Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy - Land #50

04:09

 Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy

 


It's about rainbow, love, hate, glory, loyalty, betrayal and destiny.

 

 

. Judul: “Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy”

. Author: shytUrtle

. Rate: Serial/Straight/Fantasy/Romance.

. Cast:

-                  Song Hyu Ri (송휴리)

-                  Rosmary Magi

-                  Han Su Ri (한수리)

-                  Jung Shin Ae (정신애)

-                  Song Ha Mi (송하미)

-                  Lee Hye Rin (이혜린)

-                  Park Sung Rin (박선린)

-                  Song Joongki, L,Joe Teen Top, L Infinite, Jung Daehyun B.A.P, Jo Jonghwan 100%, Baro B1A4, Jang Geunsuk, Yoo Seungho, Kim Sunggyu Infinite, Choi Joonghun FT.Island, Cho Kyuhyun Super Junior, and many other found it by read the FF.

 

 

Ketika kau melihat pelangi, apa yang ada di benakmu? Tujuh warnanya yang indah atau...? Di sini, di Wisteria Land, kami percaya jika pelangi adalah jelmaan sang Naga. Naga arif dan bijaksana yang selalu mengawasi dan menjaga tanah Wisteria Land. Naga yang pada suatu waktu muncul dengan keelokan wujudnya dengan tujuh warna pelangi. Apa kau juga percaya akan hal ini?

 

 

Land #50

 

Usai mendengar berita ditemukannya mayat pria yang kemudian dikonfirmasi sebagai rekan sejawatnya, Shi Hoo langsung bergegas menuju Kastil Basil. Ratu Maesil yang telah menunggu menyambutnya dengan ramah. Namun, Shi Hoo justru dibuat muak karenanya.

"Yang Mulia yang melakukannya?" Tanpa basa-basi, Shi Hoo langsung bertanya perihal kematian Jun Ki.

"Melakukan apa?" Ratu Maesil balik bertanya.

"Yang Mulia!" Nada bicara Shi Hoo sedikit meninggi. "Haruskah kita melibatkan orang yang tidak bersalah?"

Senyum di wajah Ratu Maesil sirna mendengarnya. "Tidak bersalah katamu?! Kau tahu siapa itu Lee Jun Ki dan kenapa dia bisa bersama Trio Mae Hwa itu masuk ke Hwaseong Academy? Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?! Lee Jun Ki adalah anggota Lesovik yang dikirim untuk menjaga Trio Mae Hwa. Jangan-jangan, kau sengaja menyembunyikan hal ini dariku?!"

Shi Hoo terkejut mendengar penjelasan Ratu Maesil. Ia benar-benar tidak tahu jika Lee Jun Ki adalah anggota Lesovik.

"Kenapa aku harus turun tangan sendiri? Karena dia adalah salah satu kstria terbaik Lesovik. Petarung biasa tidak akan bisa melumpuhkannya."

Shi Hoo bungkam dalam duduknya. Ia masih belum bisa memercayai fakta yang dibeberkan Ratu Maesil tentang Lee Jun Ki. Saat mengajaknya beradu panahan, melihat kemampuan Jun Ki, sama sekali tak terbesit di benaknya jika Jun Ki adalah anggota Lesovik. Menurutnya wajar jika Jun Ki mahir, karena memanah termasuk salah satu olah raga populer di Wisteria Land.

"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Aku tak ingin kau terluka. Sekolah pasti akan mendesak duo Mae Hwa yang tersisa untuk berhenti. Jika surat itu benar akan segera dikeluarkan, kau yang harus mengantarkannya. Aku ingin melihat dari matamu, dari duo Mae Hwa yang tersisa, siapakah Putri Ahreum yang sebenarnya."

Shi Hoo bergeming.

"Acanthus!" Ratu Maesil meninggikan suaranya.

"Iya, Yang Mulia." Jawab Shi Hoo dengan lemah.

Ratu Maesil meredam rasa kesalnya karena melihat respon Shi Hoo yang tiba-tiba terlihat tak bersemangat. "Setuju atau tidak, peperangan akan segera dimulai! Aku sudah mengatur semuanya. Kau cukup duduk diam dan melihat."

Shi Hoo bergeming. Kepalanya tertunduk semakin dalam.

***

 

Lee Jun Ki, Jang Geun Suk, dan Yoo Seung Ho sudah keluar dari area Rumah Seni Snowdrop. Ketiganya menyusuri jalanan utama Kampung Lupin yang masih ramai dipadati pengunjung. Stan bazar belum berkurang. Semua masih buka dan melayani pengunjung dengan penuh semangat.

"Mereka seperti tidak pernah kehabisan energi. Bagaimana bisa? Tapi, memang sayang dilewatkan. Hyung, kita tidak sempat melihat bazar ini karena langsung masuk ke Rumah Seni Snowdrop ya." Seung Ho menghela napas panjang.

"Siapa yang merengek ingin cepat masuk karena takut nggak kebagian tempat?" Geun Suk mengingatkan pada permintaan Seung Ho.

"Arasho! Arasho! Tapi, aku puas kok! Dan nggak nyesel!" Seung Ho membela diri.

"Masih ada waktu. Kalian bisa jalan-jalan. Bazar sepertinya akan berakhir lewat tengah malam." Jun Ki menyela obrolan keduanya.

"Ssaem, mari berkeliling bersama!" Seung Ho antusias.

"Sayangnya Bapak tidak bisa. Ada hal yang harus Bapak selesaikan malam ini."

"Yah. Sayang sekali."

"Bersenang-senanglah, Anak Muda! Nikmati Sabtu malam yang indah ini. Bapak, pergi dulu."

"Hati-hati di jalan, Ssaem!" Seung Ho berseru pada Jun Ki yang sudah membalikkan badan dan berjalan menjauhinya. Kemudian, bersama Geun Suk ia berjalan-jalan di tengah bazar.

Jun Ki menyusuri jalanan ramai itu dengan langkah cepat. Ketika sudah keluar dari Kampung Lupin, ia mengembuskan napas lega. Ia merasakan udara yang lebih bebas kini. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan perjalanan dengan langkah biasa.

Langkah Jun Ki memelan ketika ia melewati jalan sepi yang akan membawanya menuju jalan raya utama tempat halte bus berada. Ia melihat sesosok wanita sedang duduk di tepi jalan dan terlihat kesulitan untuk berdiri. Sadar jika wanita itu membutuhkan bantuan, Jun Ki bergegas menghampirinya.

"Anda tidak apa-apa?" Tanya Jun Ki ketika sampai di dekat wanita itu. "Oh!" Ia terkejut ketika wanita itu mengangkat wajahnya. Ternyata wanita itu seorang nenek-nenek.

"Halmoni, apa yang Anda lakukan di sini?" Jun Ki berlutut di dekat nenek.

"Wanita tua tak tahu diri, itulah aku. Datang ke Festival Seni Kampung Lupin hingga lupa waktu dan lupa usia. Lututku lagi-lagi mengkhianatiku. Membuatku jatuh terduduk seperti ini. Teman-temanku sedang berusaha mencari taksi untuk menjemputku."

"Pasti Halmoni tadi sangat bersenang-senang." Jun Ki tersenyum tulus.

"Kampung Lupin lah yang terbaik!" Nenek itu memuji dengan suara penuh semangat. "Aku dan teman-temanku seolah kembali muda. Aigoo! Tapi, fisik ini tidak bisa berbohong." Nenek itu berdecak. "Anak Muda, kenapa kau sudah pergi? Padahal ini belum lewat tengah malam." Nenek itu tiba-tiba mendekati Jun Ki dan mengendusnya. "Aigo! Bahkan tidak ada aroma alkohol. Apa saja yang kau lakukan di sana?"

Lagi-lagi Jun Ki menunjukkan senyum tulusnya. "Hanya menonton pertunjukan salah satu anak didik saya."

"Kau seorang guru?"

"Nee."

"Aigo! Aigo! Pantas sopan sekali. Tapi, kenapa salah satu anak didikmu melakukan pertunjukan di Kampung Lupin? Bukankah murid-murid zaman sekarang bisa belajar seni di sekolah?"

"Nee. Murid saya sedikit unik. Dia tinggal di salah satu rumah seni di Kampung Lupin."

"Mwoya?!" Nenek itu memekik. Membuat Jun Ki terkejut. "Aigo! Maafkan aku. Tinggal di Kampung Lupin bisa jadi beban tersendiri baginya."

Jun Ki tersenyum melihat reaksi nenek itu. Memang benar, ia pun menyesalkan Magi dan Su Ri yang harus tinggal di Kampung Lupin. "Halmoni, mari saya bantu sampai ke jalan utama."

"Mwo?? Ah! Tidak! Tidak! Temanku pasti akan datang dengan taksi sebentar lagi."

"Bagaimana jika terlalu lama? Aspal ini sangat dingin. Jadi, mari pergi bersama-sama. Jika nanti teman-teman Halmoni datang dengan taksi, pasti kita akan bertemu karena jalan ini satu-satunya yang menghubungkan Kampung Lupin dengan jalan raya utama."

"Aduh. Bagaimana ya?"

Jun Ki mengubah posisinya menjadi membelakangi nenek. "Tolong naik ke punggung saya."

"Mwo?? Ya! Anak Muda! Kau ini—"

"Jika Halmoni tidak mau, saya akan turut duduk di sini menemani Halmoni."

"Aigo! Keras kepala sekali kau ini! Kau yakin tidak akan menyesal melakukan hal ini?"

"Tidak."

"Aigo! Baiklah."

Nenek naik ke punggung Jun Ki. Perlahan Jun Ki berdiri, membawa nenek di atas punggungnya dan mulai berjalan.

"Aku berat, kan?" Nenek kembali bicara setelah Jun Ki berjalan beberapa langkah.

"Lumayan."

"Aigo! Sudah kukatakan kau akan menyesal!" Nenek memukul punggung Jun Ki.

Jun Ki hanya tersenyum menggapinya.

"Kenapa kau melakukan hal ini?"

"Halmoni mengingatkan saya pada mendiang nenek saya. Sejak bayi saya tinggal di panti asuhan. Ketika masuk usia dewasa, saya harus keluar dari panti asuhan. Beruntung saya bertemu nenek baik hati yang mau menyewakan salah satu kamar di rumahnya untuk saya. Saya hidup dengan baik bersama beliau. Hari ini adalah tanggal saat kami pertama kali bertemu. Andai beliau masih hidup, pasti hari ini saya mengajaknya berkunjung ke festival."

"Romantis sekali. Tapi, karena malam ini kau tidak bisa mengajaknya jalan-jalan, maka aku akan mengantarmu untuk bertemu dengannya."

Setelah mendengar pernyataan nenek itu, Jun Ki merasakan sesuatu menusuk lehernya. Seperti gigitan semut, tapi sangat menyengat hingga membuatnya tersentak. Nenek di atas punggungnya tiba-tiba melompat turun. Jun Ki membalikkan badan, kedua mata sipitnya melebar ketika melihat sosok yang berdiri di belakangnya.

"Kak-kkau...." Jun Ki terbata. Tangan kanannya memegang lehernya yang terluka, sedang tangan kirinya menuding sosok wanita yang berdiri angkuh menatapnya.

Ratu Maesil menyeringai melihat Jun Ki mulai gontai. "Tidak perlu berterima kasih. Sebentar lagi, kau akan bertemu dengan nenek baik hati yang sudah menolongmu."

Dengan langkah berat, Jun Ki berusaha mendekati Ratu Maesil. Ratu Maesil tak gentar, tetap berdiri tenang di tempatnya berdiri. Kemudian ia berjalan mendekati Jun Ki. Ketika telah sampai satu langkah di depan Jun Ki, ia mengulurkan tangan kanan dan menarik baju Jun Ki, membawa pemuda itu lebih dekat padanya. Menyadari apa yang akan dilakukan Ratu Maesil, Jun Ki segera menutup matanya rapat-rapat.

"Buka matamu!" Ratu Maesil berteriak memberi perintah.

Jun Ki berusaha keras menutup kedua matanya.

"Dasar bodoh! Apa kau ingin aku mencongkel kedua bola matamu hingga keluar?!"

"Lak-kukan saja! Buk-kankah it-tu leb-leb-bih bb-bba-ik!" Jun Ki merasakan dadanya sesak hingga kesulitan bernapas dan dihujam rasa sakit.

"Bodoh!" Ratu Maesil menghempaskan tubuh Jun Ki hingga terlempar ke semak-semak di pinggir jalan. Lalu, ia membersihkan kedua tangannya yang baru saja menyentuh Jun Ki dan mendesah dengan kasar. "Dasar tak berguna! Kau pasti tidak memiliki informasi penting apa pun. Lagi pula, aku sudah tahu siapa yang aku cari."

"Kematianku tidak akan memberi dampak apa-apa!" Jun Ki berusaha bangkit.

Ratu Maesil terbahak. "Kau cukup tahu diri rupanya. Kalau begitu, selamat bertemu dengan nenek kesayanganmu. Jangan lupa untuk menonton pertunjukan yang aku buat dari atas sana." Ratu Maesil berjalan pergi. Meninggalkan Jun Ki yang sekarat di balik semak-semak.

Jun Ki berusaha kerasa menahan rasa sakit yang menghujam dadanya. Merayap di antara semak, ia berusaha menuju jalan dan berharap ada seseorang yang lewat dan akan menolongnya. Sekuat tenaga ia berusaha, secepat itu pula kegelapan datang memeluknya. Jun Ki tak sanggup lagi dan akhirnya menyerah. Ia terkapar di tengah semak dan menatap langit malam. Air matanya meleleh. "Yang Mulia, maafkan saya." Bisiknya yang kemudian menutup mata dan tak bergerak lagi.

***

 

Shin Ae mengepalkan kedua tangannya. Ia berusaha menguasai dirinya yang diliputi emosi. Park Shi Hoo berhubungan dengan Ratu Maesil, dan Ratu Maesil lah yang membunuh Jun Ki. Shin Ae merasa pusing. Meragukan dirinya sendiri karena tak akan mampu bertahan. Namun, tiba-tiba saja tangan hangat itu menyentuhnya. Tangan kiri Magi meraih tangan kanannya, menyalurkan rasa hangat yang menenangkan. Membuatnya mengangkat kepala dan menatap Magi yang tetap menundukkan kepala di depan Shi Hoo.

Benar, jika aku tidak ingin melihat itu semua, aku harus menghindari kontak mata dengannya. Tidak menutup kemungkinan saat ini Ratu Maesil memanfaatkannya untuk mengamati tempat ini. Menyadari hal itu, Shin Ae turut menurunkan pandangannya dan menghindari kontak mata dengan Shi Hoo.

Shi Hoo mengehela napas, menatap Magi yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapannya. "Bapak minta maaf harus menyampaikan hal ini saat ini juga. Setelah mendengar insiden ini, protes terus masuk. Karenanya sekolah akhirnya memutuskan untuk memberikan surat pemberitahuan ini pada kalian." Ia mengeluarkan dua buah amplop dari saku di dalam jasnya dan mengulurkannya pada Magi.

Magi menerima surat itu tanpa berkata apa-apa.

Su Ri yang melihatnya kebingungan. Lalu, ia memberanikan diri bertanya pada Shi Hoo, "Maaf. Apa kami dikeluarkan dari sekolah?"

Shi Hoo menoleh, menatap Su Ri dan kemudian tersenyum. "Tidak. Tapi, kalian tidak diizinkan datang ke sekolah. Kalian akan belajar dari rumah dan menerima materi secara online. Kalian berdua, Yoo Seung Ho, Jo Jong Hwan, dan Park Sung Rin."

"Mereka juga?!" Su Ri terkejut.

Shi Hoo menganggukkan kepala. "Walau Bapak berusaha membela, Bapak kalah suara. Maafkan Bapak."

Dia berusaha membantu kami? Rasanya janggal. Su Ri berbicara dalam hati. "Kamsahamnida, Seonsaengnim."

"Tetaplah bersemangat! Kalau begitu, Bapak pamit."

Shin Ae, Magi, dan Su Ri kompak membungkukkan badan di depan Shi Hoo. Shi Hoo menatap Magi sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan penghormatan.

Magi duduk di atas lantai, diikuti Shin Ae dan Su Ri. Su Ri meraih dua amplop di tangan Magi. Salah satu amplop bertuliskan namanya. Ia membuka amplop itu dan membaca isinya, kemudian mendesah panjang.

"Setidaknya tidak ada guru yang dikirim ke rumah. Akan sangat mengerikan jika itu Park Shi Hoo Seonsaengnim." Su Ri bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya.

"Setakut itu ya kalian pada Tuan Killer?" Shin Ae merespon ocehan Su Ri.

"Begitulah. Seperti ada monster yang sedang bersembunyi di balik wajah tampannya. Saya juga memperhatikan tingkah beliau sedikit aneh belakangan."

"Aneh bagaimana?" Shin Ae penasaran.

"Caranya menatap Magi..." Su Ri melirik Magi, "mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi, rasanya aneh. Seperti ada sesuatu yang beliau cari dari Magi dan juga sesuatu yang beliau sembunyikan dari Magi. Sempat terlintas dalam pikiran saya, apa mungkin Park Shi Hoo Seonsaengnim menyukai Magi?"

Magi menyunggingkan senyum mendengar analisis yang disampaikan Su Ri. "Terima kasih itu humornya, Han Su Ri. Bagaimana mungkin seorang guru menyukai muridnya?"

"Bisa saja! Di lingkungkan tempat tinggalku dulu ada yang seperti itu. Guru yang menikahi muridnya."

Magi menggelengkan kepala dan tersenyum. Masih dengan kepala tertunduk.

Senyum samar terkembang di wajah Shin Ae saat memperhatikan tingkah Su Ri dan Magi. Sebuah pemikiran terlintas di benak Shin Ae ketika ia teringat bagaimana Magi menyelamatkannya beberapa menit yang lalu. Ia menoleh dan mengamati Magi yang duduk di samping kirinya. Mungkinkah... benar yang dikatakan Hyu Ri? Bahwa Magi adalah Putri Ahreum yang sebenarnya? Dia mengenal Park Shi Hoo yang memiliki hubungan dengam Ratu Maesil?

Saat Shin Ae sibuk dengan pemikirannya sendiri, L.Joe datang bersama Tae Min. Keduanya menghampiri para gadis yang duduk di ruang penghormatan. Tatapan L.Joe dan Tae Min sama-sama terfokus pada Magi yang duduk dengan kepala tertunduk.

"Shin Ae, kita harus pergi sekarang." L.Joe beralih pada Shin Ae.

Shin Ae menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya. "Kami pergi dulu." Ia menangkap raut bingung di wajah Su Ri yang menatap L.Joe dan Tae Min secara bergantian. "Mereka berasal dari klan yang sama. Artinya, mereka masih kerabat."

"Oh begitu." Su Ri tersenyum canggung.

"Kalau begitu, kami pergi." Shin Ae mengulangi ucapan pamitnya.

"Nee. Terima kasih sudah datang." Su Ri yang sudah berdiri membungkukkan badan.

Magi bergeming di tempatnya duduk. Mengabaikan Shin Ae, L.Joe, dan Tae Min yang menatapnya.

L.Joe menghela napas, lalu meninggalkan ruangan lebih dulu. Shin Ae dan Tae Min berjalan berdampingan menyusulnya. Su Ri menghela napas dan kembali duduk di samping kiri Magi.

***

 

Hening selama beberapa saat setelah Shin Ae, L.Joe, dan Tae Min pergi. Magi tetap bungkam. Kepalanya masih tertunduk, membuat Su Ri merasa canggung.

"Kenapa bersikap dingin pada L.Joe Seonbaenim?" Tak tahan dengan pertanyaan di benaknya, Su Ri pun mengungkapkannya.

"Mulai sekarang, mereka harus menjauh dariku. Bahkan, kamu seharusnya juga begitu." Magi menjawab tanpa mengubah posisinya.

Su Ri merasa tertohok mendengarnya. Dia berada dalam lingkaran ini bukanlah kesalahan Magi. Semua itu karena keinginannya sendiri. Dia lah yang datang pada Magi. "Sudah berulang kali aku katakan, aku yang datang padamu. Semua ini bukan salahmu. Justru aku yang menjadi beban buatmu."

Suasana kembali hening.

"Setelah ini, kamu harus menuruti semua yang aku katakan." Magi memberi peringatan pada Su Ri.

"Yang—," Su Ri hampir saja memanggil Magi Yang Mulia, "kau merencanakan sesuatu?"

Sung Rin, Jong Hwan, dan Seung Ho masuk. Membuat Magi enggan melanjutkan ucapannya. Ketiganya duduk di atas lantai, bergabung dengan Magi dan Su Ri.

"Oh! Surat itu!" Seung Ho menuding amplop di pangkuan Su Ri. "Kupikir punya kalian akan ditunda sampai prosesi selesai. Rupanya pihak sekolah sudah tidak tahan. Apa Park Shi Hoo Seonsaengnim yang membawanya?"

"Iya. Bagaimana dengan kalian?" Su Ri penasaran.

"Datang pagi-pagi sekali. Karena itu aku memilih ke sini. Di tengah jalan aku bertemu Sung Rin. Saat sampai di sini, Jong Hwan juga baru sampai."

Su Ri menatap Jong Hwan. Rasa bersalah itu semakin memeluknya erat. "Mian. Karena kami, kalian jadi terkena imbasnya."

"Dimanapun tempatnya, masih bisa belajar kok." Sung Rin menenangkan.

"Bagaimana dengan orang tua kalian?" Magi mengangkat kepala, menatap Seung Ho, lalu Jong Hwan.

"Ayahku tahu tentang kekacauan ini. Di istana juga. Jadi, beliau nggak kaget aku turut terseret. Beliau lega aku mendapat surat harus belajar di rumah. Menyebalkan sekali!" Seung Ho menjawab lebih dulu.

Magi beralih menatap Jong Hwan.

"Sepertinya untuk sementara, aku tidak akan bisa menemui kalian." Jong Hwan menatap Su Ri dengan ekspresi menyesal, lalu ia beralih menatap Magi. "Ayahku lebih marah dari sebelumnya."

"Memang itu yang terbaik!" Jawaban Magi tegas. Membuat semua mata tertuju padanya. "Jangan membantah! Untuk sementara, tetaplah diam di dalam rumah kalian. Penjagaan di rumah gubernur pasti yang terbaik! Jadi, tolong jangan membantah. Demi keselamatan kalian. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan menjadi target berikutnya."

Seung Ho dan Jong Hwan sama-sama dibuat tidak nyaman dengan tatapan serius Magi. Wajah dingin dan ekspresi itu membuat keduanya merasa tertekan.

"Padahal aku ingin kita belajar bersama." Seung Ho berkata lirih.

"Ayahku hendak mengirimku ke vila pribadi kami." Jong Hwan mengeluh dengan lirih.

Keluhan dua pemuda itu tak membuat Magi goyah. "Yang terbaik untuk saat ini adalah menjaga jarak dari kami. Aku tidak ingin salah satu dari kalian terluka karena kami."

"Kenapa kami harus menjauh?! Kenapa harus kalian yang menanggungnya? Ratu Maesil bodoh! Bukankah seharusnya kibarkan langsung bendera perang pada Song Hyu Ri! Putri Ahreum yang sekarang sudah berada di istana. Kenapa harus meneror kita?" Seung Ho meluapkan kekesalannya.

Mendengarnya, dada Magi seolah dihantam batu besar. Apa yang dikatakan Seung Ho benar adanya. Semua kemalangan itu adalah karenanya. Semua itu bukan salah Hyu Ri. Hyu Ri pun harus menanggung kemalangan karena kesalahannya. Semua kekacauan dan kemalangan yang terjadi saat ini adalah karena ketidakmampuannya melindungi orang-orang di sekitarnya.

Hampir saja emosinya meledak karena luapan kekesalan Seung Ho. Beruntung Magi bisa menahan diri. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah dan kembali menundukkan kepala.

Su Ri bingung. Tak tahu harus berbicara apa. Ia takut ucapannya justru akan semakin melukai hati Magi.

"Walau tak menyukainya, tapi hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang. Aku yakin, Song Hyu Ri, anee, maksudku Putri Ahreum," Sung Rin melirik Magi, "juga telah berusaha keras untuk kita. Jika dengan diam di rumah kita bisa membantu rencana yang sudah disusun Putri Ahreum untuk melawan Ratu Maesil, menurutku tidak ada salahnya kita melakukannya. Mari sama-sama menahan diri walau kita sangat kesal dibuatnya."

Seung Ho mengembuskan napas dengan kasar. "Benar! Aku harap Putri Ahreum lekas bertindak. Agar semua bisa kembali normal."

Su Ri dan Sung Rin saling melempar pandangan. Lalu, kompak mengalihkan pandangan dan menatap Magi yang duduk dengan kepala tertunduk dalam-dalam.

***

Su Ri mengantar Jong Hwan dan Seung Ho yang akan pulang.

Seung Ho menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat. "Sampai bertemu lagi saat proses pemakaman. Aku usahakan datang." Ia menyanggupi.

"Aku iri padamu. Ayahmu lebih santai menanggapi hal ini." Jong Hwan mengungkap apa yang ia rasakan.

"Aku lebih iri pada Su Ri, Magi, dan Sung Rin. Jadi orang biasa itu lebih menyenangkan. Lebih bebas."

Su Ri tersenyum mendengar keluhan Seung Ho. Andai pemuda itu tahu betapa sesak yang ia rasakan sekarang karena harus berbagi ruang hidup bersama Putri Ahreum yang asli. "Jangan saling mengeluh. Setiap orang punya beban dan masalah masing-masing."

"Benar. Jong Hwan, aku tunggu di halte ya!" Seung Ho menepuk pundak Jong Hwan. Memberi kesempatan pemuda itu untuk berpamitan pada Su Ri.

Su Ri dan Jong Hwan berdiri berdampingan. Menatap Seung Ho yang berjalan semakin menjauh.

"Aku setuju dengan Magi. Ikuti saja apa yang akan dilakukan ayahmu. Semua itu demi keselamatanmu." Su Ri tak ingin membuang waktu. Terlalu lama berada di samping Jong Hwan akan membuatnya semakin rapuh. "Jangan mengkhawatirkan aku. Walau tidak tahu ini akan berlangsung sampai kapan, mari bertahan."

"Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu. Karena aku tahu, kamu berada di samping orang yang tepat. Aku hanya kesal, karena akan lama tidak bertemu denganmu."

Jawaban Jong Hwan membuat Su Ri terkejut hingga menoleh dan menatap pemuda itu.

Jong Hwan tersenyum, mengubah posisinya jadi menghadap pada Su Ri. Diraihnya tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. "Aku pasti akan sangat merindukanmu, Han Su Ri. Aku yakin Magi bukan orang biasa. Selama berteman dengannya, semakin membuatku yakin."

Jantung Su Ri seolah terjun bebas ketika mendengar ucapan Jong Hwan yang begitu dekat di telinga kanannya. Apa dia tahu? Jika Magi adalah Putri Ahreum yang sebenarnya?

"Melihat bagaimana Magi melindungimu dan Song Hyu Ri, anee, maksudku Putri Ahreum selama ini, aku yakin dia bukan orang biasa. Bisa jadi dia adalah anggota Lesovik, kan?"

Su Ri tak sepenuhnya lega. Kecurigaan Jong Hwan benar adanya. Namun, setidaknya Jong Hwan percaya bahwa Hyu Ri adalah Putri Ahreum saat ini. "Aku pun curiga begitu." Ia mendukung analisis Jong Hwan.

"Karenanya, aku tak mengkhawatirkanmu. Lesovik organisasi yang tidak pernah melukai kaum lemah. Aku yakin kamu aman bersama Magi. Kamu harus menuruti apa katanya, mm?"

Su Ri mengangguk dalam dekapan Jong Hwan.

Jong Hwan melepas pelukannya dan mengecup kening Su Ri. "Mari sama-sama bertahan."

Su Ri merasakan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya ketika Jong Hwan mengecup keningnya. Ia pun menganggukkan kepala. Setuju untuk sama-sama bertahan bersama Jong Hwan.

***

Sung Rin menemani Magi saat Su Ri mengantar Jong Hwan dan Seung Ho keluar. Magi duduk bersila dengan punggung tersandar pada dinding. Kedua tangannya terlipat di dada dan kedua matanya terpejam. Sung Rin duduk diam. Tak berani mengganggu kekhusyukan Magi.

"Tidak akan pergi?" Tanya Magi tanpa mengubah posisinya.

"Sementara di sini saja."

"Ada tindakan dari panti asuhan?"

Sung Rin terkejut mendengarnya. Setelah mengetahui ia mendapat surat dari sekolah perihal pemberitahuan harus belajar di rumah, Kepala Panti memanggilnya untuk menghadap. Beliau berencana mengeluarkannya lebuh cepat dari jadwal seharusnya. Di panti asuhan tempat tinggalnya, gadis akan dikeluarkan dari panti setelah lulus SMA. Dengan alasan keamanan, Kepala Panti berencana mengeluarkannya tiga hari lagi. Artinya setelah prosesi pemakaman digelar.

"Tinggallah bersama Su Ri di Rumah Seni Snowdrop."

"Iye??" Sung Rin terkejut mendengar perintah Magi.

Magi membuka mata. "Bisa lepas dari sekolah, mengurangi satu bebanku. Seung Ho dan Jong Hwan punya orang tua hebat. Mereka pasti aman. Setelah surat itu tiba, keberadaanmu di panti asuhan pasti dianggap sebagai gangguan. Tinggallah bersama Su Ri. Rumah Seni Snowdrop bisa menjadi tempat yang aman bagi kalian."

Sung Rin tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu Magi tidak akan tinggal diam melihanya ditendang dari panti asuhan. Namun, mendapati kenyataan Magi benar-benar membantunya, membuatnya merasa campur aduk. Ia yang seharusnya menjaga Magi, justru menjadi beban bagi Magi.

"Kamu tidak membebaniku."

Sung Rin terkejut karena Magi mengetahui isi pikirannya. "Buk-bukan begitu." Untuk pertama kalinya ia merasa gugup di depan Magi.

"Jangan membantah! Ini perintah!"

Mendengar titah itu, Sung Rin tak berani berkata-kata lagi.

"Maafkan aku yang terlambat menyapamu, Achillea."

Tubuh Sung Rin terasa kaku ketika Magi menyebut nama yang ia gunakan sebagai nama samaran dalam Lesovik.

"Ssaem, aku menyesal tidak sempat menyapa beliau. Harusnya aku bertindak lebih cepat."

Sung Rin terpaku. Ia tak menduga Magi mengetahui jati dirinya sebagai anggota Lesovik.

"Maaf karena terlalu tiba-tiba. Setelah ini, tugas yang akan kuberikan pada Achillea adalah menjaga Rumah Seni Snowdrop dan Han Su Ri."

Kedua tangan Sung Rin di atas pangkuannya meremas baju. Ia tak menyesali tugas itu, tapi jauh di dasar hatinya, ia ingin mengawal Magi hingga akhir. Ia bergabung dengan Lesovik yang menolongnya demi membalas dendam pada para pengikut Ratu Maesil yang membuatnya yatim piatu dan harus tinggal di panti asuhan. Jika tugasnya adalah menjaga Rumah Seni Snowdrop, ia merasa tidak akan memiliki kesempatan untuk balas dendam.

"Bersabarlah. Saat waktunya tiba, kita pasti akan berdiri berdampingan untuk berperang." Magi meraih tangan Sung Rin dan menggenggamnya erat.

Ada rasa hangat yang menjalar saat Magi mengegenggam tangan kananya. "Perintah diterima!" Sung Rin meletakkan tangan kirinya di atas tangan Magi. Ia tak mampu lagi membendung air matanya.

"Gomawo, Achillea." Magi menepuk-nepuk tangan Sung Rin.

Su Ri yang baru kembali dibuat terkejut karena melihat Sung Rin menangis tersedu. Ia berpikir, mungkin Sung Rin terbawa suasana karena Magi terlihat begitu kehilangan. Tanpa berkata apa-apa, ia mendekat dan duduk bergabung bersama Magi dan Sung Rin.

***

Setelah melayat, Shi Hoo menuju Kastil Basil sebelum kembali ke sekolah seperti apa yang diminta Ratu Maesil. Ia menjadi perwakilan Hwaseong Academy untuk melayat ke rumah duka. Kepala Sekolah menjanjikan staf akan hadir saat prosesi pemakaman nanti. Baginya keputusan itu sangat tak adil. Bagaimanapun, Jun Ki adalah bagian dari Hwaseong Academy. Harusnya Kepala Sekolah turut datang melayat hari ini walau hanya sebagai simbol saja. Namun, ia tak bisa menuntut orang lain untuk bisa menghormati kematian seseorang. Jauh di dasar hatinya, ia juga tidak bisa menerima tindakan Ratu Maesil yang tiba-tiba memutuskan untuk menghabisi nyawa Jun Ki tanpa meminta persetujuannya lebih dulu.

Ratu Maesil yang sudah menunggunya memintanya segera mendekat. Shi Hoo dan Ratu Maesil berdiri berhadapan. Ratu Maesil menatap lekat-lekat kedua mata Shi Hoo. Berusaha menggali apa saja informasi yang berhasil dikumpulkan Shi Hoo di ruamh duka.

"Sial!" Ratu Maesil mengumpat. Ia berjalan mondar-mandir di depan Shi Hoo karena kesal. Ia tidak bisa melihat apa-apa dari mata Shi Hoo kecuali kabut abu-abu tipis.

"Apa saja yang kau lakukan di sana, Acanthus!" Umpatnya.

"Melaksanakan perintah Yang Mulia."

Ratu Maesil menggeram kesal. "Tapi kenapa hanya kabut abu-abu yang terlihat?!"

"Iye??"

"Kau tidak mendekati gadis itu!" Ratu Maesil berhenti tepat di depan Shi Hoo dan menuding pria itu.

"Nee? Ah! Saya menemui duo Mae Hwa dari dekat. Bahkan sangat dekat." Shi Hoo merasakan panas di wajahnya saat ia mengingat bagaimana ia berdiri dekat di depan Magi tadi.

"Sial! Gadis itu berani main-main denganku!"

"Yang Mulia, apa Yang Mulia yakin salah satunya adalah Putri Ahreum yang asli?"

"Jika bukan, kenapa kita menghadapi kebodohan ini?! Jangan berlagak bodoh, Acanthus! Apa kau sengaja melakukan ini padaku?"

"Animnida. Saya tidak berani." Shi Hoo menundukkan kepala.

"Jika ini maumu, baiklah! Mari bermain-main!" Ratu Maesil berjalan cepat menuju singgasananya, lalu menjatuhkan pantatnya dengan kasar di atasnya.

Shi Hoo yang masih berdiri di posisinya menatap Ratu Maesil yang duduk merenung di atas singgasananya. Ia penasaran pada apa yang direncakan Ratu Maesil berikutnya.

***

Shin Ae dalam perjalanan menuju Istana Magnolia untuk menemui Hyu Ri. Ia telah berjanji pada Hyu Ri akan berkunjung usai ia melayat. Sepanjang jalan, ia melamun. Memikirkan kejadian di saat di ruang penghormatan. Magi menolongnya di saat yang tepat. Harusnya ia pergi menemui Hye Young terlebih dahulu. Namun, waktu berkunjung ke Istana Magnolia dibatasi. Jadi, ia memutuskan untuk mengunjungi Hyu Ri lebih dahulu.

Saat sampai, Shin Ae melihat ada pengawal dan dayang Raja di Istana Magnolia. Ia yakin Joong Ki ada di dalam. Mungkin sengaja berkunjung untuk menghibur Hyu Ri. Shin Ae hendak pergi ketika Dayang Choi menemukannya dan memanggilnya. Dayang Choi mengatakan jika orang yang paling ditunggu-tunggu Hyu Ri adalah dirinya. Mendengar hal itu, Shin Ae urung pergi dan memutuskan menemui Hyu Ri walau ada Raja bersamanya.

Hyu Ri dan Joong Ki duduk mengitari satu meja yang sama di ruang tamu Istana Magnolia. Usai memberi salam, Shin Ae dipersilahkan untuk melaporkan maksud kunjungannya. Shin Ae berdiri tak jauh dari meja, bersiap melapor. Namun, Hyu Ri merasa tak nyaman dengan hal itu. Ia pun mengundang Shin Ae untuk duduk bergabung. Walau sempat menolak, Shin Ae akhirnya duduk mengitari meja yang sama dengan Raja. Joong Ki tersenyum melihat tingkah Hyu Ri. Ia memakluminya karena Hyu Ri dan Shin Ae adalah teman satu sekolah.

Shin Ae melaporkan situasi di rumah duka serta kondisi Magi dan Su Ri. Mendengar tentang Magi, bukan hanya Hyu Ri yang dibuat sedih. Joong Ki juga merasakan hal yang sama. Tenggat waktu yang ia berikan pada Magi untuk memberi keputusan pada tawarannya bertepatan dengan hari pemakaman. Ia tidak akan mempermasalahkan jika Magi terlambat, karena gadis itu sedang berduka.

"Magi memang cukup dekat dengan Seonsaengnim. Saat di SMA Mae Hwa, aku sering melihatnya membantu Seonsaengnim. Tadinya kupikir mereka bersaudara. Seonsaengnim seperti satu-satunya teman yang dimiliki Magi di SMA Mae Hwa. Wajar jika Magi begitu terpukul karena kepergian Seonsaengnim. Harusnya aku berada di sana dan menghiburnya." Hyu Ri mengusap air matanya yang meleleh.

"Rosemary Magi pasti memaklumi kondisi Yang Mulia." Shin Ae menenangkan.

"Tidak bisa kah saya pergi ke pemakaman?" Hyu Ri memohon pada Joong Ki. "Kesempatan terakhir bagi saya untuk memberi penghormatan pada Seonsaengnim yang selama ini telah mendidik dan menjaga saya."

Secara pribadi Joong Ki ingin memberi kesempatan pada Hyu Ri untuk memberikan penghormatan terakhir. Namun, kehadiran Hyu Ri pasti akan menyita perhatian dan bisa berakibat fatal jika sampai informasi bocor. Pihak lawan bisa saja mengambil kesempatan untuk membunuhnya.

"Secara pribadi aku ingin memberi Yang Mulia kesempatan. Tapi, seperti yang kita semua tahu, hal itu tidak akan mudah." Joong Ki menolak permintaan Hyu Ri dengan halus.

"Benar sekali." Hyu Ri pasrah. "Semua jadi begini merepotkan." Ia mengeluh dengan pandangan kosong.

"Sebenarnya ada satu cara." Shin Ae menyela. "Yang Mulia Tuan Putri bisa pergi secara diam-diam. Menyamar. Namun, tetap dalam pengawalan."

"Tetap saja itu terlalu berisiko." Joong Ki keberatan.

"Semua tindakan memiliki risiko. Pilihannya hanya satu, bergerak dan berani mengambil risiko itu, atau diam dan kemudian menyesal."

"Aku memilih bergerak dan berani mengambil risiko. Karena aku tidak mau menanggung penyelasan yang terus akan aku bawa selama sisa hidupku." Hyu Ri menyetujui usulan Shin Ae. "Tenang saja. Saya tidak akan kabur. Saya hanya ingin memberi penghormatan terakhir untuk Seonsaengnim."

Joong Ki diam. Menimbang usulan Shin Ae.

***

"Apa??" L.Joe merasa salah dengar.

"Ayah hanya ingin kamu aman." Lee Byung Man mempertegas permintaannya.

"Bukankah, dulu Aboji yang memintaku menjaganya? Kenapa sekarang Aboji memintaku mundur?"

"Kamu selalu melakukan yang terbaik. Ayah tahu itu. Tapi, situasi saat ini benar membuat Ayah rapuh. Ayah takut sesuatu yang buruk menimpamu karena kamu dekat dengan Yang Mulia Tuan Putri Ahreum."

"Aku dan Magi tidak sekadar dekat. Kami sepasang kekasih. Berhenti memintaku pergi dari sisinya. Karena, aku tidak akan pernah melakukannya!"

"Yang Mulia pasti akan memahami situasi ini. Pergilah ke luar negeri. Temui Noona-mu dan lanjutkan pendidikanmu di sana."

"Shireo!" L.Joe dengan nada meninggi.

Nyonya Lee menghela napas panjang. "Daripada menyuruhnya melarikan diri, kenapa tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan saja?"

"Aku setuju dengan Omoni!" L.Joe setuju.

"Mendiang Raja membantu kita hingga kita bisa seperti ini. Semua yang kita miliki saat ini, sebenarnya adalah milik Yang Mulia Tuan Putri Ahreum. Apa kamu ingin kita berkhianat?"

"Bukan begitu, Istriku. Tentu saja aku sudah mempersiapkan semuanya. Hanya saja, aku ingin Byung Hun tetap aman."

"Kamu pikir mengirimnya keluar negeri dalam situasi seperti ini membuatnya aman? Tindakanmu bodoh, Lee Byung Man! Itu justru akan menarik perhatian."

Walau kesal, Byung Man membenarkan ucapan istrinya.

"Kau bilang Leshy meminta pertemuan usai prosesi pemakaman? Ikuti saja rencana mereka. Daripada mengirim Byung Hun keluar negeri, aku akan mengirimnya ke perkebunan."

"Omoni!" L.Joe protes.

"Ada hal yang harus kamu lakukan. Anee, bukan kamu, tapi kita. Kita harus mempersiapkan tempat yang aman untuk Yang Mulia jika sesuatu terjadi di markas besar Lesovik, Kastil Asphodel."

L.Joe diam dan menganggukkan kepala. Lebih baik pergi sejenak daripada pergi keluar negeri untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

"Semoga saja tidak ada hal buruk terjadi sampai prosesi pemakaman selesai."

L.Joe dan Byung Man mengamini dalam hati.

***

 

Magi, Su Ri, dan Sung Rin turut di dalam mobil jenazah yang menuju pemakaman umum. Sesampainya di tempat pemakaman, Magi berdiri paling tengah dan membawa foto Jun Ki.

Sesuai janjinya, Kepala Sekolah dan staf Hwaseong Academy hadir dalam prosesi pemakaman. Beberapa murid Hwaseong Academy termasuk Seung Ho, Jong Hwan, L.Joe, dan Tae Min turut hadir dalam pemakaman.

Shin Ae dan Geun Suk datang dalam penyamaran menemani Hyu Ri. Walau kesempatan terakhir bagi Hyu Ri, ia tidak bisa terlalu dekat karena takut penyamarannya terbongkar. Ia tidak bisa menahan air mata, terlebih saat melihat Magi berjalan di belakang peti jenazah sembari membawa foto Jun Ki dalam pelukannya. Ingin sekali ia berlari dan memeluk Magi. Namun, Shin Ae merangkul erat pundaknya. Hyu Ri pun sadar. Ia harus menahan diri. Bisa keluar dan mengantar Jun Ki ke peristirahatan terakhirnya adalah berkah besar baginya. Ia tidak ingin mengacaukannya.

Magi menatap kosong peti jenazah yang diturunkan ke dalam liang lahad. Kenangan bersama Jun Ki semasa pria muda itu hidup muncul dalam ingatannya. Ia tidak memiliki teman sama sekali saat memasuki SMA Mae Hwa. Beberapa murid nakal bahkan sempat menjahilinya. Suatu hari saat pulang sekolah, sekumpulan preman mencegatnya. Di sekolah, Magi sudah terbiasa melawan geng murid nakal yang jumlahnya tidak hanya satu. Namun, dicegat preman adalah hal yang pertama baginya. Terlebih jumlah preman itu lebih dari lima orang. Menghitung kemungkinan, kecil baginya untuk menang jika bertarung hanya dengan mengandalkan kekuatan fisiknya.

Karena tidak ada pilihan, Magi memutuskan tetap melawan dan berniat akan menggunakan sedikit kekuatan sihirnya. Tiba-tiba seseorang berdiri di samping kanannya. Pria yang ia kenal sebagai Lee Jun Ki Seonsaengnim. Guru tertampan di SMA Mae Hwa.

"Kali ini kau pasti tidak akan bisa menanganinya sendiri. Jadi, biarkan aku ikut campur." Kata Jun Ki sembari menunjukkan senyum terbaiknya.

Dari peristiwa itu, persahabatan antara Magi dan Jun Ki dimulai. Jun Ki menjadi satu-satunya teman Magi di SMA Mae Hwa. Itu alasan kenapa Magi sering terlihat bersama Jun Ki saat berada di sekolah. Jun Ki pula yang meminta Magi untuk mencoba akrab dengan Su Ri dan Hyu Ri yang akan ditransfer ke Hwaseong Academy.

Magi memejamkan kedua matanya. Andai saja malam itu ia meluangkan lebih banyak waktu untuk menemani Jun Ki, pasti ia tidak akan menyesal seperti ini. Ia fokus melindungi Su Ri, hingga abai pada Jun Ki yang masih ada satu lingkaran bersamanya. Ratu Maesil berhasil menghabisi Jun Ki dengan cara curang. Cara yang sama yang digunakan untuk membunuh kedua orang tuanya. Semakin erat ia memeluk bingkai foto dalam dekapannya. Mianhamnida, Seonsaengnim. Maafkan aku yang terlalu lambat mengambil langkah. Aku tidak akan diam lagi. Tolong, tetap temani aku. Walau kita telah berada dalam dimensi yang berbeda.

***

 

 

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews