EDELWEISS
05:04
EDELWEISS
Cinta itu abadi dan tak bersyarat. Cinta
yang kupilih adalah cinta yang kan ku lepas dan cinta yang tak akan pernah aku
miliki. Namun rasa cintaku ini, abadi, untuknya, selamanya…
Senyum
hangat mentari menembus lebatnya pepohonan rindang hutan Orea. Hutan pelindung bagi negeri Elsdon yang
berdiri kokoh di baliknya. Makhluk kecil bersayap hijau lembut seperti
kupu-kupu, dengan memakai baju yang terbuat dari mahkota bunga mawar merah hati
ini terbang menuju salah satu sudut hutan Orea. Pepohonan dan hewan yang
melihatnya, menyapa ramah peri pembawa berkah kekayaan dan kemakmuran ini.
Hazel Goblinglow, membalas sapaan makhluk-makhluk Tuhan itu dengan senyum
ramahnya.
Hazel
sampai di tempat tujuannya. Sebuah pohon yew yang sudah berumur 1000 tahun. Pohon
yew besar yang memiliki pintu dan jendela serta ruang singgah di dalamnya.
Tempat tinggal salah satu sahabatnya. Hazel tersenyum lalu menyelinap masuk
dari celah jendela yang terbuka.
“Selamat
pagi, Amabel!” Sapa Hazel pada sahabatnya. Seorang penyihir yang sibuk di depan
kuali besar entah membuat ramuan apa sepagi ini. Nenek renta dengan kulit
keriput, hidung panjang dan besar serta beberapa kutil di wajahnya itu tak
membalas sapaan Hazel, masih sibuk mengaduk-aduk isi kuali yang mulai mendidih.
“Aku benci wujud ini!” Namun penyihir itu masih mengacuhkan Hazel membuat peri
kecil itu mendengus kesal.
“Kau
tidak lelah usai membagikan berkah musim semi semalaman dan langsung
menggangguku sepagi ini?” Tanya Amabel Winola dengan suara rentanya.
“Kau
tidak lelah usai membagikan ramuan kesuburan pada ladang-ladang petani
semalaman dan langsung membuat ramuan sepagi ini?” Hazel balik bertanya. “Jadi
aku tak salah lihat, nenek sihir dengan kostum serba hitam, duduk diatas sapu
terbang semalam adalah kau, Amabel Winola.”
“Aku
terlelap merajut mimpi semalaman.”
“Kau
tidak pandai berbohong Amabel Winola. Bahkan kau belum merubah wujudmu. Kenapa?
Kenapa wujud ini? Ini yang paling tidak aku sukai. Laki-laki setengah raksasa,
tak mengapa, tapi nenek renta ini? Kau tampak mengerikan dan sedikit…
menjijikan. Dan sapu terbang? Kemana Gentala? Raja naga yang banyak di
perebutkan para penggila kekuasaan itu? Kau memilikinya namun memilih sapu
terbang? Ayolah, Amabel, ini tidak lucu!”
Amabel
tersenyum manis. “Beginilah masyarakat mengenal penyihir yang sesungguhnya.
Gentala harus banyak istrirahat, luka bekas pertempuran itu baru pulih.”
“Baiklah,
apapun yang kau katakan dan membuatmu nyaman.” Hazel menyerah. “Kau tak turun
ke pusat kota? Perayaan musim semi dan sambutan bagi pasukan istana yang
kembali pulang dengan kemenangkan. Pasti sangat menyenangkan. Ah, kau pasti
tahu lebih banyak dari yang aku tahu. Amabel, kau akan bertemu dengannya
kembali. Untuk kali ini saja, tunjukan wujud aslimu dan temui dia, bertatap
muka dengannya. Panglima pejuang istana, hapus semua rasa penasaran padanya.”
“Selesai!
Kaum Haley akan mengambilnya.”
“Kurcaci-kurcaci
itu lagi? Berhenti meminta mereka melakukan ini. Lakukan sendiri, ayolah. Apa
setelah tiga tahun ini kau akan tetap bertahan demikian?”
“Gentala!”
Panggil Amabel seraya membuka pintu. Naga bersayap dengan ukuran luar biasa itu
segera mendarat di depan sang majikan. “Kita harus memetik beberapa ramuan obat
di bukit dan di tepi air terjun. Ayo kita bekerja.” Amabel naik keatas punggung
naga dan kemudian naga itu terbang meninggalkan Hazel yang melayang tepat di
depan pintu.
Tak
lama kemudian tujuh kaum Haley (kurcaci) sahabat Amabel datang dan mengambil
ramuan yang sudah tertata rapi dalam beberapa anting anyaman bambu. Hazel
menggelengkan kepala melihat mereka dan kembali menatap langit dimana naga
terbang sudah tak terlihat lagi.
***
Tujuh
kaum Haley menyambut rombongan pejuang istana. Mereka berhenti untuk istirahat
dan bermalam sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke negeri Elsdon. Butuh
waktu lima hari untuk melewati hutan lebat ini dan di hari ketiga baik itu
berangkat atau pulang kembali, rombongan pejuang istana akan berhenti di titik
ini. Untuk menerima segala kebaikan dari tujuh kaum Haley, sejak tiga tahun
yang lalu.
Handaru,
Hedona, Kamala, Taraka, Taksa, Layana dan pemimpin mereka Gantari dengan setia
melayani para pejuang istana ini. Menjamu mereka dengan hidangan lezat dan
ramuan yang selalu mampu mengembalikan tenaga mereka kembali. Hazel mengikuti
tujuh kaum Haley ini sejak mereka meninggalkan kediaman Amabel. Ia duduk tenang
diatas pundak Gantari. Para manusia itu tak dapat melihatnya karena wujud Hazel
yang sebenarnya hanya mampu terlihat oleh manusia biasa saat bulan purnama
tiba. Tatapan Hazel hanya terfokus pada panglima pasukan ini.
“Wahai
sahabatku, ini tahun ketiga kami menerima segala kebaikan ini, namun tak
satupun dari tujuh sahabatku ini yang mau berbicara tentang kebenaran atas
dugaan kami, benarkah segala kebaikan ini berasal murni dari tujuh sahabatku
ini atau ada campur tangan orang lain.” Pangeran Alden Carney kembali mengusik
pertanyaan yang sama. Tujuh kaum Haley menunduk dan saling menyikut.
“Tidak
bisakah kami bertemu langsung dengannya? Ini tak luput dari penyihir baik hati
bernama Amabel Winola bukan?” Sambung panglima pejuang, yang sedari awal terus
di perhatikan oleh Hazel, Edsel Yodha Jarvis.
“Dia
tahu tentang Amabel Winola?!” Seru Hazel kaget. “Katakan itu benar! Iya, ini
ulah Amabel Winola! Penyihir baik hati yang selalu membantu dan menjaga negeri Elsdon.
Katakan kebenaran ini Gantari!” Hazel antusias.
“Maaf
kami harus pergi. Selamat istirahat dan kami akan kembali saat makan malam
tiba.” Gantari pamit pergi. Hazel mendengus kecewa saat tujuh kaum Haley ini
benar-benar pergi.
***
Seekor
burung hantu coklat besar hinggap tenang diatas dahan sebuah pohon. Kedua mata
bulat dan tajamnya mengamati tujuh kaum Haley yang sedang melayani para pejuang
istana makan malam. Hazel duduk disampingnya, turut mengamati kegiatan di bawah
sana.
“Selama
tiga tahun bertahan seperti ini, mengaguminya dalam sisi yang tak bisa terlihat
olehnya, panglima itu, Panglima Edsel. Dia memang benar tampan dan menawan. Aku
masih bisa mengingat setiap detail sikap bodohmu, Amabel Winola. Capung kecil
dan kupu-kupu yang tiba-tiba muncul mengiringinya, itu kau. Bunga-bunga yang
selalu kau selipkan untuknya. Cinta? Ini yang kau sebut cinta dan mencintai?
Aku tak paham akan cinta yang kau pilih ini. Kalian sesama manusia, harusnya
kau mencoba menunjukan cinta itu padanya. Kalian bisa bersatu dan memupuk cinta
itu bersama.”
Blup!
Burung hantu di samping Hazel berubah menjadi seorang pria, seorang kakek.
“Cinta yang aku pilih tak bersyarat. Cinta yang aku pilih tak ingin aku ungkap.
Cinta yang aku pilih akan ku lepas, agar ia bebas terbang memiliki hati yang ia
pilih. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk cintaku.”
“Kau
bisa lebih dari ini namun kau enggan melakukan yang lebih dari ini. Manusia itu
penuh misteri dan sulit di pahami. Kau mengatakan cinta namun kau melakukan tak
seperti yang aku tahu kebanyakan tentang cinta pada manusia. Ah, itu membuat
kepalaku sakit. Aku pergi! Sisa-sisa tugasku menunggu. Selamat menikmati
pengintaian ini Amabel Winola!” Hazel terbang kemudian menghilang dalam
kegelapan malam.
Tiga
tahun yang lalu, saat musim dingin tiba. Amabel dibuat iri oleh kecantikan
mawar ditengah musim dingin, bunga Camellia Japonica. Bunga yang tetap bertahan
dan mekar indah menebarkan wanginya di tengah musim dingin yang beku. Amabel
telah menguwasai semua, berganti wujud menjadi berbagai macam manusia dan
hewan, namun tidak mudah untuk wujud tumbuhan. Hari itu ia berlatih keras di
tengah hawa dingin, Amabel berusaha merubah wujudnya menjadi tanaman semak
berbunga yang di kenal sebagai spesies terbaik dari kamelia ini.
Berhasil.
Amabel berhasil berubah wujud. Entah karena benar berhasil atau karena efek
terkejut ketika seseorang tiba-tiba muncul di area itu. Seorang pemuda dengan
baju khas pejuang istana. Pemuda tampan berambut pirang ini, tatapannya
langsung tertuju pada semak yang sedang berbunga lebat, bunga indah berwarna
putih bersih bak salju. Pemuda tampan itu menghampirinya, tersenyum dan mencium
wangi bunga mawar di tengah musim dingin yang tak lain adalah penyihir Amabel
Winola ini. Amabel tak pernah merasakan ini sebelumnya, jantung yang berdetub
kencang tak karuan ketika pemuda ini mendekatinya dan mencium salah satu bunga
yang tak lain adalah punggung telapak tangan kanannya.
“Kau
sangat cantik, cantik sekali. Di tengah musim dingin yang beku ini, kau mekar
sempurna dan menebarkan wangimu. Aku Edsel Yodha Jarvis, panglima pasukan
pejuang kerajaan. Andai kau bisa bicara, ingin aku bertanya, siapakah namamu
wahai makhluk cantik.” Ia tersenyum kemudian pergi. Dan Amabel tertegun
dibuatnya.
Hanya
dengan media air dalam periuk, Amabel bisa melihat semua tentang seorang Edsel
Yodha Jarvis. Semuanya, tanpa terkecuali. Amabel melakukan ini karena sejak
pertemuan tidak sengaja itu, wajah Edsel terus membayangi dirinya. Panglima itu
benar telah mencuri perhatiannya. Dan sejak saat itu Amabel menjadi pengagum
rahasia Edsel. Diam-diam dan tak pernah menampakan wujud aslinya. Capung kecil
yang tiba-tiba hinggap di bahu Edsel. Kupu-kupu cantik yang mengiringi Edsel
ketika pemuda itu berburu di hutan Orea, dan juga wujud-wujud lainnya, hewan dan
tumbuhan. Tiga tahun berjalan demikian.
***
Edsel
tersenyum manis mendapati seikat bunga lili putih. Ia kemudian mengamati
sekitar namun taak berkata sepatah kata pun. Hanya tersenyum.
“Kau
melakukannya lagi.” Hazel melayang di samping monyet coklat yang duduk di atas
pohon, mengamati rombongan pasukan pejuang istana yang bersiap pergi. “Kau
masih menganggapnya tak wajar? Rasa yang kau miliki, yang kau rasakan untuknya?
Kau juga manusia, Amabel Winola.”
Rakyat
Elsdon menyambut riang kepulangan para pejuang istana yang lagi-lagi membawa
kemenangan. Putri Yocelyn tersenyum bahagia menyambut kepulangan pasukan
pejuang istana. Ia tak hanya bahagia karena pasukan kerajaan kembali menang dan
sang Kakak, Pangeran Alden Carney pulang dengan selamat. Namun ia juga bahagia
melihat sang kekasih, Panglima Edsel kembali tanpa kurang satu apapun. Apalagi
Edsel memberikan seikat bunga lili putih nan harum untuknya. Perjalanan kali
ini Edsel mendapatkan bunga lili dan seperti sebelumnya, ia memberikan
bunga-bunga itu untuk sang pujaan hati, Putri Yocelyn.
“Perjalanan
kali ini… lili putih.”
“Em.”
Edsel tersenyum dan mengangguk. “Apa bunga lili adalah lambang dari musim
semi?”
“Sangat
cantik bukan?”
“Apa
artinya?”
“Lili
putih, sederhana. Ia biasa tumbuh subur di hutan, itulah kenapa para pencari
kayu bisa dengan mudah menemukannya dan memetiknya kemudian di bawa pulang
untuk sang istri tercinta. Sederhana namun bermakna dalam. Bagi para penebang
kayu, bunga ini hanya melambangkan perasaan kagum mereka kepada sang istri, namun
di balik itu, lili putih berarti cinta yang dalam namun di liputi duka. Bunga
bagi bintang dan matahari.” Putri Yocelyn menghentikan langkahnya di ujung
balkon lantai dua istana. Tatapannya lurus, menatap rimbunnya hutan Orea yang
bisa terlihat jelas dari sini. Edsel berhenti di samping kanannya.
“Kau
tak ingin bertemu dengannya?”
“Bertemu
dengannya?” Edsel menoleh menatap Putri Yocelyn.
“Kau
tidak penasaran? Benarkah ini ulah penyihir misterius Amabel Winola? Penyihir
baik hati yang sangat di sayangi rakyat Elsdon. Dia memberikan kasih sayang
pada kita semua, namun jika benar ini ulahnya, kau pasti sangat istimewa
baginya.”
“Tuan
Putri menyetujui pendapat Pangeran Alden?”
“Nafas
hutan Orea, hampir semua mengatakan Amabel Winola. Dialah ratu hutan Orea. Sungguh
kau tak ingin bertemu langsung dengannya? Melihat wujud aslinya? Menghapus rasa
penasaran itu di hatimu? Hanya sekedar untuk mengatakan terima kasih atas nama
pasukan pejuang kerajaan dan juga negeri Elsdon.”
Edsel
menghela nafas, beralih ke hadapan Putri Yocelyn. Menatapnya. “Ada apa
sebenarnya? Kekasihku ini, kenapa tiba-tiba mengatakan hal demikian? Apakah dia
mulai mencurigaiku? Meragukan aku?”
Putri
Yocelyn tersenyum lalu mengelus lengan kiri Edsel dengan lembut dan penuh
kasih. “Tak pernah meragukanmu, sama sekali tak pernah. Hanya saja aku merasa
tak enak jika kau menahan diri untuk tak mencari tentang kebenaran ini hanya
karena alasan takut melukaiku. Tak mungkin jika kau tak penasaran bukan?”
Edsel
membentuk lengkungan indah di bibirnya. Senyuman yang selalu mempesona siapa
saja yang melihatnya. Begitu juga bagi Putri Yocelyn. “Gadis ini yang sangat
aku cintai dan aku ingin ia berbagi kehidupan denganku, melahirkan anak-anakku
kelak. Tak akan aku bagi rasa ini dengan siapapun. Namun tak bisa aku pungkiri
jika kebaikan yang diberikan, yang mungkin adalah ulah Amabel Winola kepada
kami membuatku penasaran. Tapi aku rasa itu tak mungkin karena aku. Ada
Pangeran Alden bersama kami, selama tiga tahun ini.”
“Apa
Pangeran Alden mendapatkan bunga-bunga dan segala kebetulan itu?”
“Jadi
kau benar berpikir Amabel Winola itu menyukai ku? Membenarkan analisis Pangeran
Alden yang juga di rundung penasaran?”
“Itu
yang aku rasakan sebagai sesama wanita. Aku merasakannya.”
“Itu
tidak mungkin.”
“Penyihir
juga manusia, begitu juga Amabel Winola. Begitu banyak gambaran tentang Amabel
Winola… yang mana yang benar? Aku pun sangat penasaran. Siapakah pesaingku
ini.”
“Putri…”
Putri Begitu banyak gambaran tentang Amabel Winola…
yang mana yang benar? Aku pun sangat penasaran. Siapakah pesaingku ini.”
“Putri…”
Putri
Yocelyn tersenyum menatap langit senja.
***
Lelaki
tua, wujud Amabel kali ini, duduk di atas bukit, menatap pemandangan yang
paling ia sukai. Senja. Gentala tertidur lelap tak jauh darinya. Lelaki tua
ini. Amabel Winola, tersenyum. Masih menikmati indahnya senja.
Langit
berubah hitam. Cahaya terang purnama penuh menemani kilauan bintang-bintang.
Hiasan malam. Hazel terbang sejauh ini. Memasuki kawasan istana. Harapan hanya
satu, bertemu Edsel. Tapi dimana tempat tinggal panglima tampan itu? Taman.
Tujuan yang pasti dipilih Hazel. Ia terbang di atas rimbunnya perdu bunga sedap
malam yang sedang mekar sempurna.
“Oh!”
Hazel menarik diri, bersembunyi.
Edsel
melihatnya. Cahaya germelap diantara rimbunya bunga sedap malam. Hamparan putih
lengkap dengan wanginya yang tajam. Perlahan Edsel mendekat. “Aku melihatmu.
Dan aku yakin kau masih disana. Keluarlah, siapapun itu.” Kata Edsel yang
kemudian berhenti jarak satu lengan dari satu tangkai bunga sedap malam yang di
penuhi bunga-bunga putih yang sedang mekar sempurna. Harumnya semerbak, semakin
tajam tercium hidung mancung Edsel yang sedikit membungkuk lebig dekat pada
tanaman perdu ini.
“Keluarlah.
Aku tidak akan menyakitimu.”
Malu-malu
Hazel keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan kedua tangan yang ia simpan
di balik punggungnya, Hazel menampakan diri. Edsel terbelalak. Ia tak percaya
pada apa yang di lihatnya. Ia melihat seorang, peri. Makhluk mungil yang cantik
dan bersayap.
“Hallo!
Aku Hazel Goblinglow. Aku peri pembawa kekayaan dan kemakmuran. Kau bisa
melihatku karena malam ini adalah malam bulan purnama, puncak cahaya penuh.”
Hazel memperkenalkan diri.
“Hallo.
Aku panglima pasukan pejuang istana, Edsel Yodha Jarvis.”
“Aku
tahu! Setiap tahun, kau melewati hutan Orea bukan?”
“Kau
tinggal di hutan Orea? Dan kau mengenalku?”
“Seluruh
nafas kehidupan berasal dari hutan Orea dan aku mengenalmu, dengan baik. Aku
rasa begitu, menurutku.”
Edsel
tersenyum tulus, ia sedikit tersipu mendengarnya. “Terima kasih. Jadi malam ini
kau datang untuk menebar berkah kekayaan dan kemakmuran bagi istana?”
“Tidak
untuk kali ini. Aku datang karena alasan lain. Bertemu denganmu.”
“Bertemu
denganku?”
“Karena
sahabatku.”
“Karena
sahabatmu?”
“Dia
mengagumi mu.”
“Mengagumi
ku?”
“Ah,
aku tak suka teka-teki seperti ini.” Hazel meletakan satu tangannya di
pinggang. Terbang lebih tinggi setara pandangan lurus Edsel. “Kau tahu tentang
Amabel Winola?”
“Seluruh
negeri mencoba tahu tentangnya, begitu juga aku, namun hanya sedikit yang aku
tahu.”
“Dialah
sahabatku. Karenanya aku menempuh jarak dalam waktu istirahatku dari tugas,
kemari, untuk bertemu denganmu.”
“Dia
memintamu kemari? Menemuiku?”
“Tidak.
Ini keinginanku sendiri. Bagaimana menurutmu? Tentang Amabel Winola itu?”
“Em?”
Edsel sedikit terkejut. Ia tampak berpikir sejenak. “Dia bukan penyihir, tapi
peri sepertimu.”
“Kau
tak ingin bertemu, bertatap muka dengannya?”
“Tak
seorang pun tahu siapa sebenarnya Amabel Winola, dimana ia tinggal. Bahkan
tujuh kaum Haley yang setia menyambut kami setiap tahun tak satupun dari mereka
mau membuka mulut tentang Amabel Winola.”
“Jadi
kau tahu itu ulahnya? Amabel Winola?”
“Benar
orang di balik itu semua adalah Amabel Winola?”
“Demi
hutan Orea! Adakah penguasa lain disana? Nafas dari hutan Orea, segala kebaikan
dari dalamnya, karena Amabel Winola. Entah apa menurutnya, kenapa dia mengagumi
mu?”
“Mengagumi
ku? Amabel Winola mengagumi ku?”
“Demi
semua makhluk! Kau bukan orang bodoh
kan? Panglima Edsel. Sejak… aku tak tahu kapan pastinya, yang jelas sudah
berjalan tiga tahun ini.”
“Kau
mengatakan aku bisa melihatmu karena malam ini adalah malam bulan purnama
dengan puncak cahaya penuh, jadi itu tujuanmu?”
“Mungkin
setelah ini hidupku akan berakhir. Aku mengkhianatinya. Mungkin dia akan
membekukan aku selamanya. Aku hanya peri pembawa kekayaan dan kemakmuran, bukan
peri pejuang. Aku tak akan sanggup melawannya. Riwayatku akan tamat.” Hazel
terus bergumam sambil terbang makin jauh meninggalkan Edsel yang masih
menatapnya, kebingungan.
Hazel
terbang pelan dengan kepala tertunduk. Sebentar lagi fajar akan segera terbit.
Ia tak akan bisa menghindar. Amabel pasti mengetahuinya. Apa yang telah ia
lakukan.
“HAGH!!!”
Hazel terkejut dan berhenti seketika. Melayang dalam jarak ini dari sekuntum
bunga tulip, tempat tinggalnya. Nenek renta itu berdiri di atas salah satu
helai daun pohon bunga tulip yang menjadi tempat tinggal Hazel. Tamatlah riwayatku! Batin Hazel
ketakutan.
“Aku
jamuran menunggumu! Kenapa kau malah melayang seperti itu?”
“Am-mabel,
kak-kau…”
“Bantu
aku mempersiapkan bibit-bibit bunga edelweiss terbaik. Aku butuh bantuanmu.
Waktu kita tak banyak.”
“Bunga
edelweiss?? Kau tak marah padaku??”
“Aku
tak mau membuang sia-sia energiku untuk marah pada capung kecil sepertimu!
Lagipula hatiku sedang senang, mood
ku sempurna. Aku ingin menanamnya, bukan hanya bunga edelweiss namun
bunga-bunga lainnya. Ayo pergi!”
Hazel
tersenyum lega dan segera terbang menyusul Amabel.
***
Hazel
paham. Inikah alasan kenapa Amabel meminta bantuannya memilih bunga edelweiss
dengan kualitas terbaik. Pernikahan Putri Yocelyn dan Panglima Edsel. Malam itu
diam-diam Amabel menyelinap masuk dalam gedung dan membuat dekorasi yang sangat
indah untuk pesta perayaan pernikahan putri dan panglima.
Tidak
hanya kedua mempelai yang dibuat terpesona, namun semua yang melihat dekorasi
tempat pesta yang menurut para pelayan istana terjadi secara misterius. Pesta
di gelar begitu meriahnya. Undangan yang datang berjumlah tak sedikit. Putri
Yocelyn dan Panglima Edsel terlihat sangat bahagia.
Sepasang
mata elang Edsel menangkap sekelebat gadis. Gadis yang memperhatikannya lalu
sempat tersenyum padanya. Edsel bisa melihatnya walau wajah gadis itu tertutup
cadar ungu yang ia kenakan. Mata bulat nan indah gadis itu tak bisa
menyembunyikan senyum di balik cadar itu. Edsel mengejarnya. Menembus kerumunan
para tamu hingga keluar dari tempat pesta. Edsel berjalan cepat tak jarang
berlari kecil mengejar sosok misterius itu. Sampai di taman istana. Hening. Tak
ada siapapun disana. Hanya seikat bunga edelweiss yang tergeletak diatas bangku
taman yang berhasil ia temukan. Edsel memungutnya dan mengakati sekitar.
Benar-benar hening. Tak ada tanda-tanda adanya manusia lain selain dirinya.
Edsel tersenyum. Lalu ia mendongakan kepala, menatap langit malam yang begitu
terang karena cahaya bulan purnama di awal musin gugur ini. Edsel terbelalak
melihatnya. Naga terbang namun nun jauh tinggi di angkasa dan hanya tampak
seperti bayangan hitam yang bergerak mendekati bulan purnama yang sedang
bersinar sempurna.
***
“Aku
tak paham apa itu cinta dan mencintai. Aku pun tak hentinya dibuat heran kenapa
manusia menjadi sangat bodoh karenanya.” Hazel duduk menyangga dagu dengan
kedua tangannya.
“Senja
di musim gugur, sempurna bukan?” Suara yang terdengar kali ini begitu lembut,
suara seorang gadis.
Angin
musim gugur berhembus sedikit kencang diatas bukit hingga menyibak cadar hitam
yang menutupi wajah gadis ini, penyihir baik hati, Amabel Winola. Hazel
tersenyum melihat kecantikan yang sedikit mengintip dari balik cadar yang
bergoyang karena tiupan angin. Inilah wujud sebenarnya dari seorang Amabel
Winola. Gadis muda yang selalu mengenakan cadar, berkulit putih dan rambut
coklat keriting yang tergelung sebagian.
Cinta itu abadi, seperti keindahan bunga
edelweiss. Cinta yang ia miliki adalah cinta yang tak bersyarat. Cinta yang ia
pilih adalah cinta yang kemudian ia lepas untuk orang lain. Bukan karena ia
terlambat atau bukan karena ia tak bisa mendapatkannya. Ia bisa mendapatkan apa
yang ia inginkan dengan mudah, termasuk cinta yang ia pilih. Namun ia tak
melakukannya, walau ia memiliki mantra dan ramuan-ramuan yang mampu membuat
siapa saja bertekuk lutut di hadapannya. Ia memilih menumbuhkan cinta itu abadi
di dalam hatinya tanpa harus memiliki cinta yang ia pilih. Cinta yang tak ia
ungkapkan secara langsung dan tak akan pernah ia ungkapkan secara langsung.
Kami mencintai nafas hutan Orea ini tanpa bukan karena mantra-mantra yang ia
rapalkan atau ramuan-ramuan yang sengaja ia sebar. Kamu mencintainya seperti
dia mencintai hutan Orea dengan segenap jiwa dan raganya. Aku pun sama. Aku
akan tetap berada di sisinya. Berjuang bersama seperti dahulu. Karena aku
mencintainya seperti ia mencintai hutan Orea dan negeri Elsdon.
“Kau
bergumam dalam hati?” Tanya Amabel membuyarkan lamunan Hazel.
“Tid-tidak!”
“Sudah
gelap. Ayo kita bekerja.” Suara wujud wanita muda itu berubah kembali menjadi
nenek renta.
Hazel
tersenyum lalu terbang dan duduk di pundak Amabel yang sudah duduk diatas sapu
terbangnya.
THE END
shytUrtle
shytUrtle
0 comments