Istri Untuk Anakku

04:23

Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***
   



Pelarian, Perjuangan Cinta.


Rombongan Galih tiba di sebuah desa di pesisir pantai. Mereka menyewa sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal sementara. Galuh, Ima, dan Harto memilih istirahat. Sedang Galih dan Anjar berjalan-jalan di tepi pantai.

"Makasih. Maaf juga membuatmu terlibat," Galih memulai obrolan saat keduanya duduk di tepi pantai. "Mulai saat ini, status kita adalah buronan. Bapak bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kita."

"Aku kenal bagaimana juragan. Benar saat ini mungkin Beliau sangat marah. Tapi, aku yakin Juragan sangat menyayangi kalian." Anjar berkomentar.

"Kamu benar. Tapi, aku udah sangat kurang ajar dengan membawa lari istrinya Bapak. Ibu tiriku. Gadis yang juga aku cintai. Aku sangat mengkhawatirkan Eyang dan Mbak Puspita." Galih menghela napas panjang.


Galuh dan Ima menyiapkan makan malam seadanya yang mereka beli dari warung terdekat. Kelimanya pun makan bersama.

"Aku sudah memikirkannya sejak kita pergi. Aku rasa sebaiknya kalian pergi ke luar Jawa saja." Harto memulai obrolan di tengah makan bersama. "Dengan uang yang kita punya sekarang, itu bisa mengantarkan kalian berempat ke Kalimantan. Aku punya kenalan di Kalimantan Timur. Temanku siap membantu. Kang Karyo tidak tahu perihal temanku di Kalimantan. Jadi, kalian aman dan bisa melanjutkan hidup di sana."

"Nggak, Lek." Tolak Galuh. "Aku nggak bisa pergi dengan cara seperti itu."

"Kenapa? Bukankah itu akan membuatmu aman? Kamu bisa melanjutkan hidup bersama Galih. Begitu juga Ima dan Anjar. Aku yang akan kembali untuk menghadapi Kang Karyo."

"Aku akan menemani Juragan Harto. Biar Mas Galih, Mbak Ima, dan Galuh yang pergi." Anjar ikut bersuara.

"Aku tidak akan menikah dengan Galih sebelum Bapak menceraikan aku dan merestui hubungan kami." Galuh kukuh menolak.

"Apa kamu pikir itu mungkin dan mudah saja terjadi?" nada suara Harto sedikit meninggi.

"Galuh benar, Lek. Kami sudah berdosa dengan saling jatuh cinta. Aku setuju dengan Galuh." Galih meraih tangan Galuh dan menggenggamnya erat. "Kami akan berusaha untuk mendapatkan restu Bapak."

"Lalu, apa gunanya pelarian kita ini?" Harto menatap Galih, lalu Galuh.

Suasana pun berubah hening dan kaku.

***


Sukaryo termenung. Ia berdiri menatap sisa lumbung yang terbakar. Baru sehari Galuh meninggalkan rumah. Ia merasa sangat rindu pada gadis itu. Seolah gadis itu telah pergi cukup lama. Ia merindukan senyuman Galuh, juga suara lembut gadis itu. Ia rindu canda tawa Galuh bersama anak-anaknya.

"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Kenapa kamu tega melakukannya di saat aku mulai menyayangimu? Kau menghancurkan semuanya. Semuanya!" Sukaryo berkata dalam hati. Ada rasa sesak yang teramat sangat di dalam dadanya.

Saya tidak peduli pada gunjingan orang di luar sana. Janji dan persahabatan yang Anda tawarkan sangat berharga bagi saya. Saya akan menjaganya. Sebaik yang saya bisa. Saya akan mencoba dan berusaha melakukan yang terbaik untuk persahabatan kita. Jika sahabatku ini bahagia, maka aku juga bahagia. Seorang sahabat tidak akan membiarkan sahabat baiknya menderita dan bersedih. Seorang sahabat akan selalu berusaha membuat sahabatnya bahagia dan selalu tersenyum.

Suara Galuh kembali terniang di telinga Sukaryo. Ekspresi gadis itu juga turut muncul dalam ingatannya. Sangat jelas. Bak sebuah kenyataan di hadapan Sukaryo.

"Maaf, Juragan."suara salah seorang kepercayaannya membuyarkan lamunan Sukaryo

"Hm. Ada apa?" Tanya Sukaryo tanpa membalikan badan untuk menghadap pada bawahannya.

"Menurut Mbah Jiwo, rombongan Juragan Harto bergerak ke arah selatan. Apa sebaiknya kita mulai bergerak? Menyisir lokasi?"

"Sebarkan orang-orangmu! Mulai lakukan pencarian."

"Baik, Juragan."

Pandu menghela napas. Ia lalu berjalan mendekati Sukaryo setelah salah satu orang kepercayaan Sukaryo pamit pergi.

"Kenapa tidak lapor polisi saja?" Tanya Pandu.

"Kita memiliki orang-orang yang lebih hebat dari polisi. Orang-orangku pasti bisa menemukan mereka."

"Jika mereka kembali, apa yang akan Bapak lakukan?"

Sukaryo tak menjawab. Hanya menghela napas panjang, lalu berjalan pergi meninggalkan Pandu.


Pandu mengetuk pintu kamar Lasmi. Setelah mendengar perintah untuk masuk, ia pun membuka pintu dan memasuki kamar Lasmi.

Lasmi yang duduk menyelonjorkan kaki di atas ranjang pun menyambut kehadiran Pandu dengan sebuah senyuman di wajah rentanya yang terlihat lesu.

"Kenapa Eyang ndak istirahat?" Tanya Pandu sembari duduk di tepi ranjang.

"Bagaimana aku bisa tidur dan istirahat? Sedang di luar sana mereka..." tatapan Lasmi menerawang ke luar jendela kamarnya. Ia tak melanjutkan ucapannya.

"Di luar sana, orang mulai bergosip tentang keluarga kita." Puspita memasuki kamar Lasmi.

Lasmi menghela napas panjang mendengarnya.

***


"Kita harus pergi dari sini." Harto menjelaskan rencana selanjutnya.

"Pergi? Kenapa, Lek?" Tanya Galih.

"Apa yang bisa kita lakukan di sini? Kang Karyo sudah mulai bergerak."

"Sebenarnya aku bisa kerja apa saja. Jadi nelayan juga bisa. Tapi, tetap tinggal di sini memang terlalu beresiko." Jawab Anjar.

"Ini desa. Kita tidak akan aman berada lama-lama di sini. Kepolosan dan kejujuran warga, bisa jadi bencana bagi kita. Rasa ingin tahu mereka yang teramat sangat tentang kita, bisa jadi masalah besar buat kita. Sebaiknya kita pergi ke kota. Sambil memikirkan rencana selanjutnya."

"Benar juga. Baiklah. Besok pagi-pagi kita pergi." Galih setuju.

"Kita pergi malam ini saja. Aku tidak bisa menunggu sampai besok." Harto memberi keputusan.

Semua pun setuju. Masing-masing mulai mengemasi barang-barang. Malam itu juga mereka pergi meninggalkan desa nelayan itu. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kota. Melanjutkan pelarian mereka.

Hidup dalam pelarian benar menyiksa mereka berlima. Setiap detik mereka merasa gelisah. Rasa takut selalu menggerayangi mereka. Empat hari berjalan, masih terasa cukup berat bagi mereka. Tak bisa tidur nyenyak. Melakukan aktifitas apa pun tidak bisa nyaman. Mereka selalu was-was dan cemas.

Rombongan itu pun tiba di kota. Usai seharian berkeliling tanpa arah, akhirnya mereka mendapatkan rumah untuk di sewa. Menurut Harto, mereka untuk sementara aman jika tinggal di rumah itu. Karena kota itu berada jauh ribuan kilo dari tempat asal mereka.

Mereka mulai mengatur rencana. Mereka tidak akan bisa bertahan lama dengan uang pemberian Lasmi. Terlebih setelah Sukaryo memblokir akses keuangan Galih dan Harto. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan uang agar mereka bisa bertahan hidup.

Rapat pun digelar. Keputusannya adalah Galuh dan Ima tetap tinggal di rumah. Sedang para pria akan keluar dan mencari pekerjaan.

Kehidupan yang dipenuhi orang-orang yang sibuk dan cuek membuat mereka merasa aman dan nyaman. Mereka berencana untuk menetap di kota itu untuk beberapa waktu.

***


Hari berganti. Beberapa minggu berlalu. Anak buah Sukaryo belum membuahkan hasil dalam misi pencarian mereka. Lasmi yang tua dan rapuh pun jatuh sakit.

"Belum ada kabar dari mereka lagi?" Tanya Lasmi.

"Belum, Eyang." Jawab Puspita.

"Aku benar-benar kangen Galih, Galuh, dan Harto."

"Gendis dan Ragil juga terus bertanya tentang Galuh. Mereka kangen sama Galuh. Aku nggak tahu apa mereka mempercayai apa yang aku bilang."

"Lalu, bagaimana bapakmu?"

Puspita menatap Lasmi. "Bapak ya tetap seperti itu, Eyang. Sampai kapan Eyang akan diam ke Bapak?"

"Bapakmu yang nggak mau ngomong ke aku sejak Galih dan Galuh pergi. Bukan aku!"

Puspita hanya bisa diam dan menghela napas mendengarnya.

Sukaryo menatap kamar Galuh yang kosong. Menjenguk kamar itu telah menjadi rutinitas Sukaryo sejak Galuh pergi. Semua barang-barang Galuh masih ada di sana. Setiap kali melihat kamar itu, Sukaryo merasakan sesak yang teramat sangat di hatinya.

Langkah Sukaryo terhenti di depan ruang bermain. Ruangan itu tak pernah ramai canda tawa sejak Galuh pergi. Rupanya anak-anaknya enggan berlama-lama dan bermain di ruangan itu sejak Galuh pergi.

"Dengan menatapnya seperti itu, canda tawa itu tidak akan bisa kembali."

Sukaryo membalikkan badan. Ia menemukan Lasmi sudah berdiri di belakangnya. "Ibu? Kenapa Ibu bangun dan berjalan ke mari?"

"Aku pikir kau benar-benar sudah tak peduli padaku. Kau bahkan tidak menjengukku sejak Galih pergi. Aku tidak bisa didiamkan seperti itu. Sudah waktunya kita bicara. Kenapa kau mendiamkan ibumu yang sudah renta dan semakin mendekati kematian ini?" Lasmi duduk di kursi di ruang keluarga yang letaknya menghadap ruang bermain.

"Aku telah membuat banyak kekacauan. Tindakanku selalu menyusahkanmu. Aku akui peristiwa malam itu, semuanya adalah skenario yang aku buat." Lasmi mengakui semua perbuatannya.

Sukaryo datar saja menanggapinya. Ia tahu jika Lasmi dibalik itu semua. Karenanya ia marah dan mendiamkan ibu kandungnya itu.

"Kau pantas marah. Bahkan, kau punya hak mutlak untuk membunuhku!"

"Ibu..."

"Jika kau mencari mereka hanya untuk memberi hukuman, lebih baik kau bunuh saja ibumu ini. Untuk apa ibu hidup jika harus menyaksikan anak dan cucuku, orang-orang yang sangat aku cintai menderita? Semua masalah yang terjadi dalam keluarga ini adalah salahku. Pernikahanmu dengan Galuh. Pertemuan Galuh dengan Galih hingga mereka saling jatuh hati. Aku lah yang memberi kesempatan itu semua terjadi."

Sukaryo kembali bungkam.

"Pikirkanlah kembali. Kemarahanmu itu tidak pantas kau luapkan pada Galih dan Galuh. Tapi, padaku lah seharusnya kau meluapkan semua amarahmu. Akulah yang membuat hidup kalian semua menjadi kacau. Tapi, kemarahanmu. Amarahmu itu apakah setimpal dengan apa yang akan kau dapatkan? Pilihanmu hanya dua, Anakku. Buatlah ibumu ini hidup bahagia di sisa hidupnya. Atau biarkan dia mati perlahan karena menderita atas penyesalannya. Aku meminta ijin padamu, karena hidupku kini bergantung padamu." Lasmi bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang renta itu berjalan pelan meninggalkan Sukaryo.

Sukaryo duduk terdiam di ruang keluarga. Kejadian malam itu kembali muncul dalam ingatannya. Pengakuan Galih tentang perasaan sukanya pada Galuh yang tak terbendung lagi. Permohonan Galuh dan pembelaan Ima.

Perubahan dratis di dalam rumahnya sejak Galuh pergi pun turut memenuhi pikiran Sukaryo. Anak-anak yang berubah lesu dan lebih banyak diam. Sering ia mendengar anak-anaknya bertanya pada Puspita ke mana Galuh pergi dan kapan gadis itu akan kembali.

Sukaryo menghela napas panjang. Kepergian Galuh benar-benar telah merubah segalanya. Ia merasakan kembali rasa sakit dan kesepian yang pernah ia rasakan ketika istri pertamanya pergi untuk selamanya.

***


Tempurung kura-kura, 29 November 2017.
. shytUrtle .


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews