The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)
06:16
The
Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love,
Music and Dreams’
다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum
iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Author:
shytUrtle
. Rate:
Serial/Straight
.
Cast
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
Cinta,
musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat
dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik
memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik
menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang
dan hidup…
Episode #22
“Dokter
Song!” Byunghun berlari kecil mengejar langkah Joongki.
“Oh,
Lee Byunghun.” Joongki menghentikan langkahnya dan menyambut Byunghun. “Tak
menyambut rekan-rekanmu yang baru kembali dari lomba? Eum, ada apa? Sepertinya
kau ingin bicara denganku?”
“Nee.
Apa Dokter Song luang? Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan.”
Joongki
menatap Byunghun yang terlihat serius. “Ok. Aku luang kok. Kita ngobrol di
gazebo di depan klinik, bagaimana?”
Byunghun
tersenyum lega dan mengangguk setuju.
“Ok.
Ayo.”
Joongki
duduk diam mendengarkan semua keluhan Byunghun. Sesekali Joongki terlihat
manggut-manggut. Duduk diam mendengarkan, menganalisis untuk menarik
kesimpulan.
“Mimisan
pada orang dewasa itu wajar terjadi dan boleh dikatakan tak berbahaya pada
titik-titik tertentu. Segala sesuatu pasti ada batas wajarnya kan? Ya bisa
bahaya, bisa juga tidak. Semua yang kau katakan tadi benar adanya, artikel di
internet itu semua benar dan cukup membantumu bukan? Hal lain bisa karena
benturan di kepala atau hidung itu sendiri, alergi dan peradangan pada rongga
hidung, infeksi akut, merokok, hipertensi, alcohol atau mengkonsumsi obat yang
meberi efek mengencerkan darah.” terang Joongki.
Byunghun
diam menyimak.
“Dikategorikan
bahaya jika itu termasuk gejala penyakit darah seperti kurangnya trombosit,
kurang factor pembekuan, leukemia dan banyak lagi. Tapi hal ini tentu saja
diikuti dengan adanya gejala lain, pucat, biru-biru di kulit dan masih banyak
lagi.” Joongki kemudian memberitahukan cara memberikan pertolongan pertama
ketika mengalami mimisan.
“Sebaiknya
ajak temanmu itu check up, kalau seperti ini kita hanya meraba saja. Ini untuk
memastikan apakah ia hanya mimisan biasa atau ada gejala lain.” saran Joongki.
“Wajahnya
memang pucat, dia mengatakan biasa terjadi jika dia mengalami panas yang
tinggi, tapi saat itu ia sama sekali tak demam.”
“Mungkin
karena trauma.”
“Trauma…?”
“Em.
Jika benar karena trauma, itu bisa diatasi dengan terapi. Ajak dia check up
agar lebih jelas hasilnya.”
“Aku
juga sedang berusaha memaksanya pergi.”
“Semoga
berhasil.” Joongki menyemangati.
***
Ai
selesai berziarah ke tempat peristirahatan terakhir sang Ibu. Kini ia duduk di
kedai kecil yang berada tak jauh dari rumah penyimpanan abu mendiang ibu Ai.
Teh melati hangat menemani Ai dan Minki yang duduk berhadapan.
“Terakhir
kami ziarah bersama, Bibi Lee mengajakku kemari. Kami duduk di sini, berhadapan
seperti ini. Bibi Lee menceritakan semua dari awal. Hal yang sebenarnya tak
ingin aku dengar, namun Bibi Lee mengatakan aku harus mendengarnya. Bibi Lee
khawatir tak akan punya waktu lagi untuk mengatakan semua padaku.” kenang Ai.
“Pesan Bibi Lee yang berulang beliau katakan, apapun yang terjadi kaua harus
kuat, kau pasti bisa karena kau terlahir berbeda. Ziarah terakhir itu…
benar-benar menjadi waktu yang terakhir bagi kami.” Ai lirih pada kalimat
terakhir. Ia kemudian tertunduk dengan ekspresi lesu. Terlihat jelas jika ia
sedang menahan tangisnya agar tak luruh.
“Kala
itu aku sempat marah pada Tuhan. Aku merasa ini benar tak adil bagiku. Terlahir
piatu, lalu diasuh pleh sabahat mendiang Omoni, pasangan suami istri dari
Jepang, mendapatkan nama Jepang namun kemudian Tuhan kembali merebut kedua
orang tuaku. Benar bodoh.” Ai tersenyum getir. Menertawakan dirinya sendiri.
“Omma
memintaku merawatmu, dan itu artinya kami akan banyak berkorban. Benar adanya.
Kau ini sangat menyusahkan. Aku juga sempat marah pada Tuhan. Kenapa jalan
hidup yang harus aku jalani begini rumit? Bahkan aku harus melupakan impianku
bersama bandku hanya untuk seorang gadis yang… yang sebenarnya kami tak
memiliki hubungan darah sama sekali.” Minki diam sejenak.
“Harusnya
Oppa meninggalkanku, tapi kenapa Oppa tetap tinggal?” Ai masih tertunduk.
Minki
tersenyum. “Entahlah. Aku ingin pergi, tapi tak ingin pergi. Perlahan waktu
menyembuhkanku, membawaku pada kesadaran yang sebenarnya. Tuhan tak pernah tak adil
padaku.”
“Tanpa
Oppa, bisa dipastikan aku tak akan hidup sampai hari ini.”
Minki
meraih tangan kanan Ai, menggenggamnya. “Tanpamu, bisa dipastikan aku tak akan
hidup sampai hari ini.”
“Oppa…”
Ai mengangkat kepala. Buliran bening itu memenuhi kedua matanya yang memanas.
“Inilah
kita. Saling menopang satu sama lain. Em?” Minki kemudian mengusap air mata Ai
yang runtuh dari benteng pertahanannya. “Jangan menangis. Itu membuatku sakit.”
bisiknya.
“Aku
terlalu banyak menyakiti Oppa. Menyita waktu Oppa, hidup Oppa…” air mata Ai
mengalir deras hingga membuatnya tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi.
Minki
pun terdiam, masih menggenggam tangan Ai. Ia tak tahu harus mengatakan apa
untuk menghentikan tangisan Ai. Diam dan menunggu, hanya itu yang bisa ia
lakukan kini.
***
Ai
berdiri di atas panggung menyanyikan lagu You Are My Life-FT.Island. Kibum
duduk satu meja dengan Wooyoung dan Minki. Shin Ae fokus pada handycam di
tangannya dan mengabadikan penampilan Ai.
Byunghun,
Minhwan, Hyuri dan Myungsoo baru tiba memenuhi undangan Kibum. Mereka langsung
menuju kursi dimana Sunghyun dan Jungshin duduk. Keduanya tiba lebih dulu.
Setelah menyapa Sunghyun dan Jungshin, Byunghun memilih untuk bergabung di meja
Minki.
Ai
membawakan lagu syahdu berbahasa Jepang itu dengan apik. Tatapan semua mata
fokus ke panggung dengan wajah menguntai senyum.
“Sepertinya
dalam sekali.” bisik Minhwan. “Ada yang paham makna dari lagu ini?”
“Apa
untuk Hanbyul?” tebak Hyuri.
“Spesial
sekali…?” komentar Myungsoo.
“Aigoo.”
Hyuri memukul pelan lengan Myungsoo. “Wajar kan? Hanbyul itu kekasih Ai.”
“Mereka
tak pernah terlihat akur bersama. Setahuku sih. Aku saja ragu, apa benar Ai
menyukai Hanbyul. Atau jangan-jangan ia hanya kasihan pada Hanbyul.” sela
Minhwan.
“Choi
Minhwan! Kau itu selalu saja meracau!” protes Hyuri. “Kau tahu jika mereka tak
akur ketika bersama? Setahuku mereka selalu tampak baik dan… mesra.”
“Ya!
Daripada kalian ribut, nanti aku tanyakan padanya lagu ini untuk siapa.”
Sunghyun yang kesal angkat bicara.
-------
“Konbae!!!”
mereka bersulang.
Kibum
sengaja mengundang teman-teman dekatnya ini untuk merayakan kemenangannya.
Walau hanya harus puas meraih posisi ketiga, senada dengan Taerin. Namun ini
dinilai sempurna untuk penampilan perdananya mewakili sekolah. Mereka makan dan
minum sepuasnya di basecamp.
“Apa
lagu tadi untukku?” Minki menghampiri Ai yang duduk di ujung panggung. “Boleh
kan jika aku merasa lagu itu untukku?” godanya.
Ai
tersenyum dan mengangguk.
“Ah,
tapi… aku rasa lagu itu bukan untukku.”
Ai
menatap heran Minki.
“Lagu
itu untuk… si Apel Merah kan? Hanbyul?”
“Oppa-lah
cinta pertamaku.”
“Tapi
bisa jadi si Apel Merah adalah cinta terakhirmu. Dia akan menyempurnakan kisah
cintamu.” Minki tersenyum tulus.
Ai
mengehela napas dan menunduk. “Entahlah.”
“Aku
tahu kau juga meyakininya.” Minki mengelus kepala Ai sebelum pergi.
Ai
mengangkat kepala dan menatap punggung Minki. “Mianhae. Oppa.” bisiknya maih
menatap Minki.
“Ehem.”
“Oh.
Byunghun.”
Byunghun
tersenyum dan duduk di samping Ai.
“Hey,
tadi mereka penasaran kau menyanyikan lagu itu untuk siapa.” Sunghyun datang
menyeret Hyuri dan Minhwan. “Untuk Hanbyul kah?”
“Em…?”
Ai melotot menatap Sunghyun.
“Eum…
kalau tidak salah itu lagu tentang ungkapan perasaan yang… ah, pokoknya sangat
bahagia menemukan seseorang yang sangat berarti dan tak ingin lagi berpisah
darinya kan?” imbuh Sunghyun. “Aku sedikit paham bahasa Jepang.” ia tersenyum
lebar.
Ai
tersenyum dan menggeleng pelan.
“Tak
mau jawab ya?” Sunghyun tak sabar.
“Ladies
and gentlemen.” suara Kibum menyita perhatian.
Tak
hanya menikmati sajian yang disediakan, malam ini mereka juga karaoke bersama.
Bergantaian menyanyikan lagu. Dari yang serius sampai yang benar tak karuan.
Mereka larut dalam canda tawa berkaraoke bersama.
Ai
menamani Hyuri menyanyikan My Love yang dipopulerkan oleh Westlife, boyband
asal Irlandia idola Hyuri. Hyuri dan Ai bergandengan tangan dan bernyanyi
bergantian, bersama-sama.
“Jangan
heran.” komentar Kibum.
Byunghun
menoleh. “Dia suka boyband juga…?”
“Kau
heran pada lagu yang ia bawakan atau pada tingkahnya…?” Kibum balik bertanya.
“Dua-duanya.”
“Itulah
dia yang sebenarnya.”
“Selalu
tak terduga.” Byunghun menggeleng pelan.
“Ingatlah.
Dia milik Hanbyul.” bisik Kibum menyikut Byunghun sebelum pergi bergabung
bernyanyi bersama Hyuri dan Ai.
“Hagh!”
Byunghun dengan tawa tertahan.
“Sikapmu
terlalu menonjol, Lee Byunghun.” Myungsoo mengejutkan Byunghun.
Byunghun
balik menatap Myungsoo.
“Jika
kau berani macam-macam…”
“Kenapa?”
potong Byunghun.
“Sebaiknya
kau jaga itu, tatapan dan terlebih… perasaanmu pada Fujiwara.”
“Hah!
Biar waktu atas ijin Tuhan yanag mengatur semua.” Byunghun tersenyum santai.
***
“Harusnya
kau jugaa hadir di Wisteria Land malam ini. Kibum ingin merayakannya. Tapi
karena kau tak datang, aku pun akan tinggal menemanimu.” Seunghyun kecewa.
“Wisteria
Land…? Dimana itu…?” Taerin tak paham.
“Basecamp
YOWL, ah, maksudku basecamp milik Ai Nuna. Nama basacamp itu Wisteria Land.
Tempat yang sangat menyenangkan. Tak ada perbedaan. Semua sama.” Seunghyun
tersenyum mengenang waktu ketika ia berada di basecamp. “Kami nonton bersama di
sana, saat YOWL debut.” imbuhnya antusias.
Taerin
menyincingkan senyum kecut. “Di asrama, kami semua juga nonton bersama. Kim
Myungsoo, Woo Sunghyun bahkan Jung Soojung.”
“Semua
memang sudah berbaikan.”
“Kau
sudah tahu…?”
“Desas-desus
di sana-sini demikian. Menilai kondisinya, aku percaya. Itu hal baik, bukan?”
Taerin
diam.
“Eh,
YOWL keren ya?”
“Tentu.
Oppaku.” Taerin membanggakan diri sebagai adik Jaejoong.
“Hahaha.”
tawa Seunghyun pecah.
“Sejauh
ini bagaimana perkembangannya?” tanya Taerin menghentikan tawa Seunghyun.
“Perkembangannya…?”
“Di…
basecamp.” dengan nada lirih.
“Tertarik…?”
“Hanya
ingin tahu.” nada bicara Taerin sedikit meninggi.
Seunghyun
tersenyum. “Tak mudah sepertinya. Yang aku dengar, dari semua yang dilamar,
hanya aku yang datang.”
Taerin
menyunggingkan senyum. “Apa mungkin Fujiwara Ayumu mulai kehilangan pamor tanpa
YOWL bersamanya?”
“Aku
rasa tidak. Dia tetap bersinar.”
Taerin
kesal mendengar pujian itu.
“Bodoh.
Kenapa mereka menolak lamaran itu?” Seunghyun seolah bicara pada dirinya
sendiri. “Padahal visi dan misi Wisteria Land sangat keren.”
“Apa
visi dan misi mereka?” tanya Taerin seolah ia benar tertarik.
“Bergabunglah,
maka kau akan tahu.” Seunghyun tersenyum puas.
“Ish!”
Taerin benar kesal dibuatnya.
***
“Kau
sudah lihat…?!” Suri benar membuat Hanbyul terkejut.
Hanbyul
menunjukan ekspresi benar terkejut lengkap dengan tangan kanan memegang
dadanya.
“Aigoo,
kau belakangan ini mudah sekalim kaget. Melamun ya…?”
“Kau
tak lihat aku sedang baca?”
“Ck!
Buku terbuka bukan berarti kau sedang baca kan? Apa yang kau pikirkan…?” Suri
menatap Hanbyul dengan rasa penuh ingin tahu. “Aiya~ kau pasti sudah menonton
video itu kan? Lagu itu, apa untukmu…? Aku menemukan liriknya. Maknanya dalam
sekali. Harusnya kau yang menyanyikan itu untuk Ai.”
“Kau
yakin Jiyoo menyanyikan lagu itu untukku?”
“Kau
saja tak yakin, bagaimana aku bisa yakin?” Suri balik bertanya.
Suasana
berubah hening sejenak.
“Belakangan
ini kami sering chatt. Sepertinya Ai benar tertarik pada blog itu.” Suri kembali
bicara. “Dia memberondongku dengan banyak pertanyaan seputar blog itu. Aku juga
tak banyak tahu. Postingan itu benar mirip dengan apa yang kalian alami di
Hwaseong Academy ya?”
“Jika
Jiyoo sampai penasaran dan mengejarmu seperti itu, aku yakin iya. Aku hanya
melihat-lihat blog itu, tak membaca postingannya.”
“Sepertinya
Ai sangat ingin tahu siapa pemilik blog itu. Sayang aku tak bisa bantu.”
“Bisa
kau tunjukan padaku sekarang?”
“Em…?”
“Blog
itu.”
“Oh.
Ok.”
Suri
mengeluarkan netbook-nya. Ia kemudian
menunjukan blog Autumn Field pada
Hanbyul. Suri menjelaskan analisisnya dan Hanbyul membaca sekilas postingan
dalam blog yang ditunjukan Suri.
“Sam-ma…?”
“Hanya
diganti nama.”
“Eum,
begitukah? Jadi yang sebenarnya terjadi di Hwaseong Academy seperti itu…? Kisah
cintamu berawal dari skandal…?”
“Ck!
Harusnya dia wawancara padaku.”
“Nee…?”
“Ah,
banyak komentar namun tak satu pun dibalas.”
Suri
menatap ekspresi Hanbyul. Pemuda itu terlihat benar kesal dan penasaran. Suri
tersenyum geli.
“Why…?”
tanya Hanbyul menyadari jika Suri menertawakannya.
“Kau
terlihat lucu Jang Hanbyul.”
“Lucu…?”
“Lupakan
saja.” Suri berusaha menghentikan tawanya. “Jadi, menurutmu ini sama? Lalu
apakah kau menemukan sesuatu…?”
Hanbyul
kembali menatap monitor netbook Suri. Ia menghela napas panjang dan menggeleng.
***
Byunghun
turut menatap laptop Ai. Tatapan fokus dan serius. Sesekali tampak ia
mengerutkan dahi.
“Jadi
ia tak tahu bagaimana akhirnya…?” komentar Byunghun.
“Mungkin.”
jawab Ai mengambang.
“Pencerita
adalah Tuhan dalam cerita yang ia tulis.” Byunghun kembali diam. Berpikir.
“Apa
kau berpikiran sama denganku?”
“Dia
tahu seluk beluk kita dan…”
“Seolah
pencipta semua skenario dari skandal-skandal itu.”
“Iya.”
“Dijelaskan
jika si tokoh utama wanita menjadi gila karena tak mampu meraih impiannya.”
“Itu
kau…?”
“Menarik
diri, dia katakan sebagai awal kegilaan itu.”
“Kau
sempat mengalami itu…?”
“Apa 24
jam ia terus mengawasi kita…?”
“Menurutku
ia mati ide.”
“Atau
ia mulai bosan dan mengakhirinya seperti itu…?”
“Terkadang
aku menjadi sangat benci pada dunia maya.”
Ai
tersenyum.
“Jadi
kesimpulanmu, sementara ini kau berpendapat jika pemilik blog ini adalah tak
lain si Pembuat Onar?”
“Iya.
Permainannya dan apa yang ditulis. Ini sama artinya dengan satu orang dengan
banyak peran.”
“Kau
yang membuatnya makin pintar.”
“Bukan.”
“Jelas
incarannya adalah kau, Jung Jiyoo.”
“Apa
dia benar ingin membongkar jati diriku sebagai anak bungsu Jung Jinyoung…?”
“Ha…?”
“Ah,
tidak. Ini hanya permainan anak SMA.” Ai memegang kepalanya.
“Andai
saja ada petunjuk yang lebih rinci.”
“Ya,
Fujiwara. Jika benar tak ada yang mau bergabung, kau bisa gunakan aku kan…?”
Minhwan datang menyela. “Sunghyun, Myungsoo, Jungshin, kami semua siap
membantu. Iya kan Byunghun…?”
“Eum.
Nee.” Byunghun membenarkan.
“Aku
bisa jadi drummer untukmu. Myungsoo atau Sunghyun pada gitar, Byunghun keyboard
daan Jungshin bass.”
“Bukannya
aku tak mau. Aku ingin yang benar-benar murni dari Jeonggu Dong. Jika terpaksa,
mungkin kami akan tampil secara akustik. Aku dan Seunghyun atau mungkin Minki
Oppa juga bergabung.” tolak Ai.
“Kepala
batu! Dimana-mana kerjasama itu wajar.” olok Minhwan. “Aku heran, siapa mereka
yang menolak tawaran baikmu ini? Aa, atau mungkin ini karma karena kau pernah
menolak Stardust dan Viceroy?” canda Minhwan.
“Bisa
jadi.” jawab Ai enteng.
Ai dan
Minhwan kemudian tertawa bersama.
“Ya!
Apa yang kau lakukan di atas sana?!” Minhwan beralih menatap panggung.
Byunghun
sudah berdiri di atas panggung mengamati keyboard Ai. Ia tersenyum lalu
jari-jari Byunghun mulai menari di atas keyboard Ai. Byunghun memainkan melodi
dari Blackstar-Avril Lavigne.
Ai
tersenyum. Hal ini membuatnya teringat pada penampilan perdana YOWL di Hwaseong
Academy.
Byunghun
tersenyum menatap senyum Ai. Tahukah kau?
Saat kau memainkan melodi ini, saat itulah aku mulai menyukaimu, Fujirawa
Ayumu. Aku terlalu takut mengakuinya dan memberikan tantangan taruhan pada yang
lain. Aku khawatir jika tak hanya aku yang merasakan hal itu. Kenyataannya, aku
harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkanmu. Andai aku bisa memutar waktu,
aku berharap aku-lah pria yang menerima bintang hitam kesayanganmu itu. Namun
Hanbyul mengambil posisi itu. Dan kini, dengan aku bertahan seperti ini, apa
waktu akan berpihak padaku? Berpihak pada kita?
Byunghun
tersenyum setelah selesai memainkan keyboard Ai.
Ai dan
Minhwan bertepuk tangan untuk Byunghun.
Byunghun
menghembuskan napas panjang melihat senyum lebar Ai.
***
Seminggu
berjalan, tak banyak perubahan di basecamp. Hanya orang-orang yang sama yang
datang untuk berlatih setiap sore.
Ai
duduk di taman belakang sekolah ditemani mp3 kesayangannya dan binder.
Tangannya sibuk membuat coretan dalam halaman binder, menggambar rencana tata
letak panggung dan setting lainnya untuk peresmian Wisteria Land.
Di
tengah keseriusannya, tiba-tiba cairan berwarna merah itu menetes pada lembaran
binder. Ai segera menutup hidungnya dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya
sibuk mencari tissue di sakunya. Tak ada. Ai lupa tak membawa tissue dalam
tasnya. Ai berubah panik. Tangan kiri Ai masih membungkam hidungnya sedang
tangan kanannya sibuk merapikan mp3 dan binder.
Ai
bergegas menuju toilet terdekat. Ia tergesa-gesa dan tak sengaja menabrak
Taerin yang kebetulan lewat. Binder dan mp3 Ai terjatuh.
Mata
sipit Taerin melebar melihat Ai menutup hidungnya dan cairan berwarna merah itu
merembes keluar. Taerin melihat darah segar merembes dari sela-sela jari Ai.
Menyadari
ekspresi Taerin, Ai segera pergi.
Taerin
berdiri tercengang. Itu tadi… darah kan…?
Ada apa dengannya…?” batin Taerin.
Ia kemudian berbalik, namun Ai sudah menghilang. Taerin memungut binder dan mp3
Ai yang tergeletak di lantai.
Ai
membungkuk di depan wastafel. Ia membasuh hidungnya berulang-ulang. Darah yang
keluar kali ini lebih deras. Ai menarik tissue dan kembali membungkam hidungnya
dengan tissue. Ia sandarkan tubuhnya pada tembok. Perlahan badannya melorot
turun hingga Ai terduduk di lantai. Ia berusaha menenangkan diri. Mendongakan
kepalanya agar mimisannya berhenti. Ai memejamkan mata. Kepalanya benar terasa
amat pusing.
“Gwaenchanna…?”
sambut Taerin saat Ai keluar dari toilet.
Ai
menatap heran Taerin. “Nee, nan gwaenchanna.” Ai canggung, berusaha tersenyum.
“Kau
yakin…? Kau lama sekali di dalam sana.”
“Kau…
menungguku…?”
Taerin
memperhatikan Ai. Di seragam gadis itu tersisa bekas darah yang menetes. Taerin
menelan ludah. Ia penasaran pada apa yang sebenarnya terjadi. “Itu… terlalu
menonjol.”
“Jika
dibasuh dengan air akan makin melebar.”
Taerin
menyodorkan binder dengan mp3 dan sebungkus tissue di atasnya.
“Gomawo.”
Ai menerima bindernya lalu memeluknya untuk menutupi sisa darah yang menetes di
seragamnya.
“Apa…
yang lain tahu…?”
“Ada
jaket di tasku. Itu akan membantu. Sekali lagi terima kasih.” Ai menundukan
kepala, tersenyum manis lalu pergi dari hadapan Taerin.
Taerin
terdiam di tempat ia berdiri. Masih menatap punggung Ai yang berjalan semakin
jauh meninggalkan dirinya.
***
“Kibum
dan Wooyoung mengatakan, sepanjang jam pelajaran kau terus memakai jaketmu.
Benar kau baik saja?” Minki kemudian meletakan punggung telapak tangannya di
kening Ai.
“Lihat,
aku baik saja kan?” Ai tersenyum tulus. “I’m fine. I’m 100% OK. Don’t worry
Oppa.”
“Kau
bohong. Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku tahu kau sedang tak baik. Jung
Jiyoo.”
“Iya,
aku berbohong. Aku memang menyembunyikan sesuatu dari Oppa. Aku… aku…” Ai tak
bisa melanjutkan kata-katanya lagi.
Minki
merengkuh Ai dalam pelukannya.
Ai
menangis dalam pelukan Minki.
Minki
mengelus kepala Ai. “Jika kau lelah, istirahatlah. Jangan terlalu memaksakan
diri. Ada kami. Semua ini pasti akan terlewati. Kita pasti akan berhasil.
Ingatlah apapun yang terjadi kaua harus kuat, kau pasti bisa karena kau
terlahir berbeda.”
Ai
mengangguk.
Minki
melepas pelukannya. Ia tersenyum menatap Ai dan mengusap air mata gadis itu.
“Sana, basuh mukamu. Jangan sampai yang lain melihat kau seperti ini, em?”
Ai
tersenyum mengangguk lalu bergegas menuju toilet.
Minki
menghela napas dan tersenyum sendiri menatap Ai yang berjalan menuju toilet.
“Permisi.”
suara pemuda itu menyita perhatian Minki.
Minki
membalikan badan. Kedua matanya melebar. Terkejut atas apa yang dilihatnya.
-------
Ai baru
kembali dari toilet.
“Jiyoo-ya.”
panggil Minki.
“Iya?”
Ai mengangkat kepala. “Kalian…?” dengan ekspresi terkejut.
Yonghwa
dan Dongwoo kompak tersenyum manis.
“Maafkan
kami. Mungkin ini sangat terlambat, tapi apakah lamaran itu masih berlaku untuk
kami…? Kami ingin bergabung dalam tim Wisteria Land.” Yonghwa menjelaskan
maksud kedatangannya bersama Dongwoo.
Ai
berjalan mendekat. “Formal sekali bahasamu.” sembari tersenyum manis. “Butuh
waktu selama ini untuk berpikir…? Atau… ada alasan lain…?”
“Maaf.
Kami sempat meragukanmu.” kata Dongwoo.
“Tadinya
aku pikir kalian sakit hati padaku gara-gara Hwaseong Festival.”
“Karena
kau tak memilih kami…? Akh, kau ini. Justru itu menguntungkan kami. Identitas
kami sebagai anak Jeonggu Dong jadi aman.” canda Dongwoo.
Ai
tersenyum. “Jadi… kalian benar siap?”
Yonghwa
dan Dongwoo mengangguk antusias.
“Ok.
Welcome to Wisteria Land.” Ai membuka kedua tangannya.
Yonghwa
dan Dongwoo kompak tersenyum lega.
Seunghyun
buru-buru datang setelah Ai mengirim pesan singkat padanya. Ia tersenyum lega
ketika sampai. Seunghyun turut senang melihat Yonghwa dan Dongwoo duduk bersama
Ai dan Minki di atas lantai panggung.
***
Ai
berdiri di teras rooftop-nya. Ia
bersandar pada dinding pembatas, membelakangi jalan di bawah sana. Mixphone
menutup kedua telinga Ai, sementara kedua tangannya sibuk mengotak-atik
ponselnya. Ai tersenyum getir melihat foto-foto YOWL dan Hanbyul dalam
ponselnya. Tak pernah ia merasakan rindu yang teramat sangat seperti malam ini.
Rindu yang benar-benar membuatnya sesak. Tak hanya memenuhi ruang di dadanya,
namun menjalar ke seluruh saraf tubuhnya. Kedua mata Ai terasa panas. Tangannya
gemetar masih menggenggam ponselnya. Ai tertunduk dan kembali menitikan air
mata.
Langkah
Taerin terhenti. Ia mendongak menatap ke arah rooftop tempat tinggal Ai. Memperhatikan Ai. Setiap kali pulang
atau pergi Taerin melewati jalan ini, namun baru kali ini ia melihat Ai berdiri
di ujung teras seperti ini. sebelumnya, setiap kali mendongak ke arah rooftop tempat Ai tinggal, Taerin hanya
menemukan kesan sepi. Kesan yang ia dapatkan sejak YOWL pergi. Dulu ketika YOWL
dan Ai masih bersama, mereka berlima sering berdiri berjajar di ujung teras
yang berbataskan tembok rendah itu. Kadang mereka berdiri menghadap jalan,
kadang membelakangi jalan. Namun pemandangan itu tak pernah terlihat lagi sejak
YOWL pergi.
Taerin
kembali teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu ketika ia menemukan Ai
mimisan yang lumayan parah. Taerin diam sejenak, lalu kembali menatap Ai yang
masih berdiri menundukan kepala. Sejenak kemudian gadis itu bergegas masuk.
Taerin tak bisa lagi menjangkaau Ai dengan kedua matanya.
Taerin
menghela napas panjang dan kembali berjalan menuju rumahnya.
***
Alarm
ponsel Hanbyul berbunyi. Tak seperti biasanya Hanbyul malas bangun. Kali ini ia
bergegas bangun. Tanpa mencuci muka, ia langsung menyalakan laptopnya. Hari ini
ia dan Ai berjanji untuk kembali bersua di dunia maya. Hanbyul tak mau Ai
begadang terlalu larut. Karenanya Hanbyul mengalah untuk bangun jauh lebih
awal.
Hanbyul
antusias. Ia tak sabar untuk kembali melihat wajah Ai dan ngobrol langsung
dengannya. Hanbyul ingin meluapkan rasa rindu yang cukup menyiksanya. Hanbyul
duduk manis di depan laptopnya. Menunggu.
Setengah
jam berlalu. Ai tak kunjung muncul. Hanbyul menepis resahnya dan kembali
menunggu. Satu jam terlewati. Hanbyul berubah khawatir. Ia mondar-mandir di
dalam kamarnya berusaha menelfon Ai, namun ponsel Ai tak aktif. Masih
mondar-mandir dan memegang ponselnya. Tak mungkin jika Hanbyul menelfon
Jaejoong. Ini akan mengganggu Jaejoong yang sibuk promo debut YOWL.
Hanbyul
mengumpat kesal. Minki pun tak bisa dihubungi. “Kemana mereka…?” Hanbyul benar
kesal. Kemudian ia mengetik pesan untuk Ai dan mengirimnya. Tak hanya satu
pesan namun lebih dari tiga pesan.
Ai
duduk bersila di atas lantai di dalam kamarnya. Kedua matanya terpejam. Tissue
masih menyumpal kedua lubang hidung Ai. Warna putih tissue itu berubah sedikit
kemerahan karena darah yang merembes.
***
“Eum,
jadi Ai tak muncul? Mungkin dia sibuk atau kelelahan dan tidur.” Suri mencoba
menghibur Hanbyul.
“Terakhir
ia terlambat seperti ini… kecelakaan itu…” Hanbyul benar terlihat kusut hari
ini.
“Apa
yang kau rasa? Kata orang jika kalian benar saling menyukai, maka perasaan kalian
akan bertaut.”
“Sangat
kacau. Beberapa hari memang mimpi melihatnya. Terlihat pucat dan lesu.”
“Tak
mencoba tanya teman-temanmu…?”
“Aku
sudah mengirim pesan pada mereka, termasuk Hyuri. Namun belum ada balasan.”
“Aku
rasa Ai hanya lelah dan butuh istirahat. Nanti aku akan coba menengok akunnya.
Sekarang kau harus fokus pada latihan. Aku akan kembali setelah latihanmu
selesai.”
Hanbyul
mengangguk.
“Ok.
Aku pergi. Ingat, kau harus fokus.”
Hanbyul
tersenyum mengangguk, meyakinkan Suri.
“Aku
percaya kau, Jang Hanbyul.” kata Suri sebelum pergi.
Sepanjang
latihan Hanbyul tak bisa fokus. Ai benar-benar memenuhi pikirannya. Hanbyul
berulang kali ditegur pelatih karena permainannya benar buruk hari ini. Sang
Pelatih kemudian meminta Hanbyul untuk duduk istirahat.
Hanbyul
melihat rekan-rekannya berlatih. Ia meneguk habis air mineral di tangannya.
“Hah… semoga kau memang sangat sibuk hingga kelelahan. Aku benar
mengkhawatirkanmu, Jiyoo.” gumam Hanbyul lirih.
***
“Jiyoo
tak sekolah…?” Byunghun tak sengaja mendengar obrolan Kibum dengan Hyuri.
“Jiyoo tak ke sekolah…?” sela Byunghun.
“Em.
Dia malas.” Kibum membenarkan.
“Lee
Byunghun, apa Hanbyul juga mengirim pesan padamu?” tanya Hyuri.
Tak
menjawab pertanyaan Hyuri, Byunghun malah berlari pergi membuat Kibum dan Hyuri
menatapnya heran.
Byunghun
berlari kembali ke tempat parkir. Kemudian ia melajukan mobilnya meninggalkan
sekolah. Tujuannya hanyaa satu, menemui Ai. Ia yakin jika hari ini Ai membolos
bukan karena malas namun karena sakit.
***
Taerin
tak menemukan Ai di sekolah. Ia berjalan pelan usai menengok taman belakang
sekolah.
“Ck!
Kenapa aku jadi memikirkannya? Mengkhawatirkannya?” gumam Taerin sendiri. “Ck!
Kim Taerin! Berhenti berpikir tentangnya.” sambil memukul pelan kepalanya
sendiri.
“Oh!
kibum~aa!” panggil Taerin pada Kibum yang melintas.
Kibum
menghentikan langkahnya, kemudian berjalan menghampiri Taerin. “Ada apa?”
“Eum…”
Taerin gengsi untuk bertanya langsung tetang Ai. “Terima kasih untuk semua
bantuanmu belakangan ini.” Taerin tersenyum manis.
Kibum
menatapnya heran. Ia kemudian menghela napas panjang. “Jika bukan Ai yang
memintanya, aku tak sudi membantumu.”
Taerin
segera menarik senyumnya mendengar pernyataan Kibum yang benar membuatnya
kesal.
“Harusnya
kau berterima kasih pada Ai.” imbuh Kibum.
“Aku
tak melihatnya.” umpan Taerin berhasil.
“Dia
membolos.”
“Oya…?
Kenapa…? Dia sakit…?”
Lagi-lagi
Kibum menatap heran Taerin.
Taerin
merasa risih dibuatnya.
“Mulai
bosan dan mungkin akan mundur.” kata Kibum.
“Mundur…?
Maksudmu berhenti sekolah…? Kenapa…? Apa karena tak ada YOWL lagi…?”
“Maaf.
Aku harus ke perpustakaan.” Kibum pamit dari hadapan Taerin.
“Mundur…?
Apa penyakitnya benar parah…?” gumam Taerin lirih.
***
Ai
mengangkat panci berisi ramyun panas dan membawanyaa ke meja. Byunghun
tersenyum menyambutnya.
“Kau
tak pernah sarapan?” tanya Ai.
“Jarang.”
jawab Byunghun.
“Ayo
kita sarapan.”
“Sarapan…?
Ini hampir masuk jam makan siang.”
“Jadi
kau sudah sarapan?”
“Belum
sih.”
“Tidak
lapar.”
“Eung…”
“Oh,
atau makanan ini taka man untukmu? Maksudku perutmu tak biasa makan makanan
instan seperti ini?”
“Anak
laki-laki yang tinggal sendiri jauh dari orang tua, apa yang bisa dia andalkan
kecuali ramyun?”
“Eum,
benar juga. Kau biasa memasaknya seperti ini?”
“Em…?”
“Ditambah
sayur dan telur.”
“Tak
pernah.”
“Wah,
kebetulan. Ayo coba.”
Ai dan
Byunghun bersama menikmati ramyun panas di rooftop
Ai. Ai tersenyum melihat Byunghun makan dengan lahap.
Byunghun
akhirnya sadar jika Ai memperhatikannya. “Wae…?”
“Gomawo.”
Byunghun
tersenyum. “Ayo, makan.” ucapnya dengan lahap mengunyah ramyun yang ada dalam
mulutnya.
“Tapi
rasa khawatirmu itu berlebihan.”
“Em?”
Byunghun terlihat lucu dengan pipi menggembung seperti itu karena mulutnya
penuh dengan makanan.
“Ini
bukan metode yang kau terapkan untuk merebut posisi Hanbyul kan?”
“Mwo..?”
mulut Byunghun membulat.
Ai
tertawa geli.
“Ish!
Ternyata kau ini gemar sekali bercanda ya? Tapi, jika kenyataannya seperti itu,
kau mau apa? Atau… jangan-jangan kau mulai terpikat oleh pesonaku, em?” balas
Byunghun.
“Hahaha.
Kalau iya, kau mau apa?”
Byunghun
tersenyum. “Yakin tak ingin periksa?”
“Yakin.”
“Kenapa?”
“Dulu
saat aku masih merokok juga sering mimisan.”
“Apa…?
Kak-kau… merokok…?” Byunghun hampir tersedak mendengarnya.
“Lumayan
parah. Beberapa obat-obatan terlarang juga pernah aku coba.”
Byunghun
menelan ludah mendengarnya.
“Hanya
untuk menjawab rasa penasaranku. Tapi tidak dengan YOWL. Mereka pernah merokok,
tapi YOWL bersih dari obat-obatan terlarang.”
“Yang
lain tahu tentang ini?”
“Minki
Oppa tahu tentang ini semua. Hah… jadi kembali merasa bersalah padanya.”
“Jaejoong…?
Dia tak tahu? Bukankah kau dekat dengannya.”
“Dekat
bukan berarti tahu segalanya, kan?”
“Han,Hanbyul…?”
Ai
menggeleng.
“Tapi,
tapi sekarang kau tak merokok lagi kan?”
Ai
mengangguk.
“Hah…
fakta yang mengejutkan.”
“Aku
hanya tak ingin kau terlalu berlebihan mengkhawatirkan aku. Karenanya aku
cerita ini padamu.”
“Kau
sudah berhent merokok, jadi penyebab mimisan itu adalah hal lain. Kita buat
janji saja dengan Dokter Song, bagaimana?”
Ai
diam. Tak merespon.
“Aku
tak ingin kita terlambat mengetahui sesuatu. Apa pun itu. Aku tak mengharap hal
buruk terjadi. Jika luka itu tampak di luar tak masalah, tapi jika…” Byunghun
diam sejenak. Menatap Ai. “Kalaupun nanti kita menemukan sesuatu… yang… ganjil…
tak wajar. Jika kita tahu lebih dini bukan kah itu lebih baik? Selanjutnya kita
cari solusinya. Tak bisakah kau sedikit saja menundukan ego dan sifat keras
kepalamu itu?”
Ai
masih terdiam.
“Maaf.
Mungkin aku terlalu memaksa. Ini karena bukan hanya aku, tapi kami semua
mengkhawatirkanmu. Aku yakin Hanbyul juga mengirim pesan padamu. Ia mengirim
pesan pada kami setelah tak berhasil menghubungimu. Kau meminta Hanbyul
berjuang di sana dan berjanji suatu saat nanti kalian akan bersama lagi.
Hanbyul benar pergi dan melakukan apa yang kau mau. Tapi di sini… di sini kau
memang berjuang, tapi bukan berarti kau harus mengabaikan dirimu sendiri kan?”
“Masih
banyak orang yang menggantungkan harapan padamu, jika kau tak menjaga dirimu
dengan baik lalu kau tumbang sebelum pertempuran usai, kau akan meminta pertanggungjawaban
siapa? Andai aku tak tahu tentang ini, aku tak akan memaksamu seperti ini.”
imbuh Byunghun.
“Berkelahi
dengan preman dan juga hantu kau tak takut, masak periksa ke Dokter saja kau
takut?” olok Byunghun.
Ai
tersenyum mendengarnya.
“Jangan
keras kepala lagi. Jangan egois. Ingatlah YOWL. ingatlah Wisteria Land.
Ingatlah Jeonggu Dong. Jika terjadi sesuatu padamu, apa jadinya mereka? Sedang
perjuangan mereka baru dimulai.”
“Semalaman
aku juga memikirkannya. Semalam aku mimisan lagi. Kau benar, aku takut. Sangat
takut.”
Byunghun
meraih tangan kanan Ai dan menggenggamnya. “Kau gadis yang kuat Jung Jiyoo.”
Ai
tersenyum tulus.
“Fujiwara
Ayumu… Fujiwara itu benarkah wisteria field…?”
Ai
mengangkat kedua bahunya.
“Masak
kau tak tahu arti namamu sendiri?”
“Ayo
kita periksa.”
Byunghun
tertegun.
“Iya.
Ayo kita periksa. Tapi jangan Dokter Song atau rumah sakit dimana Yongbae
dirawat.”
“Ok.
Aku ada klinik langganan. Tak begitu terkenal tapi pelayanannya sangat bagus.
Tapi kita mampir ke apartemenku dulu ya? Risih rasanya jika aku pergi dengan
memakai seragam sekolah.”
“Aku
ada beberapa baju laki-laki. Muat padamu aku rasa.”
“Mwo…?
Baju laki-laki…?”
“Iya.
Dulu sering aku keluar dalam wujud laki-laki. Memakai pakaian anak laki-laki,
bahkan aku punya beberapa koleksi wig model rambut laki-laki.”
“Kau
ini benar-benar…” Byunghun menggeleng keheranan.
“Tunggu
sebentar.” Ai beranjak menuju kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan
membawa T-shirt dan jaket untuk Byunghun. “Jika kau tak suka, kita mampir ke
apartemenmu dulu.”
“Suka.
Tapi barang yang sudah diberikan tak boleh diminta kembali.”
“Em.
Itu untukmu.”
“Ok.
Gomawo.” Byunghun kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk ganti baju.
Byunghun
membawa Ai ke klinik tempat ia biasa berobat. Ai berjalan menundukan kepala di
samping kiri Byunghun. Byunghun tersenyum sambil kemudian meraih tangan kanan
Ai dan menggandengnya.
Ai
tersentak. Ia mengangkat kepala, menoleh menatap Byunghun. Tangannya yang
dingin perlahan merasa hangat karena Byunghun menggenggamnya.
Byunghun
tersenyum manis, tetap menuntun Ai.
---TBC---
shytUrtle
0 comments