Istri Untuk Anakku
04:00
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Cinta
Terlarang yang Terbongkar
Sukaryo
terlihat bahagia hari ini. Hasil rapor keempat anaknya meningkat drastis. Galuh
membantu membereskan kertas-kertas di meja kerjanya. Ia pun tersenyum menatap
gadis itu.
"Sebentar
lagi temani aku minum teh di teras samping," pinta Sukaryo.
Galuh
menjawabnya dengan sebuah anggukan.
Galuh
memberikan teh hasil racikannya pada Sukaryo. Teh melati kesukaan tuan tanah
itu.
Sukaryo
mencium aroma teh melati favoritnya. Kemudian ia menyesapnya. Lalu, ia pun
tersenyum.
"Rasanya
pas sekali!" Sukaryo memuji teh hasil racikan Galuh.
Galuh
tersenyum menanggapinya.
"Kau
membawa banyak kebahagiaan ke dalam rumah ini. Terima kasih untuk
semuanya."
"Bapak
tidak perlu berterima kasih. Sudah jadi kewajiban dari seorang teman untuk
membantu temanya, kan? Lagi pula, kita adalah keluarga. Ada yang bilang, dalam
keluarga jangan terus mengatakan maaf dan terima kasih."
"Teman?"
Sukaryo merasa tak nyaman mendengar kata itu. "Ah, ya! Kita adalah teman.
Apa kau juga bahagia?"
Galuh
menundukkan kepala. Ia memilih bungkam. Lalu meraih teh di hadapannya dan
menyesapnya.
"Kau
merawatku, ibuku, juga anak-anakku. Setiap hari. Tapi, aku tidak pernah
berpikir apakah kau bahagia dalam kehidupan yang kau jalani kini. Rutinitas
yang kau jalani, setiap hari di rumah ini. Aku tidak pernah bertanya apakah itu
membebanimu atau tidak."
"Selama
Anda memegang janji Anda, saya merasa baik. Akan selalu demikian. Bapak tidak
perlu khawatir tentang saya."
"Janji?"
"Iya.
Janji bahwa Bapak tidak akan pernah menyentuh saya, layaknya seorang suami
kepada istri. Anda tidak akan menyentuh saya, selamanya."
Kalimat
penegasan itu terlontar lancar dari mulut Galuh. Kalimat yang diartikan sebuah
penolakan oleh Sukaryo. Sedari awal ia sadar jika Galuh tak pernah
menginginkannya. Ekspresi Sukaryo berubah menjadi sedikit redup. Sejenak ia
menyesali janji itu.
Suasana
berubah menjadi hening dan sedikit kaku. Sukaryo dan Galuh sama-sama terdiam.
Hanya hembusan lembut angin malam yang terdengar di sekitar mereka.
"Kau
bisa percaya aku!" Ujar Sukaryo memecah keheningan. "Jadi jika aku
menepati janji itu, maka kau akan bahagia?"
Harusnya
Galuh berbicara jujur tengang apa yang ia rasakan, bahwa ia tidak bahagia
berada di dalam rumah besar itu. Tapi, ia justeru menganggukkan kepala.
"Apakah
perasaanmu padaku tidak bisa berubah?"
"Maaf?"
Galuh mengangkat kepala dan menatap Sukaryo.
"Sudahlah!
Lupakan saja. Sebaiknya sekarang kau istirahat saja."
Tak
mau menunggu lagi, Galuh pun langsung bangkit dari duduknya. "Apa perlu
saya bereskan sekarang?" Tanyanya.
"Biarkan
saja. Aku masih ingin menikmati teh di sini."
"Baik.
Kalau begitu saya permisi." Galuh pun pergi.
Sukaryo
menghela napas panjang. Ia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
Harto
yang sedari awal memperhatikan dari kejauhan hanya bisa menghela napas panjang.
***
Pagi
menjelang siang, Galih duduk di pondok di tengah hamparan hijau padi. Ia
sendirian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Walau ia terlihat duduk dengan
tenang, tapi hatinya benar tak sabar. Tak sabar untuk bertemu pujaan hatinya,
Galuh.
Tak
lama kemudian, Galuh pun tiba di pondok tempat Galih menunggu. Galih
menyambutnya dengan senyuman lebar. Tapi, Galuh terlihat murung.
"Ada
yang ingin aku sampaikan,"ujar Galuh.
"Ssh!"
Galih meletakkan jari telunjuknya pada bibir Galuh. "Coba perhatikan
sekitar kita. Indah, kan? Nyanyian alam. Benar-benar damai."
"Galih!
Aku mohon dengarkan aku!"
Galih
merubah posisi duduknya menjadi menghadap pada Galuh. "Kamu ingin bilang
apa? Sebelumnya dengarkan aku dulu. Aku menyukaimu, Galuh. Aku mencintaimu. Aku
selalu merasa bahagia jika ada kamu didekatku. Kayak sekarang ini."
Galuh
diam, balas menatap Galih. Ada rasa bahagia memenuhi dadanya. Bahagia mendengar
Galih menyatakan perasaan padanya. Tapi bersamaan dengan itu, muncul juga rasa
sakit yang teramat sangat di dadanya. Ia kembali menyesali keadaannya. Menyesal
karena bertemu Galih setelah ia resmi menjadi istri Sukaryo, ayah Galih.
"Maafkan
aku, Galih. Tapi, ini tidak boleh terjadi. Kita tidak boleh seperti ini. Kau
tahu, aku merasa sangat jijik pada diriku sendiri. Aku menikahi ayahmu, tapi
aku jatuh hati padamu. Aku wanita terkutuk dan pendosa. Aku tidak bis..."
Galih
membungkam Galuh dengan bibirnya. Ia mencium bibir Galuh.
Galuh
terkejut. Galih tiba-tiba menciumnya. Ciuman pertama yang membuat suhu tubuhnya
tiba-tiba meningkat. Ciuman pertama yang membuatnya mabuk. Ia merasa dirinya
benar sudah gila. Bukannya menolak ciuman itu, tapi ia malah pasrah. Menikmati
kecupan hangat dari bibir Galih.
"Dengarkan
aku," Galih menangkup wajah Galuh dengan kedua tangannya. "Aku
sendiri tidak tahu sejak kapan aku mulai menyukai dan jatuh hati padamu. Aku
tidak akan tinggal diam. Aku telah memikirkannya. Aku akan memperjuangkan cinta
kita."
"Tapi,
Galih..."
"Ssh!
Serahkan semua padaku. Percayalah padaku. Bisa kan?"
"Aku
percaya sama kamu, Galih. Aku juga jatuh hati, cinta sama kamu. Jika nantinya
kita memang harus pergi, aku rela. Aku bersedia pergi bersamamu. Ke mana pun
itu."
Galih
meraih tubuh Galuh. Mendekapnya erat.
Galuh
membalas pelukan Galih dan menangis. Ia benar-benar tak ingin jauh dari Galih.
Setiap
kali mengingat ciuman pertama itu, Galuh selalu tersipu. Ia lebih banyak diam,
melamun, dan tersenyum sendiri usai pertemuan itu.
Ya ALLOH, selama ini aku tidak pernah
memohon sesuatu untuk diriku sendiri. Tapi, kali ini aku ingin membuat satu
permohonan pada-Mu. Permohonan, untuk diriku sendiri. Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintai
Galih. Tolong bantu kami. Jika rasa ini murni angerah-Mu, maka tolong bantu
kami untuk bersatu. Tapi, jika rasa ini adalah hembusan napas setan belaka. Aku mohon bantu
kami untuk lepas dari lingkaran ini. Tunjukan jalan keluar bagi kami. Pisahkan
kami. Dan, aku mohon kuatkan aku untuk menghadapi itu semua. Kuatkan hatiku
yang rapuh. Aku tidak akan sanggup menjalani ini semua tanpa kekuatan dari-Mu.
Aku mohon tunjukkanlah yang terbaik bagi kami semua.
***
Galuh
sibuk menjahit di kamarnya ketika Ima tiba-tiba muncul dengan napas
terengah-engah. Melihat ekspresi Ima, Galuh paham jika telah terjadi sesuatu
yang buruk. Ima memintanya untuk ikut ke ruang keluarga.
Jantung
Galuh berdetub tidak karuan sejak ia meninggalkan kamarnya bersama Ima.
Tubuhnya gemeteran. Ketika sampai di ruang keluarga, ia terbelalak. Ia melihat
Galih tengah berlutut di hadapan Sukaryo. Lasmi, Pandu, Ratih, dan Puspita juga
berada di sana.
Tubuh
Galuh terasa lemas. Seolah tak bertulang. Ia yakin, Galih pasti telah
mengungkap tentang cinta terlarang yang terjalin di hati mereka.
Pria
gagah itu berdiri membelakangi Galuh yang tertunduk di belakangnya. Sukaryo
berusaha meredam emosi yang melonjak-lonjak di dadanya. Ia tak menyangka jika
permintaan Galih untuk ngbrol dengannya malam ini adalah untuk mengakui semua
perasaannya pada Galuh.
Galuh
jatuh berlutut di belakang Sukaryo yang masih bertahan memunggunginya. Ia
berada di samping Galih yang juga masih berlutut. Tubuh Galuh gemetaran. Air
matanya pun meleleh.
"Bapak,
saya mohon jangan hukum Galih." Pinta Galuh di sela isak tangisnya.
"Kau
bohong padaku!" Akhirnya Sukaryo bersuara. "Kau tidak bahagia. Kau
berkhianat. Kau mengkhianati aku."
"Saya
tahu kata maaf tidak akan berguna lagi sekarang. Tapi, saya benar-benar meminta
maaf pada Bapak. Maaf karena saya tidak bisa menjadi istri yang baik bagi
Bapak. Maaf karena saya pun tidak bisa menjadi teman yang baik bagi Bapak. Anda
membawa saya ke dalam rumah ini dalama ikatan suci. Tapi, balasan yang saya
berikan... Maafkan saya, Bapak. Maaf karena saya telah mengkhianati
Bapak." Galuh tertunduk semakin dalam.
"Ini
semua bukan salah Galuh. Ini salahku! Aku yang menggodanya. Aku yang lebih
dahulu menyukai Galuh dan terus menggodanya agar ia jatuh hati padaku."
Bantah Galih. "Galuh Widati tidak bersalah. Aku mencintainya, dan ia pun
demikian. Mencintai aku. Kami saling mencintai. Karena itu, aku meminta ijin.
Tolong, lepaskan Galuh. Tolong lepaskan Galuh, untukku."
PLOK!
Telapak
tangan kanan Sukaryo mendarat di pipi kiri Galih. Membuat semua yang ada di
ruangan itu terkejut. Sepanjang hidupnya, Sukaryo tak pernah memukul
anak-anaknya. Ini pertama kalinya ia memukul anak kandungnya sendiri.
"Kalian
benar-benar membuat hatiku sakit. Sangat sakit! Bagaimana bisa istri dan anakku
saling jatuh cinta seperti ini?!" nada bicara Sukaryo meninggi. "Dosa
apa keluargaku ini! Hingga kami harus menanggung semua ini!"
"Maaf."
Ima tiba-tiba angkat bicara. "Anda menyebut gadis ini sebagai istri?
Tolong lihat gadis ini! Lihat dengan jelas. Dia rela melayani Anda, merawat Ibu
dan anak-anak Anda. Menganggap semua itu adalah kebahagiaan baginya. Apa
Juragan tahu jika di beberapa malam dia menangis? Anda menyalahkan cinta yang
tumbuh di hati mereka. Tapi, Anda lupa jika Anda lah yang memberi ruang dan
kesempatan cinta itu untuk tumbuh di hati mereka. Anda bisa saja menolak
pernikahan itu, kan? Tapi, Anda justeru mengiyakan pernikahan itu dan membawa
gadis ini masuk ke dalam rumah besar ini. Menjadikan Galuh sebagai boneka dalam
keluarga ini. Galuh bukan boneka. Dia hanya manusia biasa. Jika sampai ada
cinta yang tumbuh di hatinya. Itu bukan hal yang tidak mungkin."
"Lancang!
Berani sekali kau berkata seperti itu!" Sukaryo diselimuti emosi yang
membara. Ia berteriak memanggil pengikutnya. "Kurung Galuh dan Ima di
lumbung belakang!" Titahnya ketika para pengikutnya tiba di ruang
keluarga.
Galih
meronta. Memohon ampunan untuk Galuh. Tapi, Sukaryo bergeming. Kembali berdiri
membelakanginya. Ketika Galih mengejar Galuh yang digiring menuju lumbung
belakang, dua orang anak buah Sukaryo menahannya. Galih terus berteriak dan berontak.
Berusaha lepas. Tapi, usahanya sia-sia.
Galuh
dan Ima dimasukan ke dalam lumbung yang gelap dan pengab. Mereka berdua
dikurung di dalam sana.
Ratih
dan Puspita memapah Lasmi ke kamarnya. Nenek itu syok usai melihat pertikaian
di ruang keluarga.
***
Pandu
menyambut Harto yang baru saja sampai di rumah. Harto mengerutkan dahi ketika
melihat ekspresi Pandu yang terlihat panik. Usai mendengar penjelasan singkat
Pandu, Harto bergegas memasuki rumah. Tapi, tak ada siapapun di ruang keluarga.
Sukaryo
berdiam di ruang kerjanya. Dadanya masih bergemuruh. Ia merasa dikhianati oleh
istri dan anak kandungnya sendiri.
Galih
yang terkunci di kamarnya mondar-mandir. Ia terus memikirkan cara untuk bisa
kabur dan menolong Galuh.
Di
dalam lumbung, Ima memeluk Galuh yang menangis. Ia terus menenangkan Galuh yang
syok.
"Jika
menunggu besok, dia tidak akan selamat. Bawa dia pergu dari sini. Malam ini
juga!" Lasmi memberi perintah.
"Ibu..."
Harto menatap iba pada ibunya yang sudah renta itu.
"Hanya
kamu yang bisa aku percaya dan aku andalkan. Kekacauan ini karena kesalahanku.
Aku yang membuka kesempatan bagi Galih dan Galuh untuk bertemu dengan jalan
yang salah. Sekarang, biarkan aku menyelesaikannya."
"Ibu
pikir cara ini akan menyelesaikan konflik dalam keluarga kita?"
Lasmi
diam sejenak. "Setidaknya biarkan emosi masmu mereda. Jadi Galih dan Galuh
harus pergi. Orangku sudah menemui Anjar. Kalian pergilah. Di sini biar aku
yang urus."
"Tapi,
Ibu. Bagaimana jika jalan kita ini malah memperparah keadaan?"
"Sukaryo
biar aku yang urus. Untuk sementara, kau bawa Galih dan Galuh pergi. Ini
duplikat kunci lumbung. Ikuti rencanaku. Aku percaya padamu, anakku."
Lasmi menepuk tangan Harto yang berada dalam genggamannya.
Walau
Harto tahu jika rencana Lasmi adalah bukan tindakan yang benar, ia tetap
melaksanakan perintah sang ibu. Lasmi dibantu Puspita dan juga orang-orang
kepercayaannya mulai menjalankan rencana yang ia buat.
Malam
itu Lasmi sendiri yang mengantar teh untuk Sukaryo. Ia tinggal di ruang kerja
Sukaryo. Ia meminta putra sulungnya itu untuk tetap berpikir jernih dan sebisa
mungkin meredam emosi. Untuk mengantisipasi keadaan, ia pun mencampur obat
tidur pada teh untuk Sukaryo.
Rencana
Lasmi berjalan lancar. Obat tidur yang ia campur ke dalam minuman Sukaryo
berhasil membuat pria itu pusing dan mulai mengantuk.
Tak
hanya mencampur obat tidur ke dalam minuman Sukaryo, Lasmi juga memerintahan
anak buahnya untuk mencampur obat tidur ke dalam minuman untuk anak buah
Sukaryo yang ditugaskan menjaga lumbung. Para penjaga itu pun jatuh terlelap.
Lasmi
membuka pintu kamar Galih dan menjelaskan semua rencananya. Ia meminta Galih
segera berkemas dan pergi bersama Galuh.
Galih
terharu. Berulang kali ia memeluk sang nenek. Usai memeluk Lasmi untuk yang
terakhir kali, Galih mencium kedua tangan Lasmi. Kemudian ia pun bergegas
pergi.
Ima
dan Galuh terkejut melihat Harto dan Anjar muncul ketika pintu lumbung terbuka.
Mereka segera membawa Ima dan Galuh keluar dari lumbung. Mereka berempat pergi
menemui Galih.
Galih
memeluk erat Galuh sambil terus membisikkan kata maaf. Kelima orang itu
kemudian pergi bersama dengan menaiki mobil Harto. Mereka meninggalkan desa.
Puspita
merangkul Lasmi yang berdiri di teras depan. "Apakah yang kita lakukan ini
benar?"
"Benar
atau salah, biarkan Gusti Pengeran yang menunjukkan pada kita semua."
***
"Kebakaran!
Kebakaran! Lumbung kebakaran!"
Teriakan
di waktu menjelang Subuh itu membangunkan Sukaryo dari tidurnya. "Lumbung?
Galuh!" Ia pun bangkit dari duduknya dan berlari meninggalkan ruang
kerjanya. Menuju lumbung belakang.
Sukaryo
panik ketika sampai di lokasi. Api telah membakar seluruh bangunan lumbung
belakang. Lumbung belakang memang bukan lumbung utamanya. Karenanya ukurannya
sangat kecil. Hanya sebuah bangunan dengan ukuran 3x4 meter saja.
Sukaryo
berteriak. Meminta anak buahnya untuk mematikan api yang telah menyelimuti
seluruh bangunan lumbung.
Bersamaan
dengan terbitnya fajar, api yang melahap lumbung belakang berhasil dipadamkan.
Api melahap hampir seluruh bangunan lumbung. Gabah yang berada di dalam lumbung
ludes terbakar. Mendengar itu semua, Sukaryo terduduk lemas di ruang keluarga.
Siang
harinya, Sukaryo sudah tampak lebih tenang. Ia pun menemui orang-orang
kepercayaannya. Ia mendengar keterangan orang-orang itu.
Menurut
penyelidikan orang-orang kepercayaan Sukaryo, lumbung dalam keadaan kosong.
Dan, sepertinya memang sengaja dibakar. Sukaryo
juga menerima laporan jika Galih tidak ada di kamarnya. Harto dan mobilnya pun
tiba-tiba menghilang.
Amarah
Sukaryo yang mulai mereda kembali memuncak. Tubuhnya gemetar karena emosi yang
kembali membara itu. Ia merasakan sakit di dadanya. Sakit karena telah
dikhianati oleh istri, anak, dan juga adik kandungnya sendiri.
"Mereka
bersekongkol melawanku!" Sukaryo mengepalkan kedua tangannya untuk menahan
emosinya yang menjadi-jadi. Ia berdiam diri di dalam ruang kerjanya.
"Pak,
ada polisi. Mereka mendengar perihal kebakaran di lumbung belakang dan
mengadakan kunjungan." Pandu berbicara dari balik pintu yang terturup.
Sukaryo
menghela napas. "Kau urus saja mereka! Katakan kita tidak perlu
penyelidikan. Tentang peristiwa semalam, jangan sampai orang luar tahu!"
Sukaryo
memberi perintah tanpa mempersilahkan Pandu masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Baik,
Pak!" Pandu pun pamit.
Lasmi
dan Puspita berakting seolah mereka tidak tahu menahu tentang peristiwa
kebakaran di lumbung dan juga menghilangnya Galih dan Harto. Mereka sedikit
lega ketika mendengar Sukaryo tak menginginkan polisi membantu penyelidikan.
Tapi, bukan berarti mereka tenang. Sukaryo yang tak mau minta bantuan polisi
pasti telah memiliki rencana sendiri. Mereka tahu pasti tentang hal itu.
***
0 comments