari ini.
Kebun
di samping gereja pun telah selesai dihias. Ai duduk di bangku paling depan
dalam gereja. Ia tersenyum teringat momen saat ia bersama Hanbyul dalam gereja
ini kemudian Hanbyul mengkhayalkan tentang pernikahannya kelak.
“Sudah
larut, kita pulang. Kau harus istirahat.” Minki menghampiri Ai. “Di luar sudah
beres. Akan ada yang menginap juga. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau
belum istirahat sama sekali sejak kembali dari perkebunan.”
“All
clear?”
“Em.
All clear. Let’s take a rest now.”
“Syukurlah.”
Ai menghela napas lega kemudian menatap tangan kirinya. “Semoga juga demikian
padanya.”
“Pasti.
Ayo.”
***
Hanbyul
mengerutkan dahi. Email yang kirim tak satu pun dibalas oleh Ai. Gadis itu juga
tak menunjukan aktifitas di akun pribadinya.
“Ah,
iya. Sangat sibuk mempersiapkan pernikahan Lee Junki Sonsaengnim. Semoga semua
lancar. Ah, apa dia makan dan istirahat dengan baik? Gadisku yang keras kepala
ini. Semoga tangan kiri Jiyoo juga membaik. Aku mohon bantu dia di sana,
Tuhan.” Hanbyul menatap langit-langit kamarnya. “Ah, aku begitu merindukannya…”
“Oh!”
Hanbyul tersentak kaget ketika Nyonya Jang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk
pintu. Terlambat. Hanbyul ketahuan lagi sedang memantau akun pribadi Ai.
Nyonya
Jang meletakan pakaian Hanbyul di atas ranjang. Hanya diam. Tak berkata apa
pun. Bahkan tak menyapa putra semata wayangnya.
“Om-omma
masih marah padaku?” Hanbyul memberanikan diri bertanya. “Omma tak suka aku
berpacaran dengan Jiyoo…? Omma lebih suka Suri daripada Jiyoo…? Omma! Omma
jangan diamkan aku seperti ini. Ini membuatku asing di rumahku sendiri.”
“Terlalu
pagi untuk berdebat.”
“Aku
tak mengajak Omma berdebat. Aku hanya bertanya pada Omma. Aku menyukai Jiyoo.
Aku mencintai Jiyoo. Omma membencinya? Omma tak suka pada Jiyoo? Kenapa? Karena
Jiyoo anak Jeonggu Dong? Anak berandalan? Sesempit itukah penilaian Omma pada
Jiyoo-ku?”
“Jiyoo…?
Fujiwara Ayumu…? Bagaimana bisa satu orang memiliki dua nama?”
“Aku
jelaskan pun percuma jika. Omma tak akan mau mendengarnya. Jika benar dugaanku,
aku hanya ingin menegaskan Jiyoo tak seburuk yang Omma pikirkan. Jiyoo, dia
gadis istimewa. Dia gadis yang baik. Aku mencintainya, Omma. Sangat
mencintainya.”
Nyonya
Jang menghela napas panjang. “Aku tak tahu sejauh mana cinta telah membutakan
anakku ini. Ini terlalu… terlalu dini untukmu. Untuk mengatakan sangat
mencintainya dan… ah, entahlah.”
“Aku
bukan anak kecil lagi Omma. Cinta tak membutakan aku. Aku yakin pilihanku ini
benar.”
Nyonya
Jang terdiam di tempat ia berdiri.
Hanbyul
pun tetap pada posisinya, duduk di balik meja belajarnya.
Nyonya
Jang berjalan mendekati Hanbyul, kemudian meletakan kedua tangannya di pundak
Hanbyul. “Sebagai seorang lelaki, tak cukup hanya dengan mengatakan ‘aku
mencintainya, sangat mencintanya’ saja. Untuk seorang lelaki, kata cinta itu
wajib disertai dengan tanggung jawab karena setiap laki-laki kelak akan menjadi
pemimpin dari orang yang ia cintai. Pemimpin yang harus bertanggung jawab
menjaga gadis yang ia cintai dan membahagiakannya. Sebagai seorang laki-laki,
bermodal kata ‘aku mencintainya, sangat mencintainya’ saja tak cukup, karena
kelak seorang lelaki akan menjadi nahkoda yang akan mengemudikan kapal yang
disebut sebagai sebuah keluarga. Karena kau adalah milikku, kebanggaanku
satu-satunya, maka sebagai laki-laki, jadilah nahkoda yang baik dan bertanggung
jawab. Maaf jika sikap Omma membuatmu kecewa. Omma tak ingin menjadi batu
penghalang bagimu, Omma tak ingin melarangmu menjalin hubungan dengan siapa
saja. Omma hanya merasakan apa yang juga dirasakan oleh sebagian banyak ibu.
Omma khawatir anak Omma ini hancur hanya gara-gara cinta, hanya gara-gara
wanita. Omma hanya ingin kau menjadi seseorang dahulu. Seseorang yang mampu
memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Setelah semua itu terwujud, semua
keputusan ada di tanganmu, karena kehidupanmu, kau yang menjalaninya.” Nyonya
Jang melingkarkan kedua tangannya di leher Hanbyul.
“Setahuku,
pangeranku ini hanya mencintai musik dan basket. Gadis yang berhasil menarik
perhatiannya, aku yakin dia memang bukan gadis biasa. Sangat mengejutkan,
setelah sekian lama dan ketika kau kembali tiba-tiba kau bicara tentang cinta,
sangat mencintai seorang gadis. Gadis yang selama ini aku tahu dari dunia maya
dengan segala… segala apa yang ia punya dan orang bicarakan tentangnya. Skandal
itu bukan sekedar isapan jempol belaka.” Nyonya Jang tersenyum masih mendekap
Hanbyul.
“Maafkan
aku Omma. Aku tak bermaksud membuat Omma syok. Hah… aku paham sekarang. Omma
jangan khawatir, aku akan berusaha untuk yang terbaik.”
“Omma
percaya itu.” Nyonya Jang mengecup puncak kepala Hanbyul. “Lalu kapan akan kau
ceritakan pada Omma tentang bagaimana seorang anak gadis bisa mempunyai dua
nama…?”
“Ah,
itu… sekarang pun jika Omma mau.”
Ibu dan
anak ini kemudian tertawa bersama.
***
Ai
berjalan malas menuruni tangga. Perjalanan jauh dan minimnya istirahat, Ai
merasakan lelah yang teramat sangat disekujur tubuhnya. Hari ini ia kembali
membolos sekolah. Bukan karena pernikahan Junki yang akan digelar sore ini.
Akan tetapi karena tangan kiri Ai yang harus kembali menemui Dokter yang
bertanggung jawab untuk merawatnya. Ai menguap sambil kembali membetulkan topi
dari rompi yang dikenakannya.
“Omo!”
Ai terhenyak ketika sampai di ujung tangga terbawah. “Mwoya ige? Sonsaengnim…?”
ia kaget melihat Junki sudah berada di sini sepagi ini. “Ada masalah?”
Junki
tersenyum. “Hari ini, aku yang akan mengantarmu ke rumah sakit.”
“Mwo…?”
“Aku
mohon jangan menolakku. Susah payah aku mendapatkan izin ini. Aku harus
menyingkirkan beberapa pria. Dokter Song, Jung Euichul, Lee Minki dan…” Junki
diam mendapati Ai menertawakannya. “Wa-wae…?”
“Aku
pikir hari ini pengantin pria akan mengajakku kabur dari sini.”
“Mm-mwo…?!”
Ai
terkekeh. “Maaf. Aku hanya bercanda. Ok. Ayo, kita berangkat!”
Mobil
Junki melaju pelan menuju rumah sakit. Suasana terasa kaku di dalam mobil.
Setidaknya itu yang dirasakan Junki.
“Hah,
orang tua itu selalu pelan ya kalau mengemudi.” celetuk Ai.
“Nee…?
Wae? Apa kita terlambat…?”
Lagi-lagi
Ai tertawa geli. “Aniya. Gomawo. Menjelang pernikahan, Sonsaengnim masih peduli
padaku. Tak seharusnya Sonsaengnim merasa sungkan hingga melakukan hal ini.”
“Selama
waktu singkat kita kenal, kau telah berbuat banyak padaku. Aku belajar banyak
darimu. Gomawo. Mianhae, aku tak bisa membalas semua.”
“Kepercayaan.”
Ai menoleh menatap Junki. “Kepercayaan yang Sonsaengnim berikan padaku, itu
melebihi semua. Atas sikap kurang ajarku yang berani jatuh hati pada
Sonsaengnim, tapi Sonsaengnim masih memberiku ruang dan kepercayaan walau
Sonsaengnim menyadari hal tak wajar yang aku pendam. Aku-lah yang seharusnya
berterima kasih. Jongmal kamsahamnida, Sonsaengnim.”
“Anggap
saja kita impas dan setelah ini kita adalah teman. Saudara. Kau setuju?”
“Nee,
choa.”
“Hah…
ini sedikit mengurangi rasa gugupku.”
Ai
tersenyum masih memperhatikan Junki. “Apa wajah setiap orang yang akan menikah…
berbinar seperti ini…?”
“Nee…?”
“Sangat
jelas terlihat.”
“Jinja…?”
“Anee.
Aku hanya bercanda.” Ai kembali menatap ke arah depan.
“Ah,
dasar Fujiwara!”
***
Dokter
selesai melepas gips di tangan kiri Ai. Perlahan Ai mulai menggerak-gerakan
tangannya.
“Ini
keajaiban. Cepat sekali. Kau patut bersyukur. Buah dari sikap menurutmu.”
ungkap Dokter.
Ai
tersenyum manis. “Kamsahamnida.” Ai membungkuk sopan. “Dokter sudah dengan
sabar merawatku. Lalu setelah ini, aku masih bisa memainkan gitar lagi kan?”
“Em.”
Dokter mengangguk. “Untuk sementara, jangan keterlaluan ya.”
“Nee.
Algeseumnida.”
Ai
berjalan sambil keluar ruangan. Langkahnya terhenti ketika sampai di ruang
tunggu pasien. Tatapan Ai tertuju pada televisi besar di ruangan itu yang
sedang menayangkan penampilan duet Jaejoong dan Wonbin. Wonbin memainkan gitar
akustik mengiringi Jaejoong bernyanyi. Ai tersenyum. Kemudian kepalanya
tertunduk kembali menatap tangan kirinya.
“Kau di
sini rupanya. Kapan kau keluar?” Junki menemukan Ai. Junki turut menatap
televisi lalu kembali menatap Ai. “Kau… baik-baik saja, Fujiwara?”
“Nee.
Ayo, kita pulang.” Ai kembali semangat.
***
Memandang
tangan kirinya, menggerakkannya kemudian tertawa, Ai melakukannya berulang
kali. Ia duduk sendiri di kursi yang berada di pinggir. Ai kembali mengangkat
kepala memperhatikan lalu lalang orang yang sibuk mempersiapkan sisa kekurangan
dari pesta pernikahan Junki. Ai mendengus dan kembali menguap. Ia terlihat
lelah benar.
“Hah,
di sini kau rupanya.” Gahee muncul tiba-tiba di hadapan Ai.
“Nee…?
Ada masalah?” Ai bingung.
“Ikut
aku!” Gahee menarik tangan Ai.
“Nee…?
Odie…? Sonsaengnim…”
Gahee
tak menjawab, tetap menyeret Ai pergi.
--------
Teman
dan kerabat dekat Junki dan Young Ah berdatangan dan mulai memadati gereja.
Junki sudah berdiri di dekat altar. Ia terlihat tampan dalam balutan tuxedo
hitam dan celana senada. Ia terlihat gugup. Tergabar jelas di wajah tampan
Junki.
Tak
lama kemudian iring-iringan Young Ah datang. Junki tersenyum ketika Young Ah
berjalan memasuki gereja. Bahagia. Gugup. Bangga. Semua bercampur jadi satu
dalam dada Junki. Pemberkatan pernikahan pun digelar.
Usai
prosesi pernikahan digelar, para tamu digiring keluar gereja tempat pesta kebun
sederhana digelar untuk menikmati hidangan jamuan pesta. Pasangan raja dan ratu
sehari berada di singgasana mungil yang sengaja di bangun untuk mereka. Dengan
wajah penuh binary bahagia keduanya meladeni setiap tamu yang menghampiri untuk
memberi selamat dan meminta foto bersama. Ada pula musisi yang memainkan musik
untuk mengiri pesta. Bahkan Junki dan Young Ah juga sempat berdansa.
Gahee
berjalan penuh percaya diri menuju singgasana pengantin. Senyum manis
terkembang di wajah ayunya sambil ia berjalan dan menggandeng seseorang di
samping kirinya. Kehadiran Gahee langsung menjadi pusat perhatian para undangan
pesta.
Ai yang
berjalan di samping kiri Gahee hanya bisa tertunduk. Sebelumnya ia tak pernah
berpenampilan seperti ini. Ai terlihat anggun dan cantik dalam balutan gaun
selutut berwarna pink itu. Gahee telah mempersiapkan ini semua. Gahee pula yang
mendandani Ai hingga hari ini gadis itu tak muncul dengan riasan gothic-nya.
Rambut Ai yang biasa terkepang dua, kali ini tersanggul rapi semakin membuatnya
terlihat anggun. Ketika semua menatap kagum pada Ai, gadis itu justru merasa
tak percaya diri dengan penampilan yang tak biasa ini. Apalagi gaun pink yang
menurutnya sangat aneh ini.
Gahee
membawa Ai ke singgasana pengantin. “Kau ingat siapa dia?” bisik Gahee pada
Junki.
“Fujiwara?
Ah, kau terlihat berbeda sekali.” kata Junki masih menatap kagum pada Ai.
“Kau
terlihat cantik. Lihat, semua mata menatapmu.” Young Ah turut memuji.
Ai
hanya tersenyum kemudian sedikit menundukan kepala.
“Gomawo.
Pesta ini…” kata Young Ah, “tak akan terwujud tanpamu. Suamiku…” Young Ah
melingkarkan tangannya dan bergelayut manja di lengan Junki, “sedikit
memalukan. Bagaimana dia membuat repot muridnya? Tapi, aku akui kau sangat
berbakat Fujiwara. Bunga-bunga itu dan Ikebana di sana-sini. Ini sangat…
indah.”
“Syukurlah
jika Nona Lee senang.” Ai lega.
“Kau…
tak ingin bernyanyi untuk kami?” tanya Young Ah. “Dia tak bisa bernyanyi
untukku.” Young Ah menyikut Junki. “Beraninya hanya di tempat karaoke saja.”
Young Ah berbisik pada kalimat terakhir.
“Tangan
Fujiwara baru pulih hari ini.Aku rasa ia tak bisa memainkan alat musik dan
bernyanyi untuk kita.” sela Junki.
“Aku
akan bernyanyi. Untuk kalian berdua. Anggap saja itu perwakilan untuk
masing-masing kalian.” kata Ai.
Junki
dan Young Ah kompak menatap heran pada Ai.
“Karaoke.
Aku sudah mempersiapkannya.” Ai memperjelas.
“Ah,
ide bagus.” Gahee langsung bergegas menuju panggung para musisi. Gahee meminta
perhatian para tamu. Ia memberikan sedikit sambutan, lalu ucapan selamat pada
kedua mempelai dan tak lupa memperkenalkan Ai sebagai wedding planner dari
pesta ini. Bahkan Gahee juga mempromosikan Morning Glory Florist serta
kemahiran Ai dalam seni merangkai bunga asal Jepang, Ikebana.
“Dan
sebagai bingkisan kecil, Fujiwara akan bernyanyi untuk kita.” Gahee tersenyum
dan mengundang Ai untuk naik ke atas panggung.
Undangan
yang hadir rata-rata saling berbisik ketika Ai naik ke atas panggung. Beberapa
hanya tersenyum menatap panggung. Minki tersenyum bangga melihat Ai dari
kejauhan.
“Lagu
ini untuk kedua mempelai.” Ai memberikan sambutannya sebelum bernyanyi. “Spice Girls-Two Become One.”
Para
tamu bertepuk tangan. Ai pun bernyanyi untuk Junki dan Young Ah.
***
“Kau
sudah melihatnya?” Suri duduk di hadapan Hanbyul.
“Melihat…
apa?” Hanbyul tak paham.
“Kau
tak tahu?”
Hanbyul
menggeleng.
“Video
terbaru Fujiwara Ayumu. Dia menyanyi dalam acara pernikahan. Video itu beredar
begitu cepat. Apa ini akan jadi masalah baginya?”
“Entahlah.
Pasti dalam pernikahan Lee Junki Sonsaengnim.” Hanbyul tersenyum sendiri.
“Dia
sangat cantik. Berbeda dari Fujiwara yang biasa terlihat dalam video-videonya
yang pernah aku lihat. Dalam balutan gaun pink dan riasan minimalis, ess… hanya
satu kata, cantik. Aku menyimpan video itu, nanti aku beri. Kau mau?”
Hanbyul
menatap geli Suri. “Kau ini… Yowlism?”
“Tidak
juga. Tapi aku berteman dengan beberapa anak Korea. Beberapa dari mereka
Yowlism yang benar-benar fanatik. Mau tak mau aku jadi tahu. Em, lebih tepatnya
mencari tahu. Fans YOWL itu keren. Menurutku sih. Maaf bukan maksudku
membandingkannya dengan fans Viceroy.”
Hanbyul
hanya tersenyum.
Suri
menatap tumpukan buku yang ada di meja menemani istirahat siang Hanbyul dalam
perpustakaan sekolah. “Buku-buku ini…?”
Hanbyul
tersenyum. “Iya. Saat dalam pesawat meninggalkan Korea, tiba-tiba terpikir
olehku, aku ingin menjadi Dokter.”
“Dokter…?
Kenapa…? Lalu basket…? Atau musisi…?”
“Beberapa
kali aku menemukan Jiyoo kesakitan, tapi aku tak pernah tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Jiyoo terlihat menurut pada Dokter Song. Yah, satu-satunya
Dokter yang membuatnya patuh. Namun Dokter Song tak bicara banyak padaku. Jika
aku jadi Dokter, aku akan merawatnya dengan baik.”
“Jiyoo…?”
“Ai.”
“Oh.
Dia sakit…?”
“Entahlah.”
Hanbyul kemudian menceritakan bagaimana ia mengenal Ai dari awal pada Suri.
Tragedi di ruang ganti siswa dan semua, ketika Hanbyul sering dengan tak
sengaja menemukan Ai.
Suri
duduk menyangga dagu dengan tangan kanannya, tenang mendengarkan Hanbyul
bercerita. Terlihat dari ekspresinya, Suri menikmati cerita Hanbyul. Sesekali
ia tersenyum sendiri saat Hanbyul bercerita.
“Maaf,
aku membuatmu jadi pendengar.” Hanbyul sungkan.
“Gwaenchanna.
Aku suka mendengarnya. Kau tahu, kisahmu membuatku iri. Bagaimana perjuanganmu
untuk mendapatkan Ai, itu sungguh… ah, keren. Sebagai sesama anak gadis, aku
iri pada Ai. Kau harus mempertahankannya. Ingat perjuangan kalian, bahkan apa
yang baru kalian mulai belakangan ini. Ini tak akan mudah, tapi aku
mendukungmu. Jang Hanbyul, hwaiting!” Suri menyemangati.
Hanbyul
tersipu.
“Semoga
hubungan kalian benar langgeng. Aku akan jadi polisi untuk Ai di sini. Kelak
kau, saat aku ke Korea, kau harus mempertemukan aku dengan Ai.”
“Sure.”
“Aku
sudah berteman dengannya di dunia maya, tapi aku merasa ragu untuk mencoba
akrab dengannya.”
“Why…?
Dia gadis yang ramah, walau ya terkesan dingin.”
“Itu
namanya bukan ramah!”
“Katakan
saja kau saudariku di Amerika. Jiyoo memang tak mudah menaruh perhatian pada
orang asing kecuali kau punya sesuatu yang benar-benar membuatnya tertarik.
Akan lebih berguna jika bisa membuatnya penasaran.”
“Ish.
Kau membongkar kelemahan kekasihmu?”
“Padamu?
Kenapa tidak? Sama-sama anak gadis, tak akan jadi masalah.”
“Bagaimana
kalo Ai mendua denganku?”
“Ya…”
Suri
terkekeh. “Baiklah, akan aku coba. Semoga Ai percaya.”
Hanbyul
dan Suri tersenyum bersama.
***
Ai
duduk di atas tembok setinggi satu meter itu, sambil memetik gitar akustik
kesayangannya yang lama tak ia elus. Gerak jari-jari Ai terhenti, ia kemudian
tersenyum sendiri. Senyum kecut ketika kembali teringat memori bersama YOWL.
Ai
teringat ketika ia baru saja kembali ke Korea lalu duduk memainkan gitar di
atas tembok ini. Yongbae tiba-tiba muncul dan lagi-lagi perkelahian tak dapat
dihindarkan ketika keempat member YOWL datang.
“Aku
sangat merindukan masa-masa itu. Sekarang semua itu benar menjadi kenangan
yang… indah dan manis.” gumam Ai.
Senyum
dan gumam Ai terhenti ketika Taerin melintas. Taerin berlalu begitu saja seolah
tak menyadari keberadaan Ai yang tampak jelas dari sudut jalan mana pun. Ai
menggeleng pelan dan merapikan gitarnya. Ai melompat turun dan bergegas
menyusul Taerin.
Taerin
merasa risih sadar ada yang membuntuti langkahnya. Taerin mengerutkan dahi dan
mempercepat langkahnya.
“Ini
aku.” kata Ai. “Aku ingin bicara.” ia berusaha menahan langkah Taerin.
Taerin
menghentikan langkahnya.
Ai
beralih ke hadapan Taerin. Ia mengulurkan tanaman hias dalam pot di tangannya
pada Taerin. Tanaman yang terbungkus rapi dalam plastik lengkap dengan hiasan
pita yang semakin mempercantik tampilannya. “Kesukaan Jaejoong. Beberapa waktu
lalu aku melihat tanaman kesayangannya itu mati. Dia tak suka banyak air, juga
tak suka banyak sinar matahari. Saat Jaejoong pulang, pastikan ia tak melihat
bangkai dari tanaman sebelumnya.”
Taerin
terdiam menatap tanaman hias di tangan Ai.
“Jaejoong
menyukai aroma dari tanaman ini. Itu menenangkannya.” Ai masih dengan tangan
terulur.
Tangan
Taerin bergerak pelan lalu menerima bingkisan itu.
Ai
tersenyum tulus. “Yang kau perlukan hanya kesabaran. Kesabaran dalam
merawatnya. Itulah kasih.” Ai kembali tersenyum kemudian membalikan badan.
“Annyeong.” serunya sembari berjalan pergi.
Taerin
masih terdiam di tempat ia berdiri. Di tatapnya tanaman hias di tangannya.
Kemudian Taerin menatap Ai yang berjalan meninggalkannya. Taerin kembali
menundukan kepala dan berjalan.
***
Ai baru
sampai di basecamp. Ia heran melihat banyak bahan baku bangunan yang sedang
ditata oleh rekan-rekannya.
“Ya.
Semua ini… dari mana…?” Ai memanggil salah satu rekannya, anak buah Yongbae.
“Tadi
pengirimnya mengatakan ini dari Yong Junhyung.” sahut satu rekan lainnya.
“Yong
Junhyung…? Mengirim ini semua…?”
“Iya,
Nona. Ini semua yang kita butuhkan untuk gudang bunga dan beberapa pembaruan di
sana-sini.”
Ai
diam, menerka-nerka.
“Oh,
sudah datang rupanya.” Byunghun baru tiba. Ia tersenyum menghampiri Ai.
“Sudah
datang…?” tanya Ai.
“Barang-barang
ini. Yong Junhyung yang mengirimnya bukan?” Minhwan balik bertanya.
“Kata
mereka begitu.” jawab Ai.
“Mianhae.
Dia bertanya padaku, apa yang kalian butuhkan. Aku katakan ini semua.” sela
Byunghun. “Jika kau menolak, itu akan melukainya. Biarkan ia menebus rasa
bersalahnya. Mungkin itu membuatnya lebih tenang.”
“Nee,
ara. Aku harus berterima kasih padanya.”
Byunghun
tersenyum dan mengangguk.
“Meja
dan bangku itu… mau ada rapat ya?” tanya Minhwan.
“Yang
berminat untuk ikut latihan merangkai bunga akan datang sebentar lagi. Kami
akan memulainya.”
“Wah,
ini pasti akan menyenangkan. Oya, selamat. Tanganmu kembali.”
“Dari
dulu dia di sini, tak kemana-mana.” jawab Ai membuat Minhwan terbahak.
Byunghun
hanya tersenyum geli dan menggeleng mendengarnya.
***
“Aku
rindu padamu, pada Jeonggu Dong, Taerin. Sebenarnya sangat ingin ke sana.”
Jaejoong berada di balkon lantai dua dorm YOWL sedang menelfon Ai.
“Suatu
saat pasti kau bisa. Sekarang fokuslah untuk debut YOWL, yang lain benar
membutuhkanmu. Di sini kami semua baik-baik saja, aku dan Taerin.” Ai berbaring
di bangku di teras rooftop-nya.
“Aku
sudah melihatnya. Kau sangat cantik saat pernikahan Lee Junki Sonsaengnim.”
“Mwo…?”
Ai terbangun. “Kau tahu darimana…? Ada yang menyebarkan fotoku…? Ah, itu ulah
Gahee Sonsaengnim.” Ai tersipu.
“Bahkan
lengkap dengan videonya.”
“Mm-mwo…?
Jinjayo…?”
“Em.”
“Lalu
apakah ini jadi masalah…? Buat kalian…”
“Anee.
Sebelum kami di sini juga sering begitu bukan?”
“Ibu
Presedir...?”
“Tak
masalah. Jangan keterlaluan seperti itu.”
“Aku
juga sudah melihatnya. Duet kalian, kau dan Wonbin. Aku tak pernah melihat
kalian sebaik itu sebelumnya. Kalian tampak keren di layar kaca. Wajah gugupmu,
mulai samar. Good job.” Ai tersenyum bangga.
“Itu…
ah…” Jaejoong salah tingkah sendiri meski Ai tak di hadapannya. “Oya, maaf
tentang keputusan Ibu Presedir yang berubah tiba-tiba.”
“Aku
justru senang mendengarnya. Nona Kim Taehee lebih berpengalaman tentang ini.
Aku mendukung keputusannya. Menunggu kondisi Jeonggu Dong stabil untuk debut
YOWL hanyalah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Itu bodoh.
Jaejoong~aa, kau yang memilih tanggal 23 itu?”
“Iya.
23 untuk W. Penghormatan untuk Wacky Way of YOWL Fujiwara Ai Ayumu dan
sekaligus untuk Wren of YOWL Lee Jaejin. Bagaimana menurutmu?”
“Membuatku
terharu. Gomawo.”
“Harusnya
kau memelukku.” Jaejoong tersenyum geli.
“Sini.
Emm… aku memelukmu.”
Jaejoong
kembali tersenyum dengan wajah bersemu merah.
“Ya!
Kau tidak sedang berpikir macam-macam kan…?!”
“An-anee…
wae…?”
“Anee.”
“Maaf.
Kata-kataku tadi, sangat tak sopan.”
“Aku
pun sama. Mian.”
“Hanbyul…”
“Nee…?”
“Oh,
apa kau akan datang?”
“Ingin,
tapi aku rasa kau paham itu tak mungkin. Aku tak akan punya nyali sebesar itu
untuk datang. Aku tak berani. Mianhae.”
“Ara.
Mian. Tak seharusnya aku bertanya.”
“Malam
ini banyak kata maaf ya? Kita ini saudara. Keluarga. Jangan terus meminta maaf,
karena kau tak salah. Itu membuatku merasa bersalah.”
Jaejoong
mendesah.
“Kalian
mulai terbiasa dengan semua ini. Tolong jangan menolaknya. Biarkan saja
mengalir. Jangan merasa bersalah padaku, karena ini jalan yang aku pilih untuk
kalian dan jalan yang kalian setujui untuk kalian jalani. Waktu akan membantu
kalian. Karena bagaimana pun juga, kita satu, YOWL.”
“Bagaimana…?
Ai mau datang…?” Minhyuk menyambut Jaejoong yang baru masuk kembali.
“Prediksi
Wonbin, benar adanya.” Jaejoong menjatuhkan tubuhnya di sofa.
“Yah…”
Minhyuk kecewa. “Aku rindu sekali padanya.”
“Aku
juga.” Jaejin mengamini.
“Kalian
mulai terbiasa dengan semua ini. Tolong jangan menolaknya. Biarkan saja
mengalir. Jangan merasa bersalah padaku, karena ini jalan yang aku pilih untuk
kalian dan jalan yang kalian setujui untuk kalian jalani. Waktu akan membantu
kalian. Karena bagaimana pun juga, kita satu, YOWL. Itu pesan Ai.” kata
Jaejoong.
“Ai
jadi kuat demi kita. Kita pun harus menjadi lebih kuat untuknya. Bagaimana pun
juga, kita tak akan sampai pada titik ini tanpa Ai. Semua ini perjuangan kita,
bukan perjuangan Ai, Jaejoong, aku, Jaejin atau Minhyuk, tapi perjuangan kita,
YOWL. Harapan Ai juga Jeonggu Dong sangat besar pada kita. Jadi ayo kita
wujudkan bersama-sama.” Wonbin tiba-tiba berbicara panjang lebar.
Minhyuk
tersenyum dan merangkul Wonbin.
“Kadang
kau itu jadi sangat mirip dengan Ai.” komentar Jaejin.
“YOWL!”
Jaejoong mengulurkan tangan.
Jaejin
meletakan tangannya di atas tangan Jaejoong. Disusul Minhyuk dan Wonbin.
“Auuu!!!”
keempatnya kompak meraung.
---TBC---
shytUrtle
0 comments