My 4D's Seonbae - Episode #17 "Jika Ini Hanya Permainan, Kenapa Ada Rasa Cemburu?"
05:17
Episode #17 "Jika Ini Hanya Permainan, Kenapa Ada Rasa Cemburu?"
Rasa
kesal itu masih menyelimuti dada Jihoon. Sejak kencan pertama di hari Minggu,
ia belum bertemu secara pribadi dengan Luna. Kemarin, ia berharap bisa ngobrol
sejenak dengan Luna usai gadis itu membantu Daehwi memberikan lembar kuisioner
pada Joohee.
Jihoon
menunggu dengan sabar, Luna tak membalas satu pun pesannya. Tapi, gadis itu
malah berkirim pesan pada Daehwi. Namun, bukan pesan Luna pada Daehwi yang
membuatnya kesal dan marah. Keberadaan Luna dan Taemin di taman lah yang
membuat amarah di dadanya membludak.
Jihoon
sudah bertekad bulat untuk menegur Luna yang memilih duduk berduaan di taman
bersama Taemin daripada menemuinya yang sudah lama menunggu di basecamp Klub Teater bersama Daehwi.
Namun, Daehwi mencegahnya. Myungsoo dan Hyuri sampai lebih dulu di tempat Luna
berada.
Bukannya
ia menyerah begitu saja pada Daehwi. Tapi, logikanya masih bisa mengambil alih
dan menguasai emosinya. Akan berdampak tak baik bagi semua jika Jihoon tak bisa
menguasai diri di depan para seniornya yang terkenal di sekolah itu. Terlebih
ia telah bertekad untuk menghapus 'monster' yang bersembunyi di dalam dirinya.
Semalam
ia pun sudah meluapkan kekesalannya pada samsak yang tergantung di ruang olah
raga di rumahnya. Tapi, pagi ini Jihoon belum berhasil meredakan rasa kesal di
hatinya. Ia bahkan tak menghubungi Luna sama sekali. Sialnya, Luna pun tetap
tak membalas pesan-pesannya.
Jihoon
menghembuskan napas dengan kasar. Ia menatap kertas-kertas yang keluar dari
mesin fotocopy. Ia sedang berada di ruang fotocopy. Sendirian. Ia tak bisa
konsentrasi di kelas saat pelajaran berlangsung. Ketika guru di depan kelas
meminta bantuan untuk menggandakan lembaran materi, Jihoon menawarkan diri.
Suara
ketukan di pintu membuyarkan lamunan Jihoon. Belum sempat ia menjawab, pintu
itu terbuka. Membuat kedua mata cantik Jihoon melebar. Ia terkejut karena yang
muncul dari balik pintu adalah Luna. Ada rasa senang menyeruak di dadanya. Tapi
bersamaan dengan itu, rasa kesal itu pun kembali menguat.
“Tumben
kamu mau melakukan pekerjaan suka rela kayak gini.” Luna berdiri di samping
mesin fotocopy yang masih bekerja. “Wah, masih lama ya.” Ia mengamati tulisan
pada monitor mesin fotocopy.
Jihoon
diam saja. Tak merespon.
Luna
melirik kertas yang menumpuk di sisi kiri mesin fotocopy. “Apa perlu aku bantu
merapikannya?”
“Kemarin,
ngapain di taman sama Taemin Seonbae?” Kalimat itu meluncur cepat dari mulut
Jihoon.
Luna
memutar tubuhnya, menghadap pada Jihoon. “Nggak ngapa-ngapain. Aku lagi duduk
nungguin Hyuri Seonbae yang tiba-tiba minta bertemu. Taemin Seonbae lewat dan
menghampiriku. Lalu, duduk menemaniku. Dia berterima kasih soal Bae Jinyoung
dan Lucy. Kalau kamu tahu kami di sana, kenapa kamu nggak gabung aja?”
Jihoon
menatap wajah Luna yang berdiri tak jauh di depannya. Ekspresi gadis itu
santai. Tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali walau ia bertanya soal
keberadaan Taemin kemarin. Tapi, ia tak paham kenapa wajah gadis itu dihiasi
semburat warna pink.
Luna
masih menatap Jihoon yang bungkam. Lalu, ia menyadari sesuatu. “Jihoon, jangan
katakan kalau kamu cemburu?” Ia mengatakan dugaannya.
Kedua
mata cantik Jihoon melebar mendengarnya. “An-anee…” ia membantah tuduhan Luna.
Seketika wajahnya terasa panas.
Luna
tersenyum dan berkacak pinggang. “Park Jihoon, di awal kita membuat
kesepakatan, kita telah berjanji untuk tidak melibatkan perasaan masing-masing,
kan? Bagaimanapun juga, hubungan kita ini hanya pura-pura. Hanya sebuah
permainan. Kebetulan sekali, sebenarnya aku pun ingin menegurmu soal tindakanmu
hari Minggu lalu. Saat kamu mengantarku pulang. Kamu sudah bertindak terlalu
jauh Park Jihoon. Aktingmu keterlaluan.”
Gemuruh
itu memenuhi ruang di dalam dada Jihoon hingga membuatnya merasa sesak. Ia
mulai tak bisa mengontrol dirinya. Napasnya mulai menderu. Ia tidak suka
mendengar Luna menegurnya seperti itu. “Apa Seonbae bukan manusia? Apa Seonbae
robot?”
Luna
memiringkan kepala. Mengamati ekspresi Jihoon yang berubah. “Bukankah yang aku
katakan benar adanya? Hubungan kita hanyalah permainan yang kita buat dan kita
sepakati. Karenanya, jangan libatkan perasaan.”
“Iya.
Seonbae benar! Hubungan kita hanya pura-pura! Sebuah kesepakatan yang kita buat
demi melindungi satu sama lain. Tapi, nggak bisakah hubungan itu jadi hubungan
nyata?”
Konsentrasi
Luna yang mendengarkan ocehan Jihoon terbagi. Walau deru mesin fotocopy
memenuhi ruangan, ia merasa mendengar sesuatu dari balik pintu yang tertutup.
Ia berjalan pelan mendekati pintu.
Jihoon
yang sedang dipuncak emosi memperhatikan tingkah Luna. “Seonbae!” Ia meraih
tangan kanan Luna.
Kedua
mata bulat Luna melebar. Terkejut karena Jihoon tiba-tiba memegang tangan
kanannya. Ia meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di bibirnya. Meminta
Jihoon diam. Perlahan Jihoon pun melepas pegangan tangannya pada lengan Luna.
Luna
membuka pintu dan benar terkejut. Ia menemukan Daniel yang berdiri di depan
pintu dengan memegang sebuah kertas. “Daniel?”
Jihoon
mengerutkan kening melihat Daniel berada di depan pintu yang terbuka. Ia
menyeret Daniel masuk ke dalam ruang fotocopy dan menutup pintu. Kemudian ia
menyambar seragam Daniel dan mencengkeramnya. “Apa yang kau lakukan di luar
sana?! Menguping?”
Daniel
terkejut karena Jihoon tiba-tiba menyerangnya. Ia terhuyung ke belakang dan
tubuhnya menabrak mesin fotocopy yang sudah berhenti bekerja. Melihat adegan
hampir berkelahi yang tersaji di depannya sama sekali tak membuat Luna panik.
Ia berjalan mendekati Jihoon dan Daniel. Meraih tangan Jihoon yang meremas
seragaman Daniel. Meminta pemuda itu melepaskannya. Jihoon berontak. Matanya
merah dan berkilat penuh amarah.
“Hentikan.”
Luna berkata dengan lembut. Ia berusaha membuat tangan Jihoon melepaskan
Daniel. “Park Jihoon…”
Napas
Jihoon terengah-engah. Matanya yang penuh amarah menatap Luna yang balas menatapnya
dengan tenang.
“Jebal,
geumanhae.” Luna memohon.
Genggaman
Jihoon pada seragam Daniel mulai merenggang dan akhirnya terlepas sepenuhnya.
Daniel yang terlepas dari cengkeraman Jihoon menghela napas. Ia benar-benar
syok karena ulah Jihoon.
Luna
tersenyum manis pada Jihoon. Kemudian ia mengumpulkan kertas hasil fotocopy milik
Jihoon dan menyerahkannya. “Semua akan baik-baik saja. Kembalilah ke kelas.
Jangan membuat masalah. Mm?” Ia membujuk Jihoon.
Jihoon
yang masih berusaha menguasai emosinya melirik Daniel yang berdiri di dekat
mesin fotocopy.
“Aku
akan mengurusnya. Atau, nanti kita bisa bertemu dan membicarakan masalah ini
bertiga. Di luar sekolah. Aku bisa menjamin jika Daniel tidak akan berbuat
macam-macam.”
Jihoon
mengalihkan pandangannya pada Luna. Gadis itu masih terlihat tenang seolah
sebelumnya tak terjadi apa-apa. Ia mengerutkan kening. Tapi, kemudian menyerah.
Ia mengambil alih kertas di tangan Luna dan keluar dari ruang fotocopy.
Meninggalkan Luna dan Daniel.
***
“Kamu
baik-baik aja?” Luna menghampiri Daniel usai Jihoon pergi.
Daniel
hanya bisa menganggukkan kepala. Ia masih syok usai menerima perlakuan
mengejutkan dari Jihoon.
“Kamu
terburu-buru? Kalau iya, kamu boleh pakai mesinnya dulu.”
Daniel
tercenung. Kenapa dia setenang itu?
Ia membatin.
“Daniel?”
“Eng,
anu. Seonbae bisa pakai dulu. Kan aku datang belakangan.” Daniel terbata dan
bergerak minggir.
Luna
pun menggunakan mesin fotocopy. Daniel berdiri diam memperhatikan Luna yang
sibuk dengan mesin fotocopy.
“Maafkan
Park Jihoon ya.” Luna bersamaan dengan mesin fotocopy yang mulai bekerja menggandakan
kertas yang dibawanya.
“Eng,
iya. Nggak papa.” Daniel kikuk.
Luna
tersenyum manis. Melihat senyum itu, tiba-tiba Daniel merasakan sesuatu yang
aneh menjalari tubuhnya. Mendadak ia merasa takut pada Luna. Senyum dan wajah
itu mengingatkannya pada sosok psikopat dalam film yang pernah ia tonton.
“Aku
lega karena kamu yang ada di balik pintu.” Luna berdiri menghadap pada mesin
fotocopy yang sedang beroperasi.
“Leg-lega?”
Daniel menatap Luna yang berdiri tertunduk di depan mesin fotocopy.
“Kamu
pasti mendengar semuanya, kan? Karenanya kertas di tanganmu tiba-tiba jatuh dan
membuat bunyi itu. Aku mendengarnya dan membuka pintu.”
Daniel
menelan ludah. Sejeli itu kah telinga
Luna Seonbae? Ia bertanya dalam hati.
Luna
mengangkat kepala, menoleh ke kiri, dan tersenyum pada Daniel. “Aku percaya
padamu, Kang Daniel.”
Luna
mengumpulkan kertas hasil fotocopy, membawanya dalam dekapannya. “Silahkan. Aku
sudah selesai.” Ia memberi ruang pada Daniel. Ia pun keluar dari ruang
fotocopy.
Hening
di dalam ruang fotocopy. Daniel masih berdiri terdiam di tempatnya. Saat ia
sampai di depan ruang fotocopy, ia hendak membuka pintu. Tapi, samar-samar ia
mendengar suara dua orang yang sedang adu mulut dari dalam ruang fotocopy. Ia
pun mendekatkan telinga pada daun pintu. Bukan bermaksud menguping, hanya ingin
memastikan siapa yang sedang berada di dalam ruang fotocopy. Suara cek-cok itu
berbaur dengan suara mesin fotocopy hingga Daniel tak bisa mengenali suara
siapa itu.
“Apa Seonbae bukan manusia? Apa Seonbae robot?”
“Bukankah yang aku katakan benar adanya? Hubungan kita
hanyalah permainan yang kita buat dan kita sepakati. Karenanya, jangan libatkan
perasaan.”
“Iya. Seonbae benar! Hubungan kita hanya pura-pura! Sebuah kesepakatan
yang kita buat demi melindungi satu sama lain. Tapi, nggak bisakah hubungan itu
jadi hubungan nyata?”
Suara
siswa dan siswi itu bergantian terdengar. Kertas di tangan Daniel tiba-tiba
terlepas, terjatuh, dan membentur lantai. Menciptakan bunyi yang tak begitu
keras. Walau begitu, ia buru-buru menjauh dari pintu dan memungut kertas itu.
Ketika ia kembali menegakkan badan, tiba-tiba pintu terbuka. Ia terkejut karena
yang muncul dari balik pintu adalah Luna. Dan, di dalam ruang fotocopy ada Jihoon.
Daniel
menghela napas. “Luna Seonbae dan Park Jihoon hanya pura-pura? Apa maksudnya?”
Ia kembali menghela napas. Lalu, segera menggandakan kertas yang ia bawa.
***
Mulut
Daehwi membulat karena terkejut. Ia membawa satu tumpuk buku untuk dibawa ke
meja petugas dan hampir membalikkan badan ketika mengetahui Joohee masuk ke
dalam perpustakaan.
“Lee
Daehwi!” Karena Joohee memanggil namanya, Daehwi urung membalikkan badan dan
terus berjalan menuju meja petugas.
“Hi,
Joohee!” Daehwi meletakkan tumpukan buku yang ia bawa ke atas meja sambil
menyapa Joohee. “Mau pinjam buku lagi? Ini ada buku baru. Tapi, buku ensiklopedia.
Bukan novel. Hehehe.”
Joohee
menatap tumpukan buku di atas meja. Buku dengan dasar warna putih dan gambar
warna-warni. Buku yang cantik dan menarik perhatian calon pembaca itu membuat
Joohee tersenyum ketika menatapnya.
“Terima
kasih ya.” Joohee mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Hari ini ia pun tak
terlihat malu-malu di depan Daehwi.
“Untuk
kuisioner itu ya? Maaf ya untuk sebelumnya. Aku nggak nyangka kamu sampai
mengais tempat sampah kayak gitu. Sampai ketahuan para seonbae juga.”
“Nggak
papa kok.”
“Sekarang
udah beres kan?”
“Udah.
Tepat sehari sebelum dateline yang
diberikan Lim Songsaengnim.”
“Syukurlah.”
“Aku
jadi sungkan pada Luna Seonbae.”
“Eh?
Nggak papa kok. Seonbae udah kayak kakakku sendiri. Dia yang terbaik yang aku
miliki di sekolah ini.” Daewhi berseri.
Joohee
turut tersenyum. “Ya udah, aku mau nyari buku dulu.” Ia pun pamit.
“Iya.
Iya. Silahkan.”
Joohee
pun pergi dari hadapan Daehwi. Ia berjalan menuju salah satu lorong yang
terbentuk oleh deretan rak buku.
“Huft…”
Daehwi menghembuskan napas panjang. Kemudian ia duduk di balik meja petugas.
Meraih ponselnya dan segera mengetik pesan pada Luna. Ia kembali menghela napas
dan tersenyum lebar.
Ponsel
Daehwi bergetar. Ia segera melihatnya. Ada pesan balasan dari Luna. “Tumben
cepat sekali?” Ia pun membuka pesan itu.
Aku
tidak bisa menghubungi Jihoon. Apa dia bersamamu?
“Jihoon?”
Daehwi pun teringat kejadian kemarin. Saat ia dan Jihoon menemukan Luna sedang
berduaan dengan Taemin. “Ya ampun! Pasti gara-gara kemarin.” Ia pun segera
mengirim pesan balasan pada Luna.
Aku
sedang bertugas di perpustakaan. Ada Joohee. Sebentar aku tanyakan.
Daehwi
pun bangkit dari duduknya untuk mencari Joohee.
***
Luna
menyunggingkan sebuah senyuman. “Dasar! Ambil aja kesempatannya! Ini memang
waktumu!” Ia berbicara pada ponselnya. Ia sedang berada di taman dan duduk di
bangku favoritnya.
“Lalu,
waktuku kapan?”
Luna
tersentak kaget. Kedua mata bulatnya melebar. Menatap Sungwoon yang duduk
menopang dagu dengan kedua tangannya. Pemuda itu tersenyum lebar padanya.
“Sejak kapan kamu di sana?”
“Ada
apa?” Sungwoon menggerakkan kepalanya. Menuding ponsel di tangan Luna. “Misi
baru ya? Gadis yang kemarin?”
“Kepo!”
“Aku
tahu artinya lho! Sok tahu, kan?”
Luna
cemberut dan menghela napas dengan kasar. “Ngapain sih kamu di sini?”
“Tadinya
mau pulang. Eh, liat kamu duduk sendirian di sini. Nunggu siapa?”
“Jihoon.”
Senyum
di wajah Sungwoon sirna saat Luna menyebut nama cowok yang saat ini diketahui
banyak orang sebagai pacar Luna. “Tumben.” Gumamnya.
Luna
kembali menaruh perhatian pada Sungwoon. “Tumben?”
“Iya,
tumben. Sejauh aku ngenal kamu, nggak pernah kamu nyebut nama Jihoon seyakin
itu.”
“Seyakin
itu? Maksudmu?” Luna memiringkan kepala.
“Kupikir
hubungan kalian nggak nyata. Tapi, di video itu ada Jihoon. Jadi, kalian benar
pacaran? Biasanya kalau ditanya, kamu nggak pernah kasih jawaban serius. Jadi,
kupikir kamu dan Jihoon itu cuman pura-pura.”
Jantung
Luna seolah lepas dari tempatnya ketika Sungwoon mengutarakan pendapatnya. Ia
bungkam dan hanya menatap Sungwoon.
“Tapi,
mau beneran atau pura-pura, aku nggak peduli. Yang penting Luna tetap ada dekat
denganku.” Sungwoon kembali mengembangkan senyum manisnya.
“Iya
lah dekat. Kita kan sekelas. Satu kelompok pula!” Luna ketus.
“Hehehe.
Oya, aku dan teman-teman squad Moon
Kingdom mau main ke kebun kakekku. Ikut yuk!”
“Ngapain?”
“Ngapain?”
“Ya
main lah! Kakek kangen sama aku. Jisung dan Woojin mau ikut. Seongwoo belum
kasih kepastian sih. Kamu ikut juga ya!”
“Aku?
Cewek sendiri?”
“Terserah
kamu mau ngajak siapa. Eh, atau aku ajak Rania aja?”
“Rania?”
“Iya.
Dia teman kita juga kan? Kamu minta aku jagain dia. Trus, kemarin Minhyun juga
minta aku jagain dia.”
“Minhyun??
Minta kamu jagain Rania?” Luna benar-benar terkejut.
“Nggak
secara langsung sih. Jadi, kemarin itu Jaehwan dan Minhyun nganter Rania ke basecamp Klub Vokal. Minhyun khawatir
Rania digangguin Daerin.”
“Daerin??
Kang Daerin??”
“Iya.
Kamu nggak tahu sih. Anak itu kalau ngomong serem. Pedes kayak cabe.”
Luna
tersenyum.
“Jadi,
kita ajak Rania?”
“Kalau
dia mau, why not?”
“Oke!”
Sungwoon bersemangat. “Hari Minggu nanti? Bagaimana? Kamu nggak ada jadwal
kan?”
Luna
membuka mulutnya, hendak bicara. Tapi, ia melihat Daehwi sedang berjalan ke
arahnya. Tak sendirian, ada Joohee di samping. “Mereka itu… ngapain? Mau ke
sini?” Ia bergumam. Membuat Sungwoon menoleh.
“Seonbae.”
Daehwi sampai di bangku taman tempat Luna dan Sungwoon duduk. Joohee yang
berdiri di sampingnya menundukkan kepala, memberi salam.
“Seonbae
mencari Jihoon? Kata Joohee, dia tidak kembali ke kelas usai menawarkan diri
untuk memfotocopy materi.” Daehwi menjelaskan maksud kedatangannya bersama
Joohee.
Eksrpesi
Luna berubah. Wajahnya sedikit merengut. “Nggak balik ke kelas?” Ia memastikan.
“Iya,
Seonbae. Anu, sebenarnya dia kembali ke kelas untuk mengantar hasil fotocopy.
Lalu, saat pelajaran berganti, Jihoon keluar sebelum guru pelajaran berikutnya
masuk. Jihoon tidak kembali ke kelas sampai jam pulang.”
Luna
diam sejenak, lalu tersenyum. “Begitu sampai menyeret Joohee ke sini.”
“Anee.”
Daehwi menggoyang kedua tangannya. “Joohee sendiri yang menawarkan diri untuk
ikut."
Luna
tersenyum jahil pada Daehwi. Membuat pemuda itu semakin kikuk. “Gomawo, Han
Joohee.” Luna beralih menatap Joohee.
“Hari
ini Park Jihoon terlihat berbeda. Anu, dia memang jarang berinteraksi dengan
teman sekelas. Tapi, hari ini dia terlihat murung.” Joohee menambahkan
informasi tentang Jihoon yang dia tahu.
“Begitu
ya? Bagaimanapun terima kasih.”
“Kalau
begitu saya pamit.” Joohee membungkukkan badan, lalu pergi.
Daehwi
menatap punggung Joohee yang berjalan menjauh. Setelah gadis itu memasuki
koridor, ia pun duduk di samping Sungwoon. “Park Jihoon marah ya? Cemburu
karena kemarin melihat Seonbae di sini bersama Taemin Seonbae. Aku yakin soal
itu.”
“Wah,
gawat!” Sungwoon menyimak cerita Daehwi. Ia kemudian menatap Luna.
“Bagaimana
ini Seonbae? Rencana kita bisa gagal tanpa Jihoon.” Daehwi mendadak panik.
Luna
berdecak. “Kamu sama sekali nggak kasihan padaku? Begini masih memikirkan diri
sendiri.”
“Buk-bukan
begitu.” Daehwi menggoyang kedua tangannya. “Aku juga mengkhawatirkan Seonbae
dan Jihoon. Seonbae udah minta maaf?”
“Ngapain
aku minta maaf? Aku kan nggak salah!”
“Tapi,
kemarin Seonbae berduaan di sini sama Taemin Seonbae! Jihoon cemburu
karenanya.”
“Trus,
kalau hari ini dia liat aku sama Sungwoon di sini, lalu dia cemburu. Aku harus
minta maaf juga?”
“Sungwoon
Seonbae beda sama Taemin Seonbae!”
“Beda
apanya? Sama-sama cowok kok!”
“Ah!
Luna Seonbae kan tidak bodoh! Sungwoon Seonbae tidak terlibat gosip sama Luna
Seonbae. Tapi, Taemin Seonbae ada skandal sama Luna Seonbae!”
“Gosip?
Skandal?”
“Jangan
pura-pura bodoh gitu! Luna Seonbae menolak cinta Taemin Seonbae. Itu rahasia
umum di sekolah!”
Luna
tercenung sejenak. Lalu, ia tertawa kecil. “Ya ampun! Kalian percaya? Taemin
Seonbae nggak pernah nembak aku tahu!”
Bukan
hanya Daehwi yang kaget. Sungwoon pun menunjukkan reaksi yang sama.
“Masa
sih?” Daehwi tak percaya.
Ponsel
Luna bergetar. Ia pun memeriksanya. Sebuah panggilan dari Hami. “Astaga! Aku lupa!
Hari ini kan ada jadwal EC!”
Luna
bangkit dari duduknya dan meraih tasnya. “Aku pergi! Bye bye!” Ia meninggalkan
Daehwi dan Sungwoon di taman.
“Aku
harus menemui Park Jihoon! Dia nggak boleh ngambek ke Luna Seonbae dan
mengacaukan rencana kami!” Daehwi pun bangkit dari duduknya. Pergi tanpa pamit
pada Sungwoon.
Sungwoon
kebingungan mengamati sekitar. “Nggak pernah nolak Taemin Seonbae? Jihoon
terbakar api cemburu? Rencana kami? Kali ini apa lagi?” Ia bergumam sendiri.
Saat
Luna sampai di kelas tempat pelajaran tambahan EC digelar, pelajaran sudah
dimulai. Ia mengetuk pintu dan meminta maaf pada guru yang mengajar di depan
kelas. Lalu, ia bergegas menuju meja kelompoknya.
Sejak
bergabung di pelajaran tambahan English
Conversation (EC), Luna menjadi satu kelompok dengan Daniel, Guanlin, dan
Hami. Karena itu, setiap kelas berlangsung, ia duduk bersama tiga rekannya itu.
Guanlin duduk berdampingan dengan Hami. Dan, ia duduk berdampingan dengan
Daniel.
Hari
ini kelas tak di tata membentuk lingkaran. Tapi, empat meja di satukan.
Masing-masing kelompok duduk mengitari meja-meja itu. Luna duduk di bangku
kosong di samping kiri Daniel.
“Ke
mana aja kau!” Hami langsung menegur saat Luna duduk di bangku seberang,
berhadapan dengan Guanlin.
“Mau
tahu aja!” Luna menyiapkan buku-bukunya.
“Kupikir
Seonbae absen hari ini.” Guanlin ikut berkomentar.
Luna
hanya menanggapi komentar Guanlin dengan sebuah senyuman. Sedang Daniel yang
duduk di sampingnya tetap diam. Tak menyapa pun tak memberi komentar perihal
keterlambatan Luna. Kemudian, kelompok itu pun serius mendengarkan penjelasan
guru di depan kelas.
***
Saat
memasuki kelas untuk pelajaran tambahan English
Conversation (EC) Daniel hanya menemukan Hami. Ia berpikir mungkin Luna
absen. Mengingat kejadian di ruang fotocopy, ia yakin gadis itu memilih untuk
menyelesaikan masalahnya dengan Jihoon.
Kenapa aku nggak dihubungi? Daniel bertanya dalam hati. Sembari duduk di bangku yang
sudah disiapkan Hami untuk kelompoknya.
“Luna
Seonbae belum datang?” Guanlin yang sudah duduk di samping kanan Hami memulai
obrolan.
“Nggak
tahu nih! Biasanya dia nggak pernah telat.” Hami mengangkat kedua bahunya.
Tak
lama kemudian guru bimbingan tiba. Kelas pun dimulai. Tapi, Luna tak kunjung
muncul.
Guanlin
memperhatikan Hami yang sibuk dengan ponsel yang disembunyikan di bawah meja. “Mungkin
Luna Seonbae memang absen hari ini.”
“Dia
selalu ngasih kabar kok misal nggak bisa dateng. Tapi, ini nggak. Aku khawatir
terjadi sesuatu sama dia.” Hami masih sibuk dengan ponselnya.
“Emang
pernah kayak gitu?”
“Pernah.”
Ekspresi
Daniel berubah mendengar obrolan Guanlin dan Hami. Melihat begitu khawatirnya
Hami, pasti Luna pernah mengalami hal yang buruk.
“Kalian
pikir Luna itu selalu dipuja? Kalian salah! Sebenarnya ia nggak mau dibikin
tenar kayak gitu. Kalian pasti paham maksudku apa.”
Mendengar
penjelasan Hami, Daniel jadi mengkhawatirkan Luna. Bagaimana jika Jihoon, si monster berwajah imut itu berbuat sesuatu
yang buruk pada Seonbae? Orang yang diliputi rasa cemburu seringnya tidak bisa
berpikir jernih.
Daniel
mulai gusar. Lalu, ia teringat bagaimana ekspresi Luna yang membuatnya merasa
ngeri. Dia pasti baik-baik saja. Ya, dia
pasti baik-baik saja. Atau, aku coba hubungi dia?
Daniel
meraih ponselnya dan mencari nama Luna. Hendak menghubungi gadis itu. Tapi, ia
urungkan. Sebaiknya aku mencarinya saja.
Daniel
menyimpan kembali ponselnya. “Guanlin, bagaimana cara minta izin ke toilet
dalam bahasa Inggris?” Ia meminta bantuan Guanlin.
“Nee?”
Guanlin menatap Daniel dengan ekspresi tak paham.
“Aku
mau ke toilet. Di kelas ini, saat berkomunikasi dengan guru, harus menggunakan
bahasa Inggris, kan?”
“Oh.
Gini…” Guanlin tak melanjutkan kalimatnya karena terdengar suara ketukan pintu.
Lalu, pintu itu terbuka. Luna muncul dari pintu yang terbuka. Masuk ke dalam
kelas, berjalan menemui guru.
Perhatian
seluruh murid tertuju pada Luna. Termasuk Daniel. Senyum samar terkembang di
wajahnya. Ia lega melihat Luna muncul dan baik-baik saja. Daniel memperhatikan
Luna hingga gadis itu duduk di sampingnya. Hami langsung mengintrogasi Luna.
Tapi, gadis itu tak mau memberi penjelasan perihal keterlambatannya.
Selanjutnya, mereka mengikuti kelas EC dalam keheningan.
Daniel,
Luna, Guanlin, dan Hami berjalan pulang bersama. Hami terus mengoceh tentang
materi hari ini. Ia juga mengeluh tentang pertemuan berikutnya. Guru pembimbing
akan mengajak seluruh anak didiknya menonton film berbahasa Inggris tanpa
terjemahan. Hami merasa frustasi dengan hal itu.
Mereka
berhenti di depan gerbang. Lalu, memisahkan diri. Hami dan Guanlin pergi
bersama. Sedang Luna bersama Daniel. Seperti tempo hari. Yang berbeda adalah
keduanya berjalan dalam keheningan. Luna dan Daniel tak saling berbicara sejak
kelas usai.
Sebelum
duduk menunggu di halte, bus sudah datang. Luna naik lebih dulu. Daniel
menyusul di belakangnya. Mereka duduk di satu bangku kosong yang tersisa.
Sejak
Luna bergabung di kelas, Daniel diam-diam memperhatikan. Gadis itu telah
kembali sebagai Luna yang ia kenal. Gadis sederhana yang ramah. Bukan gadis
dengan ekspresi datar dan seringaian mengerikan yang membuatnya bergidik ngeri.
“Kenapa
kita jadi saling diam begini?” Daniel memulai obrolan. Ia sudah tidak tahan
dengan keheningan itu.
“Sepertinya
aku terlalu banyak menggunakan energiku. Aku merasa sangat lelah.” Luna tanpa
mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan.
Daniel
yang sudah menoleh dan menatap Luna sejak memulai obrolan tersenyum. “Bersandar
saja di bahuku. Istirahatlah.” Ia menggerakkan bahu kanannya.
Luna
melirik dan tersenyum mengejek. “Kepalaku berat tau!”
“Nggak
papa. Ada yang bilang, aku ini orang kuat. Jadi, sepertinya aku kuat menyangga
kepala berat itu.”
Luna
tersenyum lebih tulus. “Gomawo.”
“Mm?”
“Seperti
yang aku bilang tadi, aku bersyukur karena yang ada di balik pintu adalah kamu.
Kalau orang lain, entah bagaimana nasib kami.”
Daniel
diam sejenak, lalu tersenyum. “Seonbae yakin aku tidak akan menyebarkan rahasia
Seonbae dan Jihoon?”
“Memangnya
kalau kamu sebarin, kamu bakalan dapat untung?”
Daniel
memiringkan kepala, lalu tersenyum. “Tetap saja itu sangat mengejutkan.
Bagaimana bisa? Kalian hanya pura-pura?”
“Kita
manusia adalah makhluk sosial. Tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Aku
pun begitu. Apa yang kami lakukan adalah simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.
Tadinya aku pikir begitu.”
“Tadinya?”
Luna
mendesah dengan kasar. “Seharusnya laki-laki hanya menggunakan logika saja.
Nggak usah pakek perasaan. Yang seperti itu kan anak perempuan!” Luna
menyilangkan tangan di dada. Menyamankan posisi duduknya, lalu menoleh ke arah
kanan. Menatap keluar jendela bus.
Daniel
memperhatikan tingkah Luna. Lalu, mengehela napas pelan. Ia tak mengucap
sepatah katapun. Situasi pun kembali hening di antara dirinya dan Luna.
***
Seorang
pelayan perempuan mengantar Daehwi. Keduanya sampai di sebuah ruangan olah
raga. Di dalam sana, Jihoon sedang memukuli samsak.
“Tuan
Muda belum berhenti sama sekali sejak tiba.” Wanita paruh baya itu berbisik
pada Daehwi.
Daehwi
memperhatikan Jihoon yang masih memakai seragam sekolahnya. Ia menghela napas.
“Saya
akan membawakan minuman dan cemilan.” Wanita paruh baya itu mohon diri.
“Nee.
Kamsahamnida, Imo.” Daehwi berterima kasih. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan
dan duduk di atas lantai. Menunggu Jihoon yang masih sibuk memukul-mukul
samsak.
Daehwi
yang bertekad menemui Jihoon pun memenuhi keinginannya. Selesai dengan tugasnya
di perpustakaan, ia langsung menuju rumah Jihoon. Ia duduk bersila, menonton
Jihoon. Pemuda itu dipenuhi peluh. Membuat Daehwi menelan ludah saat
melihatnya. Menurutnya, Jihoon yang seperti itu tampak seksi dan macho. Tapi,
juga mengerikan.
Merasa
ada yang memperhatikan, Jihoon pun menghentikan aktivitasnya. Ia menemukan
Daehwi sudah duduk bersila di atas lantai tak jauh dari tempatnya berada. Rekan
satu klubnya itu tersenyum ketika ia menatapnya.
“Kenapa
kamu ke sini?” Jihoon memeluk samsak yang bergerak-gerak di depannya.
“Kamu
suka olah raga boxing?” Daehwi tak
menjawab pertanyaan Jihoon, tapi justeru mengajukan sebuah pertanyaan.
Jihoon
mengatur napasnya yang terengah-engah. “Kamu datang untuk wawancara?”
“Anee.
Aku bukan anggota Klub Jurnalistik.” Daehwi menggeleng.
Jihoon
menghela napas dan berkacak pinggang. “Apa maumu?”
“Ngobrol?”
“…”
“Mendekatlah!
Kalau jauhan gini, kita kayak sepasang kekasih yang lagi berantem aja!”
Jihoon
mendelik menatap Daehwi.
“Kenapa?”
Jihoon
menghembuskan napas dengan kasar. Ia berjalan mendekati Daehwi sambil melepas
sarung tangan tinju yang menbungkus kedua tangannya. Ia melemparkan sepasang
sarung tangan itu ke samping kiri Daehwi. Lalu, ia duduk menyelonjorkan kaki di
depan Daehwi.
Daehwi
mengamati Jihoon. Rambut dan wajah pemuda itu basah keringat. Seragam yang
dikenakannya pun menempel ke tubuhnya karena keringat. “Begini membuatmu lebih
baik?”
Jihoon
bergeming. Ia fokus mengatur napasnya yang masih tak beraturan.
“Nggak
kan?”
“Wae?!
Kamu khawatir aku nggak akan bantu kamu karena aku dan Luna Seonbae sedang
berantem?”
Mulut
Daehwi membulat. “Kalian berantem?” Ujarnya setelah berhasil menguasai diri
dari keterkejutan. “Gara-gara yang kemarin itu?”
Jihoon
kembali bungkam.
“Bagaimana
kalian bisa sehati sih?”
Jihoon
pura-pura cuek.
“Tadi
aku menemui Luna Seonbae. Dia nanya apa kamu ada sama aku. Kayaknya dia nyariin
kamu. Aku bilang, kamu nggak ada sama aku. Saat aku nemuin dia, dia juga curiga
aku takut kamu nggak mau bantu aku lagi. Buat rencana itu. Ah, apa sepasang
kekasih itu memang selalu seperti itu ya? Sehati?”
“Luna
Seonbae, mencariku?” Jihoon tertarik dan ingin kepastian.
Daehwi
mengeluarkan ponselnya, menunjukkan pesan Luna pada Jihoon.
Membaca
pesan itu, ada rasa hangat menyeruak di dalam dada Jihoon. Seonbae mencariku? Seonbae mengkhawatirkanku? Ia bergumam dalam
hati. Tiba-tiba ia merasakan wajahnya memanas.
Daehwi
menangkap senyum samar di wajah Jihoon. Ia pun tersenyum dan menyimpan kembali
ponselnya. “Jangan kekanak-kanakan gini! Nempelengi samsak nggak akan bikin
perasaan kamu membaik. Temui Seonbae. Bicarakan dengannya secara baik-baik.
Luna Seonbae tidak pernah ditembak Taemin Seonbae. Jadi, penolakan itu cuman
rumor.”
Jihoon
masih betah untuk bungkam.
“Kalau
kamu nuruti rasa cemburu, hari ini pun pasti kamu terbakar api cemburu! Luna
Seonbae berduaan dengan Sungwoon Seonbae di bangku yang sama.”
Jihoon
merenungi semua perkataan Daehwi. Benar yang dikatakan temannya itu, di sekolah
lebih banyak murid laki-laki. Jika setiap kali melihat Luna berdua saja dengan
murid laki-laki, ia merasa cemburu. Ia bisa hancur sendiri. Kening Jihoon
berkerut. Tiba-tiba teringat pada Daniel. Teman satu angkatannya itu telah
mengetahui rahasianya. Mendadak ia kembali merasakan emosi dan amarah itu,
hingga ia mengepalkan tangannya.
“Iya,
kamu benar. Aku khawatir karena salah paham ini kamu nggak mau bantuin aku.
Melanjutkan rencana. Tapi, aku juga khawatir kalau kamu dan Luna Seonbae nggak
berbaikan. Jujur aku suka kalian.”
Jihoon
menatap Daehwi. Menaruh perhatian penuh pada rekan satu klubnya itu.
“Luna
Seonbae adalah sesuatu yang nggak gampang buat didapetin. Setelah kamu bisa
meraihnya, masa iya mau kamu lepas cuman gara-gara salah paham? Dia gadis yang
baik. Kalian pasangan yang serasi.”
“Ya!
Kamu coba merayuku? Tenang aja. Aku udah janji bantu kamu. Jadi, aku akan
bantu.”
“Itu
karena Luna Seonbae, kan? Itu karena Seonbae yang meminta. Jalan yang
mempertemukan kita, perantaranya adalah Luna Seonbae. Kalau bukan Seonbae yang
memintamu, aku yakin kamu nggak akan mau bantu walau aku memohon.”
Jihoon
menghela napas.
“Saat
kamu marah, ingatlah hal-hal indah saat bersamanya. Aku rasa itu bisa jadi obat
yang mujarab.”
Jihoon
bungkam.
“Sudah.
Aku sudah selesai dengan unek-unekku. Sekarang aku mau pergi. Silahkan kalau
mau lanjut pukul-pukul lagi.” Daehwi meraih tasnya dan bangkit berdiri. “Maaf
sudah mengganggu waktumu. Aku pergi.” Ia pun pamit dan keluar dari ruang olah
raga. Meninggalkan Jihoon yang termenung.
“Semoga
aja apa yang aku lakukan ini benar.” Daehwi menyusuri koridor rumah Jihoon
untuk pulang.
***
Semalaman
Jihoon memikirkan semua yang dikatakan Daehwi. Benar yang dikatakan Daehwi, ia
memang cemburu pada Taemin. Cemburu karena alasan rumor jika sebelumnya Taemin
pernah menyatakan cinta pada Luna namun ditolak.
Mengingat
kejadian di ruang fotocopy sebelum ia terlibat cek-cok dengan Luna, ia pun
yakin jika Luna tidak berbohong tentang alasan kenapa gadis itu ada di taman
bersama Taemin. Sejauh ia mengenal Luna, gadis itu selalu berkata jujur
padanya.
Saat kamu marah, ingatlah hal-hal indah saat bersamanya. Aku
rasa itu bisa jadi obat yang mujarab.
Suara
Daehwi menggema di telinga Jihoon. Membuatnya tersenyum samar karena teringat
saat-saat manis bersama Luna. Saat gadis itu memainkan gitar dan bernyanyi di
depannya. Saat mereka nonton film berdua. Saat ia tanpa berpikir panjang,
memberikan sebuah kecupan di pipi Luna.
Jihoon
merasakan panas di wajahnya. Kini ia benar-benar tersenyum. Ia meraih ponsel di
dalam saku celananya. Lalu, ia kembali menonton video Luna saat bermain gitar
dan bernyanyi untuknya.
“Kamu
yang membuatku terkejut karena tawaran itu. Aku setuju bukan karena alasan
saling menguntungkan bagi kita. Aku setuju karena aku telah melibatkan
perasaanku jauh sebelum kamu menawarkan kerjasama itu.” Jihoon berbicara pada
Luna yang sedang bernyanyi di dalam ponselnya.
“Kita
ini kan sebenarnya seumuran. Hanya saja, karena kamu dari Indonesia, di sini
kamu jadi seniorku. Harusnya kita bisa saling memanggil nama, kan? Hi, Luna!”
Jihoon melambaikan tangan pada ponselnya.
Jihoon
menghela napas panjang. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan
kirinya. “Baiklah. Sebaiknya kita saling bicara. Akan aku katakan, semuanya,
padamu.”
Jihoon
bangkit dari duduknya. Meraih tas punggungnya dan berjalan pergi meninggalkan
ruang kelasnya yang sudah kosong sejak tiga puluh menit yang lalu. Ia menyusuri
koridor sekolah yang kosong dan bergegas menuju mobilnya yang sudah menunggu di
area parkir sekolah.
Jihoon
memasuki mobilnya dan meminta sopir pribadinya melajukan mobil. Membawanya ke
tempat tinggal Luna. Ia bertekad untuk menemui Luna dan berbicara dengan gadis
itu. Ia harus meluruskan kesalahpahaman di antara mereka.
Sepanjang
perjalanan menuju tempat tinggal Luna, Jihoon menonton video Luna di ponselnya.
Ia menggunakan headset agar hanya
dirinya sendiri yang bisa mendengar suara Luna yang sedang bernyanyi.
Mobil
Jihoon sampai. Ia meminta sopirnya untuk parkir lebih jauh agar Luna tak bisa
melihat mobilnya. Ia sudah mendapat informasi dari Seongwoo tentang apa yang
akan dilakukan Luna hari ini sepulang sekolah. Jadi, ia memilih pergi diam-diam
dan menunggu Luna.
Jihoon
menaiki tangga, lalu duduk di bangku panjang yang berada di teras rooftop tempat tinggal Luna. Dengan sabar
ia menunggu Luna kembali. Hal yang membosankan memang. Tapi, ia tetap
menjalaninya dengan sabar.
Setengah
jam berlalu, Jihoon mendengar suara perempuan sedang mengobrol yang semakin
dekat padanya. Ia pun bangkit dari duduknya. Jantungnya tiba-tiba berdetub
lebih kencang. Ia akan bertemu Luna sebentar lagi. Ia senang, tapi juga gugup.
Ia sudah melatih diri untuk berbicara dan meminta maaf pada Luna. Sebentar lagi
Luna akan muncul di hadapannya. Hal itu benar-benar membuatnya gugup.
Jihoon
tercenung. Luna muncul, tapi tak sendiri. Ada Hami, Guanlin, dan Daniel bersama
gadis itu.
“Oh!
Park Jihoon?!” Hami lebih dulu menyadari keberadaan Jihoon di teras rooftop Luna.
Luna,
Daniel, dan Guanlin kompak menatap Jihoon. Senyum di wajah Jihoon sirna.
Keningnya sedikit berkerut. Sedang tatapannya fokus pada Daniel yang berdiri
tepat di belakang Luna.
***
0 comments