The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)
10:06
The
Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love,
Music and Dreams’
다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum
iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Author:
shytUrtle
. Rate:
Serial/Straight
.
Cast
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
Cinta,
musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat
dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik
memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik
menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang
dan hidup…
Episode #18
“Kenapa
merobeknya? Itu mengganggumu?” tanya Ai santai.
“Ak-aku…”
pemuda yang berada paling tengah dari kubu lawan itu terbata. “Ini wilayah
perbatasan! Kau tahu itu kan?!” imbuhnya dengan nada meninggi.
“Rileks.
Santai. Tak perlu menyalak seperti itu.” Ai masih dengan tenangnya.
“Menyalak?!!”
pemuda itu melotot.
Ai maju
dua langkah lebih dekat pada pemuda itu. “Kau gugup? Kim Hyoseok?”
Mata
Hyoseok melebar.
“Aku
hanya ingin ngobrol. Denganmu.”
“Ngobrol…?
Denganku…?”
“Em.”
Ai kemudian melirik sekelilingnya. Kemudian ia mencondongkan badannya ke depan.
“Bicara empat mata? Bisakah?” bisiknya.
Sebuah
meja dengan dua kursi dimana Ai duduk berhadapan dengan Hyoseok. Di belakang
keduanya, kira-kira jarak lima langkah ke belakang, anak buah masing-masing
berkumpul menunggu. Di sekitar mereka, berantakan barang-barang di sana-sini.
Sangat tak sedap di pandang mata.
Ai
mengamati sekelilingnya. “Ini yang kalian sebut markas? Sangat tidak nyaman.”
komentarnya.
“Anak
jalanan harus terbiasa dengan hal ini.” respon Hyoseok.
“Aku
juga anak jalanan, tapi tak asal-asalan membuat basecamp. Kau kan kaya, kenapa
tak mau modal sedikit saja? Jangan jadi bos yang pelit. Tanpa anak buahmu, kau
tak berarti apa-apa. Anak jalanan juga butuh tempat berteduh yang nyaman.”
“Kami
ada.”
“Pasti
tak jauh beda dengan ini.”
“Apa
tujuanmu sebenarnya? Memasang iklan tentang apalah itu, basecamp-mu di wilayah
perbatasan.”
“Umpan
kulempar, umpan kau makan. Aku hanya memancingmu. Ikannya ternyata mudah sekali
ditangkap.” Ai menyeringai.
“Kau!”
Hyoseok membuang napas panjang. Ia kesal menghadapi makhluk dihadapannya ini.
Makhluk yang benar-benar menyebalkan. Menurut penilaian Hyoseok demikian. “Apa
maumu?”
“Kerjasama.”
“Kerjasama?!
Hagh! Kau tahu aku ini siapa?”
“Tahu.
Kau orang yang sengaja menabrak Dong Yongbae hingga ia terbaring koma.”
Hyoseok
menelan ludah. Punggungnya menegang mendengarnya. “Kak-kau, kau datang untuk
menuntut?” Hyoseok terbata.
“Menuntut?”
Ai kembali menyincingkan senyumnya. “Aku sudah janji pada Tuan Kim, gantinya,
perdamaian sementara ini. Aku butuh bantuanmu, Kim Hyoseok.”
“Hagh!
Aku dengar tentang ini, lamaran dari Fujiwara Ayumu. Kau melakukannya padaku?”
“Terima
kasih sudah begitu mengikuti sepak terjang kami.” Ai mendorong amplop putih di
atas meja maju ke hadapan Hyoseok.
“Kau
pikir aku mau?”
“Tak
seyakin itu. Sepertinya kau juga tak merasa bersalah telah membuat Yongbae
koma. Yah, benar. Tak perlu menyesalinya. Untuk apa menyesal? Toh sudah
terjadi. Yang hidup pasti mati. Kalau nanti akhirnya Yongbae mati, ya biarkan,
mati saja. Siapa peduli?”
“Fujiwara!!!”
“Kau
marah? Eum, merasa bersalah? Menyesal?”
“Kau?!!”
“Turunkan
nada bicaramu. Semakin meninggi semakin terlihat jika kau takut. Sangat
terlihat.” Ai mengedipkan mata membuat Hyoseok makin jengkel.
“Kau
mau aku melawan Ayahku sendiri?”
“Tidak.
Aku tak sedang menyusun pemberontakan.”
“Lalu
ini? Apa maksud dari rencanamu ini?”
Ai
menggaruk kepala dengan ujung jari telunjuk tangan kanannya. “Susah ya. Aku
jelaskan pun belum tentu kau paham. Baca saja isi amplop itu, kalau tak paham
kau boleh tanya-tanya padaku. Gratis kok. Aku meninggalkan nomer ponselku di
sana.”
Hyoseok
melongo menatap Ai. Dia bingung.
“Aku
hanya tahu, kalau tidak salah sih, kau suka musik. Kau suka main drum. Tapi di
sekolah kau terasing. Miris. Yah, nasib anak Jeonggu Dong. Yang mau menemanimu
hanya anak-anak yang sengaja kau bayar dan mereka takut padamu. Kau hanya bisa
menabuh drum dalam kamarmu. Kalau tak beruntung, kau mendapat omelan dari
Ibumu. Makin miris.”
Kedua
mata Hyoseok makin lebar menatap Ai.
“Di
sini kau malah bergumul dengan orang-orang yang hobi balap liar. Kapan orang
akan tahu kalau kau punya bakat musik?”
Hyoseok
masih terdiam. Ia bungkam. Sedikit tertunduk di depan Ai.
Ai
bangkit dari duduknya. “Pikirkan saja dahulu. Jangan menyetujui lamaran ini
hanya karena kau merasa bersalah pada Yongbae atau paksaan yang lain. Iya walau
memang aku sedikit memaksa. Aku juga anak Jeonggu Dong. Aku tahu bagaimana
rasanya menjadi anak Jeonggu Dong. Mungkin sama seperti yang kau rasa.” Ai
tersenyum tulus lalu pergi.
Hyoseok
mengehembuskan napas panjang masih menatap amplop yang ditinggalkan Ai.
***
“Oppa,
aku mohon tenanglah!” Ai kesal karena Minki terus mengekor dan mengocehkan
tentang kekhawatirannya jika Ai pergi berdua saja dengan Shin Ae. Ai menghela
napas dan menatap kesal Minki. Ai yang sibuk bersiap-siap merasa terganggu oleh
ulah Minki.
“Maaf.”
Minki menunduk.
“Kami
pasti akan baik-baik saja. Percayalah pada Shin Ae. Percobaan pembunuhan saat
kami pergi dan semua itu, apalah, Oppa terlalu banyak menonton film. Hal itu
terlalu hiperbola Oppa. Hanya ada dalam film. Shin Ae pengemudi handal, jadi
tolong percaya padanya.”
Shin Ae
selesai berkemas. Ia berdiri di samping Ai.
“Kami
bukan gadis kecil lagi Oppa. Percayalah. Em?” imbuh Ai dengan nada lebih
lembut.
“Hah…
baiklah. Jung Shin Ae, kau harus menjaga Jiyoo dengan baik.” pinta Minki.
“Siap!!!”
Shin Ae hormat pada Minki.
Minki
tersenyum dan mengangguk. “Oh! Itu kan…” saat tatapan Minki beralih dan
menangkap mobil berwarna hitam yang sedang berjalan mendekati mereka.
“Kim
Myungsoo…?” bisik Ai.
Mobil
mewah itu berhenti di depan truk Morning Glory Florist yang terparkir tepat di
depan pintu masuk florist. Myungsoo, Hyuri, Byunghun dan Minhwan keluar dari
dalamnya.
“Mereka…?”
Shin Ae lirih. “Untuk apa kemari…?”
“Aku
ikut ke kebun. Boleh ya? Aku kangen tempat itu.” Hyuri bergelayut manja di
lengan Ai.
“Ini
bukan piknik.” jawab Ai.
“Sambil
menyelam minum air itu halah kok. Ini akhir pekan, Nenek setuju dan beliau
memesan satu tanaman… ah, aku lupa namanya. Kata Nenek kau punya, tapi ada di
kebun. Anggap saja aku ikut untuk mengambilnya.”
“Dasar
Song Hyuri.” kata Minki yang.
Hyuri
meringis menanggapinya.
“Jung
Shin Ae, kau naik saja di mobilku.” Pinta Myungsoo.
“Aku
harus menemani Nona. Maaf.” tolak Shin Ae.
“Aku
yang akan mengemudikan truknya.” sahut Byunghun.
“Wah,
aku setuju.” kata Minki. “Membiarkan seorang anak perempuan membawa mobil sendiri
untuk perjalanan yang lumayan jauh membuatku tak tega. Aku lebih percaya pada
anak laki-laki.”
Shin Ae
cemberut mendengarnya. “Aku juga pengemudi handal!” protesnya.
“Sudah-sudah
berangkat sana.” usir Minki.
“Ayo.”
Minhwan menuntun Shin Ae masuk ke mobil Myungsoo.
“Curang.”
Ai lirih.
“Byunghun
memang patut diwaspadai, tapi dia baik kan? Dan dia pernah kalah darimu.” bisik
Hyuri yang kini merangkul Ai.
“Bersenang-senanglah,
Song Hyuri.” Ai berlalu pergi.
Hyuri
tersenyum puas lalu segera masuk ke dalam mobil Myungsoo. “Oppa, kami
berangkat!” teriaknya sambil melambaikan tangan pada Minki.
Minki
membalas lambaian tangan Hyuri. Kedua mobil itu melaju pelan meninggalkan Minki
yang berdiri di depan Morning Glory Florist. “Bersenang-senanglah, Jiyoo…”
bisiknya.
Truk
Morning Glory Florist dan mobil Myungsoo melaju berurutan. Truk yang
dikemudikan Byunghun memimpin di depan. Karena merasa terlalu hening, Ai mulai
mengotak-atik DVD dalam truk dan mulai memutar lagu.
“Gift
Of A Friend? Demi Lovatto? Kau suka? Atau kau suka Tinker Bell?” tanya Byunghun
penasaran.
“Hanya
aku rasa cocok dengan situasi sekarang. Kau setuju?”
“Aku
curiga kau ini pengemar Tinker Bell. Beberapa waktu lalu kau juga sempat
memposting potongan lirik A Greater Treasure than a Friend - Savannah Outen
kan?”
“Iya.
Jadi sedikit ribut karenanya.”
“Tapi
mereka senang. Kau pun mulai berinteraksi.”
Ai
tersenyum saja menanggapinya.
Di
dalam mobil Myungsoo terdengar lebih gaduh. Musik yang diputar kencang dan
suara Hyuri juga Minhwan yang turut bernyanyi. Shin Ae hanya bisa senyum-senyum
di kursi belakang melihat tingkah Minhwan yang duduk di sampingnya dan Hyuri
yang duduk di depan menemani Myungsoo.
***
Sesampainya
di kebun, Keluarga Kang telah menunggu dan menyambut hangat rombongan Ai. Ai
langsung menjauh dan sibuk dengan sulung keluarga Kang, Kang Dongwon. Sementara
itu si tengah Kang Daesung dan bungsu Kang Jiyoung sibuk meladeni teman-teman
Ai.
“Kalau
merasa tak nyaman di pondok ini, Anda sekalian bisa menginap di rumah kami.”
Daesung menawarkan.
“Kalau
Ai menginap di sini, kami pun akan tinggal. Tugas kami di sini adalah mengawasi
dan menjaga Ai.” Hyuri sedikit berbisik pada kalimat terakhir.
Daesung
terbahak mendengarnya. “Aku rasa kalian tidak akan bisa menemukan Nona. Jarak
rumah kami tak terlalu jauh. Jika butuh sesuatu kalian bisa telfon aku.”
“Nona
belum kembali?” Shin Ae duduk bergabung.
“Jangan
heran. Nona tak akan bergabung. Aku yakin itu. Biasanya jika sedang berada di
sini, Nona akan lebih banyak menyendiri.” Jiyoung sembari menata hidangan.
“Nona benar terlihat baik, setelah YOWL pergi. Aku tak menduganya.”
“Terakhir
kemari saat kami bersama-sama?” tanya Hyuri.
“Iya.
Selajutnya hanya Dong Yongbae.”
“Oh,
kami turut berduka atas insiden yang menimpa Yongbae.” sela Daesung. “Bagaimana
kondisinya?”
“Masih
koma. Ada kemajuan. Begitu terang Dokter saat aku berkunjung dua hari yang
lalu.” jawab Shin Ae.
“Oh,
kau ini kan pahlawan itu kan? Jung Shin Ae? Ah, maaf, aku baru ingat.” kata
Daesung.
Shin Ae
tersipu menganggukan kepala.
“Lega
rasanya. Saat YOWL pergi, muncul orang-orang baru, termasuk kalian. Mengejutkan
juga mendengar tentang Viceroy.” lanjut Daesung.
“Kalian
tahu kami?” sahut Minhwan.
“Adik
kami, Yowlism. Dia tahu segala sesuatu tentang YOWL dan apa pun yang
berhubungan dengan mereka.”
“Wah,
Jiyoung seorang Yowlism?” tanya Hyuri.
Jiyoung
tersenyum dan mengangguk.
“Minhyuk
pasti senang jika tahu tentang ini.” kata Hyuri lagi. “Kala itu, Minhyuk tak
berhenti menatapmu.”
“Kau
membuatnyaa malu, Song Hyuri.” Sela Minhwan.
“Itu
kenyataan kok.”
-------
“Jangan!”
cegah Shin Ae saat Hyuri hendak membongkar tas ransel Ai.
“Apa
barang-barangnya tak dikeluarkan? Aku hanya ingin membantu menatanya saja.”
“Sebaiknya
tidak. Kau tadi juga dengar kan? Aku rasa mala mini Nona tak akan tidur di sini
bersama kita.”
“Lalu
kenapa ia meninggalkan barang-barangnya di sini?”
“Itu
hanya berisi baju ganti. Nona sudah membawa keperluannya.”
“Sedikit
sekali.”
“Toh
kita hanya semalam di sini bukan? Nona Hyuri yang berlebihan. Membawa sekoper
pakaian.” Shin Ae tersenyum geli.
“Ini
karena aku benar seorang gadis!”
Shin Ae
makin geli melihat pembelaan Hyuri.
“Ah, Ai
itu gemar sekali menghilang. Kenapa dia punya hobi menghilang sih?” gerutu
Hyuri.
***
Myungsoo,
Hyuri, Minhwan dan Shin Ae berkumpul di teras pondok menikmati sore yang masih
lumayan terik. Mereka ngobrol sambil menikmati berbagai cemilan yang
dihidangkan Hyuri.
“Eh,
kau mau kemana?” tanya Minhwan saat Byunghun keluar.
“Berburu.”
Byunghun menunjukan kameranya. “Ada yang mau ikut?”
“Aku
mau!” Minhwan semangat.
“Ya
Tuhan!” Shin Ae tiba-tiba memukul keningnya sendiri. “Aku lupa. Nona memintaku
mengantar bingkisa untuk keluarga Kang.”
Mihwan
bimbang. Ia menatap Byunghun lalu menatap ke dalam pondok dimana Shin Ae masuk
ke dalamnya.
“Kau
temani saja dia. Aku pergi.” Byunghun pamit.
“Sini
aku bantu.” Minhwan membantu Shin Ae membawa bingkisan. “Kami pergi.” serunya.
Suasana
berubah hening. Hyuri cemberut. “Hanya tersisa kita.” keluhnya.
“Bukankah
begini lebih baik?” Myungsoo berbaring dan menyandarkan kepala pada pangkuan
Hyuri. “Damai… tenang sekali di sini. Berbeda dengan Seoul yang tak pernah
tidur.”
Hyuri
tersenyum dan mengelus kepala Myungsoo. Membelai-belai rambut Myungsoo.
Myungsoo
masih berbaring dan menyandarkan kepalanya pada pangkuan Hyuri.
Hyuri
pun masih mengelus-elus rambut Myungsoo namun tatapannya kosong. Jiwa Hyuri
seolah tak di sini bersama raganya. Ia melamun.
Menyadari
keganjilan itu, Myungsoo mendongakan kepala. Dugaannya benar, Hyuri tak fokus
pada apa yang ia lakukan kini. Myungsoo bangkit dari tidurnya. “Kau baik-baik
saja?” tanyanya pada Hyuri.
“Ah,
iya.” Hyuri dengan senyum terpaksa.
“Kau
bohong! Kau melamun. Apa yang kau pikirkan? Ada yang membebanimu? Ceritakan
saja padaku.”
“Tiba-tiba
saja aku berpikir, andai Hanbyul juga ada di sini. Aku membayangkannya, aku,
kau, Ai, dan Hanbyul, kita bersama-sama berkumpul di sini. Seperti waktu
sebelumnya.”
“Terkadang
waktu memang tak mau berpihak pada kita. Tapi ia memberikan banyak pelajaran
dan kenangan.”
“Beberapa
hari yang lalu kami ngobrol, aku dan Ai. Di tengah obrolan tiba-tiba Ai
bertanya. Kira-kira lima tahun lagi kita akan seperti apa? Aku tercengang
mendengarnya. Sampai waktu Ai bertanya tentang hal itu, aku tak pernah berpikir
sejauh itu. Aku hanya menjawab, eng… entahlah. Mungkin kita sudah ada pada
titik dimana kita meraih impia masing-masing atau kemungkinan yang lain, yang
jelas aku beraharap yang terbaik untuk kita semua. Lalu aku balik bertanya,
menurutmu bagaimana? Ai hanya tersenyum menanggapinya.”
“Gemar
sekali dia bersikap seperti itu. Sok misterius. Hah… selalu membuat orang
penasaran.”
“Dia
itu keren. Ibaratnya, ujung pedang yang runcing bisa langsung tumpul jika ada
di depan Ai. Keren kan? Sikapnya selalu sama, datar dalam situasi apa pun. Itu
yang membuatku iri.”
“Kau
ini. Berlebihan sekali. Kau hanya perlu belajar mengendalikan keadaan. Itu
saja. Penguasaan Fujiwara dalam hal ini memang bagus. Mungkin dahulu, sebelum
reinkarnasi menjadi Fujiwara, dia adalah prajurit hebat dalam istana.”
“Sekarang
malah kau yang berlebihan. Reinkarnasi…” Hyuri terkikik.
“Aku
rasa benar kata Nenek, andai Fujiwara itu laki-laki, pasti aku kalah jauh
darinya. Termasuk tentangmu.”
“Kenyataannya,
aku memang lebih dulu jatuh hati pada Ai kan?”
“Tapi
dibalik itu, aku tahu sebelumnya kau juga menyimpan rasa kagum padaku.”
“Ish!
Percaya diri sekali…? Aku sama sekali tak menyimpan kekaguman pada si angkuh
Kim Myungsoo.”
“Ya.
Song Hyuri.”
“Iya.
Itu kenyataannya.”
“Song
Hyuri…!”
Hyuri
menjulurkan lidah seraya bangkit dari duduknya.
“Awas,
kau ya!” Myungsoo turut bangkit dari duduknya dan berusaha menangkap Hyuri.
Sepasang
kekasih ini berkejaran di teras pondok yang cukup luas itu. Canda keduanya
terdengar riang. Tempat yang sempurna untuk pasangan yang sempurna. Benar
pepatah mengatakan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Myungsoo dan Hyuri.
***
Byunghun
berjalan sendiri menyusuri kebun bunga yang sangat luas itu. Ia membidik tiap
obyek yang menarik baginya. Langkah Byunghun terhenti ketika ia menemukan
bangunan kecil di tengah-tengah kebun. Byunghun mengamati sekelilingnya. Baru
ia sadari jika ia telah berada jauh dari pondok. Bahkan Byunghun lupa jalan
untuk kembali. Rerimbunan tanaman bunga yang tertata rapid an hampir sama
setiap deretnya itu membuatnya bingung. Byunghun merogoh saku celananya.
“Ah…”
keluhnya baru menyadari jika ponselnya tertinggal di pondok. Byunghun berdecak
kesal dan kembali mengamati sekitar. Sepertinya ia benar tersesat.
Tatapan
Byunghun terhenti pada bangunan di hadapannya. Byunghun merasa ngeri sendiri.
Ia mengelus tengkuknya sendiri memperhatikan bagian belakang dari bangungan
mungil itu. Byunghun menelan ludah. Namun rasa penasaran lebih dominan padanya.
Perlahan Byunghun melangkahkan kakinya menuju bagian depan bangunan. Pelan dan
sangat hati-hati Byunghun melangkah.
Byunghun
tersentak. Langkahnya terhenti. Ia menemukan Ai sedang duduk bersila dengan
kedua mata terpejam. Byunghun paham ini adalah posisi dimana seseorang tengah
melakukan meditasi. Byunghun terpaku. Diamatinya Ai dari posisi yang lumayan
dekat itu. Tangan Byunghun bergerak mengangkat kamera. Byunghun membidik Ai dan
beberapa kali mengambil gambar Ai.
Byunghun
terperanjat ketika Ai tiba-tiba membuka mata. “Maaf, aku tak bermaksud
mengganggumu. Aku tak sengaja sampai di sini.” Byunghun salah tingkah. “Aku
tadi hanya…”
“Aku
sudah selesai.” potong Ai tersenyum sembari melepas headset di kedua
telinganya. “Bingung tak tahu jalan untuk kembali?”
Byunghun
tersenyum lega dan berjalan mendekat. “Nee. Semua terlihat sama.” Ia pun duduk
di samping Ai. “Aku benar-benar minta maaf.”
“Gwaenchanna.”
Byunghun
kembali mengamati bangunan mungil ini. “Jadi ini lubang tikus milikmu?”
“Eum…
kepompong?”
“Kepompong…?”
“Tempat
untuk menyendiri. Bertapa.”
“Bertapa…?”
Byunghun tertawa geli. “Sangat nyaman.”
Ai
mengangguk. “Aku membuatnya beberapa waktu lalu. Karena sering merasa bosan dan
selalu ingin menyendiri. Sebulan dari waktu ketika aku menghilang, aku habiskan
di sini. Menurut mereka delapan bulan aku melanglang buana ke berbagai negara.
Itu salah. Sebulan penuh aku di sini, sebelum akhirnya kembali ke Seoul,
Jeonggu Dong dan bersekolah di Hwaseong Academy. Hening dan tenang.”
“Penuh
misteri. Aku sempat merinding ketika berdiri di belakang sana.”
Ai
tersenyum menanggapinya.
“Jadi
tak ada yang tahu tempat ini? Kecuali keluarga Kang pastinya. Kau tak pernah
membawa seseorang kemari? YOWL?”
“Tak
ada yang berani melangkah sedekat ini ketika aku berdiam di sini.”
“Oh.
Jadi aku telah melanggar batas itu?”
“Dari
awal, kau memang pembangkang.”
“Itulah
aku.”
Keduanya
tersenyum bersama.
“Aku
akan tetap melanggar garis batas itu, tapi sebatas kau menerima kehadiranku.”
kata Byunghun.
“Aku
tahu, kau akan tetap melakukan itu. Hah… benteng-benteng mulai runtuh. Ini
pertanda baik atau buruk?”
“Tak
ada. Hanya saja memang sudah waktunya. Keangkuhanmu, keangkuhanku, keangkuhan
kita hanyalah tameng untuk menutupi kekurangan kita masing-masing. Saat benteng
keangkuhan itu runtuh, semua… terasa indah? Seperti terlahir kembali. Mengenal
satu sama lain itu memang sedikit mengerikan, tapi juga indah.”
“Bicaramu
berputar-putar Lee Byunghun. Kau tidak sedang merayuku kan?”
“Andai
aku bisa, aku ingin merayumu. Aku lelah jika harus berduel lagi denganmu.”
“Kau
takut kalah lagi?”
“Aku
sudah kalah sejak awal.”
Hening.
Hanya desiran angin senja yang entah bergumam apa diantara Ai dan Byunghun.
“Ada
satu rahasia dari tempat ini. Kau tersesat dan aku enggan mengantarmu kembali
ke pondok.” Ai memecah kebisuan yang sempat terjadi sesaat. “Tetaplah tinggal.
Aku akan memberimu satu rahasia tentang tempat ini. Karena kau membocorkan tentang
lubang tikus, terkadang aku jadi merasa hutang budi padamu.”
“Hutang
budi…? Hey, dengar. Dalam sebuah ikatan pertemanan, tak ada kata hutang budi.”
“Semoga
kita beruntung.”
“Semoga
kita beruntung…?”
“Karena
harus menunggu hari gelap, bahkan mungkin sampai tengah malam.”
“Tengah
malam…? Aa-ai, kau tidak sedang bicara tentang yang sejenis dengan sesuatu yang
ada dalam toilet siswi kelas X kan?”
“Kau
takut?” Ai menoleh, melirik Byunghun.
“Eng,
tidak! Aku hanya tak suka.”
“Eum…
tak suka? Kalau begitu kau tak akan tahan jika ada di dekatku. Kau tak akan
bertahan, Lee Byunghun. Aku bisa jamin itu.”
“Aku
bisa mempelajarinya! Aku bisa belajar untuk menyukainya. Nantinya juga akan
terbiasa!” Byunghun berubah antusias. “Aku… aku bisa memakluminya.
Ketidakwajaran yang ada padamu.”
Ai
kembali menoleh, tersenyum memperhatikan Byunghun.
Byunghun
mengalihkan pandangannya. Wajahnya memerah. Byunghun tak kuasa menatap Ai.
“Kau
benar ingin tinggal di dekatku? Kenapa?” tanya Ai.
“Entahlah.
Mungkin karena ribuan rasa penasaranku yang tak kesemuanya menemukan jawaban.
Kau keberatan?” Byunghun kembali menatap Ai.
“Siapa
saja bebas berada di dekatku.”
“Namun
tak akan bisa seperti Hanbyul kan? Karena posisi itu terlampau istimewa.”
Gantian
Ai yang mengalihkan pandangan. “Entahlah. Aku tak tahu. Tentang sedetik
kemudian, nanti, besok dan lusa, kita tak pernah tahu.”
Byunghun
turut menatap hamparan tanaman bunga yang tersaji indah di depan pondok mungil
ini.
***
Hyuri
mondar-mandir di teras. Hari berubah gelap namun tak satu pun rekannya kembali.
Minhwan dan Shin Ae belum juga kembali. Byunghun pun sama. Ai justru menghilang
sejak mereka tiba di kebun bunga. Hyuri menghentikan langkahnya dan duduk,
kembali sibuk mengotak-atik ponselnya.
Myungsoo
menyeringai melihat Hyuri duduk dan tak menyadari keberadaan dirinya. Myungsoo
mengendap-endap mendekati Hyuri, dan kemudian memeluk kekasihnya ini dari
belakang.
Hyuri
tersentak kaget. “Hah! Kau ini mengejutkan saja!” umpat Hyuri kesal.
Myungsoo
terkekeh masih memeluk Hyuri.
“Lepaskan
aku.” Hyuri menggeliat berusaha lepas dari dekapan erat Myungsoo.
“Begini
lebih nyaman. Lagi pula hanya ada kita berdua di sini.” Myungsoo bertahan tak
mau melepas pelukannya.
“Kim
Myungsoo…”
Myungsoo
melepas pelukannya. “Kenapa?”
“Yang
lain belum kembali. Minhwan, Shin Ae, Byunghun.”
“Byunghun
belum kembali ya?”
“Em.
Apalagi Ai. Entah dimana dia. Padahal hari sudah gelap.”
“Kau
takut? Tenanglah. Ada aku di sini. Aku bukan pria cabul. Jadi kau aman.”
“Ish!
Kau tidak mengkhawatirkan mereka? Berada dalam pondok di tengah kebun bunga
yang sangat luas ini, aku sedikit ngeri. Aku jadi ingat beberapa film horror
yang pernah aku lihat.”
“Dasar!”
Myungsoo memukul pelan kepala Hyuri. “Itu hanya film.”
“Tapi
adegan dalam film itu ada karena pernah terjadi dalam dunia nyata. Begitu kata
Ai.”
“Kita
aman di sini. Aku yakin itu. Ai tak mungkin membahayakan orang-orang yang ia
sayangi. Dan kau, aku jamin aman di sini. Aku akan menjagamu. Em? Pikirkan hal
positifnya. Kita bisa menikmati malam bersama, hanya berdua, sebelum mereka
kembali.”
“Begini
ya bukan pria cabul itu?”
“Aish!
Aku tak berpikiran… ah, sungguh aku ini bukan pria cabul.”
Hyuri
terkekeh kemudian menyandarakan kepala di bahu Myungsoo. “Aku percaya.”
bisiknya.
Myungsoo
tersenyum dan merangkul Hyuri. “Ponsel Byunghun ada di kamar. Aku pikir dia
sudah kembali. Dimana dia…?”
***
Minhwan
dan Shin Ae berjalan bersama menyusuri jalanan kampung yang sangat sepi. Hanya
ada mereka berdua di sepanjang jalan ini.
“Di
Seoul jam segini masih ramai ya?” Minhwan membuka obrolan.
“Ini
tak jauh beda dari Jeonggu Dong.” respon Shin Ae.
“Separah
ini kah Jeonggu Dong? Menurutku tidak.”
“Memang
tak seseram ini. Menjadi sepi karena rata-rata warganya sibuk bekerja di siang
hari, ketika malam hanya tersisa lelah. Karenanya mereka lebih memilih berdiam
diri di dalam rumah. Tapi kalo ke wilayah utara Jeonggu Dong, di sana pusatnya
kehidupan malam Jeonggu Dong. Wilayah Tuan Kim.”
“Musuh
Fujiwara itu ya?”
“Bukan
musuh sih. Nona tak pernah menganggap Tuan Kim sebagai musuhnya.” Shin Ae
kemudian mengelus tengkuknya. “Choi Minhwan, kau merasa ngeri tidak?”
“Eum?
Ngeri?”
“Seolah
ada yang sedang mengintai kita. Memperhatikan kita.”
“Eng…
tidak.” Minhwan mengamati sekeliling lalu bergeser lebih dekat pada Shin Ae.
“Kau takut?”
“Bukan
begitu. Hanya saja… sedikit ngeri.”
“Jangan
khawatir. Aku akan melindungimu.”
Shin Ae
tersenyum gelid an menggeleng pelan. “Oh!” Shin Ae tiba-tiba menghentikan
langkahnya.
Minhwan
turut menghentikan langkahnya.
“It…itu…” tuding Shin Ae.
Seekor
anjing hitam berukuran besar berdiri di tengah jalan.
“Hanya
anjing. Kenapa?”
Shin Ae
menelan ludah. Ia yakin jika anjing itu menghadang mereka dan siap menyerang.
Shin Ae ngeri melihatnya. Wajahnya berubah pucat dan keringat mulai bercucuran
di wajah Shin Ae.
“Ayo!”
ajak Minhwan santai.
“Aku
benci anjing!” teriak Shin Ae seraya berlari kembali kea rah belakang.
Melihat
Shin Ae berlari, anjing itu tiba-tiba menggongong dan siap mengejar.
Minhwan
bingung dan berlari menyusul Shin Ae.
Anjing
hitam itu pun mengejar Minhwan dan Shin Ae sambil terus menggonggong.
Shin Ae
berlari sekencang ia bisa. Ia menemukan sebuah pohon. Shin Ae tersenyum lebar
dan segera menuju pohon itu dan memanjatnya. “Ya! Choi Minhwan! Kemari!”
panggilnya pada Minhwan. “Ayo, cepat naik!” Shin Ae mengulurkan tangan membantu
Minhwan naik ke atas pohon.
Anjing
hitam besar itu sampai tepat saat Minhwan sudah sampai di atas pohon. Ia
berputar-putar di bawah pohon dan sesekali menggonggong sambil melihat ke atas
pohon. Tempat Shin Ae dan Minhwan berada.
Minhwan
terengah-engah mengatur napasnya. “Ya, kenapa kau tiba-tiba kabur seperti itu?
Larimu kencang sekali…”
“Tidak
kah kau lihat betapa mengerikannya dia?”
“Ceritanya
akan beda jika kau tidak tiba-tiba berlari.”
“Kau
pikir dia jinak?!”
“Kau
benar takut pada anjing?”
“Omo! Dia
malah duduk.”
“Aku
akan mengusirnya.”
“Jangan!”
Shin Ae menarik lengan Minhwan. “Sepertinya dia sangat galak.”
Minhwan
tersenyum melihat Shin Ae memegang lengannya dan mengkhawatirkannya seperti
ini. “Apa kau mau semalaman di atas pohon ini?”
“Aku
tak mau kau terluka. Berada di atas pohon ini semalaman tak mengapa. Anjing itu
benar-benar mengerikan.”
“Aku
tak mau semalaman di atas pohon ini. Itu bukan ide baik. Ulat lebih mengerikan
dari anjing galak. Aku akan turun dan berusaha mengusir anjing itu. Jika anjing
itu menyerangku, kau bergegaslah kembali ke rumah keluarga Kang untuk minta
bantuan.”
“Tapi
itu terlalu beresiko, aku tak…”
Minhwan
mengecup cepat bibir Shin Ae. Minhwan tersenyum kemudian mengelus pipi Shin Ae.
“Aku akan baik-baik saja. Percayalah.”
Shin Ae
masih duduk tertegun. Ia tak percaya jika beberapa detik yang lalu Minhwan
mengecup cepat bibirnya.
“Aku
turun.”
“Hati-hati.”
Shin Ae khawatir.
Minhwan
tersenyum mengangguk, kemudian turun dari pohon.
Shin Ae
benar khawatir. Bagaimana jika anjing itu benar menyerang Minhwan? Shin Ae
berdiri, mengamati ranting-ranting pohon lalu mematahkan sebuah ranting dengan
ukuran yang lumayan besar. Ia siap membantu Minhwan jika tiba-tiba anjing itu
menyerang.
Anjing
hitam besar itu kembali berdiri dan sesekali menggonggong melihat Minhwan
menuruni pohon.
Minhwan
sampai di bawah. Sebenarnya ia sedikit gugup melihat ukuran anjing ini. Namun
ia tak mau terlihat lemah di depan Shin Ae. Ragu-ragu Minhwan melangkah
mendekati anjing hitam besar itu.
Shin Ae
makin erat memegang ranting di tangannya. Ia memejamkan mata. Tak tega jika
harus menyaksikan Minhwan di serang.
Minhwan
menelan ludah. Ia berdiri jarak satu langkah dengan anjing hitam besar itu.
“Aku tak tahu siapa namamu. Aku yakin kau anjing baik. Temanku takut padamu,
aku mohon pergilah dari sini. Lain kali jika kita ada waktu bersua, aku janji
akan mengajakmu bermain.” Minhwan bicara pada anjing hitam besar itu. Ia tak
lupa tersenyum pada anjing hitam besar itu.
Anjing
hitam besar itu menggonggong lagi.
“Iya,
dia temanku, takut padamu. Tolong terima negosiasiku ini, sobat.”
Anjing
hitam besar itu menggonggong sekali, lalu berlari pergi.
Minhwan
menghela napas lega. “Ya, Jung Shin Ae. Turunlah! Dia sudah pergi.” panggil
Minhwan dari bawah.
Shin Ae
membuka kedua matanya. Ia mengamati situasi di bawah pohon. Anjing hitam besar
itu tak lagi di sana. “Woa! Choi Minhwan, kau mengusirnya…?”
Minhwan
berdiri berkacak pinggang dan mengangguk bangga. “Ayo! Turunlah.”
Shin Ae
tersenyum lega dan memastikan situasi di bawah sana benar-benar aman. “Ok, aku
turun!” ia melempar ranting di tangannya ke bawah.
“Ya!
Apa ini…?”
“Senjata
darurat. Aku takut anjing itu tiba-tiba menyerangmu.” Shin Ae mulai turun.
“Hahaha…
sudah kukatakan jika dia anjing jinak. Dia setuju pergi bukan?”
Sedikit
lagi Shin Ae akan sampai, namun tiba-tiba terdengar gonggongan anjing hitam itu
lagi. Karena terkejut dan panik, Shin Ae pun terjatuh.
Minhwan
tersenyum menggendong Shin Ae di punggungnya. Anjing hitam besar itu berjalan
di samping kanan Minhwan, turut menemani perjalanan Minhwan.
“Benar
kan yang aku katakan? Anjing ini jinak.” Minhwan memecah kebisuan. “Kau kenapa
benci pada anjing?”
“Saat
kecil, seekor anjing mengejar kami, aku dan temanku. Anjing itu menggigit
temanku. Sejak saat itu aku selalu ketakutan setiap kali melihat anjing.”
“Oh.”
Minhwan mengangguk paham. “Tak apa. Hal semacam itu wajar. Seperti aku takut
pada ulat.”
“Kau
takut ulat?”
“Geli
melihat ulat. Bulu-bulunya mengerikan, jika tak berbulu apalagi.”
Shin Ae
tersenyum mendengarnya.
“Aku
rasa anjing ini anjing penjaga perkebunan milik Fujiwara.”
“Oh…”
***
Ai
tiba-tiba bangkit dari duduknya di teras gubuk kecilnya. Byunghun turut
bangkit. Ai melangkah maju, Byunghun turut melangkah maju. Antara takut dan
panasaran, Byunghun mengikuti apa pun itu yang di lakukan Ai. Ai berhenti,
Byunghun pun turut berhenti.
Ai
berhenti dan berdiri di dekat deretan tanaman bunga. Byunghun turut berhenti
dan berdiri di samping kanan Ai. Sesekali Byunghun menoleh, melirik Ai. Ia
bingung, penasaran kenapa Ai berhenti lalu berdiri diam seperti ini.
Hampir
tengah malam. Byunghun mengusuk tengkuknya dan kembali melirik Ai. Kepala Ai
sedikit mendongak. Ekspresi Ai tenang. Ia diam menunggu sesuatu yang Byunghun
tak tahu. Entah apa itu. Namun terlihat dari ekspresinya, Ai benar-benar
menunggu dan berharap sesuatu itu benar datang malam ini.
“Siapkan
kameramu. Mereka menuju kemari.” bisik Ai.
Byunghun
menelan ludah. Apa yang sedang menuju kemari? Namun ia menurut saja pada apa
yang dikatakan Ai. Byunghun menyiapkan kameranya.
“Mereka
semakin dekat.” Ai berbisik makin lirih.
Byunghun
semakin dibuat penasaran.
Ai
tersenyum lebar. “Itu mereka.” tudingnya ke udara.
“Woa~”
gumam Byunghun ternganga melihat sekumpulan kunang-kunang datang membentuk
kerlap-kerlip cahaya di tengah gelapnya suasana kebun malam ini. Benar-benar
indah. Byunghun tak menyia-nyiakan momen itu. Ia segera membidik fenomena itu
dengan kameranya.
“Fireflies …”
bisik Ai dengan tangan kanan terangkat seakan-akan ingin menangkap kerumuman
kunang-kunang itu.
Byunghun
beralih membidik Ai. Ia tak pernah melihat ekspresi Ai seperti ini sebelumnya.
Byunghun mengabadikan beberapa ekspresi Ai saat gadis itu berusaha dekat dengan
kelompok kunang-kunang itu. Byunghun tersenyum puas sesudahnya.
“Jadi
ini rahasiamu?” Byunghun menghampiri Ai, turut menatap kumpulan kunang-kunang
yang berterbangan.
“Salah
satu alasanku membangun gubuk itu adalah mereka. Pemandangan malam nan indah.”
“Hanya
Minki Oppa, hanya mendengar ceritaku saja. Mungkin keluarga Kang yang mencoba
membuktikan ceritaku usai mendengarnya dariku.”
Byunghun
tersenyum bangga. Dia orang pertaman yang berdiri di samping kanan Ai,
menemaninya melihat kunang-kunang. Byunghun menggeser langkahnya lebih dekat
pada Ai. “Gomawo…” bisik Byunghun dekat di telinga kanan Ai.
Ai
tersenyum mengangguk.
Keduanya
berdiri berdampingan masih menatap puluhan kunang-kunang yang berterbangan
membentu kerlap-kerlip cahaya indah di tengah malam.
---TBC---
shytUrtle
0 comments