Istri Untuk Anakku
04:40
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Ketika Benih Cinta Bertumbuh Subur di antara Dua Hati yang
Terlarang
Galih tersenyum lebar melihat Galuh. Ia
segera berlari menghampiri gadis itu, menyapanya, dan mengikutinya.
Galuh baru menyadari jika Galih
mengenakan baju pemberiannya setelah beberapa saat bersama pemuda itu. Ia pun
tersenyum. Senang Galih mau memakai kemeja hasil jahitannya.
Galuh akhirnya bertemu Harto. Galih pun
masih mengikutinya.
"Kamu jadi ikut?" Tanya
Harto.
"Saya boleh ikut, Paklek?"
Galuh balik bertanya. Sejak resmi menjadi bagian keluarga besar Sukaryo, Galuh
memanggil Harto dengan sebutan Paklek.
"Mau ke mana sih?" Galih
menyela. Ia penasaran. Karena saat bertemu dengan Galuh, Harto langsung bertanya
apakah Galuh jadi ikut.
"Galuh bosan di rumah terus. Dia
ingin jalan-jalan, menemani paklek ke perkebunan." Jawab Harto.
"Wah! Aku mau ikut juga! Kita
pergi sama-sama!" Galih antusias.
"Tapi... saya malu." Galuh
meragu.
"Kenapa malu?" Tanya Galih.
Harto menghela napas. "Jika kamu
terus memikirkan hal-hal yang tidak harus kamu pikirkan, hidupmu nggak akan
pernah bisa tenang."
"Tapi..."
"Aku tahu menyandang status
sebagai istri muda Sukaryo itu tidak mudah bagimu. Tapi bagaimanapun juga, itu
adalah kenyataan. Karena itu, hadapi dan jalani. Abaikan saja omongan orang.
Toh kamu nggak minta makan ke mereka kan? Kalau dipikir-pikir, justeru mereka
yang minta makan ke kamu. Bagaimanapun juga, kamu adalah Nyonya Besar di rumah
ini."
Galuh tertunduk.
Galih menatap Galuh yang berada di
sampingnya. "Udah! Jalan yuk! Pemandangan di perkebunan indah banget lho!
Melihat hijaunya pepohonan, bisa bikin mata seger. Yuk! Kita pergi! Lagian, ada
aku sama Lek Harto. Aku yakin nggak akan ada yang berani ngomongin kamu. Atau
kamu mau pakai cadar? Topeng gitu? Biar mukanya ketutup dan nggak malu
lagi."
Galuh tersipu mendengar candaan Galih.
"Galih benar. Nggak perlu terlalu
mikirin hal itu. Ayo! Kita pergi!" Harto berjalan memimpin.
Galih dan Galuh saling memandang, lalu
sama-sama tersenyum. Kemudian keduanya berjalan beriringan menyusul langkah
Harto.
Harto mengajak Galih dan Galuh
berkeliling perkebunan. Para pekerja yang melihat mereka lewat pun menyapa.
Galuh merasa senang, karena hari ini ia
bisa merasakan udara di luar tembok tinggi kediaman keluarga Sukaryo. Ia
benar-benar menikmati perjalanan itu.
"Apa kamu mulai menyukainya?"
Tanya Harto saat duduk berdua saja dengan Galih di pondok kecil di tengah
perkebunan.
"Perkebunan ini? Tentu saja. Kalau
nggak, kenapa aku kuliah jauh-jauh?" Jawab Galih sambil tersenyum lebar.
"Galuh."
Senyum di wajah Galih perlahan sirna.
Suasana berubah hening. Yang terdengar hanya desiran angin yang membuat
dedaunan saling bergesekan.
"Kalian memang terlihat serasi. Di
mataku pun kalian terlihat sangat baik saat bersama." Harto kembali
bicara.
Galih menundukkan kepala.
"Tapi, apa kau lupa Galuh itu
siapa?"
"Sejak kecil, Paklek lah yang
selalu bersamaku. Aku tahu, hanya dengan melihat tingkahku saja, Paklek bisa
paham semua. Jujur awal mendengar tentangnya, aku sangat membencinya. Aku terus
berpikir buruk tentangnya. Karena itu semua, aku memutuskan untuk pulang. Tapi,
setelah aku mengenalnya lebih dekat. Aku mulai menyukainya."
Suasana kembali hening. Keduanya
kembali terdiam.
Harto menghela napas dan tersenyum
getir. "Apa yang aku khawatirkan, akhirnya terjadi juga. Apa yang aku
takutkan jika kalian bertemu, terjadi juga. Aku sudah memohon kepada Tuhan.
Tapi... hah..."
"Aku akan mengungkapkan perasaanku
pada Galuh. Dan, jika Galuh juga menyukaiku. Maka aku akan bilang ke Bapak dan
memperjuangkan cinta kami."
"Galih!!!" Harto membentak
Galih. "Kembalilah pada kesadaranmu!"
"Aku sadar, Paklek. 100% sadar.
Otakku juga nggak geser. Aku menyukai Galuh. Entah sejak kapan. Aku menyukai
Galuh Widati." Galih membalas tatapan tajam Harto.
Aaaaa.....!!!
Suara jeritan seorang perempuan menyita
perhatian Galih dan Harto.
"Galuh!" Galih langsung
melompat turun dari atas gazebo dan berlari mencari sumber suara.
Harto pun turut menyusul langkah Galih
yang terburu-buru.
Jarwo membungkam mulut Galuh. Ia
berhasil menangkap Galuh dan menyeret gadis itu ke balik semak-semak. Ia tak
sengaja menemukan Galuh sedang berjalan sendirian di tengah perkebunan. Melihat
lokasi di sekitarnya sepi, Jarwo pun langsung menangkap Galuh dari belakang.
Galuh sempat menjerit dan melawan.
Tapi, Jarwo memiliki tenaga yang sangat kuat. Pria itu berhasil membungkamnya
dan menyeretnya menjauh dari tempatnya berada.
Galuh menangis. Telapak tangan Jarwo
masih membungkam mulutnya. Ia terduduk dengan punggung merapat pada batang
pohon. Sangat dekat di hadapannya, Jarwo menatapnya dengan bengis.
"Kau menghancurkan semuanya! Anak
sialan! Kamu membuat hidupku jadi menderita! Gara-gara kamu aku jadi begini!
Jadi, buruh dan dipermalukan!" Jarwo mengungkapkan kekesalannya.
Galuh menggelengkan kepala. Tangan
Jarwo semakin erat membungkam mulutnya.
Apa yang terjadi pada Jarwo adalah karena ulah pria itu sendiri. Ia telah menggelapkan uang Sukaryo. Atas permintaan Galuh, Jarwo akhirnya tidak diperkarakan secara hukum. Hartanya di sita dan ia diturunkan dari jabatannya, menjadi buruh perkebunan.
Apa yang terjadi pada Jarwo adalah karena ulah pria itu sendiri. Ia telah menggelapkan uang Sukaryo. Atas permintaan Galuh, Jarwo akhirnya tidak diperkarakan secara hukum. Hartanya di sita dan ia diturunkan dari jabatannya, menjadi buruh perkebunan.
"Aku tahu kau ini mantu suci dalam
keluarga Sukaryo. Tapi, sebentar lagi kata mantu suci itu tidak akan ada lagi.
Kamu harus membayar semuanya. Kamu juga harus menanggung malu. Sama sepertiku
dan keluargaku! Tidak akan ada lagi mantu suci yang dibanggakan keluarga
Sukaryo. Aku tidak mau hancur sendiri. Kita akan hancur dan mati bersama.
Hahaha!" Lagi-lagi Jarwo mengungkapkan kekesalannya di depan Galuh.
Galuh menangis semakin menjadi dan
kembali memberontak. Jarwo mencekik lehernya. Membuatnya berhenti berontak.
Sisa keberaniannya masih memegang kendali. Galuh sadar jika ia terus
memberontak, cekikan Jarwo yang semakin keras itu bisa membunuhnya. Ia harus
bertahan hingga bantuan datang. Ia terus berdoa pada Tuhan, meminta bantuan.
Sedang di hatinya, ia terus memanggil nama Galih.
"Aku akan mempermalukanmu Galuh
Widati. Setelah kau ternoda, mereka pasti akan malu. Kau pun akan malu! Hahaha.
Tahu kah kau? Dulu aku pernah memintamu pada Bulekmu yang tamak itu. Tapi, dia
menolakku. Dan, kamu pun mengacuhkan aku!" Jarwo kembali mencekik Galuh.
Galuh kembali tertekan. Ia tak bisa
bernapas karena Jarwo mencekiknya.
Jarwo menampar Galuh. Lalu, mendorong
tubuh gadis itu hingga jatuh tersungkur.
"Mari kita bersenang-senang, Galuh
Widati!" Jarwo mendekati Galuh. Keduanya matanya tampak beringas.
Galuh hendak melarikan diri. Tapi,
Jarwo berhasil menangkap kakinya dan kembali membuatnya terjatuh.
Galih berputar-putar di perkebunan. Ia
terlihat frustasi karena tak menemukam Galuh. Harto pergi untuk meminta bantuan
pekerja perkebunan.
Karena lokasi perkebunan dekat dengan
hutan, terkadang ada celeng (babi hutan) yang masuk ke area perkebunan. Harto khawatir
Galuh diserang celeng.
Galih kembali berjalan sambil terus
memanggil nama Galuh. Mata elangnya kemudian menangkap semak-semak yang
bergerak. Perlahan ia berjalan mendekati semak-semak itu.
Galih terbelalak. Ia menemukan seorang
pria di balik semak-semak itu. Pria yang berusaha memperkosa seorang perempuan
yang ia kenali. Galih menarik tubuh pria itu.
Galuh yang berhasil lepas dari terkaman
Jarwo segera bangkit dan bersembunyi di balik pohon. Lengan kiri bajunya sobek
karena Jarwo berusaha melepasnya ketika hendak memperkosanya.
Perkelahian antara Galih dan Jarwo tak
terhindarkan. Melihatnya, Galuh pun tak tega. Ia keluar dari persembunyian,
lalu berteriak memanggil nama Harto dan meminta tolong.
Galih meluapkan amarahnya dengan
menghajar Jarwo habis-habisan. Jarwo yang kalah dalam perkelahian hanya bisa
pasrah menerima pukulan bertubi-tubi dari Galih.
Harto tiba bersama beberapa pekerja
perkebunan. Mereka melerai Galih dan Jarwo yang sedang berkelahi. Galih sempat
memberontak dan berteriak-teriak ketika para pekerja menangkapnya agar berhenti
menghajar Jarwo.
Salah satu pekerja wanita menghampiri
Galuh dan mendekap gadis itu. Tapi, tiba-tiba saja Galuh jatuh tak sadarkan
diri dalam pelukannya. Wanita itu pun menjerit panik.
Melihat Galuh pingsan, Galih berlari
menghampirinya. Ia berusaha membuat kesadaran gadis itu kembali. Tapi, nihil.
Tanpa pikir panjang, ia pun menggendong Galuh dan berlari membawanya pulang.
***
Warga dibuat geger. Dengan cepat berita
tentang percobaan pemerkosaan itu menyebar. Warga yang hampir kesemuanya adalah
pendukung Sukaryo marah. Jarwo yang di arak berjalan kaki menuju rumah Sukaryo
sempat dilempari tomat dan telur busuk oleh warga. Orang-orang kepercayaan
Sukaryo mengawal Jarwo dengan ketat. Jika tidak, bisa saja pria itu tewas
dihajar massa.
Galuh masih tak sadarkan diri. Lasmi
terlihat sangat khawatir. Ia duduk di tepi ranjang, menemani Galuh.
Sukaryo lebih tenang usai mendengar
penjelasan Dokter. Galuh syok, namun Dokter mengatakan itu tak mengapa. Hanya
perlu menunggu gadis itu sadar. Ditemani Harto, Sukaryo keluar untuk menemui
orang-orangnya yang membawa Jarwo.
Sukaryo sangat marah ketika ia bertatap
muka dengan Jarwo yang berlutut di halaman rumahnya. Dadanya berapi-api penuh
amarah. Massa yang turut menggiring Jarwo berkumpul di depan gerbang. Beberapa
dari mereka meneriakan agar Jarwo dihajar saja.
Jarwo tertunduk di hadapan Sukaryo. Ia
terlihat acak-acakan usai dilempari tomat dan telur busuk.
Sukaryo tak mengucap sepatah kata pun,
sampai mobil polisi datang. Jarwo menangis dan mengiba. Namun, Sukaryo
bergeming. Polisi pun membawa Jarwo pergi dari kediaman tuan tanah itu.
***
Sukaryo kembali menengok Galuh. Gadis
itu masih terlelap dalam tidurnya. Belum sadarkan diri. Galih yang duduk di
tepi ranjang Galuh tertidur.
Harto yang tak sengaja lewat
menghentikan langkahnya ketika melihat Sukaryo berdiri di depan pintu kamar
Galuh. Ia melihat Sukaryo menutup pelan kamar Galuh, lalu pergu begitu saja.
Sepertinya Sukaryo tak menyadari keberadaannya.
"Juragan?" Sapa Ima pada
Harto.
"Oh, Ima. Kamu di sini?"
Harto kaget melihat Ima berads di luar kamar Galuh. "Galuh sama
siapa?"
"Tadi ada Nyonya Besar dan Mas
Galih."
"Galih??"
"Iya. Mas Galih dan Nyonya Besar
menemani Mbak Galuh tadi."
"Ya sudah. Kamu masuk sana."
"Iya." Ima menundukkan
kepala, lalu masuk ke kamar Galuh.
Harto segera menyusul Sukaryo. Ia
mencari-cari keberadaan sang kakak. Akhirnya ia menemukan Sukaryo sedang duduk
sendirian di teras samping.
"Maafkan aku, Mas. Kejadian hari
ini karena kesalahan dan kelalaianku." Harto segera meminta maaf saat
sampai di hadapan Sukaryo.
Sukaryo menghela napas panjang.
"Jujur aku kecewa. Kenapa kau biarkan Galuh jalan-jalan sendirian di
tengah perkebunan? Bagaimana jika tadi kalian terlambat? Bisa-bisa Galuh
kehilangan nyawanya!"
Harto menundukkan kepala. Ia tahu ia
salah. Lalai dalam menjaga Galuh. Karenanya, ia memilih diam.
"Tapi, sudahlah. Aku bersyukur
Galuh selamat." Imbuh Sukaryo. Kemudian suasana kembali hening.
Usai menemui Sukaryo, Harto
mondar-mandir di depan kamar Galih. Tak lama kemudian Galih keluar dari
kamarnya.
"Lek Harto?" Galih terkejut
melihat Harto berada di depan pintu kamarnya.
"Mau ke mana kamu? Ke kamar Galuh
lagi? Galih, tolong gunakan akal sehatmu!”
Galih tertunduk. Tangannya masih
memegang daun pintu.
Lasmi yang melintas di dekat kamar
Galih melihat Harto dan Galih l. Ia yang menangkap atmosfer tak mengenakan pada
Harto dan Galih pun mendekat.
"Sedang apa kalian di sini?"
Tanya Lasmi. Ia mengerutkan kening melihat ekspresi lesu Galih. "Galih,
kamu kenapa?"
"Nggak papa, Eyang." Galih
tersenyum lesu.
"Ya sudah. Lekas istirahat sana!
Hari ini benar-benar melelahkan bagi kita."
Galih mengangguk. Lalu kembali masuk ke
dalam kamarnya.
Harto mengantar Lasmi ke kamarnya. Ia
membantu sang ibu berbaring.
"Apa ada sesuatu? Aku melihat
sepertinya ada ganjalan di hatimu." Ujar Lasmi.
"Hanya terbebani masalah hari
ini."
"Kau bohong! Aku tahu ada hal
lain."
Harto menghela napas panjang.
"Benar. Aku memang sedang berbohong. Tapi, untuk sementara aku akan tetap
memilih untuk berbohong. Sampai aku siap untuk berkata jujur pada Ibu."
"Baiklah. Tak mengapa. Ibu akan
menunggu. Itupun jika kau mau cerita."
Harto tersenyum dan mengangguk.
***
Kamar Galuh penuh keesokan paginya.
Semua berkumpul di sana, menyambut Galuh yang telah sadar. Keluarga besar
Sukaryo senang melihat Galuh kembali sadar.
Galih yang berdiri di antara anggota
keluarnya terlihat lega. Ia senang melihat Galuh kembali sadar.
Galuh masih lesu. Namun, ia tetap
mengembangkan senyum terbaik di wajahnya. "Maaf. Saya telah membuat
kekacauan dan mempermalukan keluarga ini." Ungkapnya penuh sesal.
"Kekacauan apa? Mempermalukan apa?
Sudahlah. Kemarin hanyalah mimpi buruk. Berhenti memikirkan itu semua. Kau
sudah bangun dari mimpi burukmu dan kembali pada kenyataan. Jadi, lupakan
semua." Lasmi menggenggam tangan Galuh.
"Lalu kalau Pak Jarwo dipenjara,
bagaimana nasib anak dan istrinya?"
"Kau masih memikirkan
mereka?!" Nada suara Sukaryo agak meninggi.
"Maaf..." Galuh tertunduk.
"Aku sudah menduganya. Kau pasti
memikirkan hal itu. Jangan khawatir, orang-orangku sudah mengurusnya."
Galuh kembali mengangkat kepala dan
tersenyum. "Terima kasih."
"Istirahatlah. Aku pergi
dulu." Sukaryo pamit pergi. Disusul Harto dan beberapa anggota
keluarganya.
Suasana di kamar Galuh berubah hening
setelah orang-orang yang berkumpul itu membubarkan diri. Kembali sendiri, Galuh
memilih duduk di kursi di balik meja yang menghadap ke jendela. Ia melamun.
Sendiri dan melamun membawa ingatan
Galuh pada peristiwa kemarin. Tubuhnya gemeteran hanya dengan teringat akan
hari buruk itu. Wajahnya pun berubah pucat.
Galuh menutup wajah dengan kedua
tangannya. Berusaha mengatur emosinya agar kembali normal. Beberapa saat
kemudian, ia sudah kembali tenang. Ia melepas kedua telapak tangan yang
menutupi wajahnya.
"Hallo!" Galih tiba-tiba
muncul di luar jendela dan mengejutkan Galuh.
Ekspresi terkejut Galuh segera berubah
ketika ia telah benar-benar menatap Galih. Ia menahan tawa karena melihat Galuh
memakai wig keriting warna pink lengkap dengan hidung berwarna merah. Galih
berdandan ala badut.
"Ada apa dengan Nona Cantik ini?
Tampaknya sedang bersusah hati. Wahai Nona Cantik, kenapa engkau murung? Apa
yang membuatmu sedih? Aha! Apakah kau sedang menunggu pangeran berkuda putih
datang menjemputmu?" Galih merubah suaranya.
Galuh tersenyum melihat tingkah Galih.
"Ah! Kau tersenyum. Caaantik
sekali! Ayo! Katakan permohonanmu! Aku badut yang bisa mengabulkan permohonan
siapa saja."
Galuh pun tergelak.
Galih tersenyum. "Aku senang bisa
kembali melihat senyum dan mendengar tawamu. Aku mohon jangan bersedih lagi.
Itu membuatku sakit." Ia kembali bersikap normal.
Galuh terdiam menatap Galih. Tiba-tiba
jantungnya berdetub lebih kencang.
***
Tanpa saling mengungkapkan secara
lisan, perasaan itu tumbuh di ruang dua hati yang terlarang. Galih dan Galuh,
benih cinta di hati keduanya tumbuh subur. Kebersamaan yang semakin mendekatkan
keduanya.
Harto yang terus memantau keduanya
semakin dibuat khawatir. Cinta di antara Galih dan Galuh, tak selamanya bisa
ditutupi. Lama kelamaan pasti akan ada yang menyadari kejanggalan itu.
Galuh sendiri sadar jika tak seharusnya
ia memupuk rasa suka di hatinya pada Galih. Tapi, ia seolah tak bisa menolak
pesona Galih.
Apa arti semua ini,
ya ALLOH? Berkah atau kutukan? Aku tidak bisa membendung rasa ini. Sungguh aku
berdosa pada suamiku. Aku selingkuh batin. Tapi, aku mencintainya. Mencintai
pria lain, bukan suamiku. Pangeran berkuda putih yang menggertarkan hatiku
ketika kami bertatap muka. Apa arti semua ini? Kenapa Kau mengantarkan kakiku
menapak ke dalam rumah ini? Ya ALLOH, hamba mohon lindunglah hamba-Mu yang
rapuh dan tak berdaya ini. Tunjukan apa yang terbaik bagi kami. Karena hanya
kepada-Mu kami kembali dan meminta pertolongan.
Galuh pun memejamkan mata. Berusaha
untuk tidur.
***
Tempurung kura-kura, 06 November 2017.
. shytUrtle .
0 comments